Tu-ngang Iskandar
Menceritakan
tentang Aceh di hadapan kawan-kawan mahasiswa Aceh di Yogyakarta adalah suatu
malu tersendiri bagi saya. Karena saya yakin bahwa pemuda-pemudi yang belajar
ke luar Aceh telah membekali dirinya dengan identitas yang mapan tentang
keAcehan, setidaknya pengetahuan yang cukup tentang realitas yang terjadi di
Aceh saat ini, sebelum kemudian menunjukkan diri di hadapan oran-orang dari
berbagai penjuru lain dan menyampaikan sesuatu tentang Aceh.
Walau sejujurnya
saya juga ikut khawatir dalam berpikiran seperti di atas, karena sangat mungkin
juga bahwa yang hadir di sini adalah kepala-kepala boh leupieng (kelapa yang dilobangi tupai atau
yang labil berpegang pada tangkainya), yang hanya melakukan prosesi belajar karena
di dorong oleh gaya-gayaan semata, agar dianggap keren dari kampung halamannya,
agar dilihat sebagai orang yang memiliki pikiran atau otak. Namun pada
kenyataannya hanyalah tengkorak tanpa isi, yang sangat mudah dimasuki oleh
berbagai angin jahat dan liar dari tempat-tempat sampah, hingga tidak mampu
mendeteksi dirinya sendiri sebagai manusia si pemikir (homo sapiens), dan lebih layak ditendang ke sana ke
mari seperti halnya bolaboh
leupieng.
Manusia si
pemikir dari Aceh (homo sapiens Aceh), menjadi harapan terakhir masyarakat Aceh
atas berbagai kehancuran di Aceh, baik yang telah terjadi maupun yang sedang
berlangsusng. Bahwa tiada jalan lain yang harus ditempuh untuk mengangkat orang
Aceh ke tempat yang lebih menjanjikan, kecuali dengan sebuah kecerdasan dan
kebijaksanaan (hasil berfikir) yang mapan. Apalagi kaum berpendidikan, yang
jelas harus menggunakan otaknya itu untuk mengubah keadaan buruk menjadi baik,
dan bukankah otak kita itu tidak sekedar untuk mengisi ruang kosong dalam
tempurung kepala kita? Maka gunakanlah.
Pengembangan
berfikir tentu bisa diukur dari cara kita bersikap terhadap lingkungan atau
reaksi untuk berbagai ilmu pengetahuan yang terdapat di sekitar kita. Kepekaan
terhadap sumber-sumber ilmu yang bergerak seperti dari pergaulan sosial ataupun
dari sumber-sumber tetap lain seperti buku-buku sangat berpengaruh dalam
mengasah berfikir dan membentuk karakter diri. Seseorang yang hanya
menghabiskan waktu dengan bermain game di tempat tidur sehabis pulang kuliah
tentu akan berbeda tingkat intelektualnya dibandingkan dengan orang yang
memilih bergaul sambil berdiskusi tentang berbagai hal. Begitupun dengan
orang-orang yang hanya sibuk bergaul, tanpa menyempatkan diri membaca buku-buku
penting. Kenyataan bahwa orang-orang terbaik selalu muncul dibalik meja-meja diskusi
dan rak buku.
Melakukan proses
berfikir adalah juga suatu cara dalam membersihkan kabut tebal yang ada dalam
kepala kita sendiri. Belajar adalah tentang suatu jalan yang kita tempuh dalam
rangka menggapai pikiran kita yang utuh. Berbagai motivasi belajar jangan
sampai menghapus berbagai hal penting yang ingin kita gapai di dunia ini.
Karena seringkali kesia-siaan dalam berjuang itu muncul ketika dalam melakukan
proses, motivasinya adalah bersifat badani dan personal semata. Makanan yang
enak, pakaian mahal lagi bermerk, perempuan yang banyak, mobil dan rumah mewah,
hiburan yang gemerlap, ketenaran,kekuasanan, atau
uang yang melimpah, merupakan orientasi dari proses belajar yang kita tempuh ini.
Orientasi yang menganggap bahwa kesempurnaan hidup atau kemerdekaan terletak
pada kenikmatan badani itu telah berlaku pada pendahulu kita, dan sangat
mungkin itu pun bisa terjadi pada kita, ketika kita dibutakan dengan kabut di
dalam hati dan pikiran.
Merefleksikan
itu semua, mari kita mundur sejenak menuju 1000 Tahun Sebelum Masehi (SM), di
mana kesadaran besar telah muncul setelah kenikmatan yang sifatnya badani itu
tidak mampu membuktikan apa-apa tentang kesempurnaan atau kemerdekaan hidup.
Kesadaran itu terjadi pada orang Yunani, sebuah bangsa yang pada awalnya hanya
menghabiskan hidup dengan meminum anggur, bermain perempuan, menikmati tarian
perangsang birahi, menyanyi lagu-lagu yang dapat menyenangkan, dan berolahraga
untuk tetap bisa menikmati kelezatan yang ternyata semu itu. Beruntunglah
mereka, fajar kemudian menjemput, untuk beranjak dari kebodohan itu semua. Lalu
ahli-ahli filsafat dan sejarah Yunani pun menulis buku-buku, menggubah
seni-seni menjadi mencerahkan, dan muncul di mimbar-mimbar untuk berpidato. Di
mana menjadi guru bagi sesamanya adalah jalan awal yang mereka tempuh, seperti
halnya Jepang setelah bom Hiroshima. Sekarang, bukankah kita pun telah mengenal
nama-nama besar yang mendunia dari Yunani, lewat pemikirannya yang mencerahkan,
seperti Plato, Aristoteles, Socrates, Homerus, Aristophanes, Aeschylus,
Thucydides, dan masih banyak lainnya.
Kesadaran puncak
dalam menuju kesempurnaan hidup seperti yang ditunjukkan bangsa Yunani bukankah
pernah juga dibuktikan oleh bangsa Aceh di masa lalu? Itu bisa kita lihat dari
hadirnya kitab-kitab buatan ulama Aceh sampai ke pelosok-pelosok di Asia Tenggara,
melalui hikayat-hikayat yang bisa membangunkan lelaki-lelaki Aceh dari empuknya
kasur dan hangatnya pelukan istri untuk menuju medan tempur penuh sakit dan
darah, lewat hadihmaja-hadihmaja yang sampai sekarang masih relevan diikuti,
dan berbagai jenis ukiran-ukiran indah yang dapat mencerahkan seperti yang
terdapat di batu-batu nisan Aceh.
Betapa besarnya
pengaruh berfikir, hingga mampu merubah sebuah tatanan dunia. Lalu apakah
selama ini kita membudayakan berfikir? atau setidaknya belajar cara berfikir?
itu semua adalah pertanyaan yang seharusnya muncul pada diri yang mengaku
sebagai kaum intelektual seperti mahasiswa. Berfikir memang selalu muncul
ketika kita sedang menghadapi masalah. Tapi apakah otak kita terlalu kecil
untuk menampung berbagai persoalan yang menyelimuti masyarakat banyak, hingga
hanya mampu mendeteksi persoalan kita sendiri untuk dipikirkan dan diselesaikan
sendiri. Ini terletak pada sejauhmana kebinatangan personal itu mampu kita
taklukkan sendiri, lalu maju lebih jauh ke dalam sisi kemanusiaan.
Aceh Butuh Dipikirkan
Sebagaimana
bangsa lainnya yang kita akui keberadaannya karena berfikir, bangsa Aceh juga
harus mampu bangkit untuk menunjukkan bahwa Aceh itu masih “ada” dan bukan
hanya sebagai nama dari salah satu provinsi di Indonesia, bukan juga karena di
sana dengan mudahnya tumbuh ganja, bukan pula karena orang Aceh mampu berperang
puluhan tahun lamanya, dan bukan juga karena tsunami pernah menghantam negeri
paling barat Pulau Sumatra itu, melainkan “adanya” karena “Aceh itu berfikir”,
seperti kata-kata yang dilontarkan oleh Rene Descartes, seorang filsuf ternama
dari Perancis, yang berbunyi; “aku berfikir maka aku ada” (Latin: cogito ergo sum).
Memikirkan Aceh
tentunya bisa dari manapun, termasuk dari balik Gunung Merapi ini sekalipun.
Aceh layaklah kita pikirkan atau jika lebih hinanya kita dikasihani,
sebagaimana seorang tua renta yang sedang mengemis untuk menunggu dipulihkan
rasa sakitnya. Bukankah tidak ada tangan, hati, dan pikiran yang lebih dekat
dengan Aceh selain anaknya sendiri? Itu adalah kita, “anak Aceh”. Sebagai anak
Aceh, kita tidak sekedar dituntut untuk punya rasa tanggungjawab yang lebih,
namun juga harus memiliki “rohnya Aceh”, sebagai identitas; seperti ketangguhan
dalam mental, keteguhan dalam mempertahankan kebenaran, dan kesetiaan pada
perintah Tuhan. Dan selama kita mempunyai ilmu, ditambah dengan iman, tidak
mungkin kebodohan yang bersenjata dan kelaliman yang kuat itu menang. Yang
dibutuhkan adalah saling mendukung dan bukan melakukan pembunuhan karakter atau
saling menekan kemajuan sesama. Orang-orang terdekat harus menjadi pendorong
dan guru yang baik dalam proses belajar atau untuk menuju kesuksesan di
berbagai bidang. Bukankah kehebatan orang Aceh sedemikian dikenal ketika
menjadi guru bagi orang-orang di Nusantara ini tempo waktu? yaitu dengan
mendidik orang-orang yang kelak sebagai cikal bakal hadirnya Wali Songo di
Pulau Jawa.
Berfikir Lewat Organisasi Nyata
Khususnya di
Yogyakarta, ratusan mahasiswa dari berbagai penjuru Aceh berdatangan ke sini
tiap tahunnya. Memang, menuntut ilmu di perguruan tinggi adalah salah satu
tujuan utama. Namun yang tidak kalah pentingnya adalah memiliki kesadaran dalam
mengembangkan diri lewat berorganisasi dan bergaul dengan orang-orang
berfikiran lain dari berbagai tempat. Organisasi adalah salah satu ruang
terpenting dalam membangun mental kepemimpinan. Sesuatu yang tanpaknya semakin
tidak perlu untuk dijalani bagi mahasiswa yang berduniakan layar gesek seperti
sekarang ini. Di mana bagi mereka, berorganisasi mungkin cukup dengan membuat
grup pada media sosial, dengan program membagi-bagikan tautan semacam “apam
keubeue” tiap semenit sekali.
Ya, kita memang
tidak butuh orang-orang yang pikirannya sekaku itu, yang mengagungkan
teknologi, namun merendahkan pikiran, hati, dan segenap tubuh, yang telah sejak
sekian lama menjadi ibu dari segala kelahiran benda-benda canggih di muka bumi.
Kita harus bergerak lebih jauh untuk mengalaminya sendiri, dengan segenap
jiwa-raga, dalam membangun diri ini senyata mungkin, yang bisa ditempuh lewat
berorganisasi atau bersosialisasi dengan orang-orang cerdas dan bijak. Karena
tidak mungkin juga merasakan atmosfir kota pendidikan ini hanya lewat jendela
kampus, tempat tidur dan kamar mandi. Semuanya harus dialami, dirasakan, atau
dinikmati. Itu sebelum waktu menjemput kita pulang dan kemudian
mempertanggungjawabkan segala yang pernah kita dapatkan di sini.
Belajar
berorganisasi atau bersosialisasi tidak juga dengan mendirikan berbagai macam
perkumpulan baru tanpa aktifitas seperti yang banyak terjadi belakangan ini.
Kita bisa belajar dari organisasi nyata yang telah lebih dulu mumpuni, dan
tidak bisa lewat organisasi kampung yang kita bangun tadi sore. Karena bukankah
tujuan kita berorganisasi itu untuk mengenal orang lain yang belum kita kenal dan
belajar banyak dari mereka?
Di Yogyakarta,
terdapat satu organisasi besar yang menaungi berbagai perkumpulan lain, baik
yang berasal dari kabupaten maupun kampus-kampus. Ia adalah Taman Pelajar Aceh
(TPA), organisasi yang telah lama menjadi saksi dan berperan penting atas
lahirnya intelektual-intelektual di Aceh. Di sinilah kawan-kawan bisa saling
mengasah kemampuan diri, berorganisasi untuk menyatukan Aceh yang tanpa sekat
suku-suku, dan belajar lebih jauh untuk memahami dunia dengan identitas yang
mumpuni. Akhirnya, semua hanya bisa ditempuh dengan berfikir dan melakukan
apapun senyata mungkin. Selamat mengalami.
[Tulisan ini adalah materi yang dikeluarkan Tu-ngang Institut pada tanggal 19
Desember 2015, dalam acara Malam Keakraban mahasiswa Aceh di Yogyakarta, yang
diadakan Taman Pelajar Aceh (TPA) Yogyakarta]
Tu-ngang Iskandar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar