Minggu, 15 Agustus 2021

Sehelai Kain Kafan

Mahwi Air Tawar
cerpenkompas.wordpress.com
 
1/
Ia bergegas. Tangan kirinya menyingkap ujung sarungnya hingga beberapa inci dari mata kaki. Layaknya seorang penari memainkan satu komposisi. Berlenggak. Pinggulnya bergoyang ke kanan ke kiri, melangkah pasti sambil menjejaki jalan setapak perkampungan. Sementara lentik jemari tangan kanannya mengapit sisi bundelan kain agar tak tergelincir dari kepalanya.
 
”Tukang bendring datang….”
 
Begitulah dulu. Kami. Anak-anak saat melihatnya dari jauh. Serentak kami meninggalkan permainan. Menyambutnya dengan gegap gempita sambil berharap ia akan menoleh. Kadang kala, kami membuntuti dari belakang, membayangkan sebuah baju baru. Tak jarang, ketika berpapasan, di antara kami berdesakan membisikinya, agar ia mau membujuk ibu untuk membeli baju dagangannya. Seperti biasa, ia hanya mengangguk disertai sungging senyum penuh harap. Ketika itulah, kami langsung menggiringnya masuk ke halaman rumah. Meski sebenarnya, sering ibu kami menyambutnya dengan wajah cemberut. Tak terkecuali ibuku, yang selalu takut. Bahkan, untuk menyambut.
 
Tukang bendring itu mendatangi kampung kami ketika pagi menjelang siang, saat bapak-bapak kami sedang berada di tegalan. Dan ia, bagi kami serupa seorang istimewa, yang selalu kami tunggu kehadirannya. Tetapi, sekali lagi, tidak bagi ibuku.
 
Ya. Bagi ibuku, ia tak lebih dari sesosok hantu, yang selalu membuat ibuku ketakutan setiap mendengar suara sumbangnya melengking parau dari balik pintu. Entah, setiap kali ia datang, senantiasa menjadi ancaman bagi ibuku. Barangkali, karena utang ibu belum lunas hingga membuat ibu waswas. Atau ibu khawatir keinginan untuk berutang baju baru lagi tak terkendali.
 
Untuk menghindari kedatangan, dan teriakannya yang sumbang itu. Banyak cara ibu lakukan. Kadang, ibu segera mengunci pintu halaman dari luar hingga ia mengira, ibu sedang bepergian. Kadang, ibu segera mengemasi baju-baju basah dari atas jemuran, serta sandal hingga suasana rumah terkesan sudah lama ditinggal bepergian oleh penghuninya. Kadang juga, ibu menandai bayangan tubuhnya saat berjalan menuju rumah kami. Biasanya, bentuk bayangannya lebih panjang. Dan yang khas, kalau bayangan itu adalah bayangan tukang bendring, adalah dari bentuk bayangan kepalanya yang lebih panjang dan lebar.
 
Semua itu ibu lakukan karena semata-mata ibu malu lantaran tak bisa menepati janji untuk membayar utang. Pernah juga, pada suatu ketika, saat tiba pada waktu tagihan, dan ibu tak ada cara lain untuk menghindarinya ke rumah. Pagi-pagi, ketika dari jauh terdengar lengking anak-anak meneriaki tukang bendring, tanpa ragu-ragu ibu keluar, dan aku mengira, ibu mau menghindar, namun ternyata tidak. Di depan pintu ibu berdiri dengan gelisah.
 
”Ibu mau ke mana?” tanyaku.
 
”Menunggu tukang bendring,” jawabnya tegas.
 
”Ibu punya uang?”
 
”Tidak.”
 
Aneh, bisikku. Bukannya selama ini ibu selalu menghindar? Dan ketika perempuan tukang bendring itu sampai di pertigaan jalan kampung, wajah ibu tiba-tiba pias dan tampak murung. Mungkin ia segera bergegas pulang. Tetapi tidak, ibu tetap berdiri di situ, dan ketika perempuan tukang bendring itu mulai mendekat, persis di pertigaan, perempuan itu berbelok ke arah kiri, seketika ibu merasa lega, sontak mengajakku masuk.
 
Namun tak lama berselang, tiba-tiba dari luar halaman terdengar suara sumbang seseorang. Pada mulanya suara itu samar-samar, tetapi setelah beberapa saat suara itu kian lantang. Dengan muka pucat dan gemetar, ibu mengintip dari sela lubang pintu. Di luar, tampak seseorang mondar-mandir.
 
”Ju, utangmu!”
 
”Sialan,” umpat ibu.
 
Selarik cahaya tipis menyelinap masuk lewat celah-celah jendela.
 
”Kenapa, Bu?”
 
”Baju lebaranmu belum lunas.”
 
”Ju, buka pintu,” teriaknya lagi.
 
Ketika ia sudah berteriak-teriak, biasanya ibu tak bisa mengelak. Khawatir kalau-kalau para tetangga lainnya keluar, lalu mendatangi rumah kami, dan mencibir. Untuk menghindari semua itu, dengan malu-malu ibu terpaksa membukakan pintu. Dan ia, dengan galak, membentak. Melampiaskan kekecewaannya, yang barangkali sudah memuncak. Sementara ibu, hanya mengangguk.
 
2/
Dan kini, sebagaimana dulu, tukang bendring itu terus bergegas, menapaki jalan setapak. Kemudian masuk ke sebuah gang sebelum akhirnya dengan ragu memasuki pekarangan rumah seseorang. Sekilas sungging senyum terkembang.
 
Di halaman, orang-orang berkerumun. Mungkin sedang bergunjing. Sementara di tempat yang lain, di beranda, beberapa perempuan duduk memanjang saling menisik rambut. Dan ia? Perempuan dengan bundelan sarung di kepalanya tanpa ragu-ragu segera masuk.
 
”Baju baru…,” teriaknya, menawarkan barang dagangannya. Sontak perempuan-perempuan itu menyambutnya.
 
”Harga?”
 
”Dijamin.”
 
Mata perempuan yang berkerumun terbelalak saat melihat aneka ragam baju baru tergelar di depannya. Menggoda mata untuk segera memiliki. Tak penting, alasan tak ada uang. Toh, perempuan yang kini menyajikan baju-baju baru itu dengan gayanya yang khas memberi mereka kelonggaran, bayaran bisa dicicil seminggu sekali. Meski tak pasti.
 
”Murah.” Intonasi suaranya ditekan. Adalah Lastri, salah satu di antara para perempuan itu, segera mengambil satu baju berwarna hijau. Sebelumnya, Lastri melirik kepada para ibu, seakan minta pendapat perihal baju yang dipegangnya hingga membuat mereka heran. Bagaimana mungkin. Bukannya diam-diam belakangan Lastri juga menjadi tukang bendring, pedagang baju keliling?
 
”Las, bukannya….”
 
”Ini, Bu. Harganya?” Lastri memotong. Barangkali Lastri cari perbandingan harga.
 
”Itu baju sudah ada yang pesan.” Sepasang matanya kembali menatap catatan-catatan tagihan yang belum lunas. Mengerut dan berucap sinis, Lastri belum melunasi utang-utang baju sebelumnya. Orang-orang melirik tak senang.
 
”Sudahlah. Sesama pedagang, berapa harga baju ini?” ketus Lastri. Perempuan itu tak menjawab. Ia tahu, Lastri memang belakangan menjadi tukang bendring, meski tidak di kampungnya sendiri. Bahkan, tak jarang ia mendapatkan laporan bahwa diam-diam Lastri tak keberatan jika ada seorang lelaki ingin membayar tubuhnya daripada baju dagangannya.
 
3/
”Ini hanya cerita,” bisik ibu, sambil mengintip mereka dari balik jendela. ”Lastri, dan tukang bendring yang sudah renta itu. Kamu masih ingat namanya, Nak?” tanya Ibu.
 
”Markoya,” jawabku.
 
”Ya, Markoya.”
 
