Jumat, 27 Agustus 2021

Djakarta

Pramoedya Ananta Toer
kandangpadati.wordpress.com
 
Almanak Seni 1957
Sekarang tiba gilirannja: dia djuga mau pergi ke Djakarta.
 
Aku takkan salahkan kau, mengapa kau ingin djadi wargakota Djakarta pula. Besok atau lusa keinginan dan tjita itu akan timbul djuga. Engkau di pedalaman terlampau banjak memandang ke Djakarta. Engkau bangunkan Djakarta dalam anganmu dengan segala kemegahan jang tak terdapat di tempatmu sendiri. Kau gandrung padanja. Kau kumpulkan tekat segumpil demi segumpil.
 
Ah, kawan, biarlah aku tjeritakan kau tentang Djakarta kita.
 
Tahun 1942 waktu untuk pertama kalinja aku indjak tanah ibukota ini, stasiun Gambir dikepung oleh delman. Kini delman ini telah hilang dari pemandangan kota —hanja tudjubelas tahun kemudian! Betjak jang menggantikannja. Kuda-kuda diungsikan ke pinggiran kota. Dan kemudian: manusia-manusia mendjadi kuda dan sopirnja sekali: begini tidak ada ongkos pembeli rumput! Inilah Djakarta. Demi uang manusia sedia djadi kuda. Tentu sadja kotamu punja betjak djuga tetapi sudah djadi adat daerah meniru kebobrokan ibu­kota.
 
Bukan salah manusia ini, kawan. Seperti engkau djuga, orang-orang ini mengumpulkan tekat segumpil demi segumpil­ perawan-perawan sawah, ladang dan pegunungan, buruh-buruh tani, petani-petani sendiri jang bidang tanahnja telah didih di dalam perasaannja, warga-warga dusun jang dibuat porak poranda oleh gerombolan, peladjar-peladjar jang hendak meneruskan peladjaran, djuga engkau sendiri —dan dengan penuh kepertjajaan akan keindahan nasib baik di ibukota.
 
Kemudian bila mereka sampai di Djakarta kita ini, perawan-perawan pedalaman jang datang kemari sekedar tjari makan, dia dapat makan, lupa tjari makan, dia kepingin kesenangan, dan tiap malam berderet di depan gedung tempat kerdjanja masing-masing. Pria tidak semudah itu mendapat pekerdjaan, dan achirnja mendjadi kuda. Beberapa bulan kemudian paha para pria ini mendjadi begitu penuh sesak dengan otot jang ter­lampau banjak dipaksa kerdja. Tiap minggu mereka menelan telur ajam mentah. Dan djalan raja memberinja kemerdekaan penuh. Bila datang bahaja ia lepas betja berdjalan sendirian, dan ia melompat ke kaki lima. Djuga tanggung djawab delman hilang di tangan kuda-kuda ini. Beberapa tahun kemudian ia ‘ngedjengkang’ di balenja karena djantungnja mendjadi besar, desakan darahnja meninggi: ia invalid —puluhan! ratusan ribu! kembali ke kampung sebagai sampah. Bila ada kekajaan, adalah kekajaan membual tentang kepelesiran. Tetapi untuk selama-lamanja ia telah mati, sudah lama mati. Djumlah kurban ini banjak daripada kurban revolusi bakalnja.
 
Djadi engkaupun ingin djadi warga Djakarta!
 
Djadi engkaupun ingin djadi sebagian kegalauan ini.
 
Dari rumah masing-masing orang bertekat mentjari uang di Djakarta. Djuga orang-orang daerah jang kaja mengandung maksud: ke Djakarta —hamburkan uang­nja. Dan djuga badjingan-badjingan daerah: ke Dja­karta —menangguk duit. Demi duit ini pula Djakarta bangun. Sebenarnja sedjak masuknja kompeni ke Dja­karta, Djakarta hingga kini belum djuga merupakan kota, hanja kelompokan besar dusun. Hingga sekarang. Tidak ada tumbuh kebudajaan kota jang spesifik, semua dari daerah atau didatangkan dan diimport dari luar negeri: dansa, bioskop, pelesiran, minuman keras dan agama, berbagai matjam agama.
 
