Senin, 30 April 2018

Bangkitlah homo sapiens dari Aceh (Manusia si Pemikir dari Aceh)!

Tu-ngang Iskandar

Menceritakan tentang Aceh di hadapan kawan-kawan mahasiswa Aceh di Yogyakarta adalah suatu malu tersendiri bagi saya. Karena saya yakin bahwa pemuda-pemudi yang belajar ke luar Aceh telah membekali dirinya dengan identitas yang mapan tentang keAcehan, setidaknya pengetahuan yang cukup tentang realitas yang terjadi di Aceh saat ini, sebelum kemudian menunjukkan diri di hadapan oran-orang dari berbagai penjuru lain dan menyampaikan sesuatu tentang Aceh.

Walau sejujurnya saya juga ikut khawatir dalam berpikiran seperti di atas, karena sangat mungkin juga bahwa yang hadir di sini adalah kepala-kepala boh leupieng (kelapa yang dilobangi tupai atau yang labil berpegang pada tangkainya), yang hanya melakukan prosesi belajar karena di dorong oleh gaya-gayaan semata, agar dianggap keren dari kampung halamannya, agar dilihat sebagai orang yang memiliki pikiran atau otak. Namun pada kenyataannya hanyalah tengkorak tanpa isi, yang sangat mudah dimasuki oleh berbagai angin jahat dan liar dari tempat-tempat sampah, hingga tidak mampu mendeteksi dirinya sendiri sebagai manusia si pemikir (homo sapiens), dan lebih layak ditendang ke sana ke mari seperti halnya bolaboh leupieng.

Manusia si pemikir dari Aceh (homo sapiens Aceh), menjadi harapan terakhir masyarakat Aceh atas berbagai kehancuran di Aceh, baik yang telah terjadi maupun yang sedang berlangsusng. Bahwa tiada jalan lain yang harus ditempuh untuk mengangkat orang Aceh ke tempat yang lebih menjanjikan, kecuali dengan sebuah kecerdasan dan kebijaksanaan (hasil berfikir) yang mapan. Apalagi kaum berpendidikan, yang jelas harus menggunakan otaknya itu untuk mengubah keadaan buruk menjadi baik, dan bukankah otak kita itu tidak sekedar untuk mengisi ruang kosong dalam tempurung kepala kita? Maka gunakanlah.

Pengembangan berfikir tentu bisa diukur dari cara kita bersikap terhadap lingkungan atau reaksi untuk berbagai ilmu pengetahuan yang terdapat di sekitar kita. Kepekaan terhadap sumber-sumber ilmu yang bergerak seperti dari pergaulan sosial ataupun dari sumber-sumber tetap lain seperti buku-buku sangat berpengaruh dalam mengasah berfikir dan membentuk karakter diri. Seseorang yang hanya menghabiskan waktu dengan bermain game di tempat tidur sehabis pulang kuliah tentu akan berbeda tingkat intelektualnya dibandingkan dengan orang yang memilih bergaul sambil berdiskusi tentang berbagai hal. Begitupun dengan orang-orang yang hanya sibuk bergaul, tanpa menyempatkan diri membaca buku-buku penting. Kenyataan bahwa orang-orang terbaik selalu muncul dibalik meja-meja diskusi dan rak buku.

Melakukan proses berfikir adalah juga suatu cara dalam membersihkan kabut tebal yang ada dalam kepala kita sendiri. Belajar adalah tentang suatu jalan yang kita tempuh dalam rangka menggapai pikiran kita yang utuh. Berbagai motivasi belajar jangan sampai menghapus berbagai hal penting yang ingin kita gapai di dunia ini. Karena seringkali kesia-siaan dalam berjuang itu muncul ketika dalam melakukan proses, motivasinya adalah bersifat badani dan personal semata. Makanan yang enak, pakaian mahal lagi bermerk, perempuan yang banyak, mobil dan rumah mewah, hiburan yang gemerlap, ketenaran,kekuasanan, atau uang yang melimpah, merupakan orientasi dari proses belajar yang kita tempuh ini. Orientasi yang menganggap bahwa kesempurnaan hidup atau kemerdekaan terletak pada kenikmatan badani itu telah berlaku pada pendahulu kita, dan sangat mungkin itu pun bisa terjadi pada kita, ketika kita dibutakan dengan kabut di dalam hati dan pikiran.

Merefleksikan itu semua, mari kita mundur sejenak menuju 1000 Tahun Sebelum Masehi (SM), di mana kesadaran besar telah muncul setelah kenikmatan yang sifatnya badani itu tidak mampu membuktikan apa-apa tentang kesempurnaan atau kemerdekaan hidup. Kesadaran itu terjadi pada orang Yunani, sebuah bangsa yang pada awalnya hanya menghabiskan hidup dengan meminum anggur, bermain perempuan, menikmati tarian perangsang birahi, menyanyi lagu-lagu yang dapat menyenangkan, dan berolahraga untuk tetap bisa menikmati kelezatan yang ternyata semu itu. Beruntunglah mereka, fajar kemudian menjemput, untuk beranjak dari kebodohan itu semua. Lalu ahli-ahli filsafat dan sejarah Yunani pun menulis buku-buku, menggubah seni-seni menjadi mencerahkan, dan muncul di mimbar-mimbar untuk berpidato. Di mana menjadi guru bagi sesamanya adalah jalan awal yang mereka tempuh, seperti halnya Jepang setelah bom Hiroshima. Sekarang, bukankah kita pun telah mengenal nama-nama besar yang mendunia dari Yunani, lewat pemikirannya yang mencerahkan, seperti Plato, Aristoteles, Socrates, Homerus, Aristophanes, Aeschylus, Thucydides, dan masih banyak lainnya.

Kesadaran puncak dalam menuju kesempurnaan hidup seperti yang ditunjukkan bangsa Yunani bukankah pernah juga dibuktikan oleh bangsa Aceh di masa lalu? Itu bisa kita lihat dari hadirnya kitab-kitab buatan ulama Aceh sampai ke pelosok-pelosok di Asia Tenggara, melalui hikayat-hikayat yang bisa membangunkan lelaki-lelaki Aceh dari empuknya kasur dan hangatnya pelukan istri untuk menuju medan tempur penuh sakit dan darah, lewat hadihmaja-hadihmaja yang sampai sekarang masih relevan diikuti, dan berbagai jenis ukiran-ukiran indah yang dapat mencerahkan seperti yang terdapat di batu-batu nisan Aceh.

Betapa besarnya pengaruh berfikir, hingga mampu merubah sebuah tatanan dunia. Lalu apakah selama ini kita membudayakan berfikir? atau setidaknya belajar cara berfikir? itu semua adalah pertanyaan yang seharusnya muncul pada diri yang mengaku sebagai kaum intelektual seperti mahasiswa. Berfikir memang selalu muncul ketika kita sedang menghadapi masalah. Tapi apakah otak kita terlalu kecil untuk menampung berbagai persoalan yang menyelimuti masyarakat banyak, hingga hanya mampu mendeteksi persoalan kita sendiri untuk dipikirkan dan diselesaikan sendiri. Ini terletak pada sejauhmana kebinatangan personal itu mampu kita taklukkan sendiri, lalu maju lebih jauh ke dalam sisi kemanusiaan.

Aceh Butuh Dipikirkan
Sebagaimana bangsa lainnya yang kita akui keberadaannya karena berfikir, bangsa Aceh juga harus mampu bangkit untuk menunjukkan bahwa Aceh itu masih “ada” dan bukan hanya sebagai nama dari salah satu provinsi di Indonesia, bukan juga karena di sana dengan mudahnya tumbuh ganja, bukan pula karena orang Aceh mampu berperang puluhan tahun lamanya, dan bukan juga karena tsunami pernah menghantam negeri paling barat Pulau Sumatra itu, melainkan “adanya” karena “Aceh itu berfikir”, seperti kata-kata yang dilontarkan oleh Rene Descartes, seorang filsuf ternama dari Perancis, yang berbunyi; “aku berfikir maka aku ada” (Latin: cogito ergo sum).

Memikirkan Aceh tentunya bisa dari manapun, termasuk dari balik Gunung Merapi ini sekalipun. Aceh layaklah kita pikirkan atau jika lebih hinanya kita dikasihani, sebagaimana seorang tua renta yang sedang mengemis untuk menunggu dipulihkan rasa sakitnya. Bukankah tidak ada tangan, hati, dan pikiran yang lebih dekat dengan Aceh selain anaknya sendiri? Itu adalah kita, “anak Aceh”. Sebagai anak Aceh, kita tidak sekedar dituntut untuk punya rasa tanggungjawab yang lebih, namun juga harus memiliki “rohnya Aceh”, sebagai identitas; seperti ketangguhan dalam mental, keteguhan dalam mempertahankan kebenaran, dan kesetiaan pada perintah Tuhan. Dan selama kita mempunyai ilmu, ditambah dengan iman, tidak mungkin kebodohan yang bersenjata dan kelaliman yang kuat itu menang. Yang dibutuhkan adalah saling mendukung dan bukan melakukan pembunuhan karakter atau saling menekan kemajuan sesama. Orang-orang terdekat harus menjadi pendorong dan guru yang baik dalam proses belajar atau untuk menuju kesuksesan di berbagai bidang. Bukankah kehebatan orang Aceh sedemikian dikenal ketika menjadi guru bagi orang-orang di Nusantara ini tempo waktu? yaitu dengan mendidik orang-orang yang kelak sebagai cikal bakal hadirnya Wali Songo di Pulau Jawa.

Berfikir Lewat Organisasi Nyata
Khususnya di Yogyakarta, ratusan mahasiswa dari berbagai penjuru Aceh berdatangan ke sini tiap tahunnya. Memang, menuntut ilmu di perguruan tinggi adalah salah satu tujuan utama. Namun yang tidak kalah pentingnya adalah memiliki kesadaran dalam mengembangkan diri lewat berorganisasi dan bergaul dengan orang-orang berfikiran lain dari berbagai tempat. Organisasi adalah salah satu ruang terpenting dalam membangun mental kepemimpinan. Sesuatu yang tanpaknya semakin tidak perlu untuk dijalani bagi mahasiswa yang berduniakan layar gesek seperti sekarang ini. Di mana bagi mereka, berorganisasi mungkin cukup dengan membuat grup pada media sosial, dengan program membagi-bagikan tautan semacam “apam keubeue” tiap semenit sekali.

Ya, kita memang tidak butuh orang-orang yang pikirannya sekaku itu, yang mengagungkan teknologi, namun merendahkan pikiran, hati, dan segenap tubuh, yang telah sejak sekian lama menjadi ibu dari segala kelahiran benda-benda canggih di muka bumi. Kita harus bergerak lebih jauh untuk mengalaminya sendiri, dengan segenap jiwa-raga, dalam membangun diri ini senyata mungkin, yang bisa ditempuh lewat berorganisasi atau bersosialisasi dengan orang-orang cerdas dan bijak. Karena tidak mungkin juga merasakan atmosfir kota pendidikan ini hanya lewat jendela kampus, tempat tidur dan kamar mandi. Semuanya harus dialami, dirasakan, atau dinikmati. Itu sebelum waktu menjemput kita pulang dan kemudian mempertanggungjawabkan segala yang pernah kita dapatkan di sini.

Belajar berorganisasi atau bersosialisasi tidak juga dengan mendirikan berbagai macam perkumpulan baru tanpa aktifitas seperti yang banyak terjadi belakangan ini. Kita bisa belajar dari organisasi nyata yang telah lebih dulu mumpuni, dan tidak bisa lewat organisasi kampung yang kita bangun tadi sore. Karena bukankah tujuan kita berorganisasi itu untuk mengenal orang lain yang belum kita kenal dan belajar banyak dari mereka?

Di Yogyakarta, terdapat satu organisasi besar yang menaungi berbagai perkumpulan lain, baik yang berasal dari kabupaten maupun kampus-kampus. Ia adalah Taman Pelajar Aceh (TPA), organisasi yang telah lama menjadi saksi dan berperan penting atas lahirnya intelektual-intelektual di Aceh. Di sinilah kawan-kawan bisa saling mengasah kemampuan diri, berorganisasi untuk menyatukan Aceh yang tanpa sekat suku-suku, dan belajar lebih jauh untuk memahami dunia dengan identitas yang mumpuni. Akhirnya, semua hanya bisa ditempuh dengan berfikir dan melakukan apapun senyata mungkin. Selamat mengalami.


[Tulisan ini adalah materi yang dikeluarkan Tu-ngang Institut pada tanggal 19 Desember 2015, dalam acara Malam Keakraban mahasiswa Aceh di Yogyakarta, yang diadakan Taman Pelajar Aceh (TPA) Yogyakarta]
Tu-ngang Iskandar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

20 Tahun Kebangkitan Sastra-Teater Lamongan A Jalal A. Anzieb A. Khoirul Anam A. Mustofa Bisri A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja Abdoel Moeis Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdullah Abubakar Batarfie Abdurrahman Wahid Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Acep Iwan Saidi Achdiat K. Mihardja Achiar M Permana Adek Alwi Adhi Pandoyo Adib Baroya Aditya Ardi N Adri Sandra Adu Pesona Sang Wakil Cawapres RI Afrizal Malna Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agus Buchori Agus Dermawan T. Agus Mulyadi Agus Prasmono Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahmad Farid Yahya Ahmad Hasan MS Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Saifullah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alawi Al-Bantani Alfatihatus Sholihatunnisa Alfian Dippahatang Ali Audah Alim Bakhtiar Amie Williams Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amril Taufik Gobel An. Ismanto Andhi Setyo Wibowo Andi Andrianto Andong Buku #3 AndongBuku #3 Andrea Hirata Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Antologi Sastra Lamongan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Arafat Nur Ardi Wina Saputra Ardy Suryantoko Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arman A.Z. Arsyad Indradi Asarpin Ashimuddin Musa Asrul Sani Astuti Ananta Toer Atafras Audifax Awalludin GD Mualif Ayu Nuzul Azizah Hefni B Kunto Wibisono Bahrul Amsal Bambang Kempling Beni Setia Benny Benke Beno Siang Pamungkas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bloomberg Bre Redana Budaya Budi Darma Buldanul Khuri Bustan Basir Maras Candra Adikara Irawan Candrakirana Cangaan Ujungpangkah Gresik Jawa Timur Capres Cawapres 2019 Catatan Ceramah Cerpen Chairil Anwar Chicilia Risca CNN Indonesia Coronavirus COVID-19 D. Zawawi Imron Damiri Mahmud Darju Prasetya Darman Moenir Deddy Arsya Denny JA Denny Mizhar Devy Kurnia Alamsyah Dhoni Zustiyantoro Dian Sukarno Didin Tulus Dien Makmur Din Saja Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Donny Anggoro Donny Darmawan Dr. Hilma Rosyida Ahmad Dwi Cipta Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Dyah Ayu Fitriana Ecep Heryadi Edy Suprayitno Eka Budianta Eka Kurniawan Elok Dyah Messwati Engkos Kosnadi Erdogan Erwin Setia Esai Esti Nuryani Kasam Evan Ys F. Budi Hardiman F. Rahardi Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Fahrur Rozi Faidil Akbar Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathul Qorib Fatkhul Anas Feby Indirani Felix K. Nesi Festival Teater Religi Festival Teater Religi Pelajar SLTA Se-kabupaten Lamongan Fira Basuki Forum Santri Nasional (FSN) Frischa Aswarini Fuad Mardhatillah UY Tiba Fuad Nawawi Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gde Artawan Geger Riyanto Geguritan Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Guenter Grass Gus Ahmad Syauqi Gus tf Gusti Eka Habib Bahar bin Smith Haiku Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Han Gagas Hary B Koriun Hasan Basri Hasnan Bachtiar Heri Ruslan Herman Hesse Hertha Mueller Heru Kurniawan Hestri Hurustyanti Holy Adib Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu I Made Prabaswara I Made Sujaya IAI TABAH (Institut Agama Islam Tarbiyatut Tholabah) Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Iksaka Banu Imam Jazuli Imam Nawawi Imammuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Mahadi Indra Tjahyadi Irfan Afifi Irine Rakhmawati Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS J.S. Badudu Jadid Al Farisy Jajang R Kawentar Jawa Timur Jean Marie Gustave le Clezio JJ. Kusni Jl Raya Simo Sungelebak Jo Batara Surya John H. McGlynn Jordaidan Rizsyah Jual Buku Paket Hemat Juara 3 Lomba Lompat Jauh DISPORA LAMONGAN Jurnalisme Sastrawi K.H. Ma'ruf Amin Kadek Suartaya Kaheesa Kirania Putri Ayu Kahfie Nazaruddin Kalis Mardiasih Kamaluddin Ramdhan Kanti W. Janis Karanggeneng Kardono Setyorakhmadi Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Pantura (KBP) KetemuBuku Jombang KH. M. Najib Muhammad KH. Muhammad Amin (1910-1949) Khairul Mufid Jr Khawas Auskarni Khoirul Abidin Khoshshol Fairuz Ki Ompong Sudarsono Kitab Arbain Nawawi Kodrat Setiawan Kompas TV Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA) Komunitas Sastra dan Teater Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Komunitas-komunitas Teater di Lamongan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Luar Biasa Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) Kopuisi Kostela Kritik Sastra Kumpulan Cerita Buntak Kurnia Effendi Kuswaidi Syafi’ie L Ridwan Muljosudarmo L.K. Ara Lamongan Lan Fang Lawi Ibung Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Literasi Liza Wahyuninto Lukas Luwarso Lukisan Lukman Lukman Santoso Az Lutfi Mardiansyah M Farid W Makkulau M. Faizi M.D. Atmaja Madrasah Aliyah Matholi'ul Anwar Madrasah Ibtida’iyah Thoriqotul Hidayah 1 Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S Mahayana Manado Manneke Budiman Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mario F. Lawi Marsel Robot Martin Aleida Marwanto Mashuri Massayu Masuki M. Astro Masyhudi Media Seputar Pendidikan Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Purnama di Kampung Halaman Mereka yang Menjerat Gus Dur MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mien Uno Moh. Dzunnurrain Moh. Jauhar al-Hakimi Mohammad Rafi Azzamy Mohammad Rokib Mohammad Yamin Muafiqul Khalid MD Much. Khoiri Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alfatih Suryadilaga Muhammad Antakusuma Muhammad Fikry Mauludy Muhammad Hafil Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad N. Hassan Muhammad Subarkah Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Muhyiddin Mukadi Mukani Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Musa Ismail Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang E S Nara Ahirullah Naskah Teater Nezar Patria Noor H. Dee Nunus Supardi Nur Haryanto Nur Wachid Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Okky Madasari Olivia Kristina Sinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pagelaran Musim Tandur Palupi Panca Astuti Pameran Lukisan Parimono V / 40 Plandi Jombang PC. Lesbumi NU Babat PDS HB Jassin Pelukis Dahlan Kong Pelukis Tarmuzie Penculikan Aktivis 1988 Pendidikan Pengajian Pengarang kelahiran Lamongan Pentigraf Pepaosan Perbincangan Peringatan Hari Pahlawan 10 November Pilang Tejoasri Laren Lamongan Jawa Timur Pipiet Senja Politik Pondok Pesantren Ali Bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Jokowi Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi (PMK) Puji Santosa Pustaka LaBRAK PUstaka puJAngga R. Ng. Ronggowarsito Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rasanrasan Boengaketji Raudlotul Immaroh Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Reuni dan Halal Bihalal Mts Putra-Putri Simo 1992 Ribut Wijoto Riki Antoni Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Robin Al Kautsar Rodli TL Roland Barthes Rosi Rosihan Anwar RR Miranda Rumah Budaya Pantura (RBP) S. Jai S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabrank Suparno Safitri Ningrum Sainul Hermawan Sajak Salman Aristo Sandiaga Uno Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Sastra Tasikmalaya (SST) Sarasehan dan Launching Buku Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Kuno Suku Sasak Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Satu Jam Sastra Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSAstra Boenga Ketjil Seni Gumira Ajidarma Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seputar Sastra Pendidikan Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sirdjanul Ghufron Siwi Dwi Saputro Slamet Rahardjo Rais Soediro Satoto Soekarno Soeparno S. Adhy Soesilo Toer Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Sri Handi Lestari Sri Wintala Achmad STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sujatmiko Sukarno Suminto A. Sayuti Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahrudin Attar Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari Sylvianita Widyawati Tangguh Pitoyo Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Ilat Teater nDrinDinG Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tias Tatanka Timur Sinar Suprabana Titi Aoska Tiyasa Jati Pramono Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Toni Masdiono Tri Broto Wibisono TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Tulus Wijanarko Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Jember Universitas Negeri Jember Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyu Aji Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Wiji Thukul Wildan Nugraha Wildana Wargadinata Yanusa Nugroho Yasraf Amir Piliang Yerusalem Ibu Kota Palestina Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhi Herwibowo Yuditeha Yusri Fajar Yuval Noah Harari Zainal Arifin Thoha Zainuddin Sugendal Zara Zettira ZR Zehan Zareez Zuhdi Swt