Ia, tukang bendring itu, Markoya, namanya. Sebagaimana juga dulu, ketika kami masih asik bermain di belakang rumahnya hingga sore menjelang malam. Kami sambil menunggunya datang. Tentu, yang tak dapat kulupa sampai sekarang, sejak dua puluh dua tahun silam—aku meninggalkan kampung halaman. Sepulang dari berkeliling sebagai pedagang baju bendring, ia suka membawakan kami oleh-oleh jajanan pasar, kemudian dibagi-bagikan secara rata, sebelum akhirnya menyuruh kami pulang, agar tidak telat pergi mengaji.
 
”Besok lagi mainnya. Sebentar lagi petang,” begitu katanya. Ah, alangkah bijaknya perempuan itu.
***
 
Dan kini, bersama ibu, aku hanya mengintipnya dari balik jendela. Ia tampak tergesa-gesa. Melewati jalan setapak yang teramat terik. Sesekali ia menoleh. Barangkali kesal dengan sikap Lastri, yang sudah berjanji akan melunasi utang bendring. Atau dengan ibuku?
 
”Tak sembarang orang sekarang boleh mengambil barang dagangannya.”
 
”Termasuk Lastri?” Kusingkap jendela, perempuan tukang bendring itu sudah mulai menjauh. ”Kenapa dengan Lastri, Bu?”
 
”Senok.” Astaga, desisku tak percaya dengan ucapan ibu tentang Lastri. Tidak percaya di kampungku yang sekecil ini ada seorang senok, pelacur. Entah sejak kapan. Tiba-tiba tanpa ditanya ibu menambahkan.
 
”Sudah lama ia berpisah dengan Madrihmah. Lalu, ia menjadi tukang bendring, tapi tidak di sini.”
 
”Lantaran?”
 
”Senok!”
 
”Dan Markoya itu tak mau ngasih utang kepada senok?”
 
”Mungkin ia takut, bajunya dipakai ngelonte.”
 
Ya, rasanya sulit dipercaya kabar, yang baru saja kudengar dari ibuku itu. Bagaimana mungkin, dalam tempurung kampung sekecil ini hidup seorang senok, dan itu Lastri, teman sepermainanku dulu. Bukannya ia juga pedagang baju?
***
 
Sudah setengah hari Markoya berkeliling. Melewati jalan setapak perkampungan, yang kondisi tanahnya kelewat gersang. Lelehan keringat tak membuatnya merasa gerah, namun sebaliknya, ia umpamakan lelehan keringat itu sebagai air peneduh setelah berjam-jam berkeliling dari kampung ke kampung. Berkunjung dari rumah ke rumah.
 
Sebagai tukang bendring, meski kadang hasilnya tak sebanding. Tak membuatnya putus asa. Menyerah. Bertemu banyak orang jauh lebih penting, begitu ia menjawab setiap pertanyaan orang tentang pekerjaannya.
 
”Dagang hanya sampingan,” ujarnya sambil mengikat antara ujung kain.
 
Hari sudah menjelang sore. Tentu, masih banyak orang mesti ia temui. Banyak rumah mesti ia kunjungi. Ke Brudin, salah satunya, yang tempo hari memesan kain kafan. Kasihan, desisnya, sambil memelankan langkahnya. Setelah melewati perbatasan kampung. Kini, ia tiba di sebuah pekarangan rumah Lastri. Ia pun tak heran ketika di beranda tak terlihat seseorang. Bukannya ini hari sudah sore?
 
Maka, sebagaimana sering Markoya lakukan setiap memasuki rumah seseorang, ia berucap salam, lalu tanpa menunggu jawaban ia bergegas masuk, dan menuju langgar yang terletak di ujung barat, samping rumah utama.
 
Markoya duduk bersandar pada salah satu tiang penyangga. Tak lama berselang, Lastri dengan tubuh hanya dibaluti sarung hingga setinggi dada. Tampak pada lekuk-lekuk tubuhnya pasir putih masih melekat, begitu saja datang menyamperi Markoya. Dan Markoya, dengan berat hati menyambutnya dengan senyum. Satu hal yang tak boleh dilupakan oleh seorang pedagang.
 
”Baju baru?” tanyanya.
 
”Beberapa.” Lastri mengambil salah satu baju, bermotif batik.
 
”Utangmu belum lunas.” Markoya membuka buku catatan.
 
”Minggu depan,” ujarnya, kemudian masuk, dan tak lama berselang Lastri muncul dengan membawa secangkir kopi. ”Minum dulu.” Markoya tersenyum simpul. ”Sudah ketemu Ke Brudin?” Markoya menyeduh kopi hangat. ”Tadi Ke Brudin pesan, kalau sampean datang suruh ke sana.”
 
”Guru mengaji itu?” tanya Markoya.
 
”Ya. Beliau ingin pesan baju baru untuk dipakai hari Jumat. Kasihan, bajunya cuma satu.”
 
”Ke Brudin juga pesan kain kafan,” desisnya lirih.
 
”Dengan apa ia akan membayar?”
 
”Dengan doa.”
 
”Ngawur. Doa tak membuat orang kenyang.”
 
”Buktinya, Ke Brudin sampai sekarang masih segar bugar.” Seketika Markoya tercengang. Diam-diam ia membenarkan pernyataan Lastri, meski ucapan itu terasa janggal. Dalam bimbang ia terusik. Bagaimana mungkin, bisiknya.
 
”Kenapa?”
 
”Ke Brudin…,” desisnya.
 
”Sudah tua. Tak mungkin gitu-gituan.”
 
”Maksudmu, Las?”
 
”Ngamar,” selorohnya.
 
”Mulutmu.”
 
”Lalu?”
 
”Kain kafan,” suara Markoya, serak dan serasa berat.
 
Sore hari di halaman. Pasir-pasir berhamburan. Pelepah nyiur dan janur seperti malas berayun. Selarik cahaya senja membentuk garis tipis masuk lewat celah-celah bilik langgar tempat ia duduk bersandar pada tiangnya, yang miring. Sesekali cahaya senja bergetar samar, sesamar gerakan kedipan matanya. Dan tak lama berselang, sebuah bisikan tanpa ia jelang datang, menggiringnya pada sesosok lelaki tua renta. Ke Brudin, desisnya. Ia hanya menghabiskan waktunya untuk anak-anak, mengajari mengaji, ilmu dunia dan akhirat, suara Markoya lirih. Mungkin tak lama lagi ajal juga menjemputku.
 
”Ah, sudah lama, saya tak membawakan anak-anak oleh-oleh. Mereka belajar mengaji kepada Ke Brudin.”
 
”Betul,” spontan Lastri menyahut.
 
”Saya harus segera ke sana,” lekas mengikat ujung kain sarungnya. Dan segera bergegas. Tapi sesaat ia kembali dan bertanya.
 
”Baju koko?”
 
”Baju koko untuk shalat,” Lastri menahan tawa.
 
”Ya. Saya segera ke sana. Utangmu minggu depan.” Dan Lastri. Entah, seperti mukjizat lain muncul mengusik. Selepas Markoya, tukang bendring itu menghilang di pekarangan, tiba-tiba Lastri merasakan sesuatu yang aneh, dan teringat, pernah menjanjikan Ke Bruddin kain kafan.

Yogyakarta, Desember 2008-2011 http://sastra-indonesia.com/2012/05/sehelai-kain-kafan/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

20 Tahun Kebangkitan Sastra-Teater Lamongan A Jalal A. Anzieb A. Khoirul Anam A. Mustofa Bisri A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja Abdoel Moeis Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdullah Abubakar Batarfie Abdurrahman Wahid Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Acep Iwan Saidi Achdiat K. Mihardja Achiar M Permana Adek Alwi Adhi Pandoyo Adib Baroya Aditya Ardi N Adri Sandra Adu Pesona Sang Wakil Cawapres RI Afrizal Malna Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agus Buchori Agus Dermawan T. Agus Mulyadi Agus Prasmono Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahmad Farid Yahya Ahmad Hasan MS Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Saifullah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alawi Al-Bantani Alfatihatus Sholihatunnisa Alfian Dippahatang Ali Audah Alim Bakhtiar Amie Williams Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amril Taufik Gobel An. Ismanto Andhi Setyo Wibowo Andi Andrianto Andong Buku #3 AndongBuku #3 Andrea Hirata Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Antologi Sastra Lamongan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Arafat Nur Ardi Wina Saputra Ardy Suryantoko Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arman A.Z. Arsyad Indradi Asarpin Ashimuddin Musa Asrul Sani Astuti Ananta Toer Atafras Audifax Awalludin GD Mualif Ayu Nuzul Azizah Hefni B Kunto Wibisono Bahrul Amsal Bambang Kempling Beni Setia Benny Benke Beno Siang Pamungkas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bloomberg Bre Redana Budaya Budi Darma Buldanul Khuri Bustan Basir Maras Candra Adikara Irawan Candrakirana Cangaan Ujungpangkah Gresik Jawa Timur Capres Cawapres 2019 Catatan Ceramah Cerpen Chairil Anwar Chicilia Risca CNN Indonesia Coronavirus COVID-19 D. Zawawi Imron Damiri Mahmud Darju Prasetya Darman Moenir Deddy Arsya Denny JA Denny Mizhar Devy Kurnia Alamsyah Dhoni Zustiyantoro Dian Sukarno Didin Tulus Dien Makmur Din Saja Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Donny Anggoro Donny Darmawan Dr. Hilma Rosyida Ahmad Dwi Cipta Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Dyah Ayu Fitriana Ecep Heryadi Edy Suprayitno Eka Budianta Eka Kurniawan Elok Dyah Messwati Engkos Kosnadi Erdogan Erwin Setia Esai Esti Nuryani Kasam Evan Ys F. Budi Hardiman F. Rahardi Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Fahrur Rozi Faidil Akbar Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathul Qorib Fatkhul Anas Feby Indirani Felix K. Nesi Festival Teater Religi Festival Teater Religi Pelajar SLTA Se-kabupaten Lamongan Fira Basuki Forum Santri Nasional (FSN) Frischa Aswarini Fuad Mardhatillah UY Tiba Fuad Nawawi Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gde Artawan Geger Riyanto Geguritan Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Guenter Grass Gus Ahmad Syauqi Gus tf Gusti Eka Habib Bahar bin Smith Haiku Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Han Gagas Hary B Koriun Hasan Basri Hasnan Bachtiar Heri Ruslan Herman Hesse Hertha Mueller Heru Kurniawan Hestri Hurustyanti Holy Adib Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu I Made Prabaswara I Made Sujaya IAI TABAH (Institut Agama Islam Tarbiyatut Tholabah) Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Iksaka Banu Imam Jazuli Imam Nawawi Imammuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Mahadi Indra Tjahyadi Irfan Afifi Irine Rakhmawati Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS J.S. Badudu Jadid Al Farisy Jajang R Kawentar Jawa Timur Jean Marie Gustave le Clezio JJ. Kusni Jl Raya Simo Sungelebak Jo Batara Surya John H. McGlynn Jordaidan Rizsyah Jual Buku Paket Hemat Juara 3 Lomba Lompat Jauh DISPORA LAMONGAN Jurnalisme Sastrawi K.H. Ma'ruf Amin Kadek Suartaya Kaheesa Kirania Putri Ayu Kahfie Nazaruddin Kalis Mardiasih Kamaluddin Ramdhan Kanti W. Janis Karanggeneng Kardono Setyorakhmadi Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Pantura (KBP) KetemuBuku Jombang KH. M. Najib Muhammad KH. Muhammad Amin (1910-1949) Khairul Mufid Jr Khawas Auskarni Khoirul Abidin Khoshshol Fairuz Ki Ompong Sudarsono Kitab Arbain Nawawi Kodrat Setiawan Kompas TV Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA) Komunitas Sastra dan Teater Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Komunitas-komunitas Teater di Lamongan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Luar Biasa Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) Kopuisi Kostela Kritik Sastra Kumpulan Cerita Buntak Kurnia Effendi Kuswaidi Syafi’ie L Ridwan Muljosudarmo L.K. Ara Lamongan Lan Fang Lawi Ibung Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Literasi Liza Wahyuninto Lukas Luwarso Lukisan Lukman Lukman Santoso Az Lutfi Mardiansyah M Farid W Makkulau M. Faizi M.D. Atmaja Madrasah Aliyah Matholi'ul Anwar Madrasah Ibtida’iyah Thoriqotul Hidayah 1 Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S Mahayana Manado Manneke Budiman Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mario F. Lawi Marsel Robot Martin Aleida Marwanto Mashuri Massayu Masuki M. Astro Masyhudi Media Seputar Pendidikan Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Purnama di Kampung Halaman Mereka yang Menjerat Gus Dur MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mien Uno Moh. Dzunnurrain Moh. Jauhar al-Hakimi Mohammad Rafi Azzamy Mohammad Rokib Mohammad Yamin Muafiqul Khalid MD Much. Khoiri Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alfatih Suryadilaga Muhammad Antakusuma Muhammad Fikry Mauludy Muhammad Hafil Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad N. Hassan Muhammad Subarkah Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Muhyiddin Mukadi Mukani Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Musa Ismail Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang E S Nara Ahirullah Naskah Teater Nezar Patria Noor H. Dee Nunus Supardi Nur Haryanto Nur Wachid Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Okky Madasari Olivia Kristina Sinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pagelaran Musim Tandur Palupi Panca Astuti Pameran Lukisan Parimono V / 40 Plandi Jombang PC. Lesbumi NU Babat PDS HB Jassin Pelukis Dahlan Kong Pelukis Tarmuzie Penculikan Aktivis 1988 Pendidikan Pengajian Pengarang kelahiran Lamongan Pentigraf Pepaosan Perbincangan Peringatan Hari Pahlawan 10 November Pilang Tejoasri Laren Lamongan Jawa Timur Pipiet Senja Politik Pondok Pesantren Ali Bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Jokowi Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi (PMK) Puji Santosa Pustaka LaBRAK PUstaka puJAngga R. Ng. Ronggowarsito Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rasanrasan Boengaketji Raudlotul Immaroh Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Reuni dan Halal Bihalal Mts Putra-Putri Simo 1992 Ribut Wijoto Riki Antoni Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Robin Al Kautsar Rodli TL Roland Barthes Rosi Rosihan Anwar RR Miranda Rumah Budaya Pantura (RBP) S. Jai S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabrank Suparno Safitri Ningrum Sainul Hermawan Sajak Salman Aristo Sandiaga Uno Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Sastra Tasikmalaya (SST) Sarasehan dan Launching Buku Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Kuno Suku Sasak Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Satu Jam Sastra Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSAstra Boenga Ketjil Seni Gumira Ajidarma Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seputar Sastra Pendidikan Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sirdjanul Ghufron Siwi Dwi Saputro Slamet Rahardjo Rais Soediro Satoto Soekarno Soeparno S. Adhy Soesilo Toer Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Sri Handi Lestari Sri Wintala Achmad STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sujatmiko Sukarno Suminto A. Sayuti Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahrudin Attar Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari Sylvianita Widyawati Tangguh Pitoyo Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Ilat Teater nDrinDinG Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tias Tatanka Timur Sinar Suprabana Titi Aoska Tiyasa Jati Pramono Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Toni Masdiono Tri Broto Wibisono TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Tulus Wijanarko Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Jember Universitas Negeri Jember Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyu Aji Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Wiji Thukul Wildan Nugraha Wildana Wargadinata Yanusa Nugroho Yasraf Amir Piliang Yerusalem Ibu Kota Palestina Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhi Herwibowo Yuditeha Yusri Fajar Yuval Noah Harari Zainal Arifin Thoha Zainuddin Sugendal Zara Zettira ZR Zehan Zareez Zuhdi Swt