Aku lupa, bahwa kau datang hendak kemari untuk beladjar. Tetapi barangkali patut pula kau djadikan ke­nangan, pusat beladjar daerah kita adalah Djakarta. Tetapi sungguh aku sesalkan, bahwa Djakarta kita bukanlah pusat beladjar jang mampu menjebabkan para mahasiswa ini mendjadi perspektif kesardjanaan Indonesia di kemudian hari. Sisa-sisa intelektualisme karena gebukan balatentara Dai Nippon kini telah bangkit kembali dengan hebatnja. Titel akademi jang diperoleh tiap tahun beku dikantor-kantor, dan daerahmu tetap gersang menginginkan bimbingan. Dan bimbingan itu masih tergantung-gantung djauh di angkasa biru. Semua orang asing, dengan warna politiknja masing-masing, jang memberi kauremah-remah daripada kekajaan kita terbaik jang diisapnja.
 
Aku tahu, engkau orang daerah, orang pedalaman memdewakan pemimpin-pemimpinmu, tetapi aku lebih dekat pada kenjataan ini. Aku tahu engkau berteriak­teriak tentang perekonomian nasional, tetapi basis kehidupan jang didasarkan atas perdagangan eksport, bukan sadja typis negara agraria, djuga negara kolonial. Sepandjang sedjarah negara-negara petani mendjadi negeri djadjahan, dan tetap mendjadi negeri djadjahan.
 
Dan bukankah petani-petani daerahmu masih tetap hamba-hamba di djaman Madjapahit, Sriwidjaja atau Mataram? Siang kepunjaan radja, malam kepunjaan durdjana! Dan radja di djaman merdeka kita ini adalah naik-turunnja harga hasil pertaniannja sendiri. Sedang durdjananja tetap djuga durdjana Madjapahit, Sriwidjaja dan Mataram jang dahulu: perampok, pentjuri, gerombolan, pembunuh, pembegal.
 
Djadi beginilah, kawan. Djakarta merupakan impian orang daerah. Semua ingin ke Djakarta. Tapi Djakarta sendiri hanja kelompokan besar dusun, bahkan bahasa perhubungan jang masak tidak punja. Anak-anak mendjadi terlampau tjepat masak, karena baji-baji, kanak­-kanak dan orangtuanja digiring ke dalam ruangan­-ruangan jang teramat sempit sehingga tiap waktu me­reka bergaul begitu rapat. Masalah orangtua tak ada jang tabu lagi bagi kanak-kanak. Kewibawaan orangtua mendjadi hilang, dan segi-segi jang baik daripada perhubungan antara orangtua dan anak dahulu, kini mendjadi tum­pul. Agama telah mendjadi gaja kehidupan, bukan perbentengan rohani jang terachir. Aku tjeritai kau, kemarin anakku jang paling amat besar enam umurnja, bertjerita: Orang-orang ini dibuat Tuhan. Tapi apakah randjang ini dibuat olehNja djuga? Ia pandangi aku. Waktu kutanjakan kepadanja bagajmana warna Tuhan: hitam ataukah merah? Ia mendjawab Putih! Ia pilih warna jang tidak mengandung interpretasi, tidak di­warnai oleh pretensi. Sebaliknja kehidupan Djakarta ini—dan barangkali patut benar ini kau ketahui: penuh-sesak dengan interpretasi dan pretensi ini. Di segala lapangan! Lebih mendjengkelkan daripada itu: tiap-tiap orang mau mendesakkan kepunjaannja masing-­masing kepada orang lain, kepada lingkungannja. Sungguh-sungguh tiada tertanggungkan. Barangkali kau pernah peladjari sedjarah kemerdekaan berpikir. Bila demikian halnja kau akan dikutuki tjelaka.
 
Tetapi djangan kaukira, bahwa kegalauan ini berarti mutlak. Barangkali adanja kegalauan ini hanjalah suatu salahharap daripadaku sebagai perseorangan. Aku seorang pengarang, dan pengarang di masa kita ini, terutama di ibukota kita, adalah sematjam kerbau jang salah mendarat di tanah tandus. Setidak-tidaknja kegalauan ini memberi rahmat djuga bagi golongan-golongan tertentu, terutama bagi para pedagang nasional, jakni jang berdjualbelikan kenasionalan tanah-airnja dan dirinja. Mungkin engkau tidak setudju. Tetapi barangkali lebih baik demikian. Sungguh lebih menjenangkan bagimu bila masih punja pegangan pada kepertjajaan akan kebaikan segala jang dimiliki oleh tanah-airmu dalam segala segi dan variasinja. Kami golongan pengarang, biasanja tiada lain daripada tenaga penentang, golongan opposisi jang tidak resmi. Resmi: pengarang. Tidak resmi: opposisi periuk terbaik! Dengan sendi­dirinja sadja begitu, karena kami bitjara dengan selu­ruh ada kami, kami hanja punja satu moral. Itu pula sebabnja, bila kami tewas, tewas setjara keseluruhan. Bukannja tewas di moral jang pertama, tetapi mendjadi tambun di moral jang keempat! mendjadi melengkung di moral jang ketiga!
 
Aku kira terlampau djauh lantaranku ini. Padamu aku mau bitjara tentang Djakarta kita.
 
Sekali waktu di suatu peristiwa, Omar pernah bitjara dengan sombongnja: Bakar semua chazanah, karena segalanja telah termaktub di dalam Qur’an! Permun­tjulan jang grandiues tapi tak punja kontour-kontour kenjataan ini adalah gambaran kedjiwaan Djakarta: rentjana-rentjana besar, galangan-galangan terbesar di Asia Tenggara, tugu terbesar di Asia, kemerosotan moral terbesar! segala terbesar. Tapi tak ada sekrup, tak mur, tak ada ada drat, tak ada nipple, tak ada naaf, tak ada inden dan ring pada permesinan semua ini.
 
Sekali waktu disuatu peritiwa, Pascal mentjatat di dalam bukunja: Manusia hanja sebatang rumput, tetapi rumput jang berakal budi. Dan rumput ini adalah golongan jang mempunjai kesadaran tanpa kekuasaan, terindjak dan termakan. Jang lahir, kering dan mati dengan diam-diam. Namun mendjadi permulaan dari pada kehidupan, seperti jang disaksikan oleh Schweitzer, serta risalah Kan Ying Pien.
 
Berbagai matjam angkatan tjampur-baur mendjadi satu, seperti sambal jang menerbitkan satu rasa, tetapi dengan teropong masih djelas nampak perpisahan antara bagian satu dengan jang lain. Namun pentypean sematjam jang tegakkan oleh Remarque tidak memper­lihatkan diri.
 
Barangkali engkau keberatan dengan kata-kataku itu. Tetapi memang demikian. Tjobalah ikuti tulisan-tulisan angkatan demi angkatan. Angkatan jang muda mentjatji jang tua, jang muda ditjatji oleh jang lebih muda. Tetapi, kata Ramadhan KH jang pernah aku dengar, angkatan muda ini bila diberi kesempatan, dia kehilangan segala proporsi dan lemih mendjadi badut lagi. Artinja badut di lingkungan badut. Tokoh-tokoh pemikiran mengetengahkan Wulan Purnomosidhi dan Ada tidaknja Tuhan, di dalam kekatjauan sosiologis, ekonomis dan politis, kultural dan intertual! Apakah kita mesti ikut pukul kaleng untuk membuat segala ini mendjadi bertambah ramai? Sedang anak-anak murid ini telah demikian goiat dengan membanggakan pengetahuannja tentang para tjabul dan ‘rakjat ketjil’ plus saduran Toto Sudarto Bahtiar Tjabul Terhormat karangan Sartre? Plus Margaretta Gouthier saduran Hamka dari Alexander Dumas Jr. Hamka? ja Hamka.
 
Achirnja, seperti kata A.S. Dharta, orang-orang datang dan berkumpul ke Djakarta, mendjadi warga Dja­karta, untuk mempertjepatkan keruntuhan kelompokan besar dusun ini. Tambah banjak jang datang tambah tjepat lagi.
 
Selagi aku belum djadi penduduk Djakarta, dambaanku mungkin seperti kau punja. Impian jang indah, bajangan pada pembangunan hari depan. Diri masih pe­nuh diperlengkapi kekuatan, kemampuan dan kepertja­jaan diri. Barangkali bagimu segala itu lebih keras lagi. Karena di daerah bertiup angin: orang takkan djadi warganegara jang 100% sebelum melihat Djakarta de­ngan mata kepala sendiri.
 
Barangkali engkau akan bertanja kepadaku, mengapa tak djuga menjingkirkan diri dari Djakarta! Ah, kau. Golongan kami adalah sematjam kerbau jang mendarat di tanah tandus. Golongan kami reaksioner di lapangan penghidupan. Sekalipun tandusnja penghidupan golong­an kami, djustru Djakartalah jang bisa memberi, sekalipun hanja remah-remah para pedagang nasional, atau petani pasar minggu. Tambah lama nasi jang sepiring harus dibagi dengan empat-lima anak-anaknja. Dan anak-anak ini akan mengalami masa kehilangan masa kanak-kanak, masa kanak-kanaknja sendiri. Kanak-kanak Djakarta jang tak punja lapangan bergerak, tak punja lapangan bermain, tak punja daerah perkembangan kedjiwaan, menjurus dari gang dan got, membunuh tiap marga-satwa jang tertangkap oleh matanja. Katak dan ketam dan belut dan burung mengalami lik­widasi, di Djakarta! Tetapi njamuk meradjalela, dan tjitjak dan sampah. Djuga mereka ini hidup di alam ketaksenangan. Taman-taman hanja di daerah Menteng dan perkampungan baru. Engkau tahu, djadi orang apa kanak-kanak sematjam ini djadinja di kemudian hari.
 
Engku tahu, ada pernah dibisikkan kepadaku: daerah jang punja taman adalah lahir dan berkembang karena telah menghisap darah daerah jang tak punja taman. Tentu sadja bisikan ini konsekwensi daripada prinsip perdjuangan kelas. Barangkali engkau tak setu­dju, karena ini membawa-bawa politik atau pergeseran kemasjarakatan jang berwarna politik atau politik ekonomi. Mungkin djuga hanja suatu kedengkian jang tak sehat. Tapi apakah jang dapat kauharapkan dari suatu masjarakat dimana sebahagian besar warganja hidup dalam suasana tak senang, tak ada pegangan, tak ada kepertjajaan pada haridepan! Sedang para pedagang nasional djuga tak punja haridepan, karena kemanisan jang diperolehnja harikini diisapnja habis harikini pula, untuk dirinja sendiri tentu, atas nama kenaikan harga tentu, sehingga mereka mendjadi para turis di daerah kehidupannja sendiri.
 
Segala jang buruk berkembang-biak dengan mantiknja di Djakarta ini. Segi-segi kehidupan amatlah runtjingnja dan melukai orang jang tersinggung olehnja. Tetapi wargakota jang sebelum proklamasi bersikap apatis ­— apatisnja seorang hamba — kini kulihat apatisnja orang merdeka dengan djiwa hambanja. Bukan penghinaan, sekalipun suatu peringatan itu kadang-kadang terasa
 
sebagai penghinaan. Di dalam kehidupan jang tidak menjenangkan apakah jang tak terasa sebagai penghinaan! Dan tiap titik jang menjenangkan dianggap pudjian, atau setidak-tidaknja setjara subjektif: pengakuan dari pihak luaran akan kesamaan martabat dengan orang atau bangsa jang memang telah merdeka dan tahu mempergunakan kemerdekaannja. Barangkali engkau menghendaki ketegasan utjapan ini. Baiklah aku tegaskan kepadamu: memang wargakota belum lagi 25% bertindak sebagai bangsa merdeka. Anarki ketjil­-ketjilan, sebagaimana mereka dahulu dilahirkan dalam lingkungan jang serba ketjil-ketjil pula: buang sam­pah digot! bandjir tiap hudjan akibatnja; pendudukan tanah orang lain jang disadari benar bukan tanahnja sendiri menurut segala hukum jang ada, sekalipun sah menurut hukum jang dikarang-karangnja sendiri: ketimpangan hak tanah adalah ketimpangan penghidupan, kehidupan dan kesedjahteraan sosial. Mengapa? Karena besok atau lusa tiap orang dapat didorong keluar dari rumah dan pekarangannja sendiri-sendiri. Kedjorokan dan kelalaian jang dengan langsung menudju ke pelanggaran ketertiban bersama. Dan djalan-djalan raja serta segala matjam djalanan umum mendjadi medan permainan Djibril mentjari mangsa. Djuga ini akibat hati orang tidak senang. Bawah sadarnja bilang: dia tak dilindungi hukum — dia, baik jang melanggar maupun jang dilanggar.
 
Nah demikianlah Djakarta kita, sekian tahun setelah merdeka.
 
Barangkali engkau mengagumi kaum tjerdik-pandai jang sering diagungkan namanja di surat-surat kabar. Hanja sedikit di antara mereka itu jang benar-benar bekerdja produktif-kreatif. Jang lain-lain terpaksa mempopulerkan diri agar tak tumbang dimedan penghidup­an! Apakah jang telah ditemukan oleh universitas Indonesia selama ini jang punja prestasi interna­sional! Di lapangan kepolitikan, apakah pantjasila telah melahirkan suatu kenjataan di mana engkau sadar di hati ketjilmu bahwa kau sudah harus merasa berterimakasih. Aku pernah menghitung, dan dalam sehari pada suatu hari jang tak terpilih, diutjapkan lima belas kali kata pantjasila itu baik melalui pers, radio, atau mulut orang. Sedjalan dengan tradisi pendjadjahan jang selalu dideritakan oleh rakjat kita, maka nampak pula garis-garis jang tegas dalam masa pendjadjahan priaji­-pedagang ini: orang membangun dari atas. Tanpa pondamen. Ah, kawan, kita mengulangi sedjarah kegagalan revolusi Perantjis.
 
Barangkali kau menjesalkan pandanganku jang pessimistis.
 
Akupun mengerti keberatanmu. Asal sadja kau tidak lupa: sekian tahun merdeka ini belum lagi bitjara apa-apa bagi mereka jang tewas dalam babak pertama revolusi kita. Kalau Anatole France bitjara tentang iblis-iblis jang haus akan darah di masa pemerintahan pergulingan itu, aku bisa djuga bitjara tentang iblis-iblis jang haus akan kurban, akan kaum invalid penghidupan dan kehidupan. Dan bila kurban-kurban dan kaum invalid penghidupan dan kehidupan ini merasa tak pernah dirugikan, itulah tanda jang tepat, bahwa iblis itu telah lakukan apa jang dinamai zakelijkheid dengan pintarnja. Dan bila iblis-iblis ini tetap apa jang biasa dinamai badjingan.
 
Ini bukanlah jang kita kehendaki dengan zakelijkheid!
 
Ini bukanlah jang kita kehendaki dengan kehidupan kesardjanaan! kepriajian dan perdagangan!
 
Sardjana adalah kompas kita, ke mana kita harus pergi mentjari pegangan dalam lalulintas kebendaan di kekinian dan dimasa-masa mendatang. Sardjanamu, sardjanaku, wartawanmu, wartawanku, politisimu, politisiku, melihat adanja kesumbangan, dan: titik, stop. Djuga seperti turis di dalam gelanggang kehidup­annja sendiri.
 
Barangkali, engkaupun akan menuduh mengapa aku tak berbuat lain daripada mereka. Tetapi akupun tahu, bahwa engkau tidak melupakan sjarat ini: kekuasaan. Kekuasaan ini akan ditelan lahap-lahap oleh tiap orang, tetapi tidak tiap orang tahu tjaranja mendapatkan dan menelannja. Sematjam kutjingmu sendiri. Sekalipun sedjak lahir kauberi nasi tok, sekali waktu bila ditemukannja daging akan dilahapnja djuga. Djadi kau sekarang tahu segi-segi gelap dari ibukota kita ini. Segi-segi jang terang aku tak tahu samasekali, karena memang hal itu belum lagi diwahjukan kepada­ku, baik melalui inderaku jang lima-limanja ataupun jang keenam. Tetapi aku nasihatkan kepadamu, dalam masa kita ini, djanganlah tiap hal kauanggap mengandung kebenaran 100%, dengan menaksir duapuluh prosen pun kau kadang-kadang dihembalang keketjewaan. Djuga demikian halnja dengan uraianku ini.
 
Aku tahu, engkau seorang patriot dalam maksud dan djiwamu, karena engkau orang daerah jang djauh dari kegalauan kota besar, kumpulan besar dusun ini. Engkau akan berdjasa bila bisa membendung tiap orang jang hendak melahirkan diri dari daerahnja hendak memadatkan Djakarta. Tinggallah di daerahmu. Buatlah usaha agar tempatmu mempunjai sekolah menengah atas sebanjak mungkin. Dan buatlah tiap sekolah menengah atas itu mendjadi bunga bangsamu dike­mudianhari: djadi sumber kegiatan sosial, sumber kesedaran politik setjara ilmu, sumber kegiatan pentjiptaan dan latihan kerdja. Pernah aku beri tjeramah di kota kelahiranku dua tahun jang lalu: mobilisasilkan tiap murid ini untuk berbakti pada masjarakatnja, untuk beladjar berbakti, untuk membelokkannja daripada intelektualisme jang hanja mengetahui tanpa ketjakapan mempergunakan pengetahuannja. Apa ilmu pasti jang mereka terima itu bagi kehidupannja di kemudianhari bila tidak berguna?
 
Djangan kausangka, aku hendak mendiktekan kema­uanku sendiri. Aku kira aku telah tjukup tua untuk menjatakan semua ini kepadamu—engkau jang kuharapkan djadi pahlawan pembangun daerahmu. Djuga engkau ada merendahkan petani, karena engkau lahir dari golongan prijaji—pendjadjah petani sepandjang sedjarah pendjadjahan: Djepang, Belanda, Inggris, Mataram, Madjapahit, Sriwidjaja, Mataram dan keradjaan-keradjaan perompak ketjil jang tidak mempunjai tempat chusus di dalam sedjarah.
 
Kawan, sebenarnja revolusi kita harus melahirkan satu bangsa baru, bangsa jang nomogeen, bangsa jang bisa menjalurkan kekuasaan itu sehingga mendjadi tenaga pentjipta raksasa, dan bukan menjerbit-njerbitnja dan melahapnja sehingga habis sampai pada kita, pada rakjat jang ketjil ini. Dari dulu aku telah bilang kekuasaan dan kewibawaan kandas di tangan para petugas. Petugas jang benar-benar pada tempatnja hanja sedikit, dan suaranja biasa habis punah ditelan agitasi politik — sekalipun tiap orang tahu ini bukan masa agitasi lagi, kalau menjadari gentingnja situasi tanah­airnja dalam lalulintas sedjarah dunia!
 
Kita mesti kerdja.
 
Tetapi apa jang mesti kita kerdjakan, bila mereka jang kerdja tak mendapat penghargaan dan hasil seba­gaimana mesti ia terima?
 
Aku kira takkan habis-habisnja ngomong tentang Djakarta kita, pusat pemerintahan nasional kita ini. Setidak-tidaknja aku amat berharap pada kau, orang daerah, orang pedalaman, bakar habis keinginan ke Djakarta untuk menambah djumlah tugu kegagalan revolusi kita. Bangunkan daerahmu sendiri. Apakah karena itu engkau djadi federalis, aku tak hiraukan lagi. Dulu sungguh mengagetkan hatiku mendengar bisikan orang pada telingaku: mana jang lebih penting, kemer­dekaan ataukah persatuan? Dan kuanggap bisikan ini sebagai benih-benih federalisme. Aku tak hiraukan lagi apakah federalisme setjara sadar dianggap djuga sebagai kedjahatan atau tidak! Setidak-tidaknja aku tetap berharap kepadamu, bangunkan daerahmu sendiri. Tak ada gunanja kau melantjong ke ibukota untuk mentjontoh kefatalan di sini.
 
Kawan, sekianlah.

Djakarta, 17-XII-1955. http://sastra-indonesia.com/2021/08/djakarta/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

20 Tahun Kebangkitan Sastra-Teater Lamongan A Jalal A. Anzieb A. Khoirul Anam A. Mustofa Bisri A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja Abdoel Moeis Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdullah Abubakar Batarfie Abdurrahman Wahid Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Acep Iwan Saidi Achdiat K. Mihardja Achiar M Permana Adek Alwi Adhi Pandoyo Adib Baroya Aditya Ardi N Adri Sandra Adu Pesona Sang Wakil Cawapres RI Afrizal Malna Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agus Buchori Agus Dermawan T. Agus Mulyadi Agus Prasmono Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahmad Farid Yahya Ahmad Hasan MS Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Saifullah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alawi Al-Bantani Alfatihatus Sholihatunnisa Alfian Dippahatang Ali Audah Alim Bakhtiar Amie Williams Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amril Taufik Gobel An. Ismanto Andhi Setyo Wibowo Andi Andrianto Andong Buku #3 AndongBuku #3 Andrea Hirata Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Antologi Sastra Lamongan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Arafat Nur Ardi Wina Saputra Ardy Suryantoko Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arman A.Z. Arsyad Indradi Asarpin Ashimuddin Musa Asrul Sani Astuti Ananta Toer Atafras Audifax Awalludin GD Mualif Ayu Nuzul Azizah Hefni B Kunto Wibisono Bahrul Amsal Bambang Kempling Beni Setia Benny Benke Beno Siang Pamungkas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bloomberg Bre Redana Budaya Budi Darma Buldanul Khuri Bustan Basir Maras Candra Adikara Irawan Candrakirana Cangaan Ujungpangkah Gresik Jawa Timur Capres Cawapres 2019 Catatan Ceramah Cerpen Chairil Anwar Chicilia Risca CNN Indonesia Coronavirus COVID-19 D. Zawawi Imron Damiri Mahmud Darju Prasetya Darman Moenir Deddy Arsya Denny JA Denny Mizhar Devy Kurnia Alamsyah Dhoni Zustiyantoro Dian Sukarno Didin Tulus Dien Makmur Din Saja Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Donny Anggoro Donny Darmawan Dr. Hilma Rosyida Ahmad Dwi Cipta Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Dyah Ayu Fitriana Ecep Heryadi Edy Suprayitno Eka Budianta Eka Kurniawan Elok Dyah Messwati Engkos Kosnadi Erdogan Erwin Setia Esai Esti Nuryani Kasam Evan Ys F. Budi Hardiman F. Rahardi Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Fahrur Rozi Faidil Akbar Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathul Qorib Fatkhul Anas Feby Indirani Felix K. Nesi Festival Teater Religi Festival Teater Religi Pelajar SLTA Se-kabupaten Lamongan Fira Basuki Forum Santri Nasional (FSN) Frischa Aswarini Fuad Mardhatillah UY Tiba Fuad Nawawi Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gde Artawan Geger Riyanto Geguritan Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Guenter Grass Gus Ahmad Syauqi Gus tf Gusti Eka Habib Bahar bin Smith Haiku Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Han Gagas Hary B Koriun Hasan Basri Hasnan Bachtiar Heri Ruslan Herman Hesse Hertha Mueller Heru Kurniawan Hestri Hurustyanti Holy Adib Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu I Made Prabaswara I Made Sujaya IAI TABAH (Institut Agama Islam Tarbiyatut Tholabah) Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Iksaka Banu Imam Jazuli Imam Nawawi Imammuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Mahadi Indra Tjahyadi Irfan Afifi Irine Rakhmawati Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS J.S. Badudu Jadid Al Farisy Jajang R Kawentar Jawa Timur Jean Marie Gustave le Clezio JJ. Kusni Jl Raya Simo Sungelebak Jo Batara Surya John H. McGlynn Jordaidan Rizsyah Jual Buku Paket Hemat Juara 3 Lomba Lompat Jauh DISPORA LAMONGAN Jurnalisme Sastrawi K.H. Ma'ruf Amin Kadek Suartaya Kaheesa Kirania Putri Ayu Kahfie Nazaruddin Kalis Mardiasih Kamaluddin Ramdhan Kanti W. Janis Karanggeneng Kardono Setyorakhmadi Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Pantura (KBP) KetemuBuku Jombang KH. M. Najib Muhammad KH. Muhammad Amin (1910-1949) Khairul Mufid Jr Khawas Auskarni Khoirul Abidin Khoshshol Fairuz Ki Ompong Sudarsono Kitab Arbain Nawawi Kodrat Setiawan Kompas TV Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA) Komunitas Sastra dan Teater Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Komunitas-komunitas Teater di Lamongan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Luar Biasa Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) Kopuisi Kostela Kritik Sastra Kumpulan Cerita Buntak Kurnia Effendi Kuswaidi Syafi’ie L Ridwan Muljosudarmo L.K. Ara Lamongan Lan Fang Lawi Ibung Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Literasi Liza Wahyuninto Lukas Luwarso Lukisan Lukman Lukman Santoso Az Lutfi Mardiansyah M Farid W Makkulau M. Faizi M.D. Atmaja Madrasah Aliyah Matholi'ul Anwar Madrasah Ibtida’iyah Thoriqotul Hidayah 1 Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S Mahayana Manado Manneke Budiman Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mario F. Lawi Marsel Robot Martin Aleida Marwanto Mashuri Massayu Masuki M. Astro Masyhudi Media Seputar Pendidikan Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Purnama di Kampung Halaman Mereka yang Menjerat Gus Dur MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mien Uno Moh. Dzunnurrain Moh. Jauhar al-Hakimi Mohammad Rafi Azzamy Mohammad Rokib Mohammad Yamin Muafiqul Khalid MD Much. Khoiri Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alfatih Suryadilaga Muhammad Antakusuma Muhammad Fikry Mauludy Muhammad Hafil Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad N. Hassan Muhammad Subarkah Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Muhyiddin Mukadi Mukani Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Musa Ismail Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang E S Nara Ahirullah Naskah Teater Nezar Patria Noor H. Dee Nunus Supardi Nur Haryanto Nur Wachid Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Okky Madasari Olivia Kristina Sinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pagelaran Musim Tandur Palupi Panca Astuti Pameran Lukisan Parimono V / 40 Plandi Jombang PC. Lesbumi NU Babat PDS HB Jassin Pelukis Dahlan Kong Pelukis Tarmuzie Penculikan Aktivis 1988 Pendidikan Pengajian Pengarang kelahiran Lamongan Pentigraf Pepaosan Perbincangan Peringatan Hari Pahlawan 10 November Pilang Tejoasri Laren Lamongan Jawa Timur Pipiet Senja Politik Pondok Pesantren Ali Bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Jokowi Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi (PMK) Puji Santosa Pustaka LaBRAK PUstaka puJAngga R. Ng. Ronggowarsito Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rasanrasan Boengaketji Raudlotul Immaroh Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Reuni dan Halal Bihalal Mts Putra-Putri Simo 1992 Ribut Wijoto Riki Antoni Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Robin Al Kautsar Rodli TL Roland Barthes Rosi Rosihan Anwar RR Miranda Rumah Budaya Pantura (RBP) S. Jai S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabrank Suparno Safitri Ningrum Sainul Hermawan Sajak Salman Aristo Sandiaga Uno Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Sastra Tasikmalaya (SST) Sarasehan dan Launching Buku Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Kuno Suku Sasak Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Satu Jam Sastra Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSAstra Boenga Ketjil Seni Gumira Ajidarma Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seputar Sastra Pendidikan Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sirdjanul Ghufron Siwi Dwi Saputro Slamet Rahardjo Rais Soediro Satoto Soekarno Soeparno S. Adhy Soesilo Toer Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Sri Handi Lestari Sri Wintala Achmad STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sujatmiko Sukarno Suminto A. Sayuti Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahrudin Attar Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari Sylvianita Widyawati Tangguh Pitoyo Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Ilat Teater nDrinDinG Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tias Tatanka Timur Sinar Suprabana Titi Aoska Tiyasa Jati Pramono Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Toni Masdiono Tri Broto Wibisono TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Tulus Wijanarko Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Jember Universitas Negeri Jember Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyu Aji Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Wiji Thukul Wildan Nugraha Wildana Wargadinata Yanusa Nugroho Yasraf Amir Piliang Yerusalem Ibu Kota Palestina Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhi Herwibowo Yuditeha Yusri Fajar Yuval Noah Harari Zainal Arifin Thoha Zainuddin Sugendal Zara Zettira ZR Zehan Zareez Zuhdi Swt