Ribut Wijoto
Radar Surabaya, Nov 2011
Adalah sah mengapreasi karya teman-teman satu komunitas
dan dipublikasikan ke media massa. Apresiasi yang bagus bakal memperkaya
kesusastraan Indonesia. Kegiatan ini menjadi lebih penting karena situasi
sastra Indonesia yang semakin jauh dari ranah apresiasi. Esai yang lebih subur
justru tentang polemik. Hanya saja, apresiasi tersebut tentu ada batasnya.
Jangan sampai apreasiasi disalahgunakan untuk menyerang karya komunitas lain.
Apalagi dengan penjelasan dan pemaparan yang sangat minimalis. Kesan yang
muncul menjadi sebatas menghujat.
Subagio Sastrowardoyo, secara personal, pernah sangat
kecewa dengan WS Rendra. Sebagai pelampiasan, Subagio membahas puisi-puisi
Rendra dan membandingkannya dengankarya Federico Garcia Lorca. Di situ
dibuktikan dengan panjang lebar, puisi Rendra tidaklah membawa pembaharuan
tetapi sebatas mengadopsi puisi Lorca. Menurut saya, walau ditulis dengan emosi
tinggi, tulisan Subagio tetap bagus dan menjaga obyektivitas. Tidak asal
menghujat.
Ketika menulis esai berjudul ‘Inilah Lima Penyair Terbaik
Jatim’ (Radar Surabaya, 23 Oktober 2011), saya sudah yakin bahwa tulisan
tersebut bakal mendapat tanggapan. Saya memang sengaja mengambil risiko.
Menderetkan 5 penyair terbaik di Jatim. Obsesi saya cukup sederhana. Akan ada
orang lain yang menanggapi dengan menyodorkan 5 penyair terbaik lain dengan
kriteria berbeda. Atau, ada tulisan lain yang memberi sanggahan dengan
penjelasan masuk akal. Adanya tanggapan ataupun sanggahan bakal memicu diskusi
wacana yang menarik.
Obsesi saya ternyata terwujud. Ada tanggapan dari Saudara
Umar Fauzi Ballah melalui tulisan berjudul ‘Ketokohan dan Strategi Proses
Kreatif’ (Radar Surabaya, 6 November 2011). Sayangnya, Fauzi terlalu
menonjolkan karya teman-teman sekomunitasnya (Alek Subairi, Muttaqin, Mardi
Luhung) dan menyerang karya komunitas lain (Indra Tjahyadi, F Aziz Manna, Dheny
Jatmiko, Denny Tri Aryanti, W Haryanto, M Aris; yang notabene anggota ataupun
alumni Teater Gapus). Padahal dalam tulisan saya, saya berusaha mengabaikan
asal komunitas sebagai kriteria penilaian. Saya berusaha bersandar pada teks
(puisi itu sendiri).
Tetapi tidak apa. Dengan mendapat tanggapan itu saja,
saya sudah merasa tersanjung. Untuk itu, saya perlu melakukan semacam
klarifikasi atau penjelasan atas justifikasi dari Umar Fauzi.
Pertama tentang tradisi puisi gelap. Di wilayah nasional,
puisi gelap sangat melekat pada tradisi kepenyairan di Jawa Timur. Binhad
Nurrohmad maupun Arif B Prasetya pun mengakuinya. Secara sederhana, puisi gelap
bisa dipahami dalam dua jalur. Jalur kode bahasa estetik (baca: teknik) dan
jalur tema. Puisi gelap memakai kode bahasa estetik yang berundak-undak. Ini
bisa diandaikan berlawanan dengan puisi terang. Puisi gelap bersifat prismatis.
Mengandung lapis-lapis makna.
Secara teknik, puisi Mardi Luhung dan puisi Muttaqin
berwatak gelap. Itu karena makna bersifat tersirat. Ketika Mardi menulis puisi
dengan mengambil obyek Bawean (antologi Buwun), obyek tersebut diolah menjadi
metafor dan bukan lambang. Metafor bermakna luas dan lambang bermakna tunggal. Mardi
mengambil Bawean, menyucikannya, mengkombinasikan dengan obyek lain, lantas
direpresentasikan ulang. Sehingga, Bawean dalam puisi telah kehilangan
kesehariannya. Dia menjadi Bawean’ (aksen). Begitu pula ketika Muttaqin menulis
tentang hutan. Dia tidak sekadar memberitakan hutan namun mengubah ekosistem
hutan menjadi metafor. Pemaknaannya pun meluas. Itulahsebabnya, secara teknik,
puisi Mardi dan Muttaqin berwatak gelap.
Walau begitu, puisi kedua penyair tersebut tidak bisa
serta merta disebut gelap. Ada satu syarat lagi yang tak terpenuhi. Puisi gelap
hampir selalu mengusung tema kematian, chaos, dan kegagalan menjalani kehidupan
harmoni. Tema-tema ini jarang digarap oleh Mardi dan Muttaqin. Tetapi, tema
tersebut kental terasa pada puisi Indra Tjahyadi.
Kedua, hubungan antara puisi dengan media massa.
Persoalan ini sudah sering dibahas. Pertanyaan selalu satu: apakah pemuatan di
media massa merupakan penentu parameter kesuksesan penyair? Jawaban saya sama
seperti orang-orang lain. Bahwa, media massa punya peran besar dalam melihat
kepenyairan seseorang. Meski begitu, pemuatan di media massa bukanlah
satu-satunya parameter. Mengapa? Banyak puisi di media massa yang kualitasnya
tidak terjaga. Selebihnya, ada beberapa penyair yang lebih suka mempublikasikan
karyanya dalam bentuk buku (antologi) tanpa terlebih dulu mengirimkannya ke
media massa. Tetapi khusus untuk karya Alek Subairi, seperti dicontohkan oleh
Umar Fauzi, saya menilai dia belum layak masuk dalam daftar 5 penyair terbaik
Jawa Timur. Kalau 100 penyair terbaik Jatim, bisa jadi, Alek termasuk salah
satunya. Saya beberapa kali membaca puisi Alek