Selasa, 07 Agustus 2018

PERJALANAN PUISI NARATIF

Maman S Mahayana

Ada banyak cerita tentang tradisi puisi kita. Konon, sumbernya dari Eropa, khususnya Belanda. Muhammad Yamin memperkenalkan soneta. Ia lalu dianggap yang mengawali tradisi puisi Indonesia (modern). Sutan Takdir Alisjahbana (STA, 1946) menyebutnya puisi baru untuk membedakannya dengan puisi lama. Garis pemisahnya terjadi abad ke-20. Bagi STA, sebelum abad itu, puisi lama sebagai pancaran masyarakat lama, zaman jahiliyah, pra-Indonesia. Selepas tahun 1900, bergeraklah puisi (baru) Indonesia. Gagasan itulah yang membentuk dikotomi puisi lama—baru, tradisional —modern. Buku yang disusun Sapardi Djoko Damono (2003), Puisi Indonesia sebelum Kemerdekaan, mewartakan lain. Ia menguak sejumlah puisi abad ke-19.
Sapardi juga tidak menafikan kuatnya pengaruh Barat, “… yang menyebabkan para penulis puisi kita mempertimbangkan cara penulisan baru,” meski juga jejak pantun dan syair tidak dapat dihilangkan. Jika A. Teeuw (1967, 1980) dan pengamat sastra lain, mengabaikan khazanah sastra di surat-surat kabar dan majalah, Sapardi justru memanfaatkannya sebagai sumber data. Maka, terbentanglah benang merah perjalanan perpuisian Indonesia.
***

Penerbitan surat-surat kabar berbahasa Melayu dengan huruf Latin, sesungguhnya menandai keterdesakan tradisi penulisan Arab-Melayu di Nusantara. Memang, tradisi itu tidak seketika mati, tetapi lambat-laun ia terpinggirkan juga. Bahasa Melayu dengan huruf Latin, makin menyebar luas. Mereka yang menguasai bahasa Melayu dengan huruf Latin dengan sendirinya dapat memegang kendali arah perjalanan bahasa dan sastra Melayu.

Dalam hampir semua surat kabar awal yang berbahasa Melayu, seperti Bintang Utara (Rotterdam, 1856), Slompret Melayu (Semarang, 1860), Biang-lala (Betawi, 1867), Bintang Djohar (Betawi, 1873) atau Tjahaja India (Semarang, 1886)—sekadar menyebut beberapa, pemuatan karya sastra laksana jembatan yang menghubungkan sastra bertuliskan Arab-Melayu ke aksara Latin. Itulah sebabnya, pemuatan karya sastra di surat-surat kabar menjadi bagian penting untuk menarik jumlah pembaca yang belum dapat melupakan khazanah sastra yang berkembang sebelumnya. Dengan begitu, pemuatan karya sastra dapat meningkatkan juga oplah surat kabar. Untuk itulah redaksi membuka peluang bagi pembaca mengirimkan tulisannya yang berupa apa saja. Di sana, kita berjumpa dengan berita, surat pembaca, ucapan selamat, hikayat, cerita, syair yang dimuat bersambung, atau teka-teki yang ditulis dalam bentuk pantun.

Biasanya, redaksi sengaja memuat karya sastra yang sudah dikenal publik, terutama dari khazanah sastra Jawa, Melayu klasik atau terjemahan cerita Timur Tengah. Tetapi syair, pantun, dan cerita pandak—yang kini dikenal cerpen—sebagiannya berasal dari kiriman pembaca. Pada saat itu pengertian pantun dan syair (selanjutnya disebut puisi), sering dipertukarkan tempatnya. Akibat tiadanya ketentuan yang ketat itu, para penulis puisi, leluasa mengangkat berbagai persoalan. Ada ucapan tahun baru, pertanyaan tentang harga langganan, penyambutan ulang tahun koran bersangkutan, penerka (teka-teki), peristiwa sehari-hari atau kejadian aktual yang pernah diberitakan. Semuanya ditulis dalam bentuk syair atau pantun.

Dalam surat kabar Bintang Barat (2 September 1890), misalnya, diberitakan di lapangan Gambir ada perayaan ulang tahun Wilhelmina. Berita itu jadi lebih berkesan, karena ada beberapa bait puisi diselipkan di sana. Menyelipkan puisi dalam sebuah berita ketika itu memang lazim. Tujuannya, untuk menambah daya tarik bagi pembaca. Tetapi, tidak sedikit pula puisi yang ditulis dalam konteks tertentu. Dalam surat kabar Bintang Djohar (1873), Tjahaja India (1886), Bintang Barat (1890), atau Pembrita Betawi (1896), ucapan selamat Natal, Paskah, tahun baru, pengangkatan bupati atau kedatangan pejabat Belanda, ditulis dalam bentuk puisi. Ketika Gubernur Jenderal Mr. A.J. Duijmaer van Twist ke Tondano, Minahasa, Bintang Oetara (8 Mei 1857), memuat puisi (tanpa judul) khusus untuk itu. Sebelumnya, di surat kabar itu (5 Mei 1857) dimuat pula 35 bait puisi “Toewan Djendral, J. Merkus” untuk mengenang kematiannya. N.N., penulisnya, menceritakan prosesi penguburan Sang Jenderal.

Pemuatan puisi itu, dalam banyak hal, menggambarkan situasi sosial zamannya. Puisi “Pantun Pembunuhan,” (Tjahaja India, 9 September 1886), misalnya, mengungkapkan peristiwa pembunuhan yang dilakukan seorang mandor di Jombang. Adapun puisi berjudul “Tjerita Kroe Residensi Bencoelen” yang ditulis Awoer Litjin (Pembrita Betawi, 5 November 1895) mengungkapkan peristiwa gempa bumi di Pasar Kroe, 20 Oktober 1895.

Begitulah, cerita dan berita dalam puisi bukanlah hal baru. Sejak dulu, sastra memang berfungsi begitu. Rupanya, banyak pembaca menyukai model puisi naratif seperti itu. Maka diterbitkanlah puisi-puisi naratif dengan label syair atau pantun yang mengungkapkan berbagai persoalan sosial zamannya. Claudine Salmon (1985) menempatkan fase itu sebagai kebangkitan syair (1886—1910). Tetapi karena syair dan pantun hidup dan tumbuh di luar mainstream Balai Pustaka dan STA menambahkannya dengan konotasi negatif, perkembangan jenis puisi ini seperti sudah selesai. Padahal, benang merah tradisi puisi naratif dalam perpuisian Indonesia cikal bakalnya dari pantun dan syair. 
***

Berbeda dengan hikayat, dongeng atau cerita (prosa) yang leluasa menyampaikan deskripsi dan narasinya, puisi ( : pantun dan syair) berhadapan dengan berbagai keterbatasan, seperti pembaitan, jumlah kata dalam larik, dan persajakan untuk membangun rima. Dalam proses kreatifnya, penyair kerap merasa terikat pada konvensi itu. Oleh karena itu, selalu ada kata, kalimat atau istilah yang perlu penjelasan di luar teks puisi. Di sinilah awalnya digunakan keterangan penjelas atau yang belakangan disebut catatan kaki (footnote). Dalam beberapa puisi yang dimuat di sejumlah surat kabar yang disebutkan tadi, kita kerap menemukan keterangan penjelas (catatan kaki) yang rupanya memang sudah lazim. 

Ihwal catatan kaki, bagi penulis Tionghoa atau para penyair Pujangga Baru, seperti Rustam Effendi, Yogi, Tatengkeng, dan sederet nama lain, juga bukan perkara baru. Salah seorang penyair Lekra, Klara Akustia (1957) dalam beberapa puisinya, menyertakan juga catatan kaki. Hal yang sama dilakukan Ridwan Saidi dalam antologi puisinya, Lagu Pesisiran (2008). Jika kita menyisir sejumlah besar puisi Indonesia, pencantuman catatan kaki sudah terlalu lazim. Oleh karena itu, sama sekali bukan sesuatu yang istimewa.

Jika kita menengok jauh ke belakang, beberapa catatan penjelas ditemukan juga dalam syair-syair Hamzah Fansuri yang bertuliskan Arab-Melayu. Dalam banyak naskah syair yang memakai huruf Jawi, catatan penjelas ditempatkan di pinggir halaman. Contoh kasus yang baik mengenai perkara ini dapat kita cermati pada karya Abdullah Munsyi, Syair Singapura Terbakar (1843). Amin Sweeney (2005, 2006) yang menerbitkan hasil transliterasinya, lengkap dengan berbagai penjelasan karya Abdullah, mengungkapkan, bahwa teks Melayu hanya mengenal catatan penjelas. Pencantuman keterangan di kaki halaman, sulit dilakukan pada naskah tulisan Arab-Melayu. Oleh karena itu, catatan penjelas itu ditempatkan di ujung teks atau di pinggir halaman, meski fungsinya tidak berbeda dengan catatan kaki.

Kini jelas, puisi naratif tidak datang dari langit. Tradisinya bersumber dari syair. Puisi yang memakai catatan kaki, juga bukan perkara baru. Jadi, siapa pun boleh menulis puisi dengan menyertakan catatan kaki. Tetapi, ketika ada penulis puisi yang menggunakan catatan kaki, lalu mengklaim sebagai paradigma baru, klaim itu sudah lama kedaluwarsa, tunasejarah, datang larut malam, dan seperti mengajari ikan berenang.

(Maman S Mahayana, Pengajar FIB-UI, Depok).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

20 Tahun Kebangkitan Sastra-Teater Lamongan A Jalal A. Anzieb A. Khoirul Anam A. Mustofa Bisri A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja Abdoel Moeis Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdullah Abubakar Batarfie Abdurrahman Wahid Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Acep Iwan Saidi Achdiat K. Mihardja Achiar M Permana Adek Alwi Adhi Pandoyo Adib Baroya Aditya Ardi N Adri Sandra Adu Pesona Sang Wakil Cawapres RI Afrizal Malna Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agus Buchori Agus Dermawan T. Agus Mulyadi Agus Prasmono Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahmad Farid Yahya Ahmad Hasan MS Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Saifullah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alawi Al-Bantani Alfatihatus Sholihatunnisa Alfian Dippahatang Ali Audah Alim Bakhtiar Amie Williams Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amril Taufik Gobel An. Ismanto Andhi Setyo Wibowo Andi Andrianto Andong Buku #3 AndongBuku #3 Andrea Hirata Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Antologi Sastra Lamongan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Arafat Nur Ardi Wina Saputra Ardy Suryantoko Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arman A.Z. Arsyad Indradi Asarpin Ashimuddin Musa Asrul Sani Astuti Ananta Toer Atafras Audifax Awalludin GD Mualif Ayu Nuzul Azizah Hefni B Kunto Wibisono Bahrul Amsal Bambang Kempling Beni Setia Benny Benke Beno Siang Pamungkas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bloomberg Bre Redana Budaya Budi Darma Buldanul Khuri Bustan Basir Maras Candra Adikara Irawan Candrakirana Cangaan Ujungpangkah Gresik Jawa Timur Capres Cawapres 2019 Catatan Ceramah Cerpen Chairil Anwar Chicilia Risca CNN Indonesia Coronavirus COVID-19 D. Zawawi Imron Damiri Mahmud Darju Prasetya Darman Moenir Deddy Arsya Denny JA Denny Mizhar Devy Kurnia Alamsyah Dhoni Zustiyantoro Dian Sukarno Didin Tulus Dien Makmur Din Saja Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Donny Anggoro Donny Darmawan Dr. Hilma Rosyida Ahmad Dwi Cipta Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Dyah Ayu Fitriana Ecep Heryadi Edy Suprayitno Eka Budianta Eka Kurniawan Elok Dyah Messwati Engkos Kosnadi Erdogan Erwin Setia Esai Esti Nuryani Kasam Evan Ys F. Budi Hardiman F. Rahardi Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Fahrur Rozi Faidil Akbar Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathul Qorib Fatkhul Anas Feby Indirani Felix K. Nesi Festival Teater Religi Festival Teater Religi Pelajar SLTA Se-kabupaten Lamongan Fira Basuki Forum Santri Nasional (FSN) Frischa Aswarini Fuad Mardhatillah UY Tiba Fuad Nawawi Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gde Artawan Geger Riyanto Geguritan Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Guenter Grass Gus Ahmad Syauqi Gus tf Gusti Eka Habib Bahar bin Smith Haiku Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Han Gagas Hary B Koriun Hasan Basri Hasnan Bachtiar Heri Ruslan Herman Hesse Hertha Mueller Heru Kurniawan Hestri Hurustyanti Holy Adib Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu I Made Prabaswara I Made Sujaya IAI TABAH (Institut Agama Islam Tarbiyatut Tholabah) Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Iksaka Banu Imam Jazuli Imam Nawawi Imammuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Mahadi Indra Tjahyadi Irfan Afifi Irine Rakhmawati Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS J.S. Badudu Jadid Al Farisy Jajang R Kawentar Jawa Timur Jean Marie Gustave le Clezio JJ. Kusni Jl Raya Simo Sungelebak Jo Batara Surya John H. McGlynn Jordaidan Rizsyah Jual Buku Paket Hemat Juara 3 Lomba Lompat Jauh DISPORA LAMONGAN Jurnalisme Sastrawi K.H. Ma'ruf Amin Kadek Suartaya Kaheesa Kirania Putri Ayu Kahfie Nazaruddin Kalis Mardiasih Kamaluddin Ramdhan Kanti W. Janis Karanggeneng Kardono Setyorakhmadi Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Pantura (KBP) KetemuBuku Jombang KH. M. Najib Muhammad KH. Muhammad Amin (1910-1949) Khairul Mufid Jr Khawas Auskarni Khoirul Abidin Khoshshol Fairuz Ki Ompong Sudarsono Kitab Arbain Nawawi Kodrat Setiawan Kompas TV Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA) Komunitas Sastra dan Teater Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Komunitas-komunitas Teater di Lamongan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Luar Biasa Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) Kopuisi Kostela Kritik Sastra Kumpulan Cerita Buntak Kurnia Effendi Kuswaidi Syafi’ie L Ridwan Muljosudarmo L.K. Ara Lamongan Lan Fang Lawi Ibung Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Literasi Liza Wahyuninto Lukas Luwarso Lukisan Lukman Lukman Santoso Az Lutfi Mardiansyah M Farid W Makkulau M. Faizi M.D. Atmaja Madrasah Aliyah Matholi'ul Anwar Madrasah Ibtida’iyah Thoriqotul Hidayah 1 Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S Mahayana Manado Manneke Budiman Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mario F. Lawi Marsel Robot Martin Aleida Marwanto Mashuri Massayu Masuki M. Astro Masyhudi Media Seputar Pendidikan Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Purnama di Kampung Halaman Mereka yang Menjerat Gus Dur MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mien Uno Moh. Dzunnurrain Moh. Jauhar al-Hakimi Mohammad Rafi Azzamy Mohammad Rokib Mohammad Yamin Muafiqul Khalid MD Much. Khoiri Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alfatih Suryadilaga Muhammad Antakusuma Muhammad Fikry Mauludy Muhammad Hafil Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad N. Hassan Muhammad Subarkah Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Muhyiddin Mukadi Mukani Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Musa Ismail Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang E S Nara Ahirullah Naskah Teater Nezar Patria Noor H. Dee Nunus Supardi Nur Haryanto Nur Wachid Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Okky Madasari Olivia Kristina Sinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pagelaran Musim Tandur Palupi Panca Astuti Pameran Lukisan Parimono V / 40 Plandi Jombang PC. Lesbumi NU Babat PDS HB Jassin Pelukis Dahlan Kong Pelukis Tarmuzie Penculikan Aktivis 1988 Pendidikan Pengajian Pengarang kelahiran Lamongan Pentigraf Pepaosan Perbincangan Peringatan Hari Pahlawan 10 November Pilang Tejoasri Laren Lamongan Jawa Timur Pipiet Senja Politik Pondok Pesantren Ali Bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Jokowi Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi (PMK) Puji Santosa Pustaka LaBRAK PUstaka puJAngga R. Ng. Ronggowarsito Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rasanrasan Boengaketji Raudlotul Immaroh Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Reuni dan Halal Bihalal Mts Putra-Putri Simo 1992 Ribut Wijoto Riki Antoni Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Robin Al Kautsar Rodli TL Roland Barthes Rosi Rosihan Anwar RR Miranda Rumah Budaya Pantura (RBP) S. Jai S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabrank Suparno Safitri Ningrum Sainul Hermawan Sajak Salman Aristo Sandiaga Uno Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Sastra Tasikmalaya (SST) Sarasehan dan Launching Buku Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Kuno Suku Sasak Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Satu Jam Sastra Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSAstra Boenga Ketjil Seni Gumira Ajidarma Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seputar Sastra Pendidikan Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sirdjanul Ghufron Siwi Dwi Saputro Slamet Rahardjo Rais Soediro Satoto Soekarno Soeparno S. Adhy Soesilo Toer Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Sri Handi Lestari Sri Wintala Achmad STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sujatmiko Sukarno Suminto A. Sayuti Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahrudin Attar Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari Sylvianita Widyawati Tangguh Pitoyo Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Ilat Teater nDrinDinG Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tias Tatanka Timur Sinar Suprabana Titi Aoska Tiyasa Jati Pramono Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Toni Masdiono Tri Broto Wibisono TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Tulus Wijanarko Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Jember Universitas Negeri Jember Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyu Aji Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Wiji Thukul Wildan Nugraha Wildana Wargadinata Yanusa Nugroho Yasraf Amir Piliang Yerusalem Ibu Kota Palestina Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhi Herwibowo Yuditeha Yusri Fajar Yuval Noah Harari Zainal Arifin Thoha Zainuddin Sugendal Zara Zettira ZR Zehan Zareez Zuhdi Swt