tag:blogger.com,1999:blog-87545591912660644192024-03-05T12:24:42.480-08:00Media Seputar PendidikanWahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)SSChttp://www.blogger.com/profile/14975231010548337312noreply@blogger.comBlogger424125tag:blogger.com,1999:blog-8754559191266064419.post-21205121204716031572021-09-03T16:15:00.000-07:002021-09-03T16:15:04.489-07:00PISAU SEGALA LAMPAUTaufiq Wr. Hidayat *<br /> <br />Pisau Sukri dalam kisah termashur “Sukri Membawa Pisau Belati” Hamsad
Rangkuti, selalu berkilat-kilat di dalam gelap. Ia haus darah. Dan menyimpan
dendam purba pada daging. Tentu bukan daging sapi atau darah ayam. Tapi
darah-daging kehidupan. Sukri yang beringas, memendam derita dan hati yang
patah. Dengan sebilah pisau berkilat yang diselipkan di pinggangnya, Sukri
memacu sepeda skuternya. Skuternya mengerang-ngerang merobek telinga. Dengan mata
yang merah dan hati yang merana, Sukri memasuki dadaku. Menghentikan skuternya
tepat di jantung hatiku. Tapi siapa sebenarnya Sukri? Siapa orang yang
menyelipkan sebilah belati ketakberdayaan di pinggangnya, memacu sepeda skuter
dengan kedua mata yang memerah melintasi waktu?<span><a name='more'></a></span><br /> <br />“Dunia bukan tempat yang aman. Di mana-mana ancaman. Ancaman wabah
penyakit, perang, dan kemiskinana. Semua orang menghina ketakberdayaan.
Kekasihku Sumarni memuja kemapanan, dan jatuh cinta pada jaminan masa depan.
Dia berkhianat. Dasar pengkhianat cinta! Dia tidak melihat cinta dan kesetiaan.
Bukankah hingga sekarang waktu tetap tak membutuhkan kesetiaan?” tanya Sukri,
menghunuskan sebilah pisau. Ia mengucapkan “pengkhianat cinta” seperti sepotong
syair dalam sebuah lagu dangdut.<br /> <br />Tapi orang-orang melihat Sukri sembari tertawa-tawa. Terbahak. Mereka
menertawakan Sukri. Menghina. Sebagian menganggapnya sinting. Sebagian lagi
memotretnya pakai android, lalu mengunggahnya di akun medsos, kemudian diberi
keterangan “Awas! Anjing gila!”. Beberapa orang mendekat hendak mengambil
gambarnya.<br /> <br />“Jangan mendekat!” Sukri menghunuskan pisaunya yang lapar akan darah.<br /> <br />“Sukri! Mana maskermu? Kamu telah melanggar protokol kesehatan. Memancing
kerumunan. Dan tidak mencuci tangan pakai sabun!” kata seseorang. Yang lainnya
tertawa.<br /> <br />“Sinting!”<br /> <br />“Wong edan!”<br /> <br />Orang mengolok-olok Sukri. Sukri tetap berdiri tegap, menghunuskan pisaunya
yang berkilau terkena cahaya matahari. Kedua matanya memerah. Rambutnya
berantakan. Bajunya pun berantakan menandakan kemelaratan. Dan sepeda skuternya
teronggok di tepi jalan. Sukri menikam-nikamkan pisaunya ke udara, ke arah
orang-orang yang mencoba mendekatinya. Orang-orang pun berlalu. Meninggalkan
Sukri sendirian. Tinggal Sukri sendirian bersama skuter dan pisaunya yang
tajam. Kedua matanya yang merah. Dan hatinya yang merana.<br />“Zaman telah berubah, Sukri! Kamu hanya orang bodoh. Hingga hari ini kau
tetap saja bersama kegagalanmu. Hidupmu gak ada apa-apanya. Kriminal. Dan
biadab!” kata seseorang.<br /> <br />Sukri mencari-cari suara itu. Ia semakin geram. Marah. Dan terbakar. Dengan
sigap, ia melompat ke balik semak-semak. Kemudian menikam-nikam buku cerita di
tangannya.<br /> <br />"Cerita bangsat! Kenapa kamu tak mati-mati juga? Kenapa kamu selalu
hidup di dalam hidupku?" Sukri menikam-nikam buku cerita. Buku itu pun
robek. Sukri membakarnya. Tapi cerita itu tak bisa dibakar.<br /> <br />Kini Sukri dengan sebilah pisau tajam di pinggang, tanpa android, tanpa
masker, dan tanpa uang, memacu skuter sekencang-kencangnya; "gas
pol". Tapi skuter itu tetap saja berjalan terlambat. Suara skuter Sukri
itu, lama-lama semakin menjauh, memasuki relung hatiku.<br /> <br />Tembokrejo, 2021<br /><p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span style="mso-ansi-language: IN;">*) Taufiq Wr. Hidayat dilahirkan di Dusun Sempi, Desa Rogojampi, Kab.
Banyuwangi. Taufiq dibesarkan di Desa Wongsorejo Banyuwangi. Menempuh
pendidikan di UNEJ pada fakultas Sastra Indonesia. Karya-karyanya yang telah
terbit adalah kumpulan puisi “Suluk Rindu” (YMAB, 2003), “Muncar Senjakala”
[PSBB (Pusat Studi Budaya Banyuwangi), 2009], kumpulan cerita “Kisah-kisah dari
Timur” (PSBB, 2010), “Catatan” (PSBB, 2013), “Sepotong Senja, Sepotong Malam,
Sepotong Roti” (PSBB, 2014), “Dan Badut Pun Pasti Berlalu” (PSBB, 2017), “Serat
Kiai Sutara” (PSBB, 2018). “Kitab Iblis” (PSBB, 2018), “Agama Para Bajingan”
(PSBB, 2019), dan Buku terbarunya “Kitab Kelamin” (PSBB, 2019). Tinggal di
Banyuwangi, Sekarang Sebagai Ketua Lesbumi PCNU Banyuwangi. </span><span lang="EN-US"><a href="http://sastra-indonesia.com/2021/09/pisau-segala-lampau/"><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">http://sastra-indonesia.com/2021/09/pisau-segala-lampau/</span></a></span></p>
<p class="MsoNormal" style="tab-stops: 99.25pt 288.45pt;"><span style="mso-ansi-language: IN;"><o:p></o:p></span></p>
SSChttp://www.blogger.com/profile/14975231010548337312noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8754559191266064419.post-17722838674314756992021-08-30T15:35:00.005-07:002021-08-30T15:35:31.255-07:00MENULIS JADI BERKAH BELAJAR DARI KEPENULISAN PIPIET SENJASutejo<br />Ponorogo Pos<br /> <br />Pipiet Senja adalah nama samaran dari Etty Hadiwati Arief, yang lahir di
Sumedang, 16 Mei 1956. “Bagiku, menulis sungguh membawa nikmat dan berkah.”
Begitulah ungkapnya di akhir pengakuan proses kreatifnya di majalah Mata Baca,
edisi Juni 2007, hal. 29. “Bersama buku aku bisa keliling tanah air, bahkan
beberapa Negara pernah kusinggahi: Singapura, Malaysia, Mesir, dan Saudi
Arabia. Melalui pena, aku dapat mengukir kata-kata indah dan bermakna, memberi
pembelajaran kepada pembaca, sekaligus menghibur atau menemani mereka yang
kebetulan senasib denganku. Nah, menulis ayooooo!”<span><a name='more'></a></span><br /> <br />Keinginan untuk tunaikan ibadah haji, misalnya, sudah lama dia pendam.
Perempuan yang seumur hidupnya ditransfusi darah karena kelainan darah bawaan
ini, memiliki semangat hidup yang luar biasa. Novelnya, Kupenuhi Janji (Dhaha
Publishing, 2007) adalah ungkapan pengalaman sepulang berhaji. Haji yang sudah
lama dicita-citakan. “Acapkali, selama bermalam-malam aku merangkai harapan dan
mimpi menjadi tamu Allah, berkeliling Kabah, tawaf, melakukan sai, mencium
Hajar Aswad, melempar jumrah….” Hal inilah, yang membawa Pipiet Senja mendapat
tawaran kontrak ekslusif dari Penerbit Khairul Bayaan yang juga bersinergi
dengan Travel Haji Ar-Rayyan.<br /> <br />“Nggak perlu bakat untuk bisa menulis!” begitulah judul kolom Proses
Kreatif Mata Baca (April 2006:38-39). Saya percaya, lanjutnya, bahwa bakat itu
memang ada. Tapi, saya lebih percaya bahwa keberhasilan seseorang dimulai
karena dia mau mencoba dan berusaha menggali bakatnya, seberapa pun besarnya
bakat tersebut. Bahkan kalau seseorang tidak punya bakat sekalipun, asal dia
mau bekerja keras, maka pada beberapa profesi, seringkali dia akan tetap bisa
berhasil walaupun dia tidak punya bakat.<br /> <br />Mengapa Safir Senduk bisa menulis artikel dan berita jurnalistik? Beginilah
jawabnya, (a) karena sejak kecil dia terbiasa melihat ibunya menulis sehingga
alam bawah sadarnya ikut membuatnya mau menulis, dan (b) dia juga menghadiri
seminar dan pelatihan tentang cara menulis ang baik, dan (c) dia melatih,
melatih, dan melatihnya dengan melakukan berulang-ulang hingga betul bisa dan
terbiasa.<br /> <br />Sampai sekarang, Safir sudah menulis enam buku (a) Merancang Program
Pensiun, (b) Mengantisipasi Risiko, (c) Mengelola Keuangan Keluarga, (d)
Mengatur Pengeluaran Secara Bijak, dan (e) Mencari Uang Tambahan; semuanya
diterbitkan oleh PT Elex Media Komputindo.<br /> <br />Menurut Safir, hanya ada lima langkah penting dalam menulis, yakni (a)
memilih tema, (b) membuat kerangka, (c) membuat kerangka detail, (d) menulis,
dan (e) baca lagi, dan baca lagi Mata Baca (April 2006:39).<br /> <br />Bagaimana dengan Anda? Marilah kita belajar dari Safir. Pertama, motivasi
dan kerja berlatih yang luar biasa. Kenyakinannya akan tidak tergantungnya pada
bakat adalah sebuah kejujuran yang menarik untuk kita tiru. Kebanyakan kita,
selalu beralibi ketika diminta untuk menulis dengan alasan tidak bakat. Di
mata, Safir, faktor terbesarnya adalah berlatih, berlatih, dan berlatih. Karena
itu, marilah kita berlatih menulis. Karena menulis adalah keterampilan maka
tidak ada cara lain kecuali mengembangkan keterampilan itu sendiri.<br /> <br />Kedua, adanya peran bawah sadar. Adi W Gunawan, dalam sebuah pelatihan
pernah mengatakan, bahwa kehidupan kita 88% dikendalikan oleh bawah sadar.
Pengalaman Safir, yang setiap saat melihat ibunya menulis, secara tidak
langsung masuk ke pengalaman bawah sadar, dan karena itu, pada suatu waktu
menjadi kekuatan yang “luar biasa”. Di sinilah, barangkali penting kita
menciptakan kondisi yang inspiratif: (a) bergaul dengan penulis, (b) berguru
pada para penulis, dan (c) memfasilitasi rumah kita dengan sarana buku-buku
sehingga menjadi kekuatan bawah sadar yang menggetarkan.<br /> <br />Ketiga, tentang langkah menulis yang sangat praktis. Apa yang
diungkapkannya, secara umum, nyaris sudah diajarkan di bangku sekolah (dan
kuliah). Permasalahannya, mengapa sampai sarjana kita tidak banyak temukan
penulis? Langkah praktis Safir, karena itu, menarik untuk kita latihkan dalam
praktik setiap hari.<br /> <br />Marilah kita awali dengan senantiasa merenungkan tema kehidupan apakah yang
menarik untuk kita tulis. Setelah itu, alangkah baiknya jika dibuku hariannya
misalnya, kita sempatkan untuk menuliskan kerangka tulisan dan detailnya dengan
seksama. Baru jika kesempatan memungkinkan, pengembangan penulisan kita
lakukan. Baca, baca, dan baca lagi sebagai proses editing pribadi. Sederhana
kan?<br /> <br />Nah, tunggu apalagi. Sebuah jembatan emas dalam dunia bawah sadar itu akan
menuntun kita pada hari esok yang menjanjikan. Menulis, bukankah dapat
dijadikan gantungan hidup di hari depan?<br />***<br /><p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span style="mso-ansi-language: IN;"><a href="http://sastra-indonesia.com/2010/10/menulis-jadi-berkah-belajar-dari-kepenulisan-pipiet-senja/">http://sastra-indonesia.com/2010/10/menulis-jadi-berkah-belajar-dari-kepenulisan-pipiet-senja/</a></span></p>
SSChttp://www.blogger.com/profile/14975231010548337312noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8754559191266064419.post-63377951578586042262021-08-30T15:33:00.004-07:002021-08-30T15:33:20.501-07:00SEMALAM DI MACAU Menyebar Virus Menulis Bersama Sastri BakryPipiet Senja<br />padangmedia.com<br /> <br />Jadwal mengunjungi shelter (semacam rumah singgah) Matim di Macau akhirnya tiba
jua. Berangkat dari kawasan Haven Street, sekitar pukul 11.00 waktu Hong Kong,
ditemani empat orang, yakni; Ustaz Abdul Ghofur dan istrinya Melani, Sastri
Bakry dan putrinya Ranti.<br /> <br />Tujuan kami tentu saja bukan hendak menghamburkan uang di casino atau
ladang-ladang judi lainnya. Ini boleh dikatakan merupakan perjalanan unik,
mengemban misi kemanusiaan, setidaknya demikian menurut persepsi saya. Intinya
mengunjungi shelter, tempat para perantau Indonesia yang sedang tertimpa
musibah di Macau. Tempatnya bernama Matim, Majlis Taklim Indonesia di Macau.<span><a name='more'></a></span><br /> <br />Ferry Itu Disebut Turboje<br /> <br />Aroma perbatasan Hong Kong-Macau mulai tercium, selama ini hanya saya tahu
dari buku dan film-film Mandarin. Seketika aku teringat Chow Yun Fat dan Steven
Chow, si Raja Judi, sementara jejak si Jacky Chan mulai tertinggal di tengah
hiruk-pikuk Hong Kong. Ustaz Ghofur membelikan kami tiket masing-masing seharga
160 dolar HK. Jika malam harganya 176 dolar HK. Imigrasi di perbatasan ini
berjalan lancar, setidaknya tak ada yang menekan hatiku dengan sikap jutek dan
sotoy.<br /> <br />Aku mengambil tempat duduk di pinggir, agar bisa menikmati pemandangan di
luar ferry dengan leluasa. Mereka menyebutnya turbojet. Begitu duduk manis di
sebelah Sastri, kami berdua langsung membuka laptop. Kepingin melanjutkan
tulisan sebelumnya, tapi hanya sebentar, mendadak perutku terasa mual.<br /> <br />Sementara Sastri melanjutkan aktivitas menulisnya dengan semangat juang
’45, memang anak pejuang pula nenek cantik ini. “Jangan lupa di-save, ya Uni,”
pesanku wanti-wanti sebelum memejamkan mata, rapat-rapat, menghindar rasa
pening yang semakin menggelayut. Ibu Sekretaris DPRD Padang itu mengangguk,
semakin taktiktok dengan tulisannya. Mau dipublikasikan di kompasiana. com,
katanya.<br /> <br />Belakangan, ternyata file itu raib, gara-gara lupa di-save, persis seperti
yang saya alami. Wuaduuuuw, dasar duo manini!<br /> <br />Selamat Datang di Macau<br /> <br />Setelah satu jam di atas turbojet yang melaju cepat, kami pun merapat dan
tiba dengan selamat di pelabuhan Macau. Portugisio Maritimo Macau, kalau tak salah
demikian namanya. Serasa bagai mimpi nih, cetus Sastri Bakry.<br /> <br />Kami jeprat-jepret dengan gaya norak yang bisa bikin jengah para
konglomerat, petinggi, atau koruptor kita, mereka yang terbiasa liburan dan
refreshing ke casino-casino Macau. Suasana pelabuhan ferry Macau mencengangkan,
setidaknya bagi saya, Sastri dan Ranti. Lift-lift yang menyambung dari dalam ke
seberang terminal bus. Angkutannya berupa bus-bus bagus, full AC, semuanya
digratiskan, menuju arena judi seperti; Lisboa, Grand Lisboa, Wyn, Venesian dan
sebagainya.<br /> <br />Selama dalam perjalanan menuju Vila de Costa, masih serasa mimpi, aku lebih
banyak terdiam dan mengagumi pemandangan; gedung-gedung pencakar langit
gemerlap lampu warna-warni. Wow, keren buangeeet! Ketika esok malamnya ada
kesempatan memasuki Grand Lisboa, kami sempat memergoki rombongan anak muda
keturunan dari Surabaya. Mereka asyik, heboh bermain di meja casino.<br /> <br />Hmm, lumayan banyak juga orang kita di sini, pikirku, terheran-heran.
Bahkan selintas kulihat serombongan lagi, yang ini berjas perlente, gayanya
mirip anggota dewan. Ops, semoga keliru, tentu saja mereka sedang reses, dan
sibuk melakukan studi banding ke mana-mana, ya!<br /> <br />Kami sempat disambangi seorang anak muda yang bertanya dengan ketus: “Hei,
pake jilbab ngapain langak-longok ke sini? Mau judi, ya?” Astaghfirullahal
adziiiiim, lah tidaklah, Nak!<br /> <br />Kami menginap di Vila de Costa, sebuah apartemen berlantai 12, tetapi sama
sekali tak ada lift-nya. Sebelum masuk ke penginapan yang check in tengah malam
itu (ajaib, ya!) kami rehat dulu di shelter Matim. Tepatnya di kawasan Rua de
Silva Mendes, 6 B, Edif, Pak Tak 4,3.<br /> <br />Di sini aku dan Sastri masih bisa menularkan virus menulis. Meskipun
pesertanya terdiri dari para penghuni shelter, ditambah beberapa orang lagi
yang datang dari luar, bergabung bersama kami. Ruang tengah yang dipakai
sebagai aula itupun penuh sesak, semuanya lesehan. Acaranya cukup meriah, karena
antusias mereka dan semangat ingin mengetahui; apa dan bagaimana caranaya agar
menjadi seorang penulis terkenal itu?<br /> <br />Menyebar Virus Menulis di shelter Matim<br /> <br />Sastri Bakry giliran mengompori para Nakerwan yang ditampung di shelter itu
agar suka membaca dan menulis. Ia mengambil contoh dari dirinya sendiri, betapa
nikmatnya menjadi seorang penulis, memiliki karya, kisah inspirasi Kekuatan
Cinta (Penerbit Jendela) yang sudah cetak ulang. Aku menambahkan bahwa betapa
pentingnya arti sebuah karya tulis, sebuah buku.<br /> <br />Apabila para pembicara, para penceramah mampu menghimpun massa sedemikian
banyak di suatu tempat. Apatah pula hebat dan dampaknya, jika ia, sang
penceramah itu menuliskan materi ceramahnya kemudian membukukannya, dan
karyanya akan menyebar ke pelosok dunia. Bahkan meskipun penulisnya telah
tiada, sebuah karya akan tetap dikenang pembacanya.<br /> <br />Sesi dialog interaktif digelar, para peserta bertambah dengan BMI Macau
yang tinggal di shelter Matim baru pulang kerja pukul sebelas malam, semuanya
ikut bergabung. Mereka antusias sekali menyerbu kami berdua dengan berbagai
pertanyaan. Mulai dari yang ringan seperti, bagaimana memulai sebuah tulisan?
Sampai meminta diajari, bagaimana menulis artikel; protes, agar suara BMI
terdengar dan dipedulikan oleh para Birokrat? Luar biasa! Kami berdua merasa
terharu dibuatnya!<br /><p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span style="mso-ansi-language: IN;">(Pipiet Senja, Causeway Bay)/16/09/2010 <a href="http://sastra-indonesia.com/2012/05/semalam-di-macau-menyebar-virus-menulis-bersama-sastri-bakry/">http://sastra-indonesia.com/2012/05/semalam-di-macau-menyebar-virus-menulis-bersama-sastri-bakry/</a></span></p>
SSChttp://www.blogger.com/profile/14975231010548337312noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8754559191266064419.post-78602948789259204372021-08-29T14:35:00.001-07:002021-08-29T14:35:14.396-07:00Jalan Rindu Menuju Cinta IlahiJudul : Jalan ini Rindu<br />Penulis : W.A.A.Ibrahimy<br />Cetakan : Pertama, 2017<br />Penerbit : Ibrahimy Press<br />Tebal : xvii+169 halaman<br />ISBN : 978-602-72659-8-1<br />Peresensi : Raedu Basha *<br />nusantaranews.co, 28 Agu 2017<span><a name='more'></a></span><br /> <br />Ciri-ciri keulamaan seseorang salah satunya menjadi penulis, utamanya
syair. Sejak ulama-ulama generasi Salafussaleh sampai hari ini—terlebih
kiai-kiai pesantren—terus mentradisikan kegiatan menulis karangan berbentuk
syair. Baik itu salawat, manakib, sampai dengan syair-syair yang berisikan
petuah hikmah (jawahir), ada ulama yang sengaja mengumpulkan syair-syairnya
dalam sebuah buku utuh seperti Diwanus Syafi’ie karya Imam Syafi’ie yang sudah
dikenal luas umat Islam di penjuru dunia atau Irsyadul Ikhwan karya Kiai Ihsan
Al-Jampesi dari Jampes Kediri yang dikenal sebagai syair-syair pedoman
persoalan kretek dan kopi kalangan santri, ataupun syair yang hanya cukup
dikarang satu-dua baris berbait dan dijadikan kutipan untuk mengokohkan
pendapat dalam berfatwa, seperti yang dilakukan Al-Ghazali maupun Nawawi Banten
dalam karya-karyanya.<br /> <br />Kalau syair-syair ulama yang disebutkan di atas kesemuanya menggunakan
bahasa Arab maka lain pula dengan bebeberapa ulama yang menulis syair dalam
bahasa daerah masing-masing, sebut saja Kiai Abdurrahman Wahid alias Gus Dur
dengan Syair Tampo Waton berbahasa Jawa, Kiai Aminullah Murad Madura dengan
Caretana Oreng Mate (Cerita Tentang Orang Mati) yang biasanya sering
didengungkan di masjid-masjid Tapal Kuda dan Madura, maupun kiai yang
menggunakan syair berbahasa Indonesia seperti Kiai Jamaluddin Kafie, Kiai
Zawawi Imron, Kiai Ahmad Mustofa Bisri, Kiai Zainal Arifin Toha, Kiai M. Faizi,
dan lain-lain. Demikian pula buku yang baru terbit ini, Jalan ini Rindu
(Ibrahimy Press, 2017), sebuah kumpulan puisi yang ditulis oleh seorang kiai
dengan menggunakan bahasa Indonesia karya W.A.A. Ibrahimy—merupakan nama pena
dari KHR. Acmad Azaim Ibrahimy—pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah,
Sukorejo, Situbondo, Jawa Timur yang dikenal dengan “Pesantren Sukorejo”,
seolah menjadi penguat matarantai tradisi mengarang syair yang terus diwariskan
oleh kiai-kiai pesantren terdahulu. Apalagi salah seorang pengasuh Pondok
Pesantren Sukorejo sebelumnya—selain sebagai ulama besar dan pendiri NU—dikenal
pula sebagai pengarang syair-syair bahasa Madura yang sampai saat ini terus
dideras santri-santrinya, Raden Kiai As’ad Syamsul Arifin, ulama yang baru
dikukuhkan sebagai Pahlawan Nasional RI, tak lain merupakan kakek W.A.A.
Ibrahimy.<br /> <br />Dalam beberapa sajaknya, W.A.A. Ibrahimy tampak memosisikan diri sebagai
seorang penyair yang melakukan pengembaraan spiritual dengan melewati
perantara-perantara orang-orang tercinta untuk mencapai cinta yang arif kepada
Tuhan (makrifatullah), orang-orang tercinta itu antara lain adalah orang tua
sendiri seperti pada puisi “Jantung Lautku Sembahyang” (halaman 12), sosok para
guru dan tempat menimba ilmu pengetahuan seperti pada puisi “Lasem Ajaranmu”
(halaman 02), “Wasiat Guru” (halaman 74), dan sosok-sosok lain mulai dari para
ulama seperti Al-Ghazali pada puisi “Cinta I” (halaman 28) sampai dengan sampai
dengan filsuf seperti Descartes pada puisi “Sembahyang” (halaman 48).<br /> <br />Menggunakan perantara orang-orang tercinta kiranya bukan tanpa landasan
bagi seorang santri (apalagi dengan huruf s besar), perantara keilmuan disebut
sanad (silsilah guru-murid) atau bila berbentuk doa mereka anggap sebagai
bentuk tawasul. Dalam upayanya bertawasul, W.A.A. Ibrahimy tampak mencari cara untuk
membuka pintu-pintu yang tertutup untuk dibukakan oleh-Nya guna melanjutkan
jalan pengembaraan yang ditempuhnya, salah satunya ialah pintu kasyf, yaitu
terbukanya mata batin seorang hamba Tuhan kepada hal-hal yang tak kasat mata
(wilayat), selalu didendangkannya dalam beberapa puisinya. Laku demikian tak
lain merupakan bagian dari ritual dalam melakukan taqarrub (mendekatkan diri
kepada Allah) yang diistilahkan oleh penyair sebagai ‘sembahyang’.<br /> <br />Sebagai pengembara, penyair menganggap jalan yang ditempuhnya merupakan:
jalan ini/jalan untuk pergi/jalan ini/jalan penuh duri/jalan ini/jalan bekal
diri/jalan ini/jalan para nabi/jalan ini/jalan hakiki/jalan ini/jalan luka
perih/jalan ini/jalan tuk kembali/jalan ini/jalan rida Ilahi (“Jalan ini
Jalani!”, halaman 62) yaitu jalan kerinduan pengembaran spiritual. Dia berada
pada “maqam syauq” yang mana kerinduan bagi W.A.A. Ibrahimy menjadi musebab
munculnya cinta (al-hubb). Cinta yang hakekat sampai dengan cinta yang
makrifat.<br /> <br />Dapat terbaca bahwa cinta dalam sajak-sajak Ibrahimy dengan huruf c besar,
dan ketika dia mencoba membaca karakter cinta yang direnungkannya sungguh
terasa dipenuhi zat yang perlu diuraikan kembali sifatnya dalam tatapan
muraqabah, seperti rasa panas pada api, terang pada cahaya, namun kadang pula
dingin dalam api, kadang terasa seperti langit, angin, kadang seperti bumi,
seperti ditemukan dalam puisi “Cinta II” (halaman 30): cinta kepada Allah itu
api/apapun yang dilewati akan terbakar/maka leburlah beku perasaan/dalam
panasnya kerinduan…<br /> <br />Lewat gaya pengungkapan yang santun dan mudah dipahami oleh pembaca,
kandungan puisi di atas akan mudah menancap lubuk jiwa pembaca (umat) untuk
senantiasa ikut melakukan pengembaraan spiritual seperti yang dirambah oleh
penyair. Bukankah sangat terlihat, masyarakat hari ini butuh kesejukan dan
nasihat ulama-ulama yang menyiramkan air kesejukan spiritual dan sosial serta
mengarahkan peta jalan untuk mendekatkan diri kepada Sang Khalik. Dan tradisi
bersyair yang dilakukan oleh para kiai atau ulama merupakan sebuah tradisi
untuk menyampaikan pesan-pesan agama sehingga umat merenungkannya lalu
menubuhkan jiwanya ke dalam oase selaksa hikmah bagi kehidupan sehari-hari
sebagai hamba pencari Cinta yang melangkah di jalan rindu; jalan kerinduan
menuju cinta ilahi.<br /> <br />Selain itu ada keunikan dalam konsep buku Jalan ini Rindu. Tak seperti buku
kumpulan puisi umumnya, setiap satu judul puisi dalam buku ini diulas oleh
seorang interpreter. Terdapat 37 judul puisi dengan 14 orang interpreter yang
terdiri dari sastrawan-sastrawan Indonesia, antara lain Taufik Ismail, Ahmadun
Yosi Herfanda, D Zawawi Imron, Emha Ainun Najib, Jamal D Rahman, Sosiawan Leak,
W Haryanto, dan lain-lain, dengan dipengantari oleh A. Mustofa Bisri dan epilog
oleh Sutardji Calzoum Bachri.<br />***<br /><p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span style="mso-ansi-language: IN;">*) Raedu Basha, penyair tinggal di Yogyakarta. <span style="mso-spacerun: yes;"> </span></span><span lang="EN-US"><a href="http://sastra-indonesia.com/2021/08/jalan-rindu-menuju-cinta-ilahi/"><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">http://sastra-indonesia.com/2021/08/jalan-rindu-menuju-cinta-ilahi/</span></a></span></p>
SSChttp://www.blogger.com/profile/14975231010548337312noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8754559191266064419.post-90481220406447598772021-08-29T14:32:00.000-07:002021-08-29T14:32:12.714-07:00Sastra dan Politisasi AgamaAlawi Al-Bantani *<br />Radar Sampit, 24/06/2018<br /> <br />Secara pribadi saya kurang tertarik dengan analisis novel “Perasaan Orang
Banten” yang dihubungkan dengan karya Solzhenitsyn (Sehari dalam Hidup Ivan
Denisovitch). Sastrawan Rusia itu tidak menjawab problem yang diajukan kaum
politisi tentang pembangunan masyarakat yang ideal. Sifat kesusastraan hanya
mengajukan pertanyaan-pertanyaan secara mendasar, karena di situlah
keterbatasan ruang-gerak sastrawan yang tidak memegang kendali dan kewenangan –
seperti halnya penguasa – untuk memutuskan suatu problem kemasyarakatan.<span><a name='more'></a></span><br /> <br />Pendekatan yang lebih tepat justru adalah guru dari Solzhenitsyn, yakni
Dostoyevsky (1821-1881) yang membedah perikehidupan manusia-manusia
individualis sebagai korban dari manusia metropol dengan paham modernitas
tentang kehidupan survive, termasuk ketegangan-ketegangan menghadapi hari esok
yang tak menentu. Karena bagaimanapun manusia Indonesia sedang mengarah pada
problem yang sama juga, dengan sikap yang dimungkinkan tumbuh subur dalam suatu
pulau dengan macam-macam dialek bahasa dan separatisme yang beragam.<br /> <br />Dostoyevsky tanpa ampun membedah manusia-manusia modern yang dibeliti
kesengsaraan dan penderitaan hidup di pusat perkotaan (Petersburg, Uni Soviet),
yang merambah membangun diri dari tingkat pedesaan, meski masyarakatnya belum
siap menghadapi perubahan. Tapi bagaimanapun eksplorasi alam – secara kias
maupun harfiah – sebagai tugas manusia selaku khalifah terus berjalan. Hingga
terbelahlah jiwa-jiwa si manusia kota menjadi pribadi-pribadi yang menderita
kehausan penyakit yang patologis. Dostoyevsky pun meneropong dengan caranya
sendiri ulah dan kelakuan kaum politisi yang gila kekuasaan, suatu pelukisan
deformasi jiwa yang berhasil merekam manusia modern, tanpa disibukkan oleh
asumsi dan hipothesa dari sejarawan yang sibuk membangun laboratoriumnya
sendiri, berikut kesimpulannya yang sangat terbatas.<br /> <br />Tidak tanggung-tanggung disingkap pula suatu psike-individual yang
mengakibatkan terbelahnya ideologi dan jurang pemisah antara generasi anak dan
orang tua, kesenyawaan lembaga keluarga, masyarakat dan negara, hingga
melahirkan suatu generasi baru yang mengidap sakit jiwa. Suatu keputusasaan
dalam pengertian yang realistis, otentik, bukan semata-mata melodrama teatrikal
semata. Di sisi lain para komprador penguasa yang menjelma menjadi hewan-hewan
buas dan brutal, garuda dan buaya kapitalis, para penumpuk harta, pengoleksi
barang-barang antik dan berharga, tanpa ambil pusing di sekelilingnya
bergelimpangan orang-orang miskin yang merupakan korban perceraian maupun
kematian karena perang.<br /> <br />“Mereka bilang, orang yang berharta melimpah seenaknya melupakan nasib
orang-orang yang kelaparan, tetapi aku dapat membuktikan sekarang, mereka yang
lapar pun tak pernah mau peduli kepada saudaranya yang sama-sama kelaparan,”
demikian ujar seorang tokoh dalam novel Dostoyevsky (“Kesengsaraan di
Petersburg”).<br /> <br />Kisah yang dituturkan Dostoyevsky bukan sebentuk manifes protes politik,
dia menampilkan apa adanya tentang karakter dan watak politisi yang merasa
kehausan patologis, gila pencitraan dan popularitas, yang merasa dirinya hidup
dalam amukan zaman kejam dan penderitaan di tengah badai salju di trunda-trunda
Siberia. Ciri khas dari sastra Rusia adalah persaksian otentik tentang
figur-figur rakyat yang sederhana, namun menjadi korban pembodohan dan
pendangkalan dari ulah kaum penguasa yang kawin dengan tuan tanah dan agamawan
ortodoks. Tetapi sastra Rusia tidak pernah patah dari nilai-nilai humanitas dan
solidaritas yang merupakan esensi dari ajaran agama yang mereka anut.<br /> <br />Dengan menampilkan nilai religiusitas dari figur yang masih memagang-teguh
kekuatan iman yang original, maka Dostoyevsky tentu berbeda dengan Samuel
Becket maupun Beltold Brecht, yang tergetar oleh gempa imperialisme dan
kolonialisme yang dulu melanda negeri-negeri Eropa. Hingga kuliah-kuliah
tentang pemikiran Karl Marx menyadarkan para penulis Eropa, bahwa sejarah dunia
tergenangi oleh permasalahan para tuan dan para budak. Gugatan yang paling
mendasar pada karya-karya Beltold Brecht adalah bagaimana peran agama yang
menuntut penganutnya agar taat dan tunduk tanpa reserve, namun dalam praksisnya
manusia tidak pernah diarahkan menjadi cerdas dan dewasa. Di situlah fungsi
Tuhan seakan-akan hanya “tambal sulam” dari lubang kesulitan yang tak pernah
dibereskan sendiri oleh penganut agama, sambil mengharap-harap mukjizat datang
untuk membereskan kekalutan dan kerepotan yang sebenarnya dibuat oleh tangan
manusia sendiri.<br /> <br />Pada dasarnya bukanlah atheisme anti-Tuhan yang diinginkan Brecht, juga
bukan menyerang nilai ketuhanan itu sendiri, tetapi dia menyoal kaum politisi
dan agamawan yang memproyeksikan fungsi Tuhan untuk kepentingan kekuasaannya.
Citra Tuhan yang ditafsirkan masyarakat ternyata perlu dibersihkan dari proyeksi
dan politisasi kaum elite borjuasi yang mengutamakan kepentingan diri sendiri,
ketimbang berkarya membuktikan kemaslahatan dirinya di tengah masyarakat luas.
Citra Tuhan ternyata masih dipenuhi unsur-unsur politik kotor, ideologi dan
kritik-kritik palsu, propaganda kepahlawanan kosong, dicampuri urusan duit dan
vested interest yang sama sekali tak ada hubungannya dengan nilai-nilai
keimanan dan ketaqwaan kepada Sang Pencipta semesta.<br /> <br />Pada akhirnya penulis menolak suatu prinsip dari seorang birokrat yang
tergesa-gesa menyimpulkan “Perasaan Orang Banten” yang dikatakan menyesatkan
dari sisi keilmuwan dan kesejarahan. Padahal dari paragraf-paragraf awal sudah
diperingatkan oleh penulis novel tersebut bahwa ia bukanlah hendak menulis
sejarah Banten maupun Indonesia. Biarlah para sejarawan memasuki habitatnya di
pusat laboratorium yang mereka program, sesuai dengan kapasitasnya sebagai
sejarawan. Tak usah petantang-petenteng memasuki bidang-bidang lain yang bukan
keahliannya. Juga tak perlu kegenitan kayak politikus yang side job sana-sini,
keranjingan ingin jadi artis, tandatangan dengan production house, main
sinetron dan penyanyi dangdut, padahal suaranya cablak pas-pasan. Lantas kapan
dia mau bertugas mewakili kepentingan umat?<br /> <br />Bagaimanapun karya sastra tetaplah ciptaan dan rekaan manusia yang diakui
secara jujur oleh setiap pengarangnya, dengan kekayaan linguistik yang dimiliki
olehnya. Juga dengan totalitasnya sebagai pengarang yang peka dan peduli pada
nilai-nilai dan keindonesiaan. Setiap karya sastra yang bertanggungjawab
terhadap pembangunan peradaban manusia, tak lepas dari kecenderungan dakwah
yang mengajak pada nilai-nilai kebenaran dan keadilan.<br /> <br />Kualitas sastra semacam itu semakin menyadarkan dan memperkuat keimanan
kita, dari gempuran badai-badai modernitas yang mengepung keseharian hidup
kita, dari ketegangan-ketegangan menghadapi hari esok yang tak menentu. Bahwa
kita harus selalu percaya dan optimis, karena orang-orang jahat yang korup
sekalipun masih diberikan peluang rizkinya oleh Tuhan Yang Maha Kaya, apalagi
kita yang bergerak dan berjuang untuk kebaikan dan kemaslahatan bersama.<br />***<br /><p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span style="mso-ansi-language: IN;">*) Mahasiswa Perguruan Tinggi La Tansa Mashiro, Rangkasbitung, Lebak. </span><span lang="EN-US"><a href="http://sastra-indonesia.com/2021/08/sastra-dan-politisasi-agama/"><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">http://sastra-indonesia.com/2021/08/sastra-dan-politisasi-agama/</span></a></span></p>
SSChttp://www.blogger.com/profile/14975231010548337312noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8754559191266064419.post-63383283870552722862021-08-29T09:06:00.003-07:002021-08-29T09:06:26.452-07:00Cinta GilaHeru Kurniawan *<br />sinarharapan.co.id<br /> <br />“Aku mencintaimu,” kata ini meluncur dari seorang pemuda yang berpakaian
rombeng dan belepotan kotor. Ia nyengir, seperti tak ada beban berkata seperti
itu. Dan perempuan yang diajaknya bicara hanya cengar-cengir,
menggerak-gerakkan tubuhnya yang terbalut kain kotor. Ia senyam-senyum,
cengengesan dan mengulum ibu jarinya.<br /> <br />“A…..pa, akang mencintaiku,” kata perempuan itu pelan dan lenjeh, “aku juga
mencintai akang,” lanjutnya.<span><a name='more'></a></span><br /> <br />Pemuda itu tersenyum, cengengesan, dan segera berlari. Aneh, tapi itulah
yang selalu diperbuatnya. Ia lari kencang sekali, tak peduli. Lari tanpa arah,
yang dibenaknya hanya ada kata: sungai. Dan, di sungai yang kotornya tak
ketulungan pemuda itu menceburkan diri,”byuuuurrrrr”<br /> <br />“Ha…ha…ha….,” rupa-rupa anak gelandangan yang melihat kejadian ini tertawa.<br /> <br />“Sungai inikan habis kita kencingi”<br /> <br />“Tadi, aku juga buang tahi”<br /> <br />“Orang gila itu hebat, berani mandi dengan kencing dan tahi kita”<br /> <br />Kata-kata anak gelandangan itu bersahutan. Menertawakan.<br /> <br />Pemuda itu tak peduli, terus mandi dan berenang ke tepian. Seterusnya ia
mengusir anak-anak gelandangan itu.<br /> <br />“Dasar anak-anak gila, edan, gila…,” teriak pemuda itu.<br /> <br />“Kamu yang gila, ceritanya lagi jatuh cinta…ha..ha..ha..” ledek anak-anak
itu.<br />***<br /> <br />Di perkampungan kumuh itu, siapa yang tidak mengenal pemuda gila itu.
Orang-orang memanggilnya pemuda gila. Tingkahnya yang selalu aneh semakin
melegitimasinya sebagai pemuda gila; suka mandi di kali yang kotor, berteriak
memanggil nama-nama perempuan, nyanyi-nyanyi sendiri, bicara sendiri semuanya
sudah jadi kebiasaan setiap hari. Tapi, ada penghargaan terhadap pemuda gila
itu, ia pintar, cerdas, dan dermawan sekalipun hidupnya sangat hina dan miskin.
Jangan menyebutnya miskin, karena dalam dunia orang gila yang hina tak ada yang
memikirkan harta, yang ada hanya pikiran mengisi perut untuk hari ini. Hebat,
tak pernah memikirkan uang untuk jadi kaya.<br /> <br />Ceritanya pemuda gila itu lagi jatuh cinta. Sama siapa? Sama gadis gila
yang biasa berkeliaran di jalan. Siapa namanya? Tidak tahu. Rumahnya? Juga
tidak tahu. Di mana ketemunya? Di tepi jalan. Waktu itu, gadis gila itu lagi
nyanyi-nyanyi dengan menggendong boneka. Di matanya boneka itu adalah anaknya.<br /> <br />“Mau ke mana, Neng?”<br /> <br />“Cari ayah, untuk anak ini”<br /> <br />“Emangnya siapa ayahnya?”<br /> <br />“Tidak tahu. Tapi, kamu kok mirip juga dengan pemuda yang memerkosaku dan
mengambil anakku.”<br /> <br />“Masak!”<br /> <br />“Iya bener, wajahmu, matamu, hidungmu, tubuhmu, iya mirip benar dengan
orang yang kucari”<br /> <br />Sejak itu, pemuda itu merasa bangga dengan dirinya. Ia merasa lelaki, sebab
ada perempuan yang mencari. Dan dia jatuh cinta, saban hari yang selalu
dilakukannya adalah berkata tentang Cinta. Cinta. Cinta. Tak mengherankan bila
sebagian teman-temannya yang gelandangan dan gila juga mengatakan ia semakin
gila karena Cinta. He…he…he…<br /> <br />Pemuda itu terus berlari, anak-anak gelandangan mengikutinya di belakang.<br /> <br />“Hidup Cinta, hidup Cinta, hidup Cinta,” teriak anak-anak itu layaknya
suporter kesebelasan yang mendukung timnya bermain pertandingan sepak bola.<br /> <br />Di depan warung penjual es, semua berhenti. Dan, pemuda itu memesan es
sejumlah dengan pengikutnya. Semua ditraktir es oleh pemuda gila itu. Asyik
kan.<br /> <br />“Wah, hebat. Cinta itu hebat, ya. Bisa bikin kaya, buktinya si Gila ini
mentraktir kita hanya karena Cinta,” seru salah seorang anak.<br /> <br />Pemuda itu tersenyum. Nyengir. Bego.<br /> <br />“Cinta itu sebenarnya apa sih, Gila,” tanya seorang anak pada pemuda gila
itu.<br /> <br />“Cinta itu,…nanti dech kutunjukkan. Sekarang habiskan dulu es-nya.”<br /> <br />Setelah selesai pesta es, pemuda gila itu berkata, “apa kalian pingin tahu,
Cinta itu apa?”<br /> <br />Serentak anak-anak gelandangan itu menganggukkan kepala.<br /> <br />“Ayo, sekarang ikut aku. Akan kutunjukkan pada kalian Cinta itu apa,” kata
pemuda gila itu. Dan berlari. Semua anak mengikuti dengan perasaan penasaran.
Di tepi jalan raya yang dipadati kendaraan pemuda gila itu berhenti. Anak-anak
gelandangan itu mengikuti. Berhenti. Napas mereka tersengal-sengal. Kesal.<br /> <br />“Ayo, dong katakan Cinta itu apa, Gila?” kata salah seorang anak.<br /> <br />“Cinta itu tidak bisa dikatakan, tapi hanya bisa ditunjukkan,” kata pemuda
gila itu. Menegaskan.<br /> <br />“Kalau begitu tunjukkan dong, biar kita tahu Cinta itu apa?” tanya anak
yang lainnya.<br /> <br />“Baiklah, lihat ini”<br /> <br />Pemuda itu segera berlari menyeberang jalan raya itu. Dan…<br /> <br />“Ha!”<br /> <br />Semua mata anak-anak gelandangan itu terbelalak. Gila, seru mereka dalam
hati. Melotot, mereka tak percaya. Menyaksikan pemuda gila itu menabrakkan
tubuhnya sendiri pada sebuah mobil yang melaju sangat kencang. Darah
berhamburan membuncah. Tubuh pemuda gila itu berkeping-keping hancur. Pisah.
Kepala pemuda itu menggelinding ke arah gerombolan anak gelandangan itu.<br /> <br />“Inilah Cinta,” lirih kata kepala pemuda gila itu. Kemudian menutup
matanya. Mati.<br /> <br />“Lari….!” seru salah seorang anak.<br /> <br />Mereka berhamburan pergi. Berlari dan salah seorang anak itu membawa kepala
pemuda gila itu.<br /> <br />Di padang perkebunan yang luas anak-anak gelandangan itu berhenti. Napas
mereka tersengal-sengal. Dan ingatan mereka terus terbayang kematian pemuda
gila itu yang tragis.<br /> <br />“Itulah Cinta anak-anak, sama dengan kematian,” kata ruh pemuda gila itu
yang merasuk ke batin anak-anak gelandangan itu. Semua pikiran anak gelandangan
itu sedang berkecamuk, menafsirkan arti Cinta yang tadi dijawab oleh pemuda
gila itu dengan kematian.<br /> <br />Anak-anak, Cinta itu mati. Cinta itu mengorbankan nyawa. Cinta itu bunuh
diri. Cinta itu membinasakan. Cinta itu memisahkan tubuh menjadi bagian-bagian
kecil. Cinta itu sama dengan kematian. Ha…ha…ha…bisik ruh pemuda gila itu pada
anak-anak gelandangan itu.<br /> <br />“Apa yang kau bawa”<br /> <br />“Kepala si Gila”<br /> <br />“Ha!”<br /> <br />Semua anak terperanjat kaget, melihat teman mereka yang membawa potongan
kepala pemuda gila itu. Kepala itu diletakkan di tanah, sebagian anak-anak
menutup matanya takut melihat potongan kepala pemuda gila itu yang masih segar
dan berlumuran darah.<br /> <br />“Untuk apa kau bawa kepala pemuda gila itu?”<br /> <br />“Untuk kuberikan pada gadis gila itu”<br /> <br />“Maksud, kamu, pacar si Gila ini”<br /> <br />“Ya”<br /> <br />Semua mata anak-anak gelandangan itu menatap kepala pemuda gila itu.
Tenang. Hening. Seperti sedang terjadi penghormatan atas kematian pemuda gila
itu.<br />***<br /> <br />Di tepi jalan ramai, seorang anak kecil menyerahkan sebuah bungkusan
plastik pada gadis gila itu.<br /> <br />“Ini untukmu, Gila”<br /> <br />“Hore..hore…ada anak edan ngasih hadiah padaku. Hore..”<br /> <br />“Dasar gila,” gerutu anak itu seraya pergi. Berlari.<br /> <br />Di rumahnya yang kotor, berlantai tanah, berdinding kertas kardus dan
beratap plastik gadis gila itu membuka bungkusan plastik itu. Darah tersegap.
Berhenti sejenak, mata gadis gila itu membulat seperti bumi. Muka memerah dan
air mata berurai. Tarikan napasnya mengisyaratkan tekanan batin yang luar biasa
memilukan.<br /> <br />Seketika ia mengamuk, rumah kotornya diobrak-abrik dan dibakar, tak ayal
api merambat cepat dan membakar seluruh isi perkampungan kumuh itu. Api membara
melahap semua yang menghadang, dan ratusan orang berteriak-teriak minta tolong
seraya berusaha memadamkan api dengan air. Tapi sia-sia, api kadung sudah gila
pula.<br /> <br />Gadis gila itu lari. Hilang. Entah ke mana.<br /> <br />“Lihat, itu ada mayat, di tepi sungai” seru seorang anak gelandangan.
Segera, teman-temannya melihat yang ditunjuk anak itu. Dan, semua kaget saat
mengetahui kalau mayat itu adalah gadis gila pacar dari pemuda gila itu.<br /> <br />“Inikah Cinta, Gila” seru hati setiap anak gelandangan itu.<br />***<br /> <br />Masanya terus beranjak, kini usia anak-anak gelandangan itu bertambah dua
puluh tahun. Mereka telah dewasa. Tapi, aneh tak satu pun di antara mereka yang
mau menikah atau pacaran. Kenapa? Mereka bilang takut dengan Cinta. Kenapa?
Cinta itu Gila. Maksudnya? Dua manusia Gila itu telah mengajari Cinta, sungguh
Cinta itu benar-benar Gila. Mematikan. Mereka tak mau mati. Tapi, apa kalian
tidak melihat ibu-ibu kalian yang selalu resah menantikan kehadiran cucu, demi
kelangsungan hidup manusia-manusia gila. Dunia perlu ekosistem, ada yang mulia,
harus ada juga yang hina! Ha, apa benar, kita harus bagaimana?<br /> <br />Desa Mengger, 10 April 2005<br /><p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span style="mso-ansi-language: IN;">* Judul Cerpen ini diambil dari salah satu judul lagu DEWA “Cinta Gila”. <a href="http://sastra-indonesia.com/2010/03/cinta-gila/">http://sastra-indonesia.com/2010/03/cinta-gila/</a></span></p>
SSChttp://www.blogger.com/profile/14975231010548337312noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8754559191266064419.post-91341998566456150762021-08-28T22:45:00.003-07:002021-08-28T22:45:32.890-07:00Mengembara Identitas Lokal Sampai Global<b>Menyimak Matapangara, Raedu Basha</b><br /> <div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjjIjQDeKgE77NDX8gT6cbWDEloKiz7Pbqjxiq5PGMbxGewENNcnOZcr0GDviYeLTOzEjk25fZ1NteqlhvitCtz1lqrf-hrHFuSpcAEDnGMtVUwGnUvpUf7v2QFrKF1B05pKxGb8TAjRhcz/s448/Matapangara%252C+Raedu+Basha.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="448" data-original-width="309" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjjIjQDeKgE77NDX8gT6cbWDEloKiz7Pbqjxiq5PGMbxGewENNcnOZcr0GDviYeLTOzEjk25fZ1NteqlhvitCtz1lqrf-hrHFuSpcAEDnGMtVUwGnUvpUf7v2QFrKF1B05pKxGb8TAjRhcz/s320/Matapangara%252C+Raedu+Basha.jpg" width="221" /></a><span><a name='more'></a></span></div><div>Judul Buku: Matapangara<br />Pengarang: Raedu Basha<br />Penerbit: Ganding Pustaka<br />Tahun Terbit: 2015<br />Cetakan: Ketiga<br />Dimensi Buku : 13 x 19 cm+68 halaman<br />ISBN: 978-602-1638-30-9<br />Peresensi: Ardy Suryantoko *<br /> <br />Ada wangi Madura yang begitu khas berbaur wangian negeri asing. Seperti mencari
wangi garam sambil mendengarkan aransemen musik Kitaro, kemudian
melayang-layang menjelajah sahara, melintasi gunung sambi memerangi kesepian di
Eropa hingga ke urban barat penuh warna dunia yang membedah mata. Pelbagai
persoalan kehidupan dikemas dengan rapi, seperti diajak bermain menelusuri
lintas negeri dengan masing-masing wangi yang khas. Menurunkan tempo detak
jantung sebelum melepas nafas panjang.<br /> <br />Sajak “Ternyata Sudah Sangat Malam” menjadi pembuka yang penuh kegelisahan.
Kesepian menggaruki jiwa setelah lepas dari tanah kelahiran menuju kota rantau.
Seperti kesepian, kegelisahan, dam ketakutan yang dialami oleh Maximalianus di
goa Tarthus. Seseorang yang pernah atau sedang pergi meninggalkan tanah
kelahirannya pasti bisa memahami dan merasakan kegelisahan dalam perantauan.
“Pergi dari sesuatu yang dikasihi, memberi kesempatan kepada seseorang untuk
meninjau, menimbang dan merenungkannya. Pergi dari tanah kelahiran buat
sementara, memberi kesempatan pada seseorang untuk kembali merenungkan hubungannya
dengan tanah kelahiran itu.”[1]<br /> <br />Selanjutnya sajak-sajak yang ditulis juga tidak memaksa pembaca untuk
mengikuti pola pikirnya. Membiarkan imajinasi pembaca tetap liar walaupun dalam
sajaknya menggunakan wewangian lokalitas Madura yang memadukannya dengan
wewangian negeri asing. Perpaduan sengaja dibuat sebagai penghubung dan
pembanding lokalitas dengan globalisasi. Simbol-simbol yang timbul antara
keduanya, akhirnya seperti kegelisahan seorang lelaki yang sedang suka dengan
perempuan. Bagaimana perempuan menjadi sangat penuh dengan teka-teki dan sangat
sulit untuk ditebak, tetapi tetap memberikan ruang kepada lelaki untuk mendekat
serta memberikan pemaknaan terhadap perempuan tersebut. Tentunya dengan
menggunakan rasa dan logika.<br /> <br />Pada masa pascakolonialisme ada ruang dalam karya sastra yang disebut
“Bhabha” atau ruang ketiga yang dicetuskan oleh Homi K. Bhabha. Pemikiran ini
diusung akibat adanya kolonialoisme (kapitalisme, liberalisme, sekularisme, dan
globalisme). Seperti halnya pergerakan eskalator yang turun naik, ruang ketiga
atau “ruang antara” ini muncul untuk menjembatani ruang pertama (upper area)
dan ruang kedua (lowwer area) yang berhubungan timbal balik dan saling
bergantian memasuki ruang ketiga (in between). Ruang ketiga dalam sepilihan
sajak ini merekayasa identitas menjadi sebuah hubungan simbolik antara ruang
pertama dan ruang kedua, atau globalisasi sebagai ruang pertama (penjajah) dan
lokalitas sebagai ruang kedua (terjajah). Perpaduan antara identitas lokal dan
global ini menimbulkan percikan, ibarat percikan korek api saat pertama
menyala. Dengan adanya gesekan tersebut memunculkan sajak yang penuh dengan
simbol-simbol dan pembaharuan.<br /> <br />Selanjutnya pengembaraan menjadi bagian atas lahirnya pengalaman empirik.
Adat tradisi masyarakat, konflik-konflik sosial, dan kegelisahan atas bencana
alam menjadi ibu dari ide-ide yang melahirkan puisi. Dari sudut pandang ini,
karya sastra menjadi busur yang siap melepaskan anak panah. Bahwa karya sastra
merupakan salah satu konduktor konvensi dalam masyarakat yang dipoles dengan
invensi oleh penulisnya, seperti sajak-sajak di dalam buku ini.<br /> <br />Visualisasi lokalitas dengan cara membangun sajak dari sudut pandang
penulis sebagai bagian masyarakat asli Madura, seperti terdapat dalam sajak
“Hikayat Negeri Sorga”. Sebagai salah satu karya sastra yang mengangkat
lokalitas, yang banyak diketahui oleh pembaca tentang Madura adalah lautan,
garam, sampan, celurit, dan masih banyak yang lain. Kemudian muncul invensi
pada sajak “Colloseoum 20 Abad Vulkanik” dan “Menatap Las Vegas”, bagaimana
akhirnya invensi merombak konvensi dalam sajak-sajak yang berbau lokalitas.
Kejutan diberikan dengan membangun imajinasi pembaca dari sesuatu yang sangat
jauh dari Madura. Pada sajak “Menatap Las Vegas” pembaca dikejutkan dengan
munculya kata gedung, bir, jalan tol, dan jembatan layang pada sajak ini.<br /> <br />Pada akhirnya, pertentangan dalam sajak-sajak di buku Matapangara
sebenarnya merupakan simbol dan jembatan menuju pencapaian nilai estetik, bisa
dikatakan sebagai penelusuran terhadap keterasingan dari dalam diri penulis.
Dunia yang serba hibrid dan serba sibuk mampu menghilangkan lokalitas dalam
jangka panjang, yang akan menyebabkan kekecewaan, kebimbangan, dan
keterasingan. Hidup seperti tidak lengkap tetapi tetap harus dijalani dengan
segala kejanggalan dan kelucuan cerita. Akhirnya pergerakan dan protes seorang
penulis akan muncul dari timbal balik menuju pada pergerakan modernnitas yang
tetap memiliki kesadaran terhadap lokalitas.<br /> <br />Sayang sekali jika buku kumpulan puisi semenarik ini tidak ada kata
pengantar yang membantu pembaca menjelajah lebih jauh tentang penulis dan
karya-karyanya. Selain itu penggunaan diksi yang belum segar akhirnya sedikit
menggugurkan ide-ide yang penuh pembaruan. Entah kebetulan atau sengaja jika untuk
mencapai sisi estetik belaka. Perlawanan invensi terhadap konvensi sebenarnya
merupakan sebuah ide yang luar biasa, tapi akan lebih baik jika diimbangi
dengan diksi-diksi yang segar dan cetar seperti dalam sajak “Colloseoum 20 Abad
Vulkanik”. Sajak inilah yang seharusnya menjadi tolak ukur untuk membuat dan
mengembangkan sajak-sajak selanjutnya.<br /> <br />Yogyakarta, 28 Februari 2015 (Jejak Imaji)<br /> <br />[1] Pengantar Ajip Rosidi pada buku puisi Ramadan K. H Priangan Si Jelita.<br /><p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span style="mso-ansi-language: IN;">*) Ardy Suryantoko, kelahiran Wonosobo 19 Desember 1992 ini berstudi di
Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Ahmad Dahlan
Yogyakarta, dan bergiat di komunitas belajar sastra Jejak Imaji Yogyakarta.</span>
<span style="mso-ansi-language: IN;"><span style="mso-spacerun: yes;"> </span></span><span lang="EN-US"><a href="http://sastra-indonesia.com/2021/08/mengembara-identitas-lokal-sampai-global/"><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">http://sastra-indonesia.com/2021/08/mengembara-identitas-lokal-sampai-global/</span></a></span></p>
</div>SSChttp://www.blogger.com/profile/14975231010548337312noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8754559191266064419.post-80235838042955319512021-08-27T22:29:00.005-07:002021-08-27T22:29:45.616-07:00Mencegah Kepunahan Bahasa IbuMahmud Jauhari Ali<br /> <br />Masih ingatkah Anda bahwa setiap tahun di Indonesia selalu ramai
diperingati hari Ibu oleh bangsa Indonesia, baik di kota besar maupun di
pedesaan. Di televisi pemerintah dan televisi-televisi swasta sering
dimunculkan acara peringatan tersebut dengan serangkaian kegiatan yang pada
intinya menghormati kaum ibu di Indonesia. Akan tetapi, dalam hal ini saya
tidak sedang membahas hari ibu tersebut. Memang ada kaitannya dengan kata ibu,
namun yang ingin saya bahasa adalah masalah bahasa ibu di Indonesia.
Berdasarkan penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan keilmiahannya, terdapat
tujuh ratus empat puluh enam bahasa ibu di Indonesia. Bahasa Banjar termasuk salah
satu bahasa ibu tersebut.<span><a name='more'></a></span><br /> <br />Bahasa ibu dapat pula kita artikan sebagai bahasa yang kita peroleh petama
kali di dunia ini. Misalnya, bahasa yang pertama kali diperoleh orang-orang
Banjar dari ibu kandung atau ibu angkat mereka masing-masing adalah bahasa Banjar.
Bahasa Banjar dipakai oleh sebagian besar orang banjar dalam keluarga,
masyarakat, bahkan di tempat kerja hingga saat ini. Mengapa saya tidak
mengatakan semua orang Banjar menggunakan bahasa Banjar? Karena pada
kenyataannya ada orang Banjar yang tidak menggunakan bahasa Banjar di rumah
sekalipun. Kasus seperti ini muncul pada sebagian orang Banjar yang dibesarkan
di kota lain sehingga bahasa yang ia gunakan bukan lagi bahasa Banjar.<br /> <br />Kasus lainnya, kita sering mendapati orang banjar yang kadang menggunakan
bahasa Banjar dan kadang lebih suka menggunakan bahasa gaul dalam percakapan
atau dalam pesan singkat. Ada lagi kasus penggunaan bahasa asing dalam
percakapan dengan sesama orang Banjar di luar proses pembelajaran bahasa asing
yang sedang digunakan mereka. jujur, hati saya miris mendengar penggunaan
bahasa asing tersebut. Sebagai orang Banjar, seharusnya bahasa Banjar digunakan
sesuai situasi pemakaiannya. Hal terakhir tadi sangat mendukung usaha
mempertahankan bahasa Banjar dari ancaman kepunahan.<br /> <br />Pemertahanan bahasa Banjar harus kita lakukan dari waktu ke waktu. Dalam
usaha ini kita perlu melakukan beberapa hal. Pertama adalah menghindari
interferensi atau masuknya bahasa lain di dalam bahasa Banjar. Pada saai ini
bahasa Banjar yang murni jarang sekali kita temukan. Bahkan dalam siaran
televisi Banjar sekalipun, terdapat penggunaan bahasa Banjar yang tidak murni.
Untuk dapat membedakan bahasa Banjar dengan bahasa lain, kita dapat menggunakan
kamus bahasa Banjar-Indonesia dan kamus Indonesia-Banjar. Mengapa kita perlu
menghindari interferensi ini? Penggunaan kata-kata bahasa lain tersebut menjadi
salah satu awal memudarnya bahasa Banjar. Jangan sampai bahasa Banjar sebagai
bahasa ibu orang Banjar memudar. Pemudaran ini merupakan gejala awal musnahnya
sebuah bahasa. Hal kedua yang harus kita hindari adalah penggunaan bahasa gaul.
Tidak jarang di tempat-tempat mewah, kita mendengar bahasa gaul digunakan oleh
orang-orang Banjar sendiri. Bahasa gaul dianggap oleh penggunanya lebih modern
daripada bahasa Banjar. Padahal bahasa gaul hanyalah bahasa prokem yang
tingkatnya di bawah bahasa Daerah. Hal ketiga yang harus kita hindari adalah
kurang percaya diri atau minder jika harus menggunakan bahasa Banjar di
tempat-tempat mewah. Kita harus bersyukur memiliki bahasa daerah sendiri.
Karena itulah, kita sudah selayaknyalah menggunakan bahasa Banjar sebagaimana
mestinya dengan rasa percaya diri yang tinggi.<br /> <br />Jangan biarkan bahasa ibu terbesar di Provinsi Kalimantan Selatan ini
memudar dan musnah akibat penggunaan bahasa lain. Orang-orang Banjar harus
mencintai dan mensyukuri bahasa Banjar yang telah diberikan-Nya. Sebagai bentuk
cinta dan syukur tersebut, bahasa Banjar harus dipertahankan oleh orang-orang
yang memakainya. Bagaimana menurut Anda?<br />***<br /><p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span lang="EN-US"><a href="http://sastra-indonesia.com/2009/09/mencegah-kepunahan-bahasa-ibu/"><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">http://sastra-indonesia.com/2009/09/mencegah-kepunahan-bahasa-ibu/</span></a></span></p>
SSChttp://www.blogger.com/profile/14975231010548337312noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8754559191266064419.post-21260555655056010362021-08-27T22:27:00.001-07:002021-08-27T22:27:05.739-07:00DjakartaPramoedya Ananta Toer<br />kandangpadati.wordpress.com<br /> <br />Almanak Seni 1957<br />Sekarang tiba gilirannja: dia djuga mau pergi ke Djakarta.<br /> <br />Aku takkan salahkan kau, mengapa kau ingin djadi wargakota Djakarta pula.
Besok atau lusa keinginan dan tjita itu akan timbul djuga. Engkau di pedalaman
terlampau banjak memandang ke Djakarta. Engkau bangunkan Djakarta dalam anganmu
dengan segala kemegahan jang tak terdapat di tempatmu sendiri. Kau gandrung
padanja. Kau kumpulkan tekat segumpil demi segumpil.<span><a name='more'></a></span><br /> <br />Ah, kawan, biarlah aku tjeritakan kau tentang Djakarta kita.<br /> <br />Tahun 1942 waktu untuk pertama kalinja aku indjak tanah ibukota ini, stasiun
Gambir dikepung oleh delman. Kini delman ini telah hilang dari pemandangan kota
—hanja tudjubelas tahun kemudian! Betjak jang menggantikannja. Kuda-kuda
diungsikan ke pinggiran kota. Dan kemudian: manusia-manusia mendjadi kuda dan
sopirnja sekali: begini tidak ada ongkos pembeli rumput! Inilah Djakarta. Demi
uang manusia sedia djadi kuda. Tentu sadja kotamu punja betjak djuga tetapi
sudah djadi adat daerah meniru kebobrokan ibukota.<br /> <br />Bukan salah manusia ini, kawan. Seperti engkau djuga, orang-orang ini
mengumpulkan tekat segumpil demi segumpil perawan-perawan sawah, ladang dan
pegunungan, buruh-buruh tani, petani-petani sendiri jang bidang tanahnja telah
didih di dalam perasaannja, warga-warga dusun jang dibuat porak poranda oleh
gerombolan, peladjar-peladjar jang hendak meneruskan peladjaran, djuga engkau sendiri
—dan dengan penuh kepertjajaan akan keindahan nasib baik di ibukota.<br /> <br />Kemudian bila mereka sampai di Djakarta kita ini, perawan-perawan pedalaman
jang datang kemari sekedar tjari makan, dia dapat makan, lupa tjari makan, dia
kepingin kesenangan, dan tiap malam berderet di depan gedung tempat kerdjanja
masing-masing. Pria tidak semudah itu mendapat pekerdjaan, dan achirnja
mendjadi kuda. Beberapa bulan kemudian paha para pria ini mendjadi begitu penuh
sesak dengan otot jang terlampau banjak dipaksa kerdja. Tiap minggu mereka
menelan telur ajam mentah. Dan djalan raja memberinja kemerdekaan penuh. Bila
datang bahaja ia lepas betja berdjalan sendirian, dan ia melompat ke kaki lima.
Djuga tanggung djawab delman hilang di tangan kuda-kuda ini. Beberapa tahun
kemudian ia ‘ngedjengkang’ di balenja karena djantungnja mendjadi besar,
desakan darahnja meninggi: ia invalid —puluhan! ratusan ribu! kembali ke
kampung sebagai sampah. Bila ada kekajaan, adalah kekajaan membual tentang
kepelesiran. Tetapi untuk selama-lamanja ia telah mati, sudah lama mati.
Djumlah kurban ini banjak daripada kurban revolusi bakalnja.<br /> <br />Djadi engkaupun ingin djadi warga Djakarta!<br /> <br />Djadi engkaupun ingin djadi sebagian kegalauan ini.<br /> <br />Dari rumah masing-masing orang bertekat mentjari uang di Djakarta. Djuga
orang-orang daerah jang kaja mengandung maksud: ke Djakarta —hamburkan
uangnja. Dan djuga badjingan-badjingan daerah: ke Djakarta —menangguk duit.
Demi duit ini pula Djakarta bangun. Sebenarnja sedjak masuknja kompeni ke
Djakarta, Djakarta hingga kini belum djuga merupakan kota, hanja kelompokan
besar dusun. Hingga sekarang. Tidak ada tumbuh kebudajaan kota jang spesifik,
semua dari daerah atau didatangkan dan diimport dari luar negeri: dansa,
bioskop, pelesiran, minuman keras dan agama, berbagai matjam agama.<br /> <br />Aku lupa, bahwa kau datang hendak kemari untuk beladjar. Tetapi barangkali
patut pula kau djadikan kenangan, pusat beladjar daerah kita adalah Djakarta.
Tetapi sungguh aku sesalkan, bahwa Djakarta kita bukanlah pusat beladjar jang
mampu menjebabkan para mahasiswa ini mendjadi perspektif kesardjanaan Indonesia
di kemudian hari. Sisa-sisa intelektualisme karena gebukan balatentara Dai
Nippon kini telah bangkit kembali dengan hebatnja. Titel akademi jang diperoleh
tiap tahun beku dikantor-kantor, dan daerahmu tetap gersang menginginkan
bimbingan. Dan bimbingan itu masih tergantung-gantung djauh di angkasa biru.
Semua orang asing, dengan warna politiknja masing-masing, jang memberi
kauremah-remah daripada kekajaan kita terbaik jang diisapnja.<br /> <br />Aku tahu, engkau orang daerah, orang pedalaman memdewakan
pemimpin-pemimpinmu, tetapi aku lebih dekat pada kenjataan ini. Aku tahu engkau
berteriakteriak tentang perekonomian nasional, tetapi basis kehidupan jang
didasarkan atas perdagangan eksport, bukan sadja typis negara agraria, djuga
negara kolonial. Sepandjang sedjarah negara-negara petani mendjadi negeri
djadjahan, dan tetap mendjadi negeri djadjahan.<br /> <br />Dan bukankah petani-petani daerahmu masih tetap hamba-hamba di djaman
Madjapahit, Sriwidjaja atau Mataram? Siang kepunjaan radja, malam kepunjaan
durdjana! Dan radja di djaman merdeka kita ini adalah naik-turunnja harga hasil
pertaniannja sendiri. Sedang durdjananja tetap djuga durdjana Madjapahit,
Sriwidjaja dan Mataram jang dahulu: perampok, pentjuri, gerombolan, pembunuh,
pembegal.<br /> <br />Djadi beginilah, kawan. Djakarta merupakan impian orang daerah. Semua ingin
ke Djakarta. Tapi Djakarta sendiri hanja kelompokan besar dusun, bahkan bahasa
perhubungan jang masak tidak punja. Anak-anak mendjadi terlampau tjepat masak,
karena baji-baji, kanak-kanak dan orangtuanja digiring ke dalam
ruangan-ruangan jang teramat sempit sehingga tiap waktu mereka bergaul begitu
rapat. Masalah orangtua tak ada jang tabu lagi bagi kanak-kanak. Kewibawaan
orangtua mendjadi hilang, dan segi-segi jang baik daripada perhubungan antara
orangtua dan anak dahulu, kini mendjadi tumpul. Agama telah mendjadi gaja
kehidupan, bukan perbentengan rohani jang terachir. Aku tjeritai kau, kemarin
anakku jang paling amat besar enam umurnja, bertjerita: Orang-orang ini dibuat
Tuhan. Tapi apakah randjang ini dibuat olehNja djuga? Ia pandangi aku. Waktu
kutanjakan kepadanja bagajmana warna Tuhan: hitam ataukah merah? Ia mendjawab
Putih! Ia pilih warna jang tidak mengandung interpretasi, tidak diwarnai oleh
pretensi. Sebaliknja kehidupan Djakarta ini—dan barangkali patut benar ini kau
ketahui: penuh-sesak dengan interpretasi dan pretensi ini. Di segala lapangan!
Lebih mendjengkelkan daripada itu: tiap-tiap orang mau mendesakkan kepunjaannja
masing-masing kepada orang lain, kepada lingkungannja. Sungguh-sungguh tiada
tertanggungkan. Barangkali kau pernah peladjari sedjarah kemerdekaan berpikir.
Bila demikian halnja kau akan dikutuki tjelaka.<br /> <br />Tetapi djangan kaukira, bahwa kegalauan ini berarti mutlak. Barangkali
adanja kegalauan ini hanjalah suatu salahharap daripadaku sebagai perseorangan.
Aku seorang pengarang, dan pengarang di masa kita ini, terutama di ibukota
kita, adalah sematjam kerbau jang salah mendarat di tanah tandus. Setidak-tidaknja
kegalauan ini memberi rahmat djuga bagi golongan-golongan tertentu, terutama
bagi para pedagang nasional, jakni jang berdjualbelikan kenasionalan
tanah-airnja dan dirinja. Mungkin engkau tidak setudju. Tetapi barangkali lebih
baik demikian. Sungguh lebih menjenangkan bagimu bila masih punja pegangan pada
kepertjajaan akan kebaikan segala jang dimiliki oleh tanah-airmu dalam segala
segi dan variasinja. Kami golongan pengarang, biasanja tiada lain daripada
tenaga penentang, golongan opposisi jang tidak resmi. Resmi: pengarang. Tidak
resmi: opposisi periuk terbaik! Dengan sendidirinja sadja begitu, karena kami
bitjara dengan seluruh ada kami, kami hanja punja satu moral. Itu pula
sebabnja, bila kami tewas, tewas setjara keseluruhan. Bukannja tewas di moral
jang pertama, tetapi mendjadi tambun di moral jang keempat! mendjadi melengkung
di moral jang ketiga!<br /> <br />Aku kira terlampau djauh lantaranku ini. Padamu aku mau bitjara tentang
Djakarta kita.<br /> <br />Sekali waktu di suatu peristiwa, Omar pernah bitjara dengan sombongnja:
Bakar semua chazanah, karena segalanja telah termaktub di dalam Qur’an!
Permuntjulan jang grandiues tapi tak punja kontour-kontour kenjataan ini
adalah gambaran kedjiwaan Djakarta: rentjana-rentjana besar, galangan-galangan
terbesar di Asia Tenggara, tugu terbesar di Asia, kemerosotan moral terbesar!
segala terbesar. Tapi tak ada sekrup, tak mur, tak ada ada drat, tak ada
nipple, tak ada naaf, tak ada inden dan ring pada permesinan semua ini.<br /> <br />Sekali waktu disuatu peritiwa, Pascal mentjatat di dalam bukunja: Manusia
hanja sebatang rumput, tetapi rumput jang berakal budi. Dan rumput ini adalah
golongan jang mempunjai kesadaran tanpa kekuasaan, terindjak dan termakan. Jang
lahir, kering dan mati dengan diam-diam. Namun mendjadi permulaan dari pada
kehidupan, seperti jang disaksikan oleh Schweitzer, serta risalah Kan Ying
Pien.<br /> <br />Berbagai matjam angkatan tjampur-baur mendjadi satu, seperti sambal jang
menerbitkan satu rasa, tetapi dengan teropong masih djelas nampak perpisahan antara
bagian satu dengan jang lain. Namun pentypean sematjam jang tegakkan oleh
Remarque tidak memperlihatkan diri.<br /> <br />Barangkali engkau keberatan dengan kata-kataku itu. Tetapi memang demikian.
Tjobalah ikuti tulisan-tulisan angkatan demi angkatan. Angkatan jang muda
mentjatji jang tua, jang muda ditjatji oleh jang lebih muda. Tetapi, kata
Ramadhan KH jang pernah aku dengar, angkatan muda ini bila diberi kesempatan,
dia kehilangan segala proporsi dan lemih mendjadi badut lagi. Artinja badut di
lingkungan badut. Tokoh-tokoh pemikiran mengetengahkan Wulan Purnomosidhi dan
Ada tidaknja Tuhan, di dalam kekatjauan sosiologis, ekonomis dan politis,
kultural dan intertual! Apakah kita mesti ikut pukul kaleng untuk membuat
segala ini mendjadi bertambah ramai? Sedang anak-anak murid ini telah demikian
goiat dengan membanggakan pengetahuannja tentang para tjabul dan ‘rakjat
ketjil’ plus saduran Toto Sudarto Bahtiar Tjabul Terhormat karangan Sartre?
Plus Margaretta Gouthier saduran Hamka dari Alexander Dumas Jr. Hamka? ja
Hamka.<br /> <br />Achirnja, seperti kata A.S. Dharta, orang-orang datang dan berkumpul ke
Djakarta, mendjadi warga Djakarta, untuk mempertjepatkan keruntuhan kelompokan
besar dusun ini. Tambah banjak jang datang tambah tjepat lagi.<br /> <br />Selagi aku belum djadi penduduk Djakarta, dambaanku mungkin seperti kau
punja. Impian jang indah, bajangan pada pembangunan hari depan. Diri masih
penuh diperlengkapi kekuatan, kemampuan dan kepertjajaan diri. Barangkali
bagimu segala itu lebih keras lagi. Karena di daerah bertiup angin: orang
takkan djadi warganegara jang 100% sebelum melihat Djakarta dengan mata kepala
sendiri.<br /> <br />Barangkali engkau akan bertanja kepadaku, mengapa tak djuga menjingkirkan
diri dari Djakarta! Ah, kau. Golongan kami adalah sematjam kerbau jang mendarat
di tanah tandus. Golongan kami reaksioner di lapangan penghidupan. Sekalipun
tandusnja penghidupan golongan kami, djustru Djakartalah jang bisa memberi,
sekalipun hanja remah-remah para pedagang nasional, atau petani pasar minggu.
Tambah lama nasi jang sepiring harus dibagi dengan empat-lima anak-anaknja. Dan
anak-anak ini akan mengalami masa kehilangan masa kanak-kanak, masa
kanak-kanaknja sendiri. Kanak-kanak Djakarta jang tak punja lapangan bergerak,
tak punja lapangan bermain, tak punja daerah perkembangan kedjiwaan, menjurus
dari gang dan got, membunuh tiap marga-satwa jang tertangkap oleh matanja.
Katak dan ketam dan belut dan burung mengalami likwidasi, di Djakarta! Tetapi
njamuk meradjalela, dan tjitjak dan sampah. Djuga mereka ini hidup di alam
ketaksenangan. Taman-taman hanja di daerah Menteng dan perkampungan baru.
Engkau tahu, djadi orang apa kanak-kanak sematjam ini djadinja di kemudian
hari.<br /> <br />Engku tahu, ada pernah dibisikkan kepadaku: daerah jang punja taman adalah
lahir dan berkembang karena telah menghisap darah daerah jang tak punja taman.
Tentu sadja bisikan ini konsekwensi daripada prinsip perdjuangan kelas.
Barangkali engkau tak setudju, karena ini membawa-bawa politik atau pergeseran
kemasjarakatan jang berwarna politik atau politik ekonomi. Mungkin djuga hanja
suatu kedengkian jang tak sehat. Tapi apakah jang dapat kauharapkan dari suatu
masjarakat dimana sebahagian besar warganja hidup dalam suasana tak senang, tak
ada pegangan, tak ada kepertjajaan pada haridepan! Sedang para pedagang
nasional djuga tak punja haridepan, karena kemanisan jang diperolehnja harikini
diisapnja habis harikini pula, untuk dirinja sendiri tentu, atas nama kenaikan
harga tentu, sehingga mereka mendjadi para turis di daerah kehidupannja
sendiri.<br /> <br />Segala jang buruk berkembang-biak dengan mantiknja di Djakarta ini.
Segi-segi kehidupan amatlah runtjingnja dan melukai orang jang tersinggung
olehnja. Tetapi wargakota jang sebelum proklamasi bersikap apatis — apatisnja
seorang hamba — kini kulihat apatisnja orang merdeka dengan djiwa hambanja.
Bukan penghinaan, sekalipun suatu peringatan itu kadang-kadang terasa<br /> <br />sebagai penghinaan. Di dalam kehidupan jang tidak menjenangkan apakah jang
tak terasa sebagai penghinaan! Dan tiap titik jang menjenangkan dianggap
pudjian, atau setidak-tidaknja setjara subjektif: pengakuan dari pihak luaran
akan kesamaan martabat dengan orang atau bangsa jang memang telah merdeka dan
tahu mempergunakan kemerdekaannja. Barangkali engkau menghendaki ketegasan
utjapan ini. Baiklah aku tegaskan kepadamu: memang wargakota belum lagi 25%
bertindak sebagai bangsa merdeka. Anarki ketjil-ketjilan, sebagaimana mereka
dahulu dilahirkan dalam lingkungan jang serba ketjil-ketjil pula: buang sampah
digot! bandjir tiap hudjan akibatnja; pendudukan tanah orang lain jang disadari
benar bukan tanahnja sendiri menurut segala hukum jang ada, sekalipun sah
menurut hukum jang dikarang-karangnja sendiri: ketimpangan hak tanah adalah
ketimpangan penghidupan, kehidupan dan kesedjahteraan sosial. Mengapa? Karena
besok atau lusa tiap orang dapat didorong keluar dari rumah dan pekarangannja
sendiri-sendiri. Kedjorokan dan kelalaian jang dengan langsung menudju ke
pelanggaran ketertiban bersama. Dan djalan-djalan raja serta segala matjam
djalanan umum mendjadi medan permainan Djibril mentjari mangsa. Djuga ini
akibat hati orang tidak senang. Bawah sadarnja bilang: dia tak dilindungi hukum
— dia, baik jang melanggar maupun jang dilanggar.<br /> <br />Nah demikianlah Djakarta kita, sekian tahun setelah merdeka.<br /> <br />Barangkali engkau mengagumi kaum tjerdik-pandai jang sering diagungkan
namanja di surat-surat kabar. Hanja sedikit di antara mereka itu jang
benar-benar bekerdja produktif-kreatif. Jang lain-lain terpaksa mempopulerkan
diri agar tak tumbang dimedan penghidupan! Apakah jang telah ditemukan oleh
universitas Indonesia selama ini jang punja prestasi internasional! Di
lapangan kepolitikan, apakah pantjasila telah melahirkan suatu kenjataan di
mana engkau sadar di hati ketjilmu bahwa kau sudah harus merasa berterimakasih.
Aku pernah menghitung, dan dalam sehari pada suatu hari jang tak terpilih,
diutjapkan lima belas kali kata pantjasila itu baik melalui pers, radio, atau
mulut orang. Sedjalan dengan tradisi pendjadjahan jang selalu dideritakan oleh
rakjat kita, maka nampak pula garis-garis jang tegas dalam masa pendjadjahan
priaji-pedagang ini: orang membangun dari atas. Tanpa pondamen. Ah, kawan,
kita mengulangi sedjarah kegagalan revolusi Perantjis.<br /> <br />Barangkali kau menjesalkan pandanganku jang pessimistis.<br /> <br />Akupun mengerti keberatanmu. Asal sadja kau tidak lupa: sekian tahun
merdeka ini belum lagi bitjara apa-apa bagi mereka jang tewas dalam babak
pertama revolusi kita. Kalau Anatole France bitjara tentang iblis-iblis jang
haus akan darah di masa pemerintahan pergulingan itu, aku bisa djuga bitjara
tentang iblis-iblis jang haus akan kurban, akan kaum invalid penghidupan dan
kehidupan. Dan bila kurban-kurban dan kaum invalid penghidupan dan kehidupan
ini merasa tak pernah dirugikan, itulah tanda jang tepat, bahwa iblis itu telah
lakukan apa jang dinamai zakelijkheid dengan pintarnja. Dan bila iblis-iblis
ini tetap apa jang biasa dinamai badjingan.<br /> <br />Ini bukanlah jang kita kehendaki dengan zakelijkheid!<br /> <br />Ini bukanlah jang kita kehendaki dengan kehidupan kesardjanaan! kepriajian
dan perdagangan!<br /> <br />Sardjana adalah kompas kita, ke mana kita harus pergi mentjari pegangan
dalam lalulintas kebendaan di kekinian dan dimasa-masa mendatang. Sardjanamu,
sardjanaku, wartawanmu, wartawanku, politisimu, politisiku, melihat adanja
kesumbangan, dan: titik, stop. Djuga seperti turis di dalam gelanggang
kehidupannja sendiri.<br /> <br />Barangkali, engkaupun akan menuduh mengapa aku tak berbuat lain daripada
mereka. Tetapi akupun tahu, bahwa engkau tidak melupakan sjarat ini: kekuasaan.
Kekuasaan ini akan ditelan lahap-lahap oleh tiap orang, tetapi tidak tiap orang
tahu tjaranja mendapatkan dan menelannja. Sematjam kutjingmu sendiri. Sekalipun
sedjak lahir kauberi nasi tok, sekali waktu bila ditemukannja daging akan
dilahapnja djuga. Djadi kau sekarang tahu segi-segi gelap dari ibukota kita
ini. Segi-segi jang terang aku tak tahu samasekali, karena memang hal itu belum
lagi diwahjukan kepadaku, baik melalui inderaku jang lima-limanja ataupun jang
keenam. Tetapi aku nasihatkan kepadamu, dalam masa kita ini, djanganlah tiap
hal kauanggap mengandung kebenaran 100%, dengan menaksir duapuluh prosen pun
kau kadang-kadang dihembalang keketjewaan. Djuga demikian halnja dengan
uraianku ini.<br /> <br />Aku tahu, engkau seorang patriot dalam maksud dan djiwamu, karena engkau
orang daerah jang djauh dari kegalauan kota besar, kumpulan besar dusun ini.
Engkau akan berdjasa bila bisa membendung tiap orang jang hendak melahirkan
diri dari daerahnja hendak memadatkan Djakarta. Tinggallah di daerahmu. Buatlah
usaha agar tempatmu mempunjai sekolah menengah atas sebanjak mungkin. Dan
buatlah tiap sekolah menengah atas itu mendjadi bunga bangsamu dikemudianhari:
djadi sumber kegiatan sosial, sumber kesedaran politik setjara ilmu, sumber
kegiatan pentjiptaan dan latihan kerdja. Pernah aku beri tjeramah di kota
kelahiranku dua tahun jang lalu: mobilisasilkan tiap murid ini untuk berbakti
pada masjarakatnja, untuk beladjar berbakti, untuk membelokkannja daripada
intelektualisme jang hanja mengetahui tanpa ketjakapan mempergunakan
pengetahuannja. Apa ilmu pasti jang mereka terima itu bagi kehidupannja di
kemudianhari bila tidak berguna?<br /> <br />Djangan kausangka, aku hendak mendiktekan kemauanku sendiri. Aku kira aku
telah tjukup tua untuk menjatakan semua ini kepadamu—engkau jang kuharapkan
djadi pahlawan pembangun daerahmu. Djuga engkau ada merendahkan petani, karena
engkau lahir dari golongan prijaji—pendjadjah petani sepandjang sedjarah
pendjadjahan: Djepang, Belanda, Inggris, Mataram, Madjapahit, Sriwidjaja,
Mataram dan keradjaan-keradjaan perompak ketjil jang tidak mempunjai tempat
chusus di dalam sedjarah.<br /> <br />Kawan, sebenarnja revolusi kita harus melahirkan satu bangsa baru, bangsa
jang nomogeen, bangsa jang bisa menjalurkan kekuasaan itu sehingga mendjadi
tenaga pentjipta raksasa, dan bukan menjerbit-njerbitnja dan melahapnja
sehingga habis sampai pada kita, pada rakjat jang ketjil ini. Dari dulu aku
telah bilang kekuasaan dan kewibawaan kandas di tangan para petugas. Petugas
jang benar-benar pada tempatnja hanja sedikit, dan suaranja biasa habis punah
ditelan agitasi politik — sekalipun tiap orang tahu ini bukan masa agitasi
lagi, kalau menjadari gentingnja situasi tanahairnja dalam lalulintas sedjarah
dunia!<br /> <br />Kita mesti kerdja.<br /> <br />Tetapi apa jang mesti kita kerdjakan, bila mereka jang kerdja tak mendapat
penghargaan dan hasil sebagaimana mesti ia terima?<br /> <br />Aku kira takkan habis-habisnja ngomong tentang Djakarta kita, pusat
pemerintahan nasional kita ini. Setidak-tidaknja aku amat berharap pada kau,
orang daerah, orang pedalaman, bakar habis keinginan ke Djakarta untuk menambah
djumlah tugu kegagalan revolusi kita. Bangunkan daerahmu sendiri. Apakah karena
itu engkau djadi federalis, aku tak hiraukan lagi. Dulu sungguh mengagetkan
hatiku mendengar bisikan orang pada telingaku: mana jang lebih penting,
kemerdekaan ataukah persatuan? Dan kuanggap bisikan ini sebagai benih-benih
federalisme. Aku tak hiraukan lagi apakah federalisme setjara sadar dianggap
djuga sebagai kedjahatan atau tidak! Setidak-tidaknja aku tetap berharap
kepadamu, bangunkan daerahmu sendiri. Tak ada gunanja kau melantjong ke ibukota
untuk mentjontoh kefatalan di sini.<br /> <br />Kawan, sekianlah.<br /><p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span style="mso-ansi-language: IN;">Djakarta, 17-XII-1955. </span><span lang="EN-US"><a href="http://sastra-indonesia.com/2021/08/djakarta/"><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">http://sastra-indonesia.com/2021/08/djakarta/</span></a></span></p>
SSChttp://www.blogger.com/profile/14975231010548337312noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8754559191266064419.post-5857662232670695912021-08-27T22:25:00.002-07:002021-08-27T22:25:09.911-07:00Dijemput MamaknyaHamka<br />tapaksastraa.blogspot.com<br /> <br />Musa yang hidupnya sangat miskin dan menderita memutuskan untuk menikah
dengan Ramah. Karena hidup serba kekurangan, kehidupan keluarga mereka tidak
bahagia. Kemiskinannya pula yang menyebabkan mamak serta keluarga pihak
istrinya menghina Musa. Mereka selalu membicarakan ketidakmampuan Musa dalam
mengemudikan rumah tangganya. Lama kelamaan Musa merasa tidak tahan lagi
menerima perlakuan mertua dan keluarga iparnya dan ia memutuskan untuk membawa
istrinya merantau ke Deli. <span><a name='more'></a></span>Pergilah ia bersama istrinya ke Deli. Di tanah
perantauan ini, ia menghidupi istrinya dengan menjual kasur. Sekalipun hasilnya
tidak kecil, ia dan istrinya dapat menyambung hidup mereka. Semua itu terus
berlangsung selama tiga tahun. Ya... tiga tahun. Waktu yang cukup bagi mereka
untuk menghadapi suka dan duka bersama.<br /> <br />Suatu hari, ketika Ramah hendak melahirkan, mertuanya mengunjungi keluarga
Musa. Mereka ingin melihat kelahiran cucu mereka sekaligus mengasuhnya.
Kedatangan mereka semakin menambah beban lelaki itu, karena ia juga harus
membiayai mertuanya berada mereka di rumahnya. Namun, ia tidak memperlihatkan
beratnya beban tersebut kepada keluarga dan metuanya. Setelah anak pertama
mereka berumur empat tahun, mertuanya pulang ke kampung halaman mereka. Berkat
kerja kerasnya, Musa dapat mengongkosi mertuanya dan memberikan dua buah baju,
serta sirih kepada mereka.<br /> <br />Tak berapa lama kemudian, Musa sering mendapatkan surat dari mertuanya.
Mereka menyuruh keluarga Musa pulang ke kampung halaman. Namun, Musa tidak
mempedulikannya, karena ia lebih senang hidup di rantau sekalipun hidup dalam
kemiskinan daripada hidup berkecukupan di kampung halamannya, tetapi ia harus
mendengar hinaan dan cemoohan setiap hari.<br /> <br />Karena kemauannya tidak dituruti, mertua Musa merasa tersinggung. Apalagi
tersiar kabar bahwa Musa selalu memperlakukan putri mereka dengan sesuka hati,
ia suka menempeleng Ramah bila kemauannya tidak dituruti. Ramah juga disebut-sebut
memiliki penyakit kudis dan tidak pernah berpakaian, karena keadaan kemiskinan
rumah tangga mereka. Semua itu menjadi bahan guncingan kaum kerabat keluarga
mertua Musa. Itulah sebabnya, mereka kemudian menulis surat kepada Musa, bahwa
mereka hendak mengambil anak dan cucu mereka.<br /> <br />Untuk kesekian kalinya, Musa tidak menanggapi surat dari mertuanya itu.
Karena itulah Mamaknya Ramah akhirnya memutuskan untuk menjemput anak dan
cucunya. Namun, Ramah menolaknya dengan tegas. Ia berkata bahwa ia tidak dapat
meninggalkan suaminya yang sangat dicintainya. Ia berani menempuh risiko apapun
untuk menolak permintaan mamaknya. Mamaknya terus-menerus memaksanya, sehingga
kedua ibu dan anak itu menjadi saling bersitegang.<br /> <br />Melihat kejadian itu, Musa memutuskan untuk mengizinkan istrinya ikut dengan
mamaknya, sedangkan ia sendiri akan menyusul apabila mendapat bayaran utang
dari pelanggannya. Bukan hanya itu saja, Musa juga membayar semua ongkos
perjalanan mereka. Ha itu tentu saja membuat mamaknya Ramah merasa terkejut.<br /> <br />Setibanya di kampung halamannya, Ramah merasa tidak kerasan karena berada
jauh dari suaminya. Hari-harinya dirasakan sangat panjang dan menyiksa dirinya.
Dua minggu setelah kepulangannya, ia mengirimkan surat kepada suaminya untuk
menceritakan keadaan batinnya yang sangat tersiksa. Pada saat yang sama,
mamaknya Ramah juga mengirimkan surat kepada Musa. Dalam suratnya, ia
menceritakan bahwa menurut adat istiadat yang berlaku di daerah mereka,
tindakan dirinya menjemput anaknya adalah penghinaan. Namun, Musa tidak
menanggapi hal itu. Ia beranggapan bahwa hal itu merupakan hak mamaknya Ramah
dan kaum kerabat mereka, sehingga ia tidak perlu ambil pusing dengan semua itu.<br /> <br />Suatu hari Musa mendengar kabar dari sahabatnya Ramah yang memberitahukan
bahwa Ramah telah menghadap penghulu kampung untuk menuntut perceraian. Ia
melakukan hal itu karena paksaan kedua orang tuanya. Mendengar kabar tersebut,
Musa sama sekali tidak merasa tersinggung, bahkan ia tersenyum sekalipun hatinya
terasa sangat sedih. Ia menerimanya dengan pasrah, karena ia tidak memiliki
uang untuk menjemput istri dan anaknya. Ia menyadari bahwa ketidakberdayaan,
kemiskinannya dan kemelaratannya tidak akan mampu memenuhi keinginannya agar
keluarganya bersatu kembali.<br />***<br /><p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span lang="EN-US"><a href="http://sastra-indonesia.com/2021/08/dijemput-mamaknya/"><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">http://sastra-indonesia.com/2021/08/dijemput-mamaknya/</span></a></span></p>
SSChttp://www.blogger.com/profile/14975231010548337312noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8754559191266064419.post-22549915902735118612021-08-25T17:10:00.003-07:002021-08-25T17:10:16.064-07:00Bagaimana Cinta MenghabisiMuhammad Yasir<br /> <br />Di atas meja triplek berwarna hitam, berlembar-lembar kertas berserakan. Di
luar jendela, gang sempit membentang lengkap dengan bendera kebangsaan yang
lusuh, melambai-lambai diterpa angin, seakan-akan atau seperti yang telah
dikatakan bahwa bangsa ini telah merdeka dari kolonialisme putih. Di sisi kanan
meja, ada kursi kayu tua dipernis sedemikian rupa, sehingga dapatlah engkau
melihat dirimu di sana. Di sisi kiri meja, gorden berumbai pembatas ruangan
yang tidak begitu luas itu dengan dua kamar, terayun-ayun. Tujuh kaki dari meja
itu, pintu kaca berdecit. Itu terdengar seperti requiem. Kadang-kadang,
terlihat seperti rengkuh seorang tentara yang hidup tanpa sepasang tangan.<span><a name='more'></a></span> Tak
lama kemudian, seorang lelaki pendek, berantakan, dan jelek muncul dari balik
pintu. Wajahnya masam. Langkah kakinya hampir tidak terdengar. Dia duduk di
kursi kayu itu dan meraba-raba setiap lembaran kertas itu. Kemudian, tangannya
yang pendek mengambil selembar kertas dan membacanya dengan seksama.<br /> <br />Aku penulis cerita yang buruk, gumamnya. Bagaimana para penerbit
cerita-cerita semacam ini?! Lelaki pendek itu kemudian mengambil lembaran
kertas kedua dan membacanya secara seksama. Cinta, gumamnya lagi. Para redaktur
yang agung, jelas akan mengejek cerita semacam ini! Oh! Kemudian lelaki itu
mengambil lembaran kertas ketiga dan membacanya secara seksama. Kali ini, dia
membisu. Sepasang matanya terpaku pada plot cerita di dalamnya. Bagaimana pun,
dia tak mungkin bisa memungkiri bahwa pada lembaran kertas ketiga itu, tampak
rumah-rumah baja tumbuh menjamur di atas tanah gersang - tanah kelahirannya
yang telah habis. Kata demi kata yang telah ditulisnya, membuatnya terperanjat,
mendongakkan kepala, kemudian memejamkan mata. Dan, cerita ini baru saja
dimulai.<br /> <br />Orang kebanyakan bisa memperindah kesedihan korban-korban penindasan. Orang
kebanyakan bisa mengatakan bahwa kaum miskin kota adalah simbol kegagalan
negara. Namun, tidak seorang pun di antara mereka memiliki kesudian menjadi dan
hidup di antara korban-korban dan kaum miskin kota itu. Lelaki pendek itu
bangkit dari dipan tuanya. Matanya sembab dan merah. Semalam, pada musim hujan
pertama, dia menghabiskan bacaannya; sebuah buku kumpulan cerita pendek tentang
kesaksian dan cinta. Hal itu dia lakukan selama tiga tahun belakangan ini.
Untuk membunuh kemalasan menulis, katanya. Setelah sarapan, lelaki pendek itu
menapaki anak tangga yang berujung persis di ruangan berpintu serba kaca. Di
sanalah, hampir sepanjang hari dia menghabiskan waktu untuk menulis.<br /> <br />“Menulis, membuatku hidup. Kata-kata telah membentuk diriku. Bagaimana aku
akan mengkhianati itu dengan berpura-pura bekerja sebagai juru parkir atau
tukang pos?! Katakan kepadaku, wahai penulis yang malang!” kata lelaki pendek
itu kepada dirinya sendiri ketika dia berdiri persis di depan pintu, kemudian
melanjutkan, “hari ini aku harus melahirkan satu cerita yang menarik yang bisa
membuatku bertahan.”<br /> <br />Bagi lelaki pendek itu, menjadi penulis adalah kutukan. Engkau, katanya,
takkan mungkin dapat membaca kehidupan dan kekacauan yang telah lalu. Karena
kutukan, dia merasa ada semacam kengerian tersendiri. Bagaimana pun, pikirnya,
sudah terlampau banyak penulis yang hidup sebagai parasit dan menulis
cerita-cerita sekadarnya. Pula sudah terlampau banyak penulis, kiri-kanan-atas-bawah-haluan
kiri-haluan kanan, melakukan kejahatan; mereka mengambil semangat perjuangan
korban-korban penindasan dan kaum miskin kota menjadi cerita yang menarik,
indah, dan menyengit. Maxim Gorki dan Pramoedya Ananta Toer sekalipun! Bukankah
mereka menulis bukan atas dasar kemerdekaan individu, melainkan titah partai!
Dan, bukankah segala bentuk titah adalah kekuasaan yang bisu yang sukar kita
lawan, sekali pun kita adalah bagian dari perjuangan dan pesakitan?! Lelaki
pendek itu, tiba-tiba, merobek selembar kertas berisi bakal cerita miliknya.<br /> <br />Setelah itu, lelaki pendek itu membanting penanya dan kursi kayu tuanya.
Kemarahan yang meledak-ledak di dadanya. Dia mencintai dunia penulis, tetapi
tak satu pun cerita selesai tertulis. Ada semacam kutukan yang lain, kutukan
bahwa sesungguhnya dia belum pantas menjadi seorang penulis. Cintanya kepada
dunia penulis, membuatnya hina. Kemudian, lelaki itu duduk di kursi di tepi
gang sempit yang membentang lengkap dengan bendera kebangsaan yang lusuh,
melambai-lambai kepadanya. Matanya yang sembab dan merah menatap bendera itu
cukup lama. Imajinasi kepenulisannya muncul. Bendera kebangsaan itu tampak
seperti sebuah rumah baja yang telah merampas tanah-airnya. Ada ribuan orang
hidup di sana, di tanah gersang itu. Tidak lain. Semakin lelaki pendek itu
menatap bendera kebangsaan itu, semakin hanyut pula dia dalam imajinasinya,
sehingga pada satu titik dia bertemu dengan seorang buruh, perempuan yang mirip
seperti ibunya, mengangkat sekarang pupuk yang sama beratnya dengan tubuhnya.<br /> <br />Ketika lelaki pendek itu hendak membantu, perempuan itu menolak. Tak baik,
katanya. Orang kota seperti lelaki pendek itu tak semestinya berada di
lingkungan rumah baja. Para petugas atau para mandor akan mencurigainya.
Bahkan, tak segan-segan menghabisinya. Tetapi, lelaki pendek itu bersikeras dan
mengatakan bahwa perempuan itu mirip dengan ibunya. Sekali lagi, perempuan itu
menolak. Dan, lelaki pendek itu kalah. Dia menghentikan dirinya untuk memaksa
perempuan itu. Akhirnya, dia menunggu perempuan itu menyelesaikan pekerjaannya.
Sembari menunggu, pintu serba kaca itu berdecit. Kini, itu tak terdengar
seperti requiem, melainkan suara istrinya.<br /> <br />“Apa yang engkau lamunkan?” kata istrinya.<br /> <br />Lelaki pendek itu terkejut, kemudian bangkit dan berjalan perlahan menuju
istrinya.<br /> <br />“Tidak ada yang bisa kita makan hari ini. Cobalah pergi ke toko buku dan
jual beberapa buku koleksimu. Atau, bukankah engkau memiliki seorang teman yang
memiliki penerbitan. Katakan, bahwa engkau memiliki cerita-cerita yang menarik
tentang perjuangan, penindasan, perlawanan, dan kegagalan sebagai hasilnya.
Bukankah para pembacamu menyukai cerita-cerita demikian?! Aku malu, sungguh,
jika aku harus datang ke rumah keluarga besar. Mereka tidak sepertimu, jadi
jangan memaksa diri untuk tampak bahwa engkau memiliki kemampuan.”<br /> <br />Lelaki pendek itu tak menggubris. Kemudian dia duduk di kursi kayu tuanya
dan mengambil selembar kertas baru untuk cerita baru yang muncul dalam
kepalanya. Sementara itu, istrinya kembali ke kamar dan berharap bahwa lelaki
pendek itu dapat menyelamatkan mereka.<br /> <br />Pukul sebelas malam, gerimis tiba sejam sebelum terompet kereta terdengar.
Lelaki itu berjuang sekuatnya untuk menulis cerita tentang cintanya kepada
tanah air dan keluarganya; lebih-lebih dia berharap temannya yang memiliki
penerbitan itu bersedia membacanya dan membayar di awal. Akan tetapi, hingga
langit subuh sebentar lagi robek, matahari segera muncul, dan hidupnya akan
begitu saja lagi, tidak satu pun cerita berhasil dia tuliskan. Semua percobaan
berakhir di kata pertama, kata pembuka. Entah mengapa. Karena sudah tak kuasa
lagi, lelaki pendek itu pergi ke dapur, mencopot tabung gas kemudian melempar
sebilah korek api ke sana, maka api menyala-nyala membakar semuanya. Benar,
semuanya. Tak tersisa. Bau daging panggang dan rambut terbakar memenuhi setiap
sudut gang! Dan, bendera kebangsaan itu berhenti melambai-lambai. Entah
mengapa.<br /><p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span style="mso-ansi-language: IN;">Surabaya, 2021 </span><span lang="EN-US"><a href="http://pustakapujangga.com/2021/08/bagaimana-cinta-menghabisi/"><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">http://pustakapujangga.com/2021/08/bagaimana-cinta-menghabisi/</span></a></span></p>
SSChttp://www.blogger.com/profile/14975231010548337312noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8754559191266064419.post-25799282654252500732021-08-24T19:58:00.006-07:002021-08-24T19:58:47.881-07:00Terjemahan Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck<b>Menyapa Pembaca Arab pada tahun 2012 di Kairo-Mesir</b><br /> <br />Editor: B Kunto Wibisono<br />antaranews.com<br /> <br />Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, karya pujangga dan ulama kesohor
Indonesia, Haji Abdul Malik Karim Amrullah, atau terkenal bersebut Hamka, akan
menyapa publik Arab dengan diterjemahkannya ke dalam bahasa Arab untuk pertama
kalinya di Kairo, Mesir.<span><a name='more'></a></span><br /> <br />Penerjemahan buku hikayat roman berlatar budaya Minangkabau / Minang,
Sumatera Barat, itu diwujudkan atas kerja sama antara Kantor Atase Pendidikan
(Atdik) KBRI Kairo, dan Pusat Studi Indonesia di Universitas Terusan Suez,
Mesir.<br /> <br />Prof Dr Abdel Rahim Kurdi, guru besar sastra Arab pada Universitas Terusan
Suez sebagai penyunting sekaligus penerjemahannya, dikoordinir oleh Ginanjar
Sya`ban dari Kantor Atdik KBRI Kairo. “Terjemahan dan penyuntingan novel roman
Buya Hamka itu telah selesai dan kini sedang dalam proses pencetakannya di
Mesir,” kata Atase Pendidikan KBRI Kairo Prof. Dr. Sangidu Asofa yang
dikonfirmasi Antara Kairo, 22 September 2012.<br /> <br />Menurut Prof Sangidu, tujuan pengadaan novel Buya Hamka versi Arab itu
untuk menambah khazanah literatur Indonesia di Pusat Studi Indonesia di
Universitas Terusan Suez, disamping sebagai salah satu upaya mempererat
hubungan persahabatan RI-Mesir.<br /> <br />Guru besar Sastra Arab Modern di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gajah
Mada, Yogyakarta itu menjelaskan, buku Hamka ini merupakan langkah awal
penerjemahan buku-buku Indonesia ke dalam bahasa Arab. “Novel Tenggelamnya
Kapal Van Der Wijck dipilih untuk langkah awal, karena pemikiran Hamka di
bidang kesusatraan dipengaruhi oleh buku-buku sastra keluaran Mesir, terutama
pujangga Mustafa Lutfi Al Manfaluti,” kata Prof Sangidu, yang juga dosen pasca
sarjana Program Studi Agama dan Lintas Budaya Minat Kajian Timur Tengah, UGM.<br /> <br />Terkait penerbitan Buku Hamka versi Arab tersebut, baru-baru ini diadakan
seminar kesusastraan di Universitas Elmenia (383 km selatan Kairo) atas kerja
sama dengan KBRI Kairo. Seminar tersebut membahas mengenai studi komparatif
terhadap tiga novel klasik dan kontemporer, yaitu “Thauq El Hamamah (Untaian
Kalung Merpati)”, karya pujangga abad pertengahan, Ibnu Hazm (994-1064),
Magdoulin (Magdalena) karya novelis Mesir Mustafa Lutfi Al Manfaluti
(1877-1924) dan Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijch karya Hamka
(1908-1981)”.<br /> <br />Ketiga novel itu memiliki tema yang sama, yakni cinta dan kegetiran. Dan
seminar yang dibuka oleh Pembantu Rektor Universitas Elmenia bagian Akademik
dan kemahasiswaan Prof. Dr. Ahmad Kamil Nu`man, dan dihadiri pula Duta Besar RI
untuk Mesir Nurfaizi Suwandi itu, tampil pembicara lima pakar sastra Arab dari
Mesir yaitu Prof Dr Abdel Mouneim, Prof Dr Ahmad Arif Hajazi, Prof Dr Hafedz Al
Maghrabi, Prof. Dr. Munir Fauzi dan Prof. Dr. Said Thawwab, di samping Prof
Sangidu dari Indonesia.<br /> <br />Universitas Elmenia dikenal rutin mengadakan pelatihan dan seminar
internasional yang beberapa seminar sebelumnya dihadiri dosen-dosen terkait
dari UGM, Universitas Negeri Jakarta, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah, Jakarta dan UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.<br /> <br />Saling Pengaruhi<br /> <br />Dalam kajiannya, para narasumber tersebut berkesimpulan bahwa semua penulis
dan sastrawan dari masa ke masa saling mempengaruhi dalam pemikiran, meskipun
pada akhirnya masing-masing penulis memiliki gaya bahasa dan ciri khas
tersendiri.<br /> <br />Menyinggung polemik yang pernah merebak di Indonesia menyangkut tuduhan
adanya “plagiat” yang dilakukan Hamka dari novel Magdoulin karangan Al
Manfaluti, Prof Sangidu menepis tudingan itu. “Sesungguhnya bukan plagiat, tapi
yang benar adalah Buya Hamka terinspirasi dari Al Manfaluti, dan beliau (Buya
Hamka) mengakui telah banyak membaca buku-buku pujangga Mesir itu,” katanya.<br /> <br />“Sebetulnya memang terjadi intertekstualitas yang dalam bahasa Arabnya
`ta`tsir wa ta`atsur` atau saling mempengaruhi. Artinya Hamka terpengaruh
pemikiran Al Manfaluti, tapi sama sekali bukan plagiasi,” ujar Prof Sangidu.
Novel Magdalena yang dalam bahasa Arabnya “Magdalain Aw Tahta Dhilaliz Zenfon
(Magdalena Atau Di Bawah Naungan Pohon Linden) merupakan saduran dari buku Sous
les Tilleuls, karya novelis Prancis Jean-Baptiste Alphonse Karr (1808-1890).<br /> <br />Dari segi isi, novel Magdalena berlatar budaya Barat dan tokoh-tokohnya pun
bukan nama-nama Barat bukan Arab, seperti Adward, Stevan, dan ayah Magdalena
bernama Muller. Namun, alur cerita dalam novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck
sangat kental berlatar budaya Minang, ranah tempat Hamka lahir dan dibesarkan.<br /> <br />Tuduhan plagiasi itu pertama kali muncul pada 1962, lewat tulisan Abdullah
SP di koran Bintang Timur dalam rubrik Lentera yang dipimpin Pramoedya Ananta
Toer (1925-2006). Abdullah SP, yang oleh beberapa kalangan disinyalir sebagai
nama samaran dari Pramoedya, tanpa tedeng aling-aling menohok Hamka dengan
judul tulisannya “Aku Mendakwa HAMKA Plagiat”.<br /> <br />Tuduhan itu pun tak pelak lagi menimbulkan dua kubu pro dan kontra. Di satu
pihak, Bintang Timur yang berhaluan Komunis, dan di pihak lain, Hamka yang
ulama dan pegiat politik Islam. Hamka sendiri tidak bersuara menghadapi tuduhan
itu, tapi sastrawan kaliber H.B. Jassin (1917-2000) dan beberapa kawannya
tampil membela Hamka. Pembelaan itu dihadang tanpa ampun oleh Lentera Bintang
Timur dengan memuat secara bersambung buku Magdalena terjemahan Indonesia.<br /> <br />Polemik hebat itu berlangsung empat tahun dari 1962 hingga berakhir pada
1964 setelah penguasa Jakarta melarang Bintang Timur memuat polemik itu lagi,
karena dianggap mengancam stabiltas keamanan. Anehnya, ketika Hamka dinobatkan
oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Pahlawan Nasional pada 2011,
sebuah buku terbit dengan judul seperti tulisan di Bindang Timur, “Saya
Mendakwa HAMKA Plagiat: Skandal Sastra Indonesia 1962-1964 oleh Muhidin M.
Dahlan.<br /> <br />Alhasil, terlepas dari polemik itu, “Kapal Van Der Wijck” masih belum
tenggelam, ia tetap enak dibaca dan terus dicetak ulang. Hingga 2007, novel itu
telah lebih 30 kali cetak ulang oleh penerbit Bulan Bintang. Ini berbeda dengan
novel Magdalena, yang kendati telah dialih-bahasakan ke Indonesia dalam
sedikitnya tiga versi berbeda, namun tidak punya pasar di Nusantara ini.<br /><p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span style="mso-ansi-language: IN;">“Meskipun terdapat kemiripan dengan Magdalena, namun novel Van Der Wijck
punya tema cerita murni Indonesia,” kata kritikus sastra dari Leiden, Belanda,
A. Teeuw (1921- 18 Mei 2012). (M043/Z002) <a href="http://sastra-indonesia.com/2020/10/terjemahan-novel-tenggelamnya-kapal-van-der-wijck/">http://sastra-indonesia.com/2020/10/terjemahan-novel-tenggelamnya-kapal-van-der-wijck/</a></span></p>
<p class="MsoNormal" style="tab-stops: 99.25pt 288.45pt;"><span style="mso-ansi-language: IN;"><o:p></o:p></span></p>
SSChttp://www.blogger.com/profile/14975231010548337312noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8754559191266064419.post-67765330465623835402021-08-24T01:27:00.005-07:002021-08-24T01:27:43.672-07:00BEKAL DASAR PENGAPRESIASI SASTRA (16)Djoko Saryono *<br /> <br />Yang dimaksud dengan bekal dasar pengapresiasi sastra ialah bekal minimal
yang harus ada dan dimiliki oleh pengapresiasi sastra agar dapat melakukan
kegiatan apresiasi sastra secara minimal dan bersifat dasar. Segala sesuatu
yang, inheren, melekat dalam diri pengapresiasi sastra bisa dijadikan bekal
dasar. Jadi, bekal dasar ini bukan hasil pembelajaran yang khusus, melainkan
bawaan dan penguasaan secara alamiah. Dalam batas tertentu memang dapat berupa
hasil pembelajaran yang umum.<span><a name='more'></a></span><br /> <br />Terdapat bermacam-macam bekal dasar. Berikut ini bekal-bekal dasar
apresiasi sastra. Pertama, bekal dasar paling utama dan penting yang harus ada
dan dimiliki oleh pengapresiasi sastra ialah kemauan, kesudian, kesediaan, dan
ketetapan hati untuk menggumuli dan menggauli karya sastra. Tanpa kemauan,
kesudian, dan ketetapan hati ini niscaya kegiatan apresiasi sastra tidak akan
bisa berlangsung.<br /> <br />Sebagai contoh, jika Laila Kinanti akan mengapresiasi Amba karya Laksmi
Pamuntjak terbitan Gramedia paruh kedua Abad XXI, maka pertama-tama dia harus
memiliki kemauan, kesudian, kesediaan, dan ketetapan hati untuk menggumuli dan
menggauli Amba agar kegiatan mengapresiasi Amba dapat berlangsung dengan baik.
Tanpa ini semua jelas Laila Kinanti tidak akan bisa mengapresiasi Amba karena
proses kontak atau komunikasi antara dirinya dan karya sastra Amba tidak dapat
berlangsung atau bersimpang maksud. Tanpa kontak atau komunikasi dengan karya
sastra, niscaya makna karya sastra yang tak berpendaran atau bermunculan.<br /> <br />Kedua, bekal dasar selanjutnya yang harus ada dan dimiliki oleh
pengapresiasi sastra ialah perasaan, keyakinan, dan pikiran yang positif akan manfaat,
nilai guna, dan faedah karya sastra dalam kehidupan manusia baik kehidupan
sehari-hari maupun segi-segi kehidupan tertentu. Bahwa karya sastra memenuhi
hajat rohaniah manusia, merupakan tempat mendulang bahan-bahan renungan, dan
merupakan kebutuhan rohaniah manusia perlu dirasakan, diyakini, dan diakui oleh
pengapresiasi sastra agar bisa melakukan kegiatan apresiasi sastra secara
khusuk dan sungguh-sungguh nikmat.<br /> <br />Sebagai contoh, jika Aruming Ramadani mengapresiasi Duka-Mu Abadi (Sapardi
Djoko Damano), maka dia harus bisa merasakan, yakin, dan tahu bahwa Duka-Mu Abadi bisa menjadi bahan
renungan dan memenuhi kebutuhan rohaniahnya. Misalnya, dengan membaca kumpulan
puisi tersebut dia yakin akan mendapatkan permenungan tentang kemaha-segalaan
Tuhan. Kalau tidak, niscaya proses apresiasi sastra tidak dapat berlangsung
sebagaimana diharapkan sebab ibaratnya gayung tidak bersambut; dalam hal ini
gayungnya karya sastra.<br />Ketiga, pengalaman hidup sehari-hari juga merupakan bekal dasar. Adanya dan
dimilikinya pengalaman hidup sehari-hari, misalnya merasakan bunyi-bunyi yang
demikian merdu, keindahan-keindahan ketika mendengarkan sesuatu, kegembiraan
dan kesedihan saat menghadapi sesuatu, dan kepekaan menangkap sesuatu yang
sesuai dengan cita rasa dan tidak sesuai dengan cita rasa, menopang proses
berlangsungnya apresiasi sastra. Jika Laila Kinanti mengapresiasi puisi-puisi
Chairil Anwar dalam Aku Ini Binatang Jalang, maka pengalaman-pengalamannya
tentang hal-hal tersebut akan ikut menopang proses keberlangsungan apresiasi
Aku Ini Binatang Jalang. Setidak-tidaknya apresiasinya akan lebih bermakna,
meluas, dan mendalam. Jadi, dalam batas-batas tertentu pengalaman hidup
sehari-hari bisa memantapkan proses apresiasi sastra.<br /> <br />Keempat, kemampuan dan kemahiran berbahasa juga merupakan bekal dasar yang perlu ada dan dimiliki oleh
pengapresiasi sastra. Kemampuan menyimak, membaca, berbicara, dan menulis
secara minimal perlu dimiliki oleh pengapresiasi sastra. Menguasai keempat kemampuan
dan kemahiran tersebut tentulah baik sekali. Namun, setidak-tidaknya
pengapresiasi sastra menguasai dengan baik salah satu di antara empat kemampuan
dan kemahiran tersebut. Kemampuan membaca dan berbicara seyogianya dikuasai
dengan baik karena diperlukan untuk membaca karya-karya sastra tulis dan
melisankan karya-karya sastra tulis seperti deklamasi, teatrikalisasi, poetry
reading, dan story telling.<br /> <br />Keempat bekal dasar tersebut di atas menjadi prasyarat agar seseorang dapat
melakukan kegiatan apresiasi sastra. Keempat bekal dasar tersebut menentukan
berlangsung tidaknya kegiatan apresiasi sastra sehingga seseorang pengapresiasi
sastra perlu memiliki empat bekal dasar tersebut. Untuk memilikinya seorang
pengapresiasi sastra tidak perlu mengikuti pembelajaran secara khusus karena
empat bekal dasar tersebut dapat dimiliki selama menjalani hidup dan kehidupan
(bermasyarakat). Jadi, pengapresiasi sastra dapat memiliki dan menguasainya
dengan sendirinya jika benar-benar memaknai setiap perjalanan dan pengalaman
hidupnya.<br /> <br />Bersambung 17<br /><p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span style="mso-ansi-language: IN;">*) Prof. Dr. Djoko Saryono, M.Pd., Guru Besar Jurusan Sastra Indonesia di
Fakultas Sastra pada kampus UNM (Universitas Negeri Malang). Telah banyak
menghasilkan buku, artikel apresiasi sastra, serta budaya. Dan aktif menjadi
pembicara utama di berbagai forum ilmiah kesusatraan tingkat Nasional juga
Internasional. <a href="http://sastra-indonesia.com/2021/08/bekal-dasar-pengapresiasi-sastra-16/">http://sastra-indonesia.com/2021/08/bekal-dasar-pengapresiasi-sastra-16/</a></span></p>
<p class="MsoNormal" style="tab-stops: 99.25pt 288.45pt;"><span style="mso-ansi-language: IN;"><o:p></o:p></span></p>
SSChttp://www.blogger.com/profile/14975231010548337312noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8754559191266064419.post-4655741067252831752021-08-22T18:30:00.005-07:002021-08-22T18:33:12.624-07:00tengara.id dan DKJ NET Diluncurkan Dewan Kesenian Jakarta<p><b>DKJ NET dan Situs Kritik Sastra Tengara.id Resmi Diluncurkan</b></p> <a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgDzaNYes8DqiQM0kn2eV6lz8R01o3QKFdX9bk7XHUICbSrrEAwigcRd3N3wd3bqvjp9PzH4PlNrxXfL7qiWLiT5YJ2n_o4n7x7GMdWrvRKhnHZPdiH4r0C5QPToks0xPZWwtImJJC4IJHb/s448/Tengara.id%252C+situs+kritik+sastra+Dewan+Kesenian+Jakarta.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em; text-align: center;"><img border="0" data-original-height="300" data-original-width="448" height="214" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgDzaNYes8DqiQM0kn2eV6lz8R01o3QKFdX9bk7XHUICbSrrEAwigcRd3N3wd3bqvjp9PzH4PlNrxXfL7qiWLiT5YJ2n_o4n7x7GMdWrvRKhnHZPdiH4r0C5QPToks0xPZWwtImJJC4IJHb/s320/Tengara.id%252C+situs+kritik+sastra+Dewan+Kesenian+Jakarta.jpg" width="320" /></a><div>Farah Noersativa, Reiny Dwinanda<span><a name='more'></a></span><br />Republika, 20 Agu 2021<br /> <br />Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) menangkap peluang untuk terus berkarya dalam rangka menembus keterbatasan akibat pandemi. Mereka meluncurkan DKJ NET dan situs kritik sastra bernama Tengara.id.<br /> <br />“DKJ NET sekaligus menjadi akses publik tambahan untuk produksi pengetahuan dalam jejaring konten digital kami,” kata Ketua DKJ, Danton Sihombing, dalam siaran pers yang diterima Republika.co.id, Kamis (19/8/2021).<div> <br />Danton menjelaskan, DKJ NET adalah salah satu inisiatif kolaboratif lintas komite yang berfungsi sebagai pengembangan lebih lanjut dari kanal-kanal luaran DKJ yang telah eksis sebelumnya. Melalui DKJ NET, DKJ berupaya mengembangkan dan meluaskan “Suara Jernih dari Cikini” dalam khazanah ragam pemikiran dan perspektif seni budaya di Indonesia dan dunia.<br /> <br />Dalam DKJ NET, menurut Danton, ragam luaran pengetahuan dalam kemasan feature audio visual, acara bincang, maupun kurasi kearsipan akan tersedia. Itu semua bisa berbentuk video dan podcast dengan perspektif khas DKJ akan tumbuh dan bernaung di DKJ NET.<br /> <br />Sebagai langkah awal, konten yang diproduksi pada DKJ NET akan berpijak dari bahan yang selama ini telah ada di/dari/melalui DKJ. Nantinya, platform dan konten ini akan berkesinambungan serta bersinergi dengan jejaring produksi konten dari komunitas dan simpul-simpul dalam ekosistem seni di Jakarta dan di mana pun.<br /> <br />Sementara itu, situs kritik sastra tengara.id adalah upaya lanjutan DKJ dalam mengisi kelangkaan pertumbuhan kritik sastra dalam kehidupan kesusastraan Indonesia. Situs itu ditujukan untuk menghidupkan tradisi kritik sastra, terlebih-lebih yang bermutu, baik melalui undangan menulis, sayembara, maupun atas upaya mandiri seorang kritikus.<br /> <br />“Kritik sastra bukan hanya menjadi jembatan yang menghubungkan karya sastra dan pengarangnya dengan pembaca, tetapi juga menjadi menjadi pembuktian keterampilan seni menulis, keterbukaan wawasan dan kehidupan intelektual yang sehat dan meriah,” kata Danton.<br /> <br />Dengan situs kritik sastra tengara.id, DKJ mengundang sekaligus menantang kemunculan kritik sastra. DKJ berharap ada pembicaraan karya sastra yang tekun dan bernas, di samping pembicaraan yang hangat di antara sastrawan tentang kesusastraan dan soal-soal lain di sekitarnya.<br /> <br />***<br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;"><a href="http://sastra-indonesia.com/2021/08/dkj-net-dan-situs-kritik-sastra-tengara-id-resmi-diluncurkan/">http://sastra-indonesia.com/2021/08/dkj-net-dan-situs-kritik-sastra-tengara-id-resmi-diluncurkan/</a></span></div></div>SSChttp://www.blogger.com/profile/14975231010548337312noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8754559191266064419.post-69084716421357502052021-08-20T14:56:00.005-07:002021-08-20T14:56:47.724-07:00KLARIFIKASI PRIBADI PERIHAL KONFLIK SATUPENAKanti W. Janis, SH, LL.M *<br /> <br />Sebagai salah satu Sekretaris Jenderal Persatuan Penulis Indonesia
disingkat SATUPENA bersama Dr. Mikke Susanto periode 2017-2021, saya menyatakan
sebenar-benarnya bahwa tidak pernah ada usaha kudeta atau perebutan kekuasaan
atas kepemimpinan Dr. Nasir Tamara.<span><a name='more'></a></span><br /> <br />Sebaliknya, saya justru melihat ada pihak-pihak luar yang berusaha memecah
persatuan para penulis di Satupena. Pihak (atau pihak-pihak) ini menggandeng
banyak nama besar, lalu mengecilkan keberadaan para pengurus dan anggota yang
telah di dalam Satupena sejak kongres Solo 2017. Kemudian pihak ini menyebarkan
isu bahwa Mikke Susanto mau kudeta Nasir Tamara.<br /> <br />Fitnah ini ditiupkan ketika para pengurus, termasuk saya, mengingatkan Nasir Tamara sebagai ketua umum
agar segera mengadakan kongres, karena kepengurusan sudah berakhir di bulan
April 2021. Pembicaraan ini sebenarnya telah saya sampaikan sejak akhir 2020.<br /> <br />Saya masuk Satupena ketika organisasi penulis ini sudah terbentuk,
dilahirkan melalui sebuah kongres. Elsinta Marsden adalah orang pertama yang
mengajak saya, kemudian mempertemukan kepada Nasir Tamara. Semua serba
kebetulan. Saya mau bergabung karena katanya Satupena adalah serikat para
penulis, dengan agenda jelas, yaitu memperjuangkan hak-hak penulis. Seperti
perlakuan pajak yang adil, perlindungan dari pembajakan, perlindungan kebebasan
berekspresi dan sebagainya. Sebagai catatan, sebelum menjadi advokat, saya
sudah lebih dulu menjadi novelis. Novel pertama saya terbit saat masih kuliah
SH pada tahun 2006.<br /> <br />Namun, semakin mendalami dunia kepenulisan, saya melihat banyak lubang
dalam ekosistem kepenulisan yang berdampak pada rendahnya kesejahteraan
penulis.<br /> <br />Karena itu saya bertekad untuk memperbaiki dulu ekosistem kepenulisan, baru
kembali tenang berkarya. Jika tidak begitu apresiasi terhadap penulis akan
terus rendah. Tentu ajakan berserikat dengan para penulis lain bagaikan gayung
bersambut. Di dalam kenaifan saya, inilah saatnya membela nasib penulis
bersama-sama.<br /> <br />Kemudian atas permintaan Mikke Susanto disetujui Nasir Tamara, saya diminta
membantu menjadi salah satu sekretaris karena Mikke berdomisili di Yogyakarta,
saya di Jakarta, dan saat itu ia sedang menyelesaikan program doktoralnya di
UGM. Pada hari itu di tengah perhelatan Indonesia International Book Fair 2017,
saya beserta pengurus lain, diantaranya Kristin Samah, Mikke Susanto, Candra
Darusman dilantik oleh Kepala Bekraf Triawan Munaf. Semua proses begitu cepat.
Sehingga tanpa pernah melihat dokumen hukum seperti Berita Acara kongres maupun
Anggaran Dasar Satupena, saya menjadi Sekjen.Tidak ada SK pengangkatan, baik
untuk saya maupun pengurus lain, sampai hari ini. Daftar pengurus itu begitu
panjang, bertaburan nama terkenal, mesti praktiknya hanya 3-4 nama yang aktif.<br /> <br />Nama-nama para pengurus dan jabatannya hanya disirkulasi melalui grup
WhatsApp oleh Nasir Tamara dan belakangan di website satupena.id. Pada sirkulasi itu jelas disebut tahun
kepengurusan adalah 2017-2021.<br /> <br />Berikutnya, secara lisan Nasir Tamara menyampaikan bahwa kepengurusan ini
adalah 4 tahun, sejak April 2017-April 2021, ini pun tidak pernah disanggah
anggota maupun pengurus lain. Sehingga telah menjadi pemahaman kolektif di
antara kami. <br /> <br />Logika ini terbangun karena kongres Satupena Solo diadakan pada tanggal
26-28 April 2017. Jika kepengurusan dinyatakan untuk 4 tahun, silakan berhitung
sendiri kapan seharusnya pergantian kepengurusan dilakukan?<br /> <br />Sehingga tuduhan mau mengkudeta, merebut kekuasaan sangat berlebihan. Saya
tekankan, periode kepengurusan ini sudah jatuh tempo. Apalagi setelah
mempelajari Berita Acara dan Anggaran Dasar semakin jelas, bahwa perkumpulan
memiliki kewajiban mengadakan rapat anggota setiap tahun paling lambat pada
bulan Maret.<br /> <br />Jika membedah AD versi notaris lebih dalam, akan terlihat banyak bolong,
sangat problematik dan berbeda jauh dengan hasil kongres Solo 2017.<br /> <br />Terlepas dari perbedaan AD Solo dengan AD notaris, jelas bahwa kekuasaan
tertinggi ada pada Rapat Anggota, bukan pada ketua umum. Serta jelas selama ini
pengurus telah mengabaikan kewajiban mengadakan Rapat Anggota tahunan, selama 4
tahun tidak pernah diadakan Rapat Anggota.<br /> <br />Apalagi memenuhi kewajiban yang lain, yaitu membuat Laporan
Pertanggungjawaban Kegiatan dan Keuangan.<br /> <br />Baik pengurus maupun anggota tidak ada yang kritis mengenai ini. Jangankan
rapat anggota, rapat pengurus atau komunikasi antar pengurus saja jarang
dilakukan.<br /> <br />Sebagai informasi, memperoleh AD notaris yang lengkap bukan hal mudah,
bahkan Imelda Akmal salah satu pendiri dan juga pihak yang ikut menandatangani
pendirian akta kesulitan memperoleh salinan.<br /> <br />Beberapa kali ia meminta kepada saya, dan saya tidak memegang dokumen itu.
Saya hanya bisa menyarankan agar ia meminta langsung kepada ketua. Bahkan
hingga detik ini saya belum pernah melihat SK pengesahan yang utuh.<br /> <br />Permulaan, rapat pengurus masih dilakukan, tapi hasil-hasil rapat tidak
dieksekusi, atau bisa berubah sewaktu-waktu sesuai kehendak ketua. Saya sebagai
Sekjen sudah tidak bisa mengikuti lagi apa saja kegiatan dan pengeluaran yang
dilakukan ketua atas nama organisasi.<br /> <br />Termasuk mekanisme rekrutmen anggota yang sebenarnya sudah ada aturan dan
sistem baku, namun akhirnya hanya atas preferensi ketua. Nama kontroversial
seperti Denny JA, yang telah membuat gaduh dunia sastra pada 2014 tiba-tiba
dimasukkan.<br /> <br />Soal keputusan strategis tidak pernah dibicarakan. Nyaris saja organisasi
mengadakan sertifikasi untuk penulis ala BNSP. Rencana yang saya tolak keras,
karena prematur, belum dibahas tuntas. Akibat penolakan ini saya dinonaktifkan
sebagai admin WhatsApp Satupena baik di grup komunitas maupun pengurus. Dua
pengurus lain malah dikeluarkan dari grup.<br /> <br />Praktiknya kegiatan yang ada jauh dari serikat, 80% kegiatan adalah
audiensi ke pejabat dan acara bincang-bincang.<br /> <br />Lalu soal keuangan, mengapa penting untuk dilaporkan. Satupena adalah
perkumpulan yang memungut iuran anggota tahunan, juga menerima donasi anggota.
Satupena juga beberapa kali menerima dana dari Bekraf. Sehingga sudah menjadi
kewajiban untuk memberikan laporan keuangan yang akuntabel. Kewajiban ini yang
ingin saya dan teman-teman tuntaskan di akhir masa kepengurusan. Bukan soal
besar atau kecil jumlahnya, uang Satupena adalah amanah anggota. Kita tidak
pantas protes kelakuan korup para pejabat sementara kita sendiri masih
sembarangan mengelola uang organisasi.<br /> <br />Lalu demi menuju pergantian kepengurusan yang mulus dan gembira,
diadakanlah rapat Badan Pengurus untuk membentuk panitia Kongres II Satupena.<br /> <br />Seyogyanya Kongres akan diadakan pada tanggal 15-17 Agustus 2021. Tetapi,
ada pihak yang berteriak-teriak kongres tidak sah, ia berargumen di AD notaris
tidak ada istilah kongres. Pihak ini juga teriak-teriak bahwa Satupena adalah
paguyuban, tidak perlu ada pergantian kepengurusan apalagi LPJ. Ia mengarahkan
agar organisasi jadi tempat kumpul informal. Tentu saja ini sudah jauh dari
serikat. Dan jika itu tujuan awalnya untuk apa membuat Perkumpulan Berbadan
Hukum? Untuk apa kongres? Untuk apa bicara tentang kebijakan? Buat saja grup
arisan penulis antar RT.<br /> <br />Lalu panitia akhirnya menyepakati kata kongres ini hanya masalah istilah,
sebenarnya memiliki fungsi sama dengan Rapat Umum Anggota. Namun, tiba-tiba
panitia yang sudah dibentuk SC dan OC, nama-namanya diubah oleh Nasir Tamara,
tentu tanpa rapat Badan Pengurus atau pemberitahuan. SC versi Nasir
mengeluarkan rekomendasi bahwa kongres ditunda menjadi 2022. Ini sangat
mengejutkan.<br /> <br />Nasir Tamara juga menolak mengeluarkan dana untuk kongres dari kas
organisasi. Permintaan kecil untuk berlangganan aplikasi rapat virtual
organisasi saja ditolak. Padahal sebelumnya ia telah mengedarkan permintaan
patungan dana untuk organisasi yang antara lain untuk biayai kongres. <br /> <br />Nama-nama besar terus diseret dalam pusaran ini. Mereka hanya tahu 1/4
cerita. Sebut saja nama Jaya Suprana, Chappy Hakim, Azyumardi Azra, Komarudin
Hidayat, Ilham Bintang, dll. Seolah keberadaan para nama super itu menjadi
legitimasi bagi mantan ketua umum Satupena melakukan apa saja, karena orang
super sudah pasti super benar. Saya sendiri cukup kecewa ketika beberapa sosok
super itu tidak berusaha mencari kebenaran dari dua sisi. Bukankah di dalam setiap
konflik selalu ada dua cerita? Padahal saya berharap banyak bahwa mereka bisa
berlaku bijaksana. Setidaknya tidak ikut gelanggang, toh, mereka juga baru
masuk grup WhatsApp Satupena belakangan.<br /> <br />Saya perlu tambahkan juga, kami para anggota badan pengurus sudah berusaha
mengadakan rapat internal terkait penyusunan laporan keuangan. Tapi secara
mendadak, Nasir Tamara malah menghadirkan nama-nama super. Sekali lagi
Azyumardi Azra, Chappy Hakim, Komarudin Hidayat, Ilham Bintang, Wina Armada
diboyong. Format acara nyaris diubah menjadi FGD, Lukas Luwarso yang awalnya
dihadirkan sebagai mediator seketika itu dinyatakan sebagai narasumber oleh
Nasir Tamara. Ia malah dipaksa bercerita tentang konflik AJI, sebagai mantan
ketua. Heran kami dibuatnya. Akhirnya rapat itu tidak berjalan mulus, hingga
hari ini tidak jelas soal pemasukan dan pengeluaran organisasi. Malah pada
rapat itu Mikke Susanto kembali dituduh mau mengkudeta.<br /> <br />Mikke yang selama ini bersabar tidak pernah bicara ke publik pada hari itu,
16 Juni 2021, buka suara dan menjelaskan semuanya. Tapi ia malah dipecat secara
sepihak oleh Nasir Tamara. Padahal mekanisme pemecatan juga belum pernah
diatur.<br /> <br />Akhirnya karena niat dan usaha melaksanakan penyegaran organisasi secara
mulus terus menerus dijegal, para anggota Satupena mengirim permintaan Rapat
Luar Biasa Anggota (RLBA).<br /> <br />Permintaan dikirimkan sesuai kuota minimal yang diatur dalam AD. Rapat Luar
Biasa Anggota ini diminta dan dihadiri para penulis ternama seperti Dewi Dee
Lestari, Trinity, A. Fuadi, Alberthiene Endah, Bambang Harymurti, Dhia Prekasa
Yoeda, Farid Gaban, Sekar Ayu Asmara, Sihar Ramses Simatupang, Benny Arnas,
Debra Yatim, Prof Djoko Saryono, Ayu Utami, Candra Malik, Djoko Lelono, Feby
Indirani, FX Mudji Sutrisno, Kurnia Effendi, Maman Suherman, Okki Madasari,
Pinto Anugrah, Muhidin M. Dahlan dan ratusan lain.<br />Tapi permintaan ini ditolak oleh Nasir Tamara. Menanggapi penolakan
permintaan Rapat Luar Biasa Anggota, maka masih sesuai AD, para pemohon dapat
menyelenggarakan rapat sendiri.<br /> <br />Rapat itu pun diadakan pada tanggal 1 dan 8 Agustus 2021. Dan terbentuklah
Presidium Satupena 2021-2026 dengan para ketuanya yaitu, S. Margana, Mardiyah
Chamim, Imelda Akmal, Geger Riyanto, dan Putu Fajar Arcana.<br /> <br />Penyelenggaraan rapat luar biasa bukan tanpa gangguan. Nasir Tamara
mensomasi para penyelenggara rapat dengan menunjuk sebuah kantor pengacara.
Tapi somasi tersebut dilayangkan kepada para penyelenggara bukan atas nama
pribadi, melainkan atas nama Satupena. Bagaimana mungkin mengatasnamakan
Satupena tanpa ada satu pun pengurus yang diajak rapat, atau memberi kuasa
kepadanya?<br /> <br />Selain itu bermunculan di media online judul-judul berita berbunyi Rapat
Luar Biasa Anggota Ilegal, Usaha Mengkudeta Nasir Tamara, dan penggiringan
opini lain seolah kami ini yang meminta RLBA, yang meminta LPJ, meminta
kepastian organisasi adalah anggota anonim haus kekuasaan.<br /> <br />Lebih mengenaskan sederet nama besar seperti gubernur Lemhanas Agus
Widjojo, Asvi Warman Adam, Gemala Hatta, Fachry Ali, Komarudin Hidayat, dll,
namanya disertakan di dalam rilis-rilis itu sebagai pendukung Nasir Tamara.
Ketika saya mintakan klarifikasi mereka menyatakan tidak tahu menahu serta
tidak mau terlibat.<br /> <br />Sungguh mengejutkan mereka yang selama ini tidak pernah aktif di
organisasi, tiba-tiba muncul berteriak-teriak seolah paling berjasa, paling
sibuk, paling tahu.<br /> <br />Maaf ya, selama empat tahun ini kalian ke mana saja? Selama menyiapkan
berbagai acara saya tidak pernah melihat peran kalian. Saya yang rapat di
hadapan Parekraf dan Badan Pusat Statistik Indonesia meminta agar KBLI penulis
dibuat sendiri, terpisah dari penerbit. Saya yang menulis deskripsi untuk KBLI
90024. Mungkin kalian juga tidak tahu fungsi KBLI dan implementasinya. Tidak
usah diaku-aku itu kerja kalian. Seolah berkat jerih payah kalian sekarang
profesi penulis diakui secara independen.<br /> <br />Sekali lagi tuduhan kudeta dan perebutan kekuasaan di Persatuan Penulis
Indonesia (Satupena) oleh Mikke Susanto dkk, adalah lelucon paling konyol tahun
ini. Jika setiap aspirasi anggota meminta Rapat Anggota dituduh sebagai kudeta
hilang sudah demokrasi di tiap organisasi masyarakat.<br /> <br />Klaim-klaim pembenaran atas tuduhan ada usaha perebutan kekuasaan dari
Nasir Tamara dibesar-besarkan melalui media. Di era digital ini kita sama-sama
bisa mengukur akurasi isi sebuah berita dan etika para pembuatnya. Berita
dibuat berdasarkan klaim, bukan berdasarkan objektivitas.<br /> <br />Ingat, judul berita bukan fakta, opini bukan fakta. Tidak bisa dijadikan
pembenaran. Hentikan pembodohan publik, hentikan memecah-belah dunia kepenulisan
yang masih terpuruk ini.<br /> <br />17 Agustus 2021<br /><p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span style="mso-ansi-language: IN;">*) Penulis dan Advokat, Sekjen Satupena 2017-2021 </span><span lang="EN-US"><a href="http://sastra-indonesia.com/2021/08/klarifikasi-pribadi-perihal-konflik-satupena/"><span lang="IN" style="mso-ansi-language: IN;">http://sastra-indonesia.com/2021/08/klarifikasi-pribadi-perihal-konflik-satupena/</span></a></span></p>
<p class="MsoNormal" style="tab-stops: 99.25pt 288.45pt;"><span style="mso-ansi-language: IN;"><o:p></o:p></span></p>
SSChttp://www.blogger.com/profile/14975231010548337312noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8754559191266064419.post-35433364961102799732021-08-20T04:01:00.003-07:002021-08-20T14:57:18.690-07:00Denny JA adalah Muncikari yang Harus Dibunuh!<p><b>Denny JA, Kejahatan Intelektual, Pembodohan Sejarah Sastra Indonesia, Perusak Peradaban!</b></p><br /><div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgR2lXBk_I0NFv3v9ToxYUHlpSnAh7JgK867akLzs3qwDi5wA7dTU7OAHrOPrrYf4JhpOpGBvOYA4JBYEWvAh5YBu6aPLaZFLcDWVj2IoER1KeQ2M11PCegBDzfQivC8Aw-RtEqFgdn4vc/s448/Denny+JA%252C+Kejahatan+Intelektual%252C+Pembodohan+Sejarah+Sastra+Indonesia%252C+Perusak+Peradaban%2521%252C+foto+satuhatisumutdotcom.jpeg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="252" data-original-width="448" height="180" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgR2lXBk_I0NFv3v9ToxYUHlpSnAh7JgK867akLzs3qwDi5wA7dTU7OAHrOPrrYf4JhpOpGBvOYA4JBYEWvAh5YBu6aPLaZFLcDWVj2IoER1KeQ2M11PCegBDzfQivC8Aw-RtEqFgdn4vc/s320/Denny+JA%252C+Kejahatan+Intelektual%252C+Pembodohan+Sejarah+Sastra+Indonesia%252C+Perusak+Peradaban%2521%252C+foto+satuhatisumutdotcom.jpeg" width="320" /></a></div><div>Muhammad Yasir<span><a name='more'></a></span><br /> <br />Denny JA adalah Jim Colosimo atau “Big Jim” versi Indonesia. Jika Big Jim terkenal dengan bisnis prostitusi, gelamoritas, butiran batu mulia, revolver berhias berlian, dan pembunuhan, Denny JA lebih suka bisnis prostitusi dan membantu para politisi berkuasa di Indonesia. Dia mendirikan Lembaga Survei Indonesia (LSI) Denny JA untuk membantu pemenangan Susilo Bambang Yudhoyono dalam perebutan kursi presiden pada Pemilu 2004 dan berhasil mendepak Megawati Soekarnoputri.<br /> <br />Bahkan, TIME Magazine tidak segan-segan memberikan penghargaan terhadap 17 tahun kiprah LSI Denny JA dan dianggap memecahkan rekor dunia World Guiness Book of Record dan mendapat penghargaan dari Twitter Inc, karena kemampuannya memenangkan presiden langsung empat kali berturut-turut, 33 gubernur, dan 95 bupati/walikota. Serentetan penghargaan yang diberikan oleh pelbagai sisi ini menunjukan Denny JA tidak bisa dianggap sebagai seseorang yang remeh-temeh, baik sebagai bandit maupun muncikari.<br /> <br />ANTARA News, sebuah media massa nasional, pada bulan Januari 2018 menerbitkan sebuah berita yang bertajuk “Sastrawan: 2018 jadi kelahiran angkatan puisi esai” yang mengulas secara singkat tentang apa, siapa, kapan, mengapa, dan bagaimana Denny JA menjadi sosok “sastrawan” yang membuat dobrakan terbaru dalam dunia Sastra Indonesia dengan melahirkan satu genre baru karya sastra, yaitu puisi esai.<br /> <br />Dalam wawancaranya dia mengatakan, 2018 menjadi tonggak kelahiran angkatan puisi esai. Angkatan puisi esai berisi 170 orang - termasuk Sujiwo Tedjo: Presiden Djancukers sampah! - dari kalangan penyair, penulis, aktivis, peneliti, dan jurnalis dari Aceh hingga Papua.<br /> <br />Tentu saja, angkatan puisi esai telah melahirkan standar-standar puisi esai, seperti bahwa puisi esai memiliki ciri menampilkan fakta dan fiksi tentang kehidupan sosial, bahwa puisi esai harus mengandung 2000 kata, bahwa setiap puisi esai memiliki 10 catatan kaki tentang fakta kehidupan sosial berupa hasil riset sebagai sumber informasi, bahwa puisi esai memiliki nilai dramatik dan hubungan pribadi seperti cerita pendek yang “dipuisikan”, dan bahwa puisi esai (hanya) lahir saat momen yang sama sebagai penanda sebuah masa karya generasi sastra (?).<br /> <br />Kelahiran angkatan puisi esai ini bukan tanpa korban. Pada tahun 2015, Sastrawan Saut Situmorang ditangkap di rumahnya, di Yogyakarta, karena dituduh melakukan tindak “pencemaran nama baik” salah seorang “penyair perempuan” yang juga hidup dalam prostitusi milik Denny JA, di Facebook.<br /> <br />Kejahatan intelektual ini bermula dari kelahiran buku pembodohan sejarah Sastra Indonesia, yaitu “33 Tokoh Sastra Paling Berpengaruh” yang disusun secara khusus oleh Tim 8 alias pelacur khusus dan kesayangannya: Jamal D. Rahman, Acep Zamzam Noor, Agus R. Sarjono, Ahmad Gaus, Berthold Damshauser, Joni Ariadinata, Maman S. Mahayana, dan Nenden Lilis Aisyah nama-nama yang harus dicatat dalam daftar perburuan!<br /> <br />Denny JA dan pelacur-pelacur yang dia pelihara dalam prostitusinya memenangkan pertarungan itu dengan menyogok hukum untuk melegitimasi dirinya sebagai “tokoh sastra paling berpengaruh”.<br /> <br />Namun apakah Saut Situmorang dan orang-orang yang memburu Denny JA benar-benar kalah? Tidak. Komitmen memerangi para medioker dan parasite dalam Sastra Indonesia itu tetap tumbuh dan mengakar. Apakah Denny JA dan pelacur-pelacurnya diterima dalam dunia Sastra Indonesia?<br /> <br />Ya! Karena banyak sekali orang yang mendaku diri mereka sebagai pegiat sastra, penulis sastra, aktivis sastra, dan akademisi sastra memilih diam dan diam-diam menjadi pelacur pula dalam dunia Sastra Indonesia dan karena tidak banyak orang yang benar-benar mencintai Sastra Indonesia! Bukankah demikian? Bukankah engkau lebih menyukai memprioritaskan eksistensi dirimu belaka ketimbang berjuang untuk Sastra Indonesia?!<br /> <br />Baru-baru ini, Big Jim versi Indonesia ini kembali berulah. Dengan kekayaannya sebagai muncikari, dia membeli penghargaan Lifetime Achievement Award dari Persatuan Penulis alias Satupena. Kemudian, selanjutnya dia terpilih sebagai Ketua Satupena. Semua terjadi begitu saja. Akan tetapi, jika menelisik Lifetime Achievement Award kita akan menemukan kejanggalan ini: bahwa penghargaan untuk seseorang yang yang berkarya di bidangnya minimal 40 tahun, sementara bisnis prostitusinya bahkan belum berumur satu dekade!<br /> <br />Dan, meskipun sebagian anggota Satupena menulis pernyataan tentang kejadian memalukan itu, mereka pun tidak memiliki kemampuan membantah atau menghalang-halangi kemampuan Big Jim! Dan, lihatlah! Bagaimana dia dan pelacur-pelacurnya merayakan kemenangan mereka! Sementara, Dewan Kesenian dan Balai Bahasa dan Sastra hanyalah kumpulan kambing yang mengembek; harap-harap di tahun yang mengerikan ini mendapat proyek-proyek menguntungkan tentang Kesenian dan Sastra Indonesia!<br /> <br />Engkau, Denny JA alias Jim Colosimo alias Big Jim versi Indonesia, silakan dengan kekayaanmu membeli jiwa-jiwa pelacur untuk memenuhi setiap sudut bisnis prostitusimu! Silakan engkau klaim dirimu sebagai manusia yang menulis dan menerima seribu penghargaan!<br /> <br />Tetapi, engkau tidak akan bisa lari dari kebenaran, bahwa yang engkau lakukan adalah kejahatan intelektual, pembodohan sejarah Sastra Indonesia, dan merusak peradaban! Engkau tidak akan bisa lari dari tajamnya hari pembalasan yang akan membunuh dan memenggal kepalamu! Sogoklah hukum untuk melindungimu dan menangkap penulis-penulis yang berkomitmen untuk mempertahankan nilai-nilai Sastra Indonesia! Suatu saat, akan tiba kepadamu penulis-penulis itu dan mencincang mayatmu!<br /> <br />Gresik, 2021.<br /><p class="MsoNormal"><a href="http://sastra-indonesia.com/2021/08/denny-ja-kejahatan-intelektual-pembodohan-sejarah-sastra-indonesia-perusak-peradaban/">http://sastra-indonesia.com/2021/08/denny-ja-kejahatan-intelektual-pembodohan-sejarah-sastra-indonesia-perusak-peradaban/</a></p></div></div>SSChttp://www.blogger.com/profile/14975231010548337312noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8754559191266064419.post-2897623907289065082021-08-19T19:12:00.001-07:002021-08-19T19:12:04.192-07:00‘Tanda dan Melampaui Tanda’<b>Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna (2003)</b><br /> <br />Audifax *<br />rumahbukuku.wordpress.com<br /> <br />‘Tanda dan Pelampauan Tanda’, itulah yang saya tangkap dari buku
‘Hipersemiotika – Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna’ yang terbit pada
tahun (2003). buku karya Yasraf Amir Piliang ini pernah terbit sebelumnya
dengan judul ‘Hiper-realitas Kebudayaan’ yang kemudian ‘diterbitkan kembali’
dengan beberapa penambahan. buku ini, bisa dikategorikan sebuah pengantar untuk
memelajari semiotika posmodern, atau postrukturalisme <span><a name='more'></a></span><div><br /></div><div>gagasan Jean Baudrillard, tampak cukup pekat terasa dalam nuansa buku ini,
meski YAP juga membahas pemikir-pemikir lain seperti: Jacques Lacan, Umberto
Eco, Gilles Deleuze, Felix Guattari, Julia Kristeva dan banyak lain. kekhasan
ini yang barangkali membuat pemikiran YAP mudah dikenali, tidak hanya lewat
buku ini, namun lewat buku-buku lainnya, terutama yang terbit di seputar 1998-2004<br /> <br />hal lain yang menarik dari buku ini adalah ketika penulis menggunakan
gerbang seni, terutama seni visual sebagai pintu masuk. namun, pembahasan yang
dilakukan sepanjang buku ini, tak hanya membawa pembaca keluar lewat pintu yang
sama, namun bisa ditarik ke berbagai arah yang berkaitan dengan budaya <div><br /></div><div>setelah bab prolog, pembaca akan memasuki tinjauan filosofis modernisme dan
posmodernisme. meski di judul bab terkesan adanya keseimbangan antara tinjauan
modernisme dan posmodernisme, namun YAP tidak terlalu banyak membahas
modernisme. YAP justru memulai pembahasan melalui Hegel, yang jika dicermati
merupakan pemikir modernisme penting bagi pemikiran Baudrillard. Setelah Hegel,
YAP membawa pada mazhab Franfurt dan kemudian Nietzche, Heidegger, sebagai mediasi
sebelum membahas pemikir-pemikir postrukturalis semacam Lacan, Deleuze,
Guattari, (Giani) Vattimo, dll. di akhir bab, YAP memungkasi dengan kelincahan
kombinasi pembahasan antara pemikiran Marx dan Baudrillard<br /> <br />bab selanjutnya adalah soal diskursus dalam posmodernisme. seperti bisa
dilihat dari judul babnya, mungkin pembaca bisa menebak bahwa porsi Michel
Foucault cukup banyak di bab ini. tebakan itu tidaklah salah. Foucault memang
cukup mendominasi bahasan di bab ini. YAP masuk melalui Lyotard, lalu membawa
pembaca melewati pembahasan diskursus foucaldian, untuk kemudian berbelok pada
persimpangan the death of the author, sebuah pemikiran yang mempertemukan
antara pemikiran Foucault dan Barthes. lewat persimpangan ini, YAP bisa masuk
pada pemikiran Kristeva tentang intertekstualitas, melanjutkan pada
dekonstruksi Derrida, dan kembali memungkasi bab dengan pemikiran Baudrillard
yang dikombinasikan dengan Eco<br /> <br />tampaknya bab mengenai diskursus merupakan jembatan juga untuk masuk ke bab
berikutnya yang membahas konsumerisme dan skizofrenia. bab ini tak terlalu
panjang, dan seperti judulnya, pembaca bisa menebak bahwa ada pemikiran Deleuze
dan Guattari di sana. YAP mengombinasikan pemikiran Deleuze dan Guattari,
dengan Hegel, Marx, dan melalui dua pemikir terakhir, membawa pada pemikiran
Baudrillard<br /> <br />bab selanjutnya adalah wawasan semiotika dan posmodernisme. YAP membuka
dengan pemikiran semiotika klasik Saussure, lalu membawa pembahasan melalui
Baudrillard, Eco, Barthes dan Williamson. bab ini membahas tentang tanda, kode
dan bagaimana semua itu membuat realitas yang ilusif atau simulatif. seni dan
ideologi yang sedikit dibahas di sini, menjadi batu loncatan untuk masuk ke bab
berikutnya: Gaya, Estetika dan Posmodernisme. kajian budaya nampak kental di
bab ini<br /> <br />pembahasan mengenai budaya masih berlanjut di bab berikutnya: dari
konsep-konsep posmodernisme menuju estetika posmodernisme. di sini, para
peminat cultural studies, diperkenalkan pada sejumlah konsep seperti: pastiche,
parodi, kitsch, camp dan skizofrenia. di bab inilah barangkali, yang membuat
buku Hipersemiotika ini memiliki kelebihan untuk dijadikan buku pegangan dalam
perkuliahan. meski masih diperlukan membaca literatur lain jika ingin
mendalami, namun pengenalan istilah-istilah tersebut membantu mahasiswa untuk
masuk ke dalam posmodernisme<br /> <br />dua bab terakhir banyak diisi pembahasan mengenai seni. sejumlah contoh
karya seni, tabel dan bagan, membuat dua bab terakhir ini terkesan cukup
praktis dan mudah dipahami. pada bab penutup, YAP menunjukkan oposisi biner
dalam semiotika (strukturalisme) dan apa yang melampaui oposisi biner tersebut.
secara umum, komposisi materi pembahasan dalam Hipersemiotika, cukup untuk
mengukuhkan buku ini sebagai sebuah buku penting karya penulis Indonesia, yang
membahas posmodernisme secara komprehensif<br /><p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span style="mso-ansi-language: IN;">*) Direktur Operasional Rumah Buku – YAP Institute. <a href="http://sastra-indonesia.com/2017/11/tanda-dan-melampaui-tanda/">http://sastra-indonesia.com/2017/11/tanda-dan-melampaui-tanda/</a></span></p>
</div></div>SSChttp://www.blogger.com/profile/14975231010548337312noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8754559191266064419.post-61521820398753247792021-08-19T11:42:00.000-07:002021-08-19T11:42:05.609-07:00Novelis Felix K Nesi: Malang Seperti Rumah Saya Sendiri<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiuesNBZ-mEEcIbtvDV84duOXPIe_EcEY5TsteSwROQOT7BrxYhqUNBMjDnd1Sy6hJd15pE3CaPL-aGkn6bxnaPSkhKh6xF8SDyDjcrVNhw-vqDYjmjvtrkjchlZQ_dt21FgW1Z81ZsSNSs/s448/Felix+K+Nesi+di+Fakultas+Psikologi+Universitas+Merdeka+Malang.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em; text-align: center;"><img border="0" data-original-height="222" data-original-width="448" height="159" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiuesNBZ-mEEcIbtvDV84duOXPIe_EcEY5TsteSwROQOT7BrxYhqUNBMjDnd1Sy6hJd15pE3CaPL-aGkn6bxnaPSkhKh6xF8SDyDjcrVNhw-vqDYjmjvtrkjchlZQ_dt21FgW1Z81ZsSNSs/s320/Felix+K+Nesi+di+Fakultas+Psikologi+Universitas+Merdeka+Malang.jpg" width="320" /></a><div>Sylvianita Widyawati<span><a name='more'></a></span><br />suryamalang, 9 Des 2018<br /> <br />Penulis Felix K Nesi (30) meraih kemenangan pada sayembara menulis novel
2018 yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta.<br /> <br />Sebelum kembali ke Nusa Tenggara Timur, dia mampir kampusnya, Fakultas
Psikologi Universitas Merdeka Malang di Jl Terusan Dieng, Kota Malang, Jumat
(7/12/2018).<br /> <br />"Saya diminta mampir ke Malang sama teman-teman. Malang ini seperti
rumah saya sendiri selain NTT," ujar Felix ketika berbincang dengan
SuryaMalang.com di tangga gedung Balai Merdeka usai acara "Kak Felix Nesi
Kami Paksa Ngobrol" di Teras Fakultas Psikologi Unmer. Ia merasa senang
saja bisa kembali ke Malang.<br /> <br />"Di Malang ini enak. Kotanya sempit. Bisa dengan mudah bertemu dengan
teman-teman komunitas seni," jawabnya. Ia juga bisa bertemu Prof Dr Joko
Suryono, Tengsoe, teman-teman di Kalimetro, Komunitas Pelangi Sastra atau di
Art Galery di Jl Semeru. Koneksi-koneksi yang didapat di Malang sangat
membantunya ketika ia membutuhkan saat di NTT.<br /> <br />"Teman-teman saya di Jawa membantu sekali. Misalkan saya butuh sesuatu
seperti membelikan buku, saya bisa menelpon mereka. Dan mereka mau membantu
saya," kata Felix yang lulus dari Unmer pada 2017 lalu. Karena itu, ia
merasa tak menyesali kuliahnya lama, tujuh tahun, namun banyak hal yang
didapatkan di luar kampus.<br /> <br />Diakui saat jadi mahasiswa memang kurang begitu memperhatikan
pendidikannya. Hal ini karena ia banyak "main" ke
komunitas-komunitas. Sehingga kuliah S1 Psikologi diselesaikan tujuh tahun.
"Sebab saya harus banyak memperbaiki nilai-nilai kuliah saya yang
kurang," akunya. Tapi IPK nya cukup bagus. Bisa di atas 3.<br /> <br />"Kalau kuliah 10 tahun, nilai IPK saya bisa 4 mungkin. Saya akan
perbaiki nilai-nilai saya yang dapat B," candanya. Sebelum kuliah di
Malang, Felix sempat menjadi sekolah frater di Salatiga. Tapi kemudian mantap
ditinggalkan dan pergi ke Jogjakarta. Ia ingin kuliah di psikologi.<br /> <br />Namun dirasakan biaya kuliahnya mahal. Dan kemudian ia menemukan informasi
tentang kampusnya dengan harga terjangkau. "Saya tinggal di UKM karena
tidak ada biaya buat bayar kos. Kadang juga ke teman-teman," kata Felix.
Tinggal di Malang membuatnya kerasan. Hawanya sejuk dan bisa kenal banyak orang
dengan cepat karena kotanya kecil.<br /> <br />Usai lulus kuliah, ia ternyata sempat jadi guru bahasa di sebuah SMP di
NTT. Statusnya guru honorer. Tapi hanya bertahan sebulan. Alasannya karena
siswanya ramai saja di kelas saat ia mengajar. Ia tidak kembali mengajar
setelah itu. Bulan ketiga, ia minta maaf pada pihak sekolah karena meninggalkan
tugasnya. Padahal ia sudah tanda tangan kontrak.<br /> <br />Mengembangkan komunitas literasi, menjual buku dari penerbit indie dan
menulis kini ditekuninya. Orangtuanya tak pernah menanyakan mengapa ia menekuni
bidang yang tidak linier dengan pendidikannya.<br /> <br />"Tidak pernah. Orangtua saya mendukung banget. Kadang ibu memang
telpon saya menanyakan apakah masih ada uang buat makan? Saya jawab ada,"
ceritanya. Padahal dari menjual buku saja, marjinnya hanya Rp 150.000 per
bulan. Sedang bayar kosnya Rp 300.000 per bulan.<br /> <br />Oh ya, Felix tinggal di Kupang. Kampung halamannya, tempat ayah ibunya
tinggal jika ditempuh dengan kendaraan bus perlu waktu 8 jam karena medannya.<br /> <br />Terbiasa Menulis Tangan di Folio Bergaris<br /> <br />Ada hal unik dari Felix K Nesi. Pria yang mengaku sudah punya pacar menyatakan
masih terbiasa menulis tangan di folio bergaris. Bukan langsung menuangkan
cerita ke laptopnya. Ini karena saat kuliah ia tidak memiliki laptop.
"Saya kalau langsung nulis di laptop malah bengong aja. Maklum orang
desa," paparnya.<br /> <br />Jadi, rangkaian cerita ia tulis rapi di folio itu. Harapannya jika ia
meminjam laptop temannya tidak lama jika tulisannya sudah siap. Kadang ia juga
ke wartel. Setelah jadi, tulisan dikirim ke media massa dan ia mendapat honor.
Ia menceritakan tentang teman prianya bernama Uci yang memperhatikannya.<br /> <br />Dari awal meminjamkan laptop, ia dibelikan Uci laptop buat mendukung
aktifitas menulisnya pada 2016. Sampai saat ini, kertas-kertas itu masih ada
yang disimpannya. Terutama draft awal atau di bab 1. Dari tulisan tangan saat
dipindah ke laptop kadang ceritanya jadi berkembang dari ide awal.<br /> <br />Setelah jadi, biasanya ia cetak lagi buat diedit. Ada juga kertas-kertas
yang ia kilokan (diloakan) karena ia butuh makan karena tak memiliki uang saat
kuliah. Kebiasaan menulis tangan dulu dilakukan sampai sekarang karena membuat
ia bisa mengalir menulis cerita.<br /> <br />Tentang menulis, ia mengharapkan bisa terus melakukan. Meski kadang yang ia
tulis ada juga yang macet. "Ada banyak folder tulisan gagal. Entah nanti
saya teruskan atau tidak," ungkap Felix. Karena ia tak mewajibkan tulisan
harus semua jadi. Dalam proses menulis juga mengalir saja.<br /> <br />"Karena kadang saya juga tidak tahu tulisan saya ini jadi seperti apa.
Kadang tiba-tiba jadi panjang," paparnya. Saat ini, ia sedang
menyelesaikan proses editing buat novel Orang-Orang Oetimo yang baru menang di
sayembara di Jakarta baru-baru ini. Ia memutuskan akan menerbitkan lewat Marjin
Kiri yang sejak lama diinginkan.<br /> <br />"Mungkin yang saya lihat semangatnya sebagai penerbit indie selain
buku-bukunya bagus meski belum semuanya saya baca," ujar putra ketiga dari
enam bersaudara itu. Ia memandang menulis merupakan kegiatan aktualisasi
dirinya.<br /> <br />Ia juga suka membaca buku-buku yang fungsinya memperkaya wawasan dan
pemperbanyak kosa kata yang membantu dalam proses menulisnya. Karena itu
membaca buku itu seperti orang makan. Apa yang dikeluarkan tergantung pada apa
yang dimakannya.<br /> <br />Sementara itu, dari sayembara menulis novel yang diselenggarakan DKJ sejak
1975 itu akhirnya banyak menelurkan penulis-penulis baru dan penulis sastra
terkenal seperti Ayu Utami, Seno Gumiro Aji Darma, Achmad Tohari dll. Dalam
proses menulis novel, hal yang disebali adalah misalkan ketika tak tahu harus
menyelesaikannya.<br /> <br />Dijelaskan dia, usai menang lomba itu, terasakan gengsinya naik. Ia
menyatakan banyak yang mengirim WA ke dia, banyak penerbit datang. Namun jika
selalu dipuji-puji, ia juga merass terganggu. "Saya khawatir harapannya
terlalu tinggi pada tulisan saya. Bagaimana kalau tidak seperti yang
dibayangkan?" Ungkapnya.<br /> <br />Orang pertama yang dikabari menang adalah ayahnya. "Bapak, saya
menang," cerita Felix. Hasil dari menang lomba, nilainya juga lumayan.
Meski Felix jika bicara slengekan, dalam prosesnya menjadi penulis ia sangat
serius. Bicaranya ceplas ceplos yang diakuinya kadang membuatnya berpikir
jangan-jangan orang lain tersinggung?<br /> <br />Saat kembali ke kampusnya, banyak yang mengenalinya. Lucunya, sambil bicara
di acara itu, jika di sebelah teras ada orang lewat, ia reflek melihatnya. Ini
katanya terbiasa karena ia sering duduk di teras fakultas. Kadang juga
disapanya "Selamat sore, Pak," sapanya ketika ada seseorang lewat
yang dikenalnya.<br />***<br /><p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span style="mso-ansi-language: IN;"><a href="http://sastra-indonesia.com/2021/08/novelis-felix-k-nesi-malang-seperti-rumah-saya-sendiri/">http://sastra-indonesia.com/2021/08/novelis-felix-k-nesi-malang-seperti-rumah-saya-sendiri/</a></span></p>
</div>SSChttp://www.blogger.com/profile/14975231010548337312noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8754559191266064419.post-44625227143877952902021-08-19T11:20:00.002-07:002021-08-19T11:20:30.909-07:00Usaha Membunuh Sepi, Felix K. Nesi<p> <a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhc4tYQqxkCMoG9CAUyku9W0enZ-f8z9KeQMEoYiS65Ere8lqcWcrmopIQMAKYcikyP9eOgmAKiZm8qRAvAEiXjsOi062-Ta_kwWAYNvURENkVC-f94fUaCPNuZXUME4OyKeNJhoqaTcO1X/s448/Usaha+Membunuh+Sepi+%25282016%2529%252C+Felix+K.+Nesi.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em; text-align: center;"><img border="0" data-original-height="448" data-original-width="288" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhc4tYQqxkCMoG9CAUyku9W0enZ-f8z9KeQMEoYiS65Ere8lqcWcrmopIQMAKYcikyP9eOgmAKiZm8qRAvAEiXjsOi062-Ta_kwWAYNvURENkVC-f94fUaCPNuZXUME4OyKeNJhoqaTcO1X/s320/Usaha+Membunuh+Sepi+%25282016%2529%252C+Felix+K.+Nesi.jpg" width="206" /></a></p>Yohanes Sehandi *<a name='more'></a><div>Pos Kupang, 8 Juni 2017<br /> <br />Buku kumpulan cerita pendek (cerpen) yang diulas ini berjudul Usaha Membunuh Sepi (2016), karya sastrawan muda NTT, Felix K. Nesi. Diterbitkan oleh Penerbit Pelangi Sastra, Malang. Buku tipis 67 halaman dengan format kecil 13 x 20 cm ini berisi sembilan buah cerpen dan tiga gambar ilustrasi. Adapun judul masing-masing cerpen adalah: Ponakan, Sang Penulis, Sebelum Minggat, Usaha Membunuh Sepi, Pembual, Kenangan, Belis, Indra, dan Tokoh Utama.<br /> <br />Tentang penulis Felix K. Nesi sendiri tidak banyak diberi keterangan. Hanya tertulis di kover belakang buku, lahir di Nesam, NTT, tamat dari SMA Seminari Lalian, Atambua, tahun 2008. Karyanya pernah dipublikasikan dalam sejumlah surat kabar nasional dan dalam sejumlah buku antologi bersama penulis lain. Terpilih mengikuti Makasar International Writers Festival dan sebagai Emerging Writers. Menyukai puisi dan ketabahan orangtuanya.<br /> <br />Saya menerima buku ini pertengahan tahun 2016 lalu. Waktu menerima saya hanya perhatikan sepintas lalu saja. Di samping bukunya terlalu tipis, juga warna kovernya kurang menantang lensa mata. Akhirnya saya letakkan begitu saja di antara buku-buku lain yang menunggu giliran untuk dibaca. Setelah buku-buku lain habis terbaca, barulah buku ini mendapat giliran untuk dibaca.<br /> <br />Sewaktu membaca cerpen pertama dan kedua saya kaget. Ternyata cerpen yang ada di dalamnya bukanlah cerpen biasa, bukan cerpen murahan. Bobot isi cerpen ternyata tidak berbanding lurus dengan penampilan buku yang tipis dan kurang menarik. Cerpen-cerpen yang ada di dalamnya harus dibaca dengan konsentrasi yang cukup untuk bisa merekonstruksi jalan pikiran dan perilaku para tokoh cerpen. Dengan penuh penasaran, saya membaca tuntas sembilan cerpen dalam buku ini ditemani kopi flores yang sedikit pahit.<br /> <br />Kesan saya sewaktu membaca beberapa cerpen Felix Nesi ini hampir sama pada waktu tahun 1980-an, waktu mahasiswa, saya membaca cerpen-cerpen sastrawan Budi Darma terutama yang terhimpun dalam buku kumpulan cerpen Orang-Orang Bloomington (1980), cerpen-cerpen Iwan Simatupang yang terhimpun dalam buku Tegak Lurus dengan Langit (1983), dan cerpen-cerpen sastrawan Putu Wijaya. Tokoh-tokoh cerpen karya tiga sastrawan besar Indonesia ini memiliki pilihan yang bebas, dalam berpikir dan berperilaku. Cara berpikir dan berperilaku para tokohnya bebas, tidak terikat, kadang misterius, bergerak liar, mengejutkan, bahkan menakutkan untuk mencapai tujuan pribadi tokoh.<br /> <br />Pilihan bebas para tokoh dalam cerpen-cerpen itu dilatarbelakangi pemikiran bahwa pada dasarnya manusia itu adalah bebas, pilihan apapun yang dilakukannya mengandung berbagai risiko dan konsekuensi. Segala risiko dan konsekuensi itu tidak dapat ditimpakan kepada orang lain karena ia telah menjalankan kebebasannya dalam memilih. Cara berpikir dan berperilaku para tokoh pun misterius, bergerak liar, mengejutkan, bahkan menakutkan.<br /> <br />Tokoh-tokoh sebagian cerpen Felix Nesi dalam buku Usaha Membunuh Sepi ini menjalankan kebebasannya dalam memilih yang berakibat pada risiko dan konsekuensi aneh, misterius, mengejutkan, bahkan menakutkan. Cerpen pertama berjudul “Ponakan” dan cerpen kedua “Sang Penulis” memiliki hubungan alur cerita dan karakteristik tokoh utamanya. Begitu kuatnya pilihan bebas sang tokoh utama untuk mencapai tujuan pribadi, mengakibatkan risiko dan konsekuensi tragis bagi tokoh lain tatkala menjadi penghambat pilihan tokoh utama.<br /> <br />Cerpen “Ponakan” bercerita tentang Didi si tokoh utama yang datang khusus dari kota untuk berlibur di Pulau Timor guna merealisasikan cita-cita luhurnya menjadi seorang penulis hebat. Sayangnya, selama berlibur di pulau sabana dia tidak menghasilkan karya tulis apapun karena perilaku sang ponakan yang superaktif dan menjengkelkan, menjadi penghambat konsentrasi. Proses kreatif menulis yang ia ibarat seperti membuat gelembung sabun, tak pernah berhasil karena gangguan ponakan yang menjengkelkan. Suatu pagi Didi mengajak si ponakan ke padang gembalaan sapi untuk bermain sepuas-puasnya. Sewaktu pulang pada sore hari, tanpa pertimbangan yang jelas, leher ponakannya digantungnya dengan tali jerami buatan ponakan itu sendiri pada sebuah pohon. Sepertinya hanya main gantung-gantungan saja, namun akibatnya fatal dan menakutkan.<br /> <br />“Saya gantung ujung tali yang satunya pada dahan pohon lalu saya tarik kuat-kuat. Ponakan saya tersenyum senang, meski ia mulai susah bernapas. Saya tarik sekali lagi. Kakinya mulai terangkat dan tidak menginjak apa-apa. Ia tak tersenyum dan matanya mulai melotot. Saya tarik lebih kuat lagi dan saya ikatkan pada batang pohon. Ia tergantung. Matanya lebih melotot lagi dan lidahnya mulai terjulur keluar. Mulutnya mengeluarkan suara-suara aneh. Sore itu saya pulang sendiri. Takkan ada orang yang akan merusak gelembung sabun saya lagi” (halaman 6).<br /> <br />Cerita tentang calon penulis hebat pada cerpen pertama berlanjut pada cerpen kedua berjudul “Sang Penulis.” Diceritakan tentang seorang penulis hebat, namanya Agus. Ia tidak hanya terkenal di Indonesia tetapi juga di mancanegara. Lewat percakapan sambil jalan-jalan dari sebuah hotel antara sang penulis hebat Agus dan seorang wanita bernama Merry, kita akhirnya bisa menguak perilaku penulis hebat yang ternyata sungguh keji dan biadab. Ia pembunuh sadis berdarah dingin, guna mencapai pilihannya.<br /> <br />Sang penulis hebat ternyata telah membunuh sadis istrinya yang merupakan wanita karier. “Jika saja kepada perempuan ini (kepada Merry, YS), Agus bisa menceritakan dengan gamblang bagaimana ia menghantam gigi istrinya dengan palu lalu memotong jemarinya dengan gergaji. Bagaimana Agus menusukkan linggis ke dalam kemaluan perempuan itu dan mengoyak isi rahimnya, tapi lalu menangis saat menguburkan manusia yang belum sepenuhnya mati di taman belakang rumahnya” (halaman 13).<br /> <br />Tema pembunuhan misterius yang melibatkan sejumlah tokoh misterius pula diangkat dalam cerpen kelima berjudul “Pembual” dan cerpen kesembilan “Tokoh Utama.” Membaca kedua cerpen ini rasanya tidak seperti membaca cerpen horor atau detektif. Karena terjadi tegangan antara realitas faktual dengan realitas fiksi (imajinasi) dalam pikiran para tokoh utama cerpen. Pada akhir cerpen, kita sebagai pembaca tetap bertanya-tanya tentang akhir persoalannya. Kita dibuat penasaran oleh cara berpikir dan perilaku tokoh utama cerpen.<br /> <br />Tentu tidak semua cerpen dalam buku ini memiliki karakter seperti tokoh-tokoh pada cerpen-cerpen Budi Darma, Iwan Simatupang, dan Putu Wijaya yang cara berpikir dan berperilakunya misterius dan mengejutkan. Ada beberapa cerpen yang bergaya konvensional. Kalau boleh saya sarankan agar Felix Nesi tinggalkan gaya konvensional.<br /> <br />Ada satu cerpen, yakni cerpen keenam berjudul “Kenangan,” perlu mendapat perhatian. Cerpen ini mengangkat tema besar, pilihan panggung berkiprah masa kini, antara budaya asli (kampung di Timor) yang diwakili gadis bernama Ira dengan budaya kota/modern (kota Kupang) yang diwakili gadis Ita keturunan Rote. Tokoh utama cerpen Robertus Aldo terperangkap dalam dua pilihan sulit, budaya kampung atau kota, memilih Ira atau Ita. Mirip tema polemik kebudayaan tahun 1930-an. Di akhir cerpen tidak ada jawaban. Apakah cerpen ini sebagai embrio untuk sebuah novel?<br />***<br /> <br /><span style="font-family: "Times New Roman", serif; font-size: 12pt;">*) Pengamat Sastra NTT dari Universitas Flores, Ende. <a href="http://sastra-indonesia.com/2021/08/usaha-membunuh-sepi-felix-k-nesi/">http://sastra-indonesia.com/2021/08/usaha-membunuh-sepi-felix-k-nesi/</a></span></div>SSChttp://www.blogger.com/profile/14975231010548337312noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8754559191266064419.post-20270577857322325752021-08-16T05:03:00.002-07:002021-08-16T05:03:19.647-07:00Kata Serapan Yunani dalam Kamus IndonesiaJudul Buku: Kamus Kata-kata Serapan Asing dalam Bahasa Indonesia<br />Penyusun: J.S. Badudu<br />Penerbit: Penerbit Kompas<br />Cetakan I, Maret 2003<br />Tebal: xiv + 378 hlm<br />Peresensi: Remy Sylado *<br />kompas.com<br /> <br />SEBAGAI profesor bahasa Dr JS Badudu berpengalaman menyusun kamus: Kamus
Ungkapan Bahasa Indonesia, 1975; Kamus Umum Bahasa Indonesia, 2001; Kamus
Kata-kata Serapan Asing dalam Bahasa Indonesia (KKSADBI), 2003.<span><a name='more'></a></span><br /> <br />Maka, selain patut memuji dengan takzim akan pekerjaan beliau yang tak
enteng itu, izinkan pula saya memberi sekelumit catatan untuk menunjukkan
apresiasi bagi karya beliau yang terakhir, KKSADBI. Catatan ini khusus
menyangkut kata-kata yang berhubungan dengan Yunani, bahasa yang melembaga
dalam sejarah ilmu pengetahuan dan kebudayaan.<br /> <br />Menurut KKSADBI “alokasi” berasal dari bahasa Yunani. Membaca keterangannya
“penentuan banyaknya barang yang disediakan”, maka sebetulnya makna itu dalam
bahasa Yunani yang terpakai adalah “anathese” atau katanome?.<br /> <br />Menurut KKSADBI “asbes” dari bahasa Yunani. Keterangannya, “serat mineral
dipakai dalam industri…”. Jika asbes di sini sama dengan bahasa Inggris
“asbestos”, maka bahasa Yunani yang terpakai adalah “amiantos”. Sementara kata
bahasa Yunani “asbestes” artinya “kapur”.<br /> <br />Menurut KKSADBI “autopsi” dari bahasa Yunani. Padahal, bahasa Yunani untuk
makna “pemeriksaan mayat” yang sama dengan bahasa Inggris “autopsy” sebetulnya
“nekrotome”.<br /> <br />Menurut KKSADBI “dialog” berasal dari bahasa Latin. Akan tetapi, sebenarnya
kata ini berasal dari bahasa Yunani “dialogos”, kalimat percakapan dalam sastra
drama, juga judul karya Plato.<br /> <br />Menurut KKSADBI “teater” dari bahasa Latin. Yang benar dari bahasa Yunani,
“theatron” artinya “tempat di mana drama dipentaskan”, turun dari kata
“theaomai” artinya “berkunjung untuk menyaksikan”.<br /> <br />Menurut KKSADBI “ekumene” dari bahasa Latin. Yang betul Yunani, dari kata
“oikoumene” artinya “segenap wilayah bumi yang ada manusianya”. Mulanya
terbatas “dunia hellenenisme” seperti diacu Aristoteles dalam Meteorlogica (362
b 26).<br /> <br />Menurut KKSDBI “evengeli” dari bahasa Latin. Yang benar Yunani, dari
“euaggelion” artinya tak lebih “kabar baik”. Aristophanes mengacunya dalam
drama komedinya Plutus (765). Selain itu, banyak pula lema yang seharusnya
Yunani tetapi dalam KKSADBI disebut Belanda. Misalnya “hierarki”, “magi”,
“misteri”, “paradigma”. Yunaninya “ierarkhia”, “magoi”, “mysterio”,
“paradeigma”.<br /> <br />Malahan ada lema dari bahasa Yunani dalam KKSADBI disebut Perancis,
khususnya “paradiso”. Dalam bahasa Yunani “paradeisos” artinya “surga”, diambil
dari bahasa Persia “pairi daeza” artinya “kebun taman”. Sejarah masuknya kata
bahasa Persia ini ke Yunani melalui penerjemahan filologi Ibrani LXX atau
Septuaginta atas titah Raja Mesir Ptolemy II (309-247 SM).<br /> <br />KKSADBI mengatakan “idola” adalah “orang atau tokoh yang dijadikan pujaan”.
Dalam bahasa Yunani, aslinya “eidolon” berarti “dewa kafir” (pagan dei).
Muasalnya di abad pertama Masehi orang Yahudi yang berbahasa Yunani
menyejajarkan kata ini dengan kata-kata Ibrani “gilullim”, “terafim”, “asabh”,
kemudian dibuat muradif dengan “mifletseth”, “semel”, “otseb”.<br /> <br />Adapun “pornografi” dari “porno” aslinya bahasa Yunani “porne” berarti
pelacur, “porneia” berarti “pelacuran”, “porneuo” berarti “praktik sundal”.
Sumber tulis Yunani sebelum Masehi tentang kata ini tersua pertama dalam karya
Lucian, Alexander (5). Setelah tarikh Masehi, di abad pertama, kata ini mengacu
pada persundalan di Roma dan Yerusalem, tersua dalam karya Ioanes, Apocalypsis
(17.1).<br /> <br />PATUT diketahui, dalam studi teologi, bahasa Yunani dibagi dua, yaitu
Yunani Sekular (untuk semua karya filologi sebelum Masehi) dan Yunani Eklesia
(untuk bahasa Yunani setelah Masehi sekitar pustaka gerejawi). Banyak lema dari
Yunani Sekular yang berubah makna saat ini melalui Yunani Eklesia.<br /> <br />Salah satu kata paling menarik dari pergantian Yunani Sekular ke Yunani
Eklesia adalah “hipokrit”. Dalam KKSADBI “hipokrit” diartikan “munafik”. Yang
diacu KKSADBI ini adalah Yunani Eklesia. Sebelumnya, dalam Yunani Sekular,
“hipokrit”, atau aslinya “hypokrites” berarti “aktor”, pelakon drama atau
penafsir peran di atas teater. Plato mengartikannya demikian dalam Republik
(373 B), Sokrates menyebutnya dalam Symposium (194 B), Xenofon menyebutnya
dalam Memorabilia (II 2.9).<br /> <br />Berubahnya “hypokrites” menjadi “munafik” sebab penulis evangeli dari latar
Yahudi yang tak punya tradisi teater, memandang aktor dalam kesimpulan:
laki-laki yang jadi perempuan, bertopeng, menangis pura-pura. Ini dihubungkan
dengan kata bahasa Ibrani “hanef” artinya “pelaku jahat”. Sumber pertama yang
mengalihkan “hypokrites” dari aktor menjadi “munafik” adalah sastra Yunani yang
ditulis Yahudi, Maththaion (7.5). Kini, setelah “hypokrites” berarti “munafik”,
maka sebutan untuk aktor dalam bahasa Yunani sekarang adalah “ethopoios”.<br /> <br />Terakhir “psalm”. KKSADBI benar, lema ini berasal dari bahasa Yunani. Akan
tetapi, keterangannya tak tepat: “nyanyian pemujaan terhadap Tuhan dalam
Injil”. Yang benar, “psalm” tidak ada hubungannya dengan Injil. Psalm, dari
“psalmos” adalah terjemahan Yunani atas kitab Ibrani, Sepher Tehillim-Klinkert
menerjemahkannya sebagai “zabur tahlil”-dan umumnya dianggap sebagai
puisi-puisi tembang Daud. Sedang Injil aslinya berbahasa Yunani dan tersua
dalam kitab E Kaine Diatheke. Psalm sudah ditulis seribu tahun sebelum Injil
ditulis. Seharusnya yang sudah lazim, “psalm” cukup disebut “mazmur”.<br /> <br />Saya memang hanya membatas diri untuk menyimak lema-lema yang berhubungan
dengan bahasa Yunani. Ini tidak berarti saya alpa memberikan apresiasi terhadap
keterangan-keterangan yang diacu pada sejumlah lema yang lain. Dan, meskipun
catatan-catatan saya ini menunjukkan adanya kekurangan, percayalah ini tidak
mengurangi takzim saya tersebut. Seperti kata penerbitnya, “Kamus ini bukan
kamus istilah, bukan juga buku yang berisi pedoman untuk mengistilahkan
kosakata asing dalam Bahasa Indonesia.” Jadi, ya, syabaslah. Dari situ pula
kiranya apresiasi ini bertolak.<br /><p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span style="mso-ansi-language: IN;">*) Pemerhati bahasa. <a href="http://sastra-indonesia.com/2009/04/kata-serapan-yunani-dalam-kamus-indonesia/">http://sastra-indonesia.com/2009/04/kata-serapan-yunani-dalam-kamus-indonesia/</a></span></p>
SSChttp://www.blogger.com/profile/14975231010548337312noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8754559191266064419.post-64693168506745708962021-08-15T02:46:00.005-07:002021-08-15T02:46:37.127-07:00Sehelai Kain KafanMahwi Air Tawar<br />cerpenkompas.wordpress.com<br /> <br />1/<br />Ia bergegas. Tangan kirinya menyingkap ujung sarungnya hingga beberapa inci
dari mata kaki. Layaknya seorang penari memainkan satu komposisi. Berlenggak.
Pinggulnya bergoyang ke kanan ke kiri, melangkah pasti sambil menjejaki jalan
setapak perkampungan. Sementara lentik jemari tangan kanannya mengapit sisi
bundelan kain agar tak tergelincir dari kepalanya.<span><a name='more'></a></span><br /> <br />”Tukang bendring datang….”<br /> <br />Begitulah dulu. Kami. Anak-anak saat melihatnya dari jauh. Serentak kami
meninggalkan permainan. Menyambutnya dengan gegap gempita sambil berharap ia
akan menoleh. Kadang kala, kami membuntuti dari belakang, membayangkan sebuah
baju baru. Tak jarang, ketika berpapasan, di antara kami berdesakan
membisikinya, agar ia mau membujuk ibu untuk membeli baju dagangannya. Seperti
biasa, ia hanya mengangguk disertai sungging senyum penuh harap. Ketika itulah,
kami langsung menggiringnya masuk ke halaman rumah. Meski sebenarnya, sering
ibu kami menyambutnya dengan wajah cemberut. Tak terkecuali ibuku, yang selalu
takut. Bahkan, untuk menyambut.<br /> <br />Tukang bendring itu mendatangi kampung kami ketika pagi menjelang siang,
saat bapak-bapak kami sedang berada di tegalan. Dan ia, bagi kami serupa
seorang istimewa, yang selalu kami tunggu kehadirannya. Tetapi, sekali lagi,
tidak bagi ibuku.<br /> <br />Ya. Bagi ibuku, ia tak lebih dari sesosok hantu, yang selalu membuat ibuku
ketakutan setiap mendengar suara sumbangnya melengking parau dari balik pintu.
Entah, setiap kali ia datang, senantiasa menjadi ancaman bagi ibuku.
Barangkali, karena utang ibu belum lunas hingga membuat ibu waswas. Atau ibu
khawatir keinginan untuk berutang baju baru lagi tak terkendali.<br /> <br />Untuk menghindari kedatangan, dan teriakannya yang sumbang itu. Banyak cara
ibu lakukan. Kadang, ibu segera mengunci pintu halaman dari luar hingga ia mengira,
ibu sedang bepergian. Kadang, ibu segera mengemasi baju-baju basah dari atas
jemuran, serta sandal hingga suasana rumah terkesan sudah lama ditinggal
bepergian oleh penghuninya. Kadang juga, ibu menandai bayangan tubuhnya saat
berjalan menuju rumah kami. Biasanya, bentuk bayangannya lebih panjang. Dan
yang khas, kalau bayangan itu adalah bayangan tukang bendring, adalah dari
bentuk bayangan kepalanya yang lebih panjang dan lebar.<br /> <br />Semua itu ibu lakukan karena semata-mata ibu malu lantaran tak bisa menepati
janji untuk membayar utang. Pernah juga, pada suatu ketika, saat tiba pada
waktu tagihan, dan ibu tak ada cara lain untuk menghindarinya ke rumah.
Pagi-pagi, ketika dari jauh terdengar lengking anak-anak meneriaki tukang
bendring, tanpa ragu-ragu ibu keluar, dan aku mengira, ibu mau menghindar,
namun ternyata tidak. Di depan pintu ibu berdiri dengan gelisah.<br /> <br />”Ibu mau ke mana?” tanyaku.<br /> <br />”Menunggu tukang bendring,” jawabnya tegas.<br /> <br />”Ibu punya uang?”<br /> <br />”Tidak.”<br /> <br />Aneh, bisikku. Bukannya selama ini ibu selalu menghindar? Dan ketika
perempuan tukang bendring itu sampai di pertigaan jalan kampung, wajah ibu
tiba-tiba pias dan tampak murung. Mungkin ia segera bergegas pulang. Tetapi
tidak, ibu tetap berdiri di situ, dan ketika perempuan tukang bendring itu
mulai mendekat, persis di pertigaan, perempuan itu berbelok ke arah kiri,
seketika ibu merasa lega, sontak mengajakku masuk.<br /> <br />Namun tak lama berselang, tiba-tiba dari luar halaman terdengar suara
sumbang seseorang. Pada mulanya suara itu samar-samar, tetapi setelah beberapa
saat suara itu kian lantang. Dengan muka pucat dan gemetar, ibu mengintip dari
sela lubang pintu. Di luar, tampak seseorang mondar-mandir.<br /> <br />”Ju, utangmu!”<br /> <br />”Sialan,” umpat ibu.<br /> <br />Selarik cahaya tipis menyelinap masuk lewat celah-celah jendela.<br /> <br />”Kenapa, Bu?”<br /> <br />”Baju lebaranmu belum lunas.”<br /> <br />”Ju, buka pintu,” teriaknya lagi.<br /> <br />Ketika ia sudah berteriak-teriak, biasanya ibu tak bisa mengelak. Khawatir
kalau-kalau para tetangga lainnya keluar, lalu mendatangi rumah kami, dan
mencibir. Untuk menghindari semua itu, dengan malu-malu ibu terpaksa membukakan
pintu. Dan ia, dengan galak, membentak. Melampiaskan kekecewaannya, yang
barangkali sudah memuncak. Sementara ibu, hanya mengangguk.<br /> <br />2/<br />Dan kini, sebagaimana dulu, tukang bendring itu terus bergegas, menapaki
jalan setapak. Kemudian masuk ke sebuah gang sebelum akhirnya dengan ragu
memasuki pekarangan rumah seseorang. Sekilas sungging senyum terkembang.<br /> <br />Di halaman, orang-orang berkerumun. Mungkin sedang bergunjing. Sementara di
tempat yang lain, di beranda, beberapa perempuan duduk memanjang saling menisik
rambut. Dan ia? Perempuan dengan bundelan sarung di kepalanya tanpa ragu-ragu
segera masuk.<br /> <br />”Baju baru…,” teriaknya, menawarkan barang dagangannya. Sontak
perempuan-perempuan itu menyambutnya.<br /> <br />”Harga?”<br /> <br />”Dijamin.”<br /> <br />Mata perempuan yang berkerumun terbelalak saat melihat aneka ragam baju
baru tergelar di depannya. Menggoda mata untuk segera memiliki. Tak penting,
alasan tak ada uang. Toh, perempuan yang kini menyajikan baju-baju baru itu
dengan gayanya yang khas memberi mereka kelonggaran, bayaran bisa dicicil
seminggu sekali. Meski tak pasti.<br /> <br />”Murah.” Intonasi suaranya ditekan. Adalah Lastri, salah satu di antara
para perempuan itu, segera mengambil satu baju berwarna hijau. Sebelumnya,
Lastri melirik kepada para ibu, seakan minta pendapat perihal baju yang
dipegangnya hingga membuat mereka heran. Bagaimana mungkin. Bukannya diam-diam
belakangan Lastri juga menjadi tukang bendring, pedagang baju keliling?<br /> <br />”Las, bukannya….”<br /> <br />”Ini, Bu. Harganya?” Lastri memotong. Barangkali Lastri cari perbandingan
harga.<br /> <br />”Itu baju sudah ada yang pesan.” Sepasang matanya kembali menatap
catatan-catatan tagihan yang belum lunas. Mengerut dan berucap sinis, Lastri
belum melunasi utang-utang baju sebelumnya. Orang-orang melirik tak senang.<br /> <br />”Sudahlah. Sesama pedagang, berapa harga baju ini?” ketus Lastri. Perempuan
itu tak menjawab. Ia tahu, Lastri memang belakangan menjadi tukang bendring,
meski tidak di kampungnya sendiri. Bahkan, tak jarang ia mendapatkan laporan
bahwa diam-diam Lastri tak keberatan jika ada seorang lelaki ingin membayar
tubuhnya daripada baju dagangannya.<br /> <br />3/<br />”Ini hanya cerita,” bisik ibu, sambil mengintip mereka dari balik jendela.
”Lastri, dan tukang bendring yang sudah renta itu. Kamu masih ingat namanya,
Nak?” tanya Ibu.<br /> <br />”Markoya,” jawabku.<br /> <br />”Ya, Markoya.”<br /> <br />Ia, tukang bendring itu, Markoya, namanya. Sebagaimana juga dulu, ketika
kami masih asik bermain di belakang rumahnya hingga sore menjelang malam. Kami
sambil menunggunya datang. Tentu, yang tak dapat kulupa sampai sekarang, sejak
dua puluh dua tahun silam—aku meninggalkan kampung halaman. Sepulang dari
berkeliling sebagai pedagang baju bendring, ia suka membawakan kami oleh-oleh
jajanan pasar, kemudian dibagi-bagikan secara rata, sebelum akhirnya menyuruh
kami pulang, agar tidak telat pergi mengaji.<br /> <br />”Besok lagi mainnya. Sebentar lagi petang,” begitu katanya. Ah, alangkah
bijaknya perempuan itu.<br />***<br /> <br />Dan kini, bersama ibu, aku hanya mengintipnya dari balik jendela. Ia tampak
tergesa-gesa. Melewati jalan setapak yang teramat terik. Sesekali ia menoleh.
Barangkali kesal dengan sikap Lastri, yang sudah berjanji akan melunasi utang
bendring. Atau dengan ibuku?<br /> <br />”Tak sembarang orang sekarang boleh mengambil barang dagangannya.”<br /> <br />”Termasuk Lastri?” Kusingkap jendela, perempuan tukang bendring itu sudah
mulai menjauh. ”Kenapa dengan Lastri, Bu?”<br /> <br />”Senok.” Astaga, desisku tak percaya dengan ucapan ibu tentang Lastri.
Tidak percaya di kampungku yang sekecil ini ada seorang senok, pelacur. Entah
sejak kapan. Tiba-tiba tanpa ditanya ibu menambahkan.<br /> <br />”Sudah lama ia berpisah dengan Madrihmah. Lalu, ia menjadi tukang bendring,
tapi tidak di sini.”<br /> <br />”Lantaran?”<br /> <br />”Senok!”<br /> <br />”Dan Markoya itu tak mau ngasih utang kepada senok?”<br /> <br />”Mungkin ia takut, bajunya dipakai ngelonte.”<br /> <br />Ya, rasanya sulit dipercaya kabar, yang baru saja kudengar dari ibuku itu.
Bagaimana mungkin, dalam tempurung kampung sekecil ini hidup seorang senok, dan
itu Lastri, teman sepermainanku dulu. Bukannya ia juga pedagang baju?<br />***<br /> <br />Sudah setengah hari Markoya berkeliling. Melewati jalan setapak
perkampungan, yang kondisi tanahnya kelewat gersang. Lelehan keringat tak
membuatnya merasa gerah, namun sebaliknya, ia umpamakan lelehan keringat itu
sebagai air peneduh setelah berjam-jam berkeliling dari kampung ke kampung.
Berkunjung dari rumah ke rumah.<br /> <br />Sebagai tukang bendring, meski kadang hasilnya tak sebanding. Tak
membuatnya putus asa. Menyerah. Bertemu banyak orang jauh lebih penting, begitu
ia menjawab setiap pertanyaan orang tentang pekerjaannya.<br /> <br />”Dagang hanya sampingan,” ujarnya sambil mengikat antara ujung kain.<br /> <br />Hari sudah menjelang sore. Tentu, masih banyak orang mesti ia temui. Banyak
rumah mesti ia kunjungi. Ke Brudin, salah satunya, yang tempo hari memesan kain
kafan. Kasihan, desisnya, sambil memelankan langkahnya. Setelah melewati
perbatasan kampung. Kini, ia tiba di sebuah pekarangan rumah Lastri. Ia pun tak
heran ketika di beranda tak terlihat seseorang. Bukannya ini hari sudah sore?<br /> <br />Maka, sebagaimana sering Markoya lakukan setiap memasuki rumah seseorang,
ia berucap salam, lalu tanpa menunggu jawaban ia bergegas masuk, dan menuju
langgar yang terletak di ujung barat, samping rumah utama.<br /> <br />Markoya duduk bersandar pada salah satu tiang penyangga. Tak lama
berselang, Lastri dengan tubuh hanya dibaluti sarung hingga setinggi dada.
Tampak pada lekuk-lekuk tubuhnya pasir putih masih melekat, begitu saja datang
menyamperi Markoya. Dan Markoya, dengan berat hati menyambutnya dengan senyum.
Satu hal yang tak boleh dilupakan oleh seorang pedagang.<br /> <br />”Baju baru?” tanyanya.<br /> <br />”Beberapa.” Lastri mengambil salah satu baju, bermotif batik.<br /> <br />”Utangmu belum lunas.” Markoya membuka buku catatan.<br /> <br />”Minggu depan,” ujarnya, kemudian masuk, dan tak lama berselang Lastri
muncul dengan membawa secangkir kopi. ”Minum dulu.” Markoya tersenyum simpul.
”Sudah ketemu Ke Brudin?” Markoya menyeduh kopi hangat. ”Tadi Ke Brudin pesan,
kalau sampean datang suruh ke sana.”<br /> <br />”Guru mengaji itu?” tanya Markoya.<br /> <br />”Ya. Beliau ingin pesan baju baru untuk dipakai hari Jumat. Kasihan,
bajunya cuma satu.”<br /> <br />”Ke Brudin juga pesan kain kafan,” desisnya lirih.<br /> <br />”Dengan apa ia akan membayar?”<br /> <br />”Dengan doa.”<br /> <br />”Ngawur. Doa tak membuat orang kenyang.”<br /> <br />”Buktinya, Ke Brudin sampai sekarang masih segar bugar.” Seketika Markoya
tercengang. Diam-diam ia membenarkan pernyataan Lastri, meski ucapan itu terasa
janggal. Dalam bimbang ia terusik. Bagaimana mungkin, bisiknya.<br /> <br />”Kenapa?”<br /> <br />”Ke Brudin…,” desisnya.<br /> <br />”Sudah tua. Tak mungkin gitu-gituan.”<br /> <br />”Maksudmu, Las?”<br /> <br />”Ngamar,” selorohnya.<br /> <br />”Mulutmu.”<br /> <br />”Lalu?”<br /> <br />”Kain kafan,” suara Markoya, serak dan serasa berat.<br /> <br />Sore hari di halaman. Pasir-pasir berhamburan. Pelepah nyiur dan janur
seperti malas berayun. Selarik cahaya senja membentuk garis tipis masuk lewat
celah-celah bilik langgar tempat ia duduk bersandar pada tiangnya, yang miring.
Sesekali cahaya senja bergetar samar, sesamar gerakan kedipan matanya. Dan tak
lama berselang, sebuah bisikan tanpa ia jelang datang, menggiringnya pada
sesosok lelaki tua renta. Ke Brudin, desisnya. Ia hanya menghabiskan waktunya
untuk anak-anak, mengajari mengaji, ilmu dunia dan akhirat, suara Markoya
lirih. Mungkin tak lama lagi ajal juga menjemputku.<br /> <br />”Ah, sudah lama, saya tak membawakan anak-anak oleh-oleh. Mereka belajar
mengaji kepada Ke Brudin.”<br /> <br />”Betul,” spontan Lastri menyahut.<br /> <br />”Saya harus segera ke sana,” lekas mengikat ujung kain sarungnya. Dan
segera bergegas. Tapi sesaat ia kembali dan bertanya.<br /> <br />”Baju koko?”<br /> <br />”Baju koko untuk shalat,” Lastri menahan tawa.<br /> <br />”Ya. Saya segera ke sana. Utangmu minggu depan.” Dan Lastri. Entah, seperti
mukjizat lain muncul mengusik. Selepas Markoya, tukang bendring itu menghilang
di pekarangan, tiba-tiba Lastri merasakan sesuatu yang aneh, dan teringat,
pernah menjanjikan Ke Bruddin kain kafan.<br /><p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span style="mso-ansi-language: IN;">Yogyakarta, Desember 2008-2011 <a href="http://sastra-indonesia.com/2012/05/sehelai-kain-kafan/">http://sastra-indonesia.com/2012/05/sehelai-kain-kafan/</a></span></p>
SSChttp://www.blogger.com/profile/14975231010548337312noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8754559191266064419.post-40543921065650570632021-08-12T17:00:00.006-07:002021-08-12T17:00:44.814-07:00Bukittinggi di Peta SastraAdek Alwi *<br />suarakarya-online.com<br /> <br />KOTA Bukittinggi, Sumatera Barat, boleh jadi sudah lenyap dalam peta sastra
Indonesia. Atau bulatan-merahnya yang dulu tegas, nyata, sekarang samar saja.
Tidak terdengar lagi aktivitas sastra di kota itu.<br /> <br />Juga tak terbaca karya sastrawan yang ada di kota itu, misalnya dalam
jurnal dan majalah sastra atau ruang-ruang sastra surat kabar. Beda dengan kota
tetangganya, dan yang lebih kecil, Payakumbuh. Payakumbuh satu-dua dasawarsa
terakhir bersinar dengan kegiatan sastra serta karya sastrawan yang berdomisili
di sana, seperti Gus tf, Adri Sandra, Iyut Fitra dan banyak yang lainnya.<span><a name='more'></a></span><br /> <br />Sebenarnya, pada dasawarsa 1950-an dan paling tidak sampai penggal pertama
1960-an, Bukittinggi justru kota penting dalam atlas sastra Indonesia.
Keberadaannya tak hanya patut ditandai bulatan-merah, melainkan bulatan yang
dikurung segi-empat. Persis keberadaan kota itu pada peta bumi Indonesia masa
itu, yakni ibu kota Provinsi Sumatera Tengah (Sumatera Barat-Riau-Jambi); atau
beberapa tahun sebelumnya, yaitu sebagai ibu kota PDRI (Pemerintah Darurat
Republik Indonesia), ketika ibu kota RI, Yogyakarta, diduduki oleh Belanda.<br /> <br />Bukittinggi pada dasawarsa 1950-an dan 1960-an bercahaya dalam jagat sastra
Indonesia tentu tak ada kaitannya (secara langsung) dengan statusnya sebagai
ibu kota provinsi berdaerah luas, atau ibu kota pemerintah darurat republik.
Tapi, lebih karena, (1) di kota itu tinggal sejumlah sastrawan yang
menghidupkan kegiatan sastra, dan (2) adanya penerbit yang memiliki komitmen
menakjubkan terhadap kehidupan sastra.<br /> <br />AA Navis dkk<br /> <br />Sastrawan yang menetap di Bukittinggi pada dekade 1950-an diantaranya ialah
AA Navis, juga sastrawan yang lebih muda, seperti Rusli Marzuki Saria, Nasrul
Sidik, Motinggo Busye (sebelum kuliah sekaligus pindah ke Yogya). Merekalah,
antara lain, yang menghidupkan kegiatan sastra di kota itu, dengan berbagai
diskusi, pembacaan serta ulasan puisi di RRI Bukittinggi, dan (sudah tentu)
penulisan karya-karya sastra secara individual. Cerpen Robohnya Surau Kami
Navis yang terkenal itu juga dia tulis di kota itu, bulan Maret 1955, dan
dimuat dalam Majalah Kisah edisi No.5/Th III Mei 1955. Lalu meraih Hadiah
Majalah Kisah, pada tahun yang sama.<br /> <br />Rusli Marzuki Saria kemudian kita kenal sebagai penyair yang tak
putus-putus berkarya, sehingga melahirkan banyak sekali kumpulan puisi
(diantaranya: Pada Hari Ini Pada Jantung Hari; Ada Ratap Ada Nyanyi;
Sendiri-Sendiri, Sebaris-Sebaris dan Sajak-Sajak Bulan Februari; Sembilu
Darah). Rusli juga pernah jadi anggota DPRD Tk II Kodya Padang, dan redaktur
kebudayaan (kini pensiun) Harian Haluan, Padang. Selama di Haluan pula (puluan
tahun) ia menyediakan ruang untuk tempat anak-anak muda berolah sastra, dan
kemudian tumbuh sebagai pengarang ataupun penyair andal.<br /> <br />Nasrul Sidik tokoh pers di Padang, dan terakhir Pemimpin Redaksi Mingguan
Canang. Sedangkan Motinggo Busye adalah seniman sangat produktif, menunjukkan
reputasinya di berbagai cabang kesenian: sastra (cerpen, novel, sajak, naskah
drama), penulisan skenario maupun sutradara film, dan juga seni rupa dengan
melukis.<br /> <br />Penerbit Nusantara<br /> <br />Mungkin tak banyak yang tahu bahwa Rendra, selain penyair, pemain film dan
dramawan, adalah juga pengarang cerpen. Kumpulan cerpennya, Ia Sudah Bertualang
(yang memuat sembilan cerpen) diterbitkan oleh NV Nusantara, Bukittinggi, tahun
1963.<br /> <br />Penerbit (juga percetakan) Nusantara berkantor pusat di Bukittinggi (cabang
di Jakarta), dan sejak pertengahan 1950-an hingga pertengahan ’60-an aktif
menerbitkan karya sastra. Dedikasi Nusantara dalam hal ini sungguh menakjubkan
(apalagi dilihat dari kacamata masa kini yang amat berorientasi ekonomis),
karena menerbitkan karya sastra merupakan proyek rugi. Namun, langkah Nusantara
itu dapat dimaklumi bila tahu siapa di balik penerbit tersebut.<br /> <br />Penerbit NV Nusantara didirikan Anwar Sutan Saidi, kelahiran Sungai Puar,
Bukittinggi, 1910. Ia seorang saudagar, aktivis pergerakan, pejuang. Dia juga
tokoh utama pendiri Bank Nasional tahun 1930 di Bukittinggi, yang latar
belakang kelahiran bank ini khas mencerminkan semangat zaman itu: memajukan
perekonomian rakyat yang tertindas oleh penjajah.<br /> <br />Pertengahan 1950-an Anwar Sutan Saidi menjabat Presdir NV Nusantara, dan
anaknya, Rustam Anwar, selaku direktur. Sang anak rupanya tidak kalah idealis
dari ayah. Maka mengalirlah lewat Penerbit NV Nusantara karya para sastrawan
Indonesia yang tumbuh dan berkembang pada dekade 1950-an hingga paruh pertama
1960-an.<br /> <br />Di samping kumpulan cerpen Rendra di atas misalnya, Nusantara menerbitkan
kumpulan cerpen Robohnya Surau Kami dan Hujan Panas (AA Navis); Di Tengah
Padang (A Bastari Asnin); Pertemuan Kembali (Ajip Rosidi); Malam Bimbang dan
Supir Gila (Ali Audah); Datang Malam (Bokor Hutasuhut); Umi Kalsum (Djamil
Suherman); Pesta Menghela Kayu dan Dara Di Balik Kaca (Dt B Nurdin Jacub); Dua
Dunia (Nh Dini); Lukisan Dinding (M Alwan Tafsiri); Keberanian Manusia dan
Matahari Dalam Kelam (Motinggo Busye); Sekelumit Nyanyian Sunda (Nasjah
Djamin); Mabuk Sake (Purnawan Tjondronagoro); Di Luar Dugaan dan Istri Seorang
Sahabat (Soewardi Idris); Perjuangan dan Hati Perempuan (Titie Said); Di Medan
Perang (Trisnojuwono). Beberapa kumplan cerpen ini mengalami cetak ulang,
paling tidak dua kali, oleh penerbit yang sama.<br /> <br />Selain itu juga diterbitkan NV Nusantara sejumlah novel asli Indonsia,
antara lain Kemarau (AA Navis); Tidak Menyerah (Motinggo Busye); Hati Yang
Damai (Nh Dini); Midah Si Manis Bergigi Emas (Pramoedya Ananta Toer); Mendarat
Kembali (Purnawan Tjondronagoro); Di Balik Pagar Kawat Berduri (Trisnojuwono).
Dan juga terjemahan karya-karya pengarang luar seperti karya “raksasa” sastra
Rusia masa lalu, Maxim Gorki.<br /> <br />Dengan buku-buku terbitan Nusantara itu, tak pelak jagat sastra Indonesia
pun semarak serta semakin kaya pada dasawarsa 1950-an dan 1960-an. Dan
Bukittinggi, ditambah dengan aktivitas para sastrawan yang saat itu bermukim di
sana, menerakan keberadaannya dalam peta sastra Tanah Air dengan bulatan merah
yang tegas. Malah, bulatan yang dikurung tanda segi-empat, menyamai Yogya dan
nyaris Jakarta!<br /> <br />Namun tanda itu belakangan pudar. Bukittinggi tinggal sejarah, persis
posisi kota itu dalam sejarah Indonesia. Dan kita tidak tahu kenapa. Memang
ironi, tetapi, bagaimana lagi? Sebab agaknya benar petuah orang bijak:
mempertahankan lebih sulit ketimbang merebut. Apalagi, pada zaman yang menderas
dengan semangat yang tak menyentuh (dan malah dapat membunuh) daya hidup
sastra, seperti dewasa ini.<br />***<br /><p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span style="mso-ansi-language: IN;">*) Penulis, sastrawan dan wartawan. <a href="http://sastra-indonesia.com/2009/03/bukittinggi-di-peta-sastra/">http://sastra-indonesia.com/2009/03/bukittinggi-di-peta-sastra/</a></span></p>
SSChttp://www.blogger.com/profile/14975231010548337312noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8754559191266064419.post-63111461390688693172021-08-12T16:58:00.002-07:002021-08-12T16:58:09.233-07:00Adri Sandra dan Gus tf, Dua Penyair Muda dari PayakumbuhL.K. Ara<br />sinarharapan.co.id<br /> <br />Kabupaten Limapuluh Kota dengan ibukota Payakumbuh, setidaknya telah
melahirkan dua penyair yang kini sedang giat menelorkan karya berupa puisi.
Mereka masing-masing adalah Adri Sandra (38) dan Gus tf (39). Melihat usia
kedua penyair ini tergolong sedang mengalami masa produktif. Ini dibuktikan
oleh misalnya karya-karya Gus tf berupa puisi dan cerpen bertebaran di hampir
seluruh mas media Ibukota.<span><a name='more'></a></span><br /> <br />Adri Sandra kelahiran Padang Japang, Payakumbuh, Sumatra Barat, 10 Juni
1964 dikenal sebagai penyair. Ia menulis sejak tahun 1981. Namun selain menulis
puisi ia juga menulis cerpen dan artikel. Bidang kegiatannya lebih meluas ke
wilayah musik, teater bahkan melukis.<br /> <br />Sebagai penyair karya-karya puisinya telah dimuat di berbagai mass media
yang terbit di Ibukota dan daerah. Bahkan sejumlah puisinya sudah dimuat dalam
antologi puisi bersama, seperti, Rantak 8 (1991), Rumpun (1992), Antologi
Penyair Sumatera Barat (1993), Berlima di Sudut Kampus (1995), Kuda-kuda Puisi
(1996), Gender (antologi 10 puisi terbaik Lomba Cipta Puisi se Indonesia,
Sanggar Minum Kopi, Bali, 1993), Sekayun (antologi pemenang penulis puisi se
Indonesia, Yayasan Teraju, Sumatera Barat Padang, 1994).<br /> <br />Ketika berlangsung Mimbar Penyair Abad 21 yang diadakan Dewan Kesenian
Jakarta di Jakarta tahun 1996, beberapa puisi Adri Sandra dimuat di dalam
antologi yang diterbitkan Balai Pustaka itu. Salah satu sajaknya di dalam
antologi Mimbar Penyair Abad 21 berjudul Dalam Satu Perahu. Sajak ini bertema
perjalanan menuju keabadian. Perahu merupakan simbol kenderaan menuju keabadian
itu. Puisi itu dimulai penyair dengan baris-baris sebagai berikut,<br /> <br />Naiklah ke perahuku, jauh jalan di lautan<br />Mari berdayung sampai ke pinggir langit<br />Angin dan layar menyentuh bulan berbentuk sabit<br />Tabuhlah rebanamu dalam pengembaraan ini<br />Tabuhlah<br />Dendangkan Sahara dari Sinai di samudra bersama alun gelombang<br />Sebentar lagi bulan tenggelam, perahuku tak tahu di mana<br />Kan menepi<br />Marilah kita berzikir karena pantai dan waktu tertinggal<br />Hanya sejengkal<br />Menjelang sampai ke keabadian Nya<br />Yang direntang tanda-tanda tanya<br /> <br />Dalam bait tadi telah dapat kita lihat penyair menawarkan ajakan kepada
pihak lain untuk ikut berlayar bersamanya. Untuk menimbulkan gelora semangat ia
juga menghimbau agar menabuh rebana. Dan ketika pantai sudah mendekat ia
meminta supaya berzikir. Karena keabadianNya sudah akan dijelang.<br />Tapi bagaimana sebenarnya perjalanan perahu yang ditumpangi itu penuh
dengan halangan seperti topan, cuaca gelap, senyapnya pengembaraan dapat kita
lihat dalam baris-baris berikut ini,<br /> <br />Di laut inilah, dalam satu perahu yang meluncur<br />Kita melipur musim, topan, gelap, terang dan senyap pengembaraan<br />Kita catat sejarah dari perjalanan yang ditinggalkan waktu<br />Di belakang hari yang bergelombang<br />Pun di depan jari-jari waktu kian menajam<br />Tuhan, seribu galau di laut ini tak menemukaan pantai dan tujuan<br />Jauh jalan di lautan, kita semakin dekat untuk kembali<br />Teduh mataNya dilindung kelepakan sayap burung-burung<br />Merpati<br />Menuju sorga keabadian<br /> <br />Penyair membayangkan satu perahu meluncur menghadapi topan, cuaca gelap,
dan keadaan sepi. Ini merupakan pengembaraan yang sungguh senyap di tengah
lautan yang luas. Perjalanan ini semakin terasa berat apabila mulai berhitung
dengan waktu. “Waktu kian menajam” ujar penyair.<br /> <br />Sementara itu perahu belum menemukan pantai dan tujuan belum tercapai. Saat
seperti itulah makhluk biasanya kembali ingat Tuhan. Saat itu pula terasa Tuhan
sungguh meneduhkan hati yang gelisah.<br />Pelayaran dan pengembaraan yang panjang sangat meletihkan. Tapi apabila
orang tabah biasanya ia akan memperoleh hasil. Hal ini akan terbayang pada
bait-bait berikut ini. Kata penyair, dalam keletihan, adakah tersimpan seribu
ketabahan?<br /> <br />Karena bulan berbentuk sabit akan tenggelam<br />Tabuhlah rebanamu di sinar kelam<br />Tabuhlah!<br />Kumandangkan zikir ke batas sampai<br />Agar perahuku, perahu kita yang satu berlayar<br />Meluncur deras ke surgaNya<br /> <br />Padang, 1993.<br /> <br />Meski cuaca tak terang, dan sinar akan kelam rasa optimisme masih ada.
Karena suara rebana akan menimbulkan semangat. Sementara itu suara zikir yang
dengan khusuk dikumandangkan tak henti-henti. Zikir membasahi lidahmu kata
orang bijak. Dan dengan zikir itulah perahu, meluncur deras ke surgaMu.<br /> <br />Gus tf<br /> <br />Tapi inilah laut segalanya dilayarkan/Pada kesetiaan perahu pertemuan,
perahu perpisahan/Mengangkat sauh demi penyaksian tarian ini, o, perjamuan!
Baris-baris ini merupakan kalimat awal dari puisi Gus tf berjudul Tirai Laut.<br />Penyair kelahiran Payakumbuh, Sumatera Barat ini melanjutkan puisinya
dengan baris-baris yang menceritakan ada yang bangkit dari debu. Dalam
perjalanan memberi salam ke tempat yang asing. Sementara ada yang berkata ada
yang lenyap di tengah-tengah alam yang luas. Ada juga orang yang mabok kemudian
diserap kebesaran tetapi kemudian selalu terdampar.<br />Bangkit dari debuku, kudayung diri: menyalami keterasingan<br />Seperti katamu, kelenyapan di tengah keluasan “o, kebatinan!”<br />Orang-orang mabuk, diserap kebesaran namun selalu terdampar<br />Dalam dimensi ruang dan kesementaraan<br /> <br />Tapi inilah laut – segalanya dilayarkan pada kesunyian<br />Dalam keramaian di gemuruh ombak tiap puncak zaman o, kerinduan<br />Mereka labuhkan doa di sembarang dermaga, mereka nyalakan iman<br />Di sembarang taman seperti katamu, mereka lahir, tumbuh<br />Hanya untuk berguguran<br /> <br />Ada permintaan dan harapan yang selalu diminta orang. Yakni sesuatu yang
dinamakan akal. Selamatkan akal. Karena akal diharapkan kelak dapat
menyelamatkan apa yang disebut dengan peradaban.<br /> <br />Tutur penyair,<br />“pohon ruh, selamatkan akal!”<br />“pohon akal, selamatkan peradaban!”<br />peradaban yang lalu, kutabuh diri: genderang kepergian<br />tinggalkan rumus, teori benda-benda, “o, pengetahuan”<br />selamat jalan<br />telah kauperkenalkan, orang-orang yang membangun kehidupan<br />dengan menghancurkan<br />tapi, inilah laut segalanya dilayarkan<br />kematian, kelahiran, evolusi kegaiban<br />dan kefanaan<br /> <br />Payakumbuh 1991, Padang 1991<br />(dari Sangkar Daging, Grasindo, Jakarta 1997)<br /> <br />Gus tf dilahirkan di Payakumbuh, Sumatera Barat, 13 Agustus 1965 dari ayah
Bustamam dan ibu Randjuna. Selepas SMA di Payakumbuh, ia melanjutkan studinya
di Fakultas Peternakan Universitas Andalas, Padang dan tamat 1994.<br /> <br />Tertarik dan menulis puisi ketika masih duduk dibangku SD, pada usia
sekitar 12 atau 13 tahun. Sajak-sajak pertamanya banyak dimuat di majalah Hai
(Jakarta) dan ruang kebudayaan surat kabar Singgalang (Padang) awal tahun
80-an. Pada usia 22 tahun ia diundang DKJ mengikuti Forum Puisi Indonesia 87,
dan sejak itu mulai sering menghadiri berbagai pertemuan penyair, di antaranya
“Istiqlal Internasional Poetry Reading 1995”.<br /> <br />Puisinya dimuat dalam antologi Ketika Kata Ketika Warna yang diterbitkan
oleh Yayasan Ananda. Sejumlah puisinya pernah memenangkan sayembara, di
antaranya Pemenang I sayembara penulisan puisi Direktorat Kesenian Ditjen
Kebudayaan RI 1990.<br /> <br />Juga pernah memperoleh penghargaan dalam bidang penulisan esai, di
antaranya dari Panitia Pekan Budaya Minangkabau 1993 dan dari Pusat Pembinaan
dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI tahun 1996.<br /> <br />Antologi Sangkar Daging merupakan kumpulan puisinya yang pertama. Beberapa
sajak dalam antologi pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, Inggris dan
Jerman.<br /> <br />Tentang kelahiran sajak-sajaknya, di dalam kata pengantar antologi Sangkar
Daging Gus tf menyebutkan bahwa sebagian besar sajak-sajaknya lahir dalam
perjalanan atau ketika sedang bepergian. Sampai saat ini saya tidak tahu kenapa
demikian.<br /> <br />Masa-masa yang subur untuk itu adalah tahun 1982 dan 1985, saat libur
panjang tamat SMP dan SMA. Sebuah puisinya yang ditulis di Padang 1985 –
Payakumbuh 1987 berjudul Penyair Ompong.<br />***<br /><p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span style="mso-ansi-language: IN;"><a href="http://sastra-indonesia.com/2009/12/adri-sandra-dan-gus-tf-dua-penyair-muda-dari-payakumbuh/">http://sastra-indonesia.com/2009/12/adri-sandra-dan-gus-tf-dua-penyair-muda-dari-payakumbuh/</a></span></p>
SSChttp://www.blogger.com/profile/14975231010548337312noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8754559191266064419.post-35546225863166909802021-08-09T03:58:00.004-07:002021-08-09T03:58:23.326-07:00Menyingkap Tumpukan Koran Medan 1919Damiri Mahmud<br />Jurnal Nasional, 12 Mei 2013<br /> <br />BABAKAN Sastra Indonesia Modern lazim disebut baru dimulai awal 1920-an
ketika roman “Siti Nurbaya” karya Marah Rusli terbit tahun 1922 dan “Percikan
Permenungan” karya Rustam Efendi terbit tahun 1926. Salah satu syair Rustam
Efendi yang sangat terkenal adalah “Bukan Beta Bijak Berperi” sebagai kredo
yang menyatakan selamat tinggal kepada syair-syair lama dan dimulainya babakan
sy air-syair baru yang mengandalkan kepada imajinasi individual. Demikian
bunyinya:<span><a name='more'></a></span><br /> <br />Bukan beta bijak berperi<br />pandai menggubah madahan syair,<br />Bukan beta budak Negeri<br />musti menurut undangan mair<br /> <br />Sarat saraf saya mungkiri<br />untai rangkaian seloka lama,<br />beta buang beta singkiri,<br />sebab laguku menurut sukma<br /> <br />Susah sungguh saya sampaikan,<br />degup-degupan di dalam kalbu,<br />Lemah-laun lagu dengungan<br />matnya digamat rasaian waktu.<br /> <br />(…)<br /> <br />Apabila karya ini dikatakan sebagai awal babakan puisi Indonesia Modern,
maka dapat kita amati bahwa yang modern atau yang baru dalam puisi ini hanyalah
karya itu tidak lagi anonym; kemudian isinya yang berupa pernyataan penulis:
Sarat saraf saya mungkiri/untai rangkaian seloka lama..dst. Sementara bentuknya
masih yang lama atau yang beta buang beta singkiri itu.<br /> <br />Bahkan dengan kredo pembaruannya itu sangat mengejutkan juga di sini Rustam
Efendi memasukkan begitu banyak kata-kata kuno bahkan arkais ke dalam sebuah
syair yang terbilang singkat itu: madahan = lagu, syair; mair = jiran, kerabat;
saraf = tatabahasa; laun = lembut; digamat = diraba, dibentuk; mamang =
imajinasi.<br /> <br />Jadi, sebenarnya Rustam Efendi berseru atau berteriak untuk menyingkiri
atau memungkiri untai rangkaian seloka lama itu justru dengan bentuk dan gaya
lama itu sendiri! Ini tentu sesuatu yang paradoks yang menimbulkan kesan ironi.
Ditambah lagi pada bait akhir yang seakan menidakkan atau mengingkari
pernyataan atau kredo yang telah diteriakkannya di atas: Bukan beta berbuat
baru. Seperti kita katakana di atas, karya ini hanya pada isinya boleh
dikatakan baru, sementara bentuk dan gayanya masih terikat pada metrum lama:
kombinasi syair dan pantun.<br /> <br />Tapi ada yang lebih ironi. Lebih mengejutkan! Sesuatu yang telah lama
tersembunyi atau terpendam yang baru sekarang bisa terangkat ke permukaan.
Adalah seorang sejarawan kita bernama Dr.Ichwan Azhari, dua tahun lalu, minta
bertemu saya di Taman Budaya Medan dan berlanjut di kedai minum “Tip Top‘. Kami
sudah lama sekali tidak bertemu. Dulu di masa remajanya dia sering saya bawa
“menjual sastra” ke sekolah-sekolah. Atau nonton pilem di LIA.<br /> <br />Rupanya dia masih ingat saya. Dari sekian pembicaraan kami dia ngelantur ke
suatu masalah bahwa Ichwan banyak mengumpul Koran-koran lama terbitan Medan
awal abad dua-puluhan. Salah satu isinya, katanya, juga banyak memuat karya
sastra berupa puisi, cerpen dan cerbung. “Tahun berapa itu tepatnya‘, sambut
saya. “1918 dan 1919 Bang!‘ Jawabnya. Saya terkejut. “Kalau begitu sejarah
Sastra Indonesia Modern harus ditulis ulang!”<br /> <br />Tanggal 2 Mei yang lalu, Ichwan kembali menelepon saya. Ada seorang bernama
Pidia Amelia telah menyusun sebuah antologi puisi berisi karya-karya penulis
perempuan yang berasal dari tumpukan Koran-koran lama itu. “Tolong, Bang!
Diberi pengantar‘, sarannya. Saya menyanggupi namun minta tempo beberapa hari
karena saya harus ke Tanjung Balai dulu. Ada pesan-pesan dari pertemuan di
Makasar dan Bukittinggi yang saya hadiri yang mau saya sampaikan di sana.<br /> <br />Ternyata benar, di Medan telah terbit beberapa bahkan banyak Koran. Ada
Koran Soera Ibu, Pelita Andalas, Pewarta Deli, Pedoman Masyarakat, Tjermin
Karo, Asahana, Bintang Karo, Moetiara, Ichtiar, dan banyak lagi. Fenomena ini
sungguh luar biasa dan tak menduga bahwa tempo-doeloe Medan telah begitu maju
dan modern! Percaya diri ini dibangkitkan oleh “hanya‘ satu tumpukan Koran
bekas yang dengan tekun dikumpulkan oleh seorang Ichwan Azhari.<br /> <br />Sebuah koran yang bernama Perempuan Bergerak juga tak ketinggalan memuat
syair-syair. Salah satu syair itu ialah berjudul “Ajakan‘, karya Oepik Amin
yang dimuat dalam Edisi 16 Mei 1919. Kita petikkan tiga bait di antaranya:<br /> <br />Adapun pada suatu hari<br />Sedang duduk seorang diri<br />Datanglah kawan menghampiri<br />Mevr Lhutan guru jauhari<br /> <br />Setelah dekat dia berkata<br />Hai Oepik Amin saudara beta<br />Perempuan Bergerak korannya kita<br />Sudah terbit di Medan kota<br /> <br />(…)<br /> <br />Apabila ditelisik, ternyata isi dan bentuk puisi atau syair ini sama sekali
baru! Sungguh tidak biasa dalam sebuah syair diterakan nama seorang penggubah
bahkan menuliskan nama dalam isi karangannya itu dengan begitu percaya diri.
Biasanya dalam karya syair lama, nama pengarang disembunyikan bahkan dengan
gaya merendah-rendah. Misalnya dalam “Syair Burung Pungguk” ini.<br /> <br />Dengarkan tuan mula rencana<br />Disuratkan oleh dagang yang hina<br />Karangan janggal banyak tak kena<br />Daripada faham belum sempurna<br /> <br />Dari segi bentuk pula puisi Oepik Amin ini menunjukkan kebaruan dan
kepiawaian pengarangnya. Dia dengan berani memasukkan kosakata asing atau
Belanda. Kata “Koran‘ dari bahasa Belanda itu hingga kini masih dikenal. Begitu
juga kata “proef‘ dalam kalangan percetakan dan penerbitan masih disebut.
Begitu juga kata “mevr‘ atau atau “mevrouw‘ masih ada atau dipakai dalam
“kalangan atas‘.<br /> <br />Oepik Amin, pengarang syair ini, juga bisa “mengicuh‘ pembaca syair
tradisional dari satu kebiasaan yang telah klise kepada satu kejutan yang baru.
Cobalah kita lihat bait pembuka: Adapun pada suatu hari/ Sedang duduk seorang
diri/ . Dalam syair-syair lama, ungkapan seperti itu selalu diikuti oleh
peristiwa bersifat legenda, mitos, atau fabel. Misalnya dalam “Syair Bidasari‘,
bait pembukanya berbunyi:<br /> <br />Dengarkan tuan suatu riwayat<br />Raja di desa Negeri Kembayat<br />Dikarang fakir dijadikan hikayat<br />Supaya menjadi tamsil ibarat<br /> <br />Adalah raja suatu negeri<br />Sultan halifah akas bestari<br />Asalnya baginda raja yang bahari<br />Melimpah ngadil dagang senteri<br /> <br />Tapi dalam syair Oepik ini justru menunjuk kepada satu realita bahkan
bersifat pribadi!: datanglah kawan menghampiri/ Mevr Lhoetan guru jauhari.
(dalam transkrip teks disebut “guru jauh hari‘, tapi dalam kopi teks asli
memang disebut: “goeroe djauhari‘). Lagi pula diksi dan idiomnya selalu praktis
dan tegas yang mengacu kepada ekonomi kata, tidak bertele-tele atau
berpanjang-panjang yang dihiasi oleh banyak bunga kata sebagaimana umumnya
dalam sebuah naskah syair lama. Dalam puisi ini pun kita mengetahui bahwa kata
“perempuan‘ pada masa itu memang memuat makna yang bersifat ameliorasi. Lama
sekali, terutama pada era Orde Baru, kata “wanita‘ yang bermakna seperti itu.
Sementara “perempuan‘ harus menanggung beban peyoratif.<br /> <br />Sebuah syair selalu mengisahkan peristiwa (luar biasa) yang dapat
menghabiskan beratus halaman dan beribu bait. Syair Bidasari di atas misalnya,
berisi 1551 bait! Syair Ajakan ini juga berisi kisah (luar biasa) tentang telah
hadirnya Koran Perempuan Bergerak. Ia mengisahkan atau mempromosikan kebagusan
Koran ini kepada sahabat-sahabatnya supaya jangan ketinggalan membaca dan
menulis di sana. Kalau syair-syair lama itu harus menghabiskan ribuan bait
untuk satu peristiwa yang dikisahkan, Oepik Amin cukup membuat syairnya 20 bait
saja!<br />Karangan Siti Alima Organ untuk Perempuan Bergerak juga menyambut terbitnya
Koran Perempuan Bergerak, dimuat dalam Edisi 16 Mei 1919. Dia pun menunjukkan
kebaruan dalam pengucapan dan lebih bernuansa “Melayu Medan‘.<br /> <br />Misalnya bait ini:<br /> <br />Lama sudah kami di kali<br />Entah bila pula mengedari<br />Harap kami minta tetapi<br />Sama perempuan gemari<br /> <br />Mungkin bisa diterjemahkan seperti ini:<br /> <br />Kami sudah lama sekali (berjuang)<br />Entah kapan pula bisa tercapai<br />Kami berharap supaya diakui<br />Terhadap perempuan harus dihormati<br /> <br />Emansipasi mencuat dalam karya ini. Yang dituntut dalam hal ini adalah
persamaan hak dalam belajar atau menuntut ilmu. Kita berdecak, bahwa telah
hampir satu abad yang silam, kaum perempuan kita di Medan telah begitu maju.
Begitulah Koran-koran lama yang berisikan sejarah perjuangan dan pergerakan,
dapat membuka cakrawala baru bagi kita dewasa ini.<br /><p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span style="mso-ansi-language: IN;">*) Damiri Mahmud, sastrawan, berdomisili di Medan. <a href="http://sastra-indonesia.com/2013/05/menyingkap-tumpukan-koran-medan-1919/">http://sastra-indonesia.com/2013/05/menyingkap-tumpukan-koran-medan-1919/</a></span></p>
SSChttp://www.blogger.com/profile/14975231010548337312noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8754559191266064419.post-1955294262296213022021-08-07T15:49:00.007-07:002021-08-07T15:49:57.450-07:00MAJALAH SENI BUDAYA DI JATIMAming Aminoedhin *<br /> <br />Sastra sebagai salah satu cabang seni, cukuplah banyak digemari oleh
masyarakat di Jawa Timur. Hal tersebut dapat terlihat dari maraknya keberadaan
komunitas sastra, baik Indonesia maupun Jawa yang hidup dan berkembang di
Provinsi Jawa Timur. Komunitas-komunitas tersebut misalnya: FASS (Forum
Apresiasi Sastra Surabaya), Forasamo (Forum Apresiasi Sastra Mojokerto),
Sanggar Sastra Kalimas (Unesa), Komunitas Sastra Rabo Sore (Unesa), FS3LP
(Forum Studi Sastra & Seni Luar Pagar Unair), FSBS (Forum Sastra Bersama
Surabaya), Komunitas Sastra Teater Persada (Ngawi), <span><a name='more'></a></span>Komunitas BMS (Bengkel Muda
Surabaya), Kostela (Komunitas Sastra dan Teater Lamongan), KSLP (Komunitas
Sastra Lembah Pring – Jombang), KSE (Komunitas Sastra Esok – Sidoarjo), KARS
(Komunitas Alam Ruang Sastra – Sidoarjo), dan mungkin masih banyak lagi.
Sementara komunitas sastra Jawa, ada Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya
(PPSJS), Pamarsudi Sastra Jawi Bojonegoro (PSJB), Sanggar Sastra Jawa Triwida
(SSJT) Tulungagung, dan Sanggar Sastra Parikuning (SSP) di Sempu, Banyuwangi.<br /> <br />Banyak pula naskah karya sastra yang ditulis sastrawan Jawa Timur, selain
berupa buku, juga berupa karya-karya lepas yang termuat di berbagai media-massa
(surat kabar dan majalah), baik terbitan lokal Jawa Timur maupun nasional.
Karya tersebut dapat berupa buku prosa (cerita pendek/cerita sambung), puisi,
bahkan naskah drama. Sedangkan mereka yang masih pemula, banyak pula yang
menulis di ruang-ruang dunia maya atau internet, semacam: facebook, blogspot,
twitter, wordpress dan lain sebagainya. Sebagian yang lain, malah buat kumpulan
puisi atau cerpen sendiri, dan kemudian dibacakan pada forum-forum diskusi
sastra, yang kini kian menjamur di Jawa Timur. Baik yang diselenggarakan di ibu
kota provinsi, Surabaya, atau kota-kota di wilayah Jawa Timur, semacam:
Jombang, Mojokerto, Gresik, Sidoarjo, Sumenep, Pamekasan, Bangkalan, Lamongan,
Lumajang, Malang, Jember, Banyuwangi, Ngawi, dan mungkin masih banyak lagi.<br /> <br />Fenomena semacam ini tentunya sangatlah menggembirakan bagi masyarakat
sastra Jawa Timur, dan hal ini tentunya, layak untuk diakomodasi oleh
Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Semisal dibuatkan sendiri majalah Sastra dan
Budaya tingkat Jawa Timur. Mengapa demikian?<br /> <br />Sebab selama ini, majalah sastra Horison, satu-satunya majalah sastra di
Indonesia itu, tidak lagi bisa menampung karya-karya sastra yang membludak
(baik dari Jatim maupun karya-karya sastra dari provinsi lain) yang cakupannya
se-Indonesia.<br /> <br />Di Jawa Timur sendiri, karya sastra yang dilahirkan telah begitu banyaknya.
Terbukti dengan banyaknya komunitas-komunitas sastra menerbitkan karyanya
sendiri, tanpa pernah kita ketahui, apakah pernah dimuat di sebuah koran atau
majalah. Meski sebenarnya hal tersebut tidak menjadikan ukuran baik-tidaknya
sebuah karya sastra, tapi setidaknya bisa dijadikan semacam parameter
sementara; bahwa karya-karya tersebut telah terseleksi oleh dewan redaksi
sebuah koran atau majalah yang telah memuatnya.<br /> <br />Hal tersebut akan lebih baik, ketika naskah-naskah sastra karya sastrawan
muda Jatim itu, bisa ditampung dalam sebuah majalah sastra sendiri, terbitan
Jawa Timur. Tidak ikut nebeng (gabung) nama di majalah sastra satu-satunya di
Indonesia, bernama Horison, yang mana mereka harus berjuang melawan antrian
panjang dari para penulis lain di luar Jawa Timur. Sungguh, kerja yang
melelahkan!<br /> <br />Nah… apabila Jawa Timur punya majalah sastra sendiri, antrian panjang
melelahkan itu akan bisa sedikit kita kurangi. Sekaligus menampung kreativitas
sastrawan muda yang kian membludak jumlahnya.<br /> <br />Majalah Sastra Jatim, Mungkinkah?<br /> <br />Sekian tahun yang lalu, sekitar tahun 1980-1990-an, membuat semacam majalah
kebudayaan yang memuat sastra di Jawa Timur memang telah dirintis oleh beberapa
komunitas sastra. Pertama, Teater Ideot, yang diprakarsai oleh Muhammad Sinwan,
dengan menerbitkan majalah kebudayaan ‘Iklim’. Kedua, komunitas Sanggar Sastra
Kalimas, yang dimotori Tengsoe Tjahjono (IKIP Surabaya, sekarang Unesa)
menerbitkan majalah kebudayaan ‘Kalimas’ Surabaya.<br /> <br />Dua majalah yang berlabel ‘majalah kebudayaan’ ini banyak memuat karya
sastra, baik cerpen dan puisi. Hal ini disebabkan redaksi pengelolanya
berangkat dari mahasiswa jurusan bahasa dan sastra Indonesia, dan pemain
teater. Sehingga tidaklah salah, jika banyak memuat karya sastra. Akan tetapi
dua majalah ini tidak bisa bertahan lama. Di samping tidak didukung dana yang
kuat, juga kesulitan dalam menjual, dan mendistribusikan majalahnya.<br /> <br />Sedangkan majalah berlabel ‘Buletin DKS’ yang diterbitkan Dewan Kesenian
Surabaya pada waktu itu, juga tidak bertahan lama penerbitannya. Lantas buletin
itu pun tidak terbit tanpa diketahui sebabnya. Tapi syukurlah, kini ada
gantinya, “Alur” yang juga diterbitkan Dewan Kesenian Surabaya. Moga-moga bisa bertahan,
dan jadi alternatif bagi para penulis sastra Jawa Timur, utamanya kaum muda.
Ada juga majalah “Pandom” jurnal budaya Surabaya, tak lama terbit juga mati.
Sementara majalah seni dan budaya‘Kidung’ terbitan Dewan Kesenian Jawa Timur,
meski tetap terbit, tapi tidak kontinyu sebulan sekali terbitannya. Bahkan
distribusi majalah ‘Kidung’ juga tidak menjangkau luas kepada masyarakat.
Begitu pula majalah ‘Bende’ terbitan Dikbangkes Jatim, tidak menjangkau banyak
masyarakat luas di Jawa Timur.<br /> <br />Di tengah hiruk pikuknya anak-anak muda sekarang lagi keranjingan menulis
sastra (cerpen maupun puisi), maka selayaknyalah Pemerintah Provinsi Jatim, c.q
Dewan Kesenian Jawa Timur, untuk membuat majalah sastra Jatim sendiri. Atau
memperbaiki penerbitan dan distribusinya majalah seni dan budaya ‘Kidung’ itu
menjadi terbit secara kontinyu, setiap sebulan sekali. Memuat karya sastra,
yang berupa prosa, puisi, dan naskah drama. Apa lagi kini ketua DKJT baru, baru
saja terpilih kedua kalinya.<br /> <br />Jawa Timur punya banyak nama-nama sastrawan yang cukup disegani di tingkat
Nasional, seperti: Budi Darma, Suparto Brata, Akhudiat, D. Zawawi Imron, dan
seabreg yang lain. Lantas ada nama-nama yang lebih muda: Tengsoe Tjahjono,
Sabrot D. Malioboro, Suharmono Kasijun, Beni Setia, Rusdi Zaki, Bonari
Nabonenar, M. Shoim Anwar, Aming Aminoedhin, Herry Lamongan, R. Giryadi, Widodo
Basuki, Tjahjono Widarmanto & Widijanto, Mashuri, HU Mardiluhung, W.
Haryanto, Indra Tjahyadi, Zoya Herawati, Wina Bojonegoro, Sirikit Syah, dan
banyak lagi.<br /> <br />Nama-nama para sastrawan tersebutlah yang sebenarnya bisa mejadi tim
redaksi majalah sastra budaya Jatim yang akan kita buat nanti. Nama-nama mereka
itu cukuplah handal untuk bisa menyeleksi naskah masuk yang mungkin akan
berjibun jumlahnya.<br /> <br />Persoalannya sekarang, apakah Pemerintah Provinsi Jawa Timur (cq DKJT),
benar-benar mau menerbitkan majalah sastra Jatim sendiri? Atau barangkali
melalui UPT Dikbangkes majalah itu bisa diterbitkan?<br /> <br />Harapannya, majalah seni budaya tersebut, jika terbit haruslah menjangkau banyak
masyarakat seni secara luas di Jawa Timur. Utamanya para guru seni budaya di
sekolah. Adakah bisa? Saya pikir masih bisa! Mungkinkah? Sangat mungkin!<br /> <br />Desaku Canggu, 27/12/2013<br /><p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span style="mso-ansi-language: IN;">*) Penyair, Ketua Forum Sastra Bersama Surabaya (FSBS), dan tinggal di Canggu,
Mojokerto. <a href="http://sastra-indonesia.com/2014/05/majalah-seni-budaya-di-jatim/">http://sastra-indonesia.com/2014/05/majalah-seni-budaya-di-jatim/</a></span></p>
SSChttp://www.blogger.com/profile/14975231010548337312noreply@blogger.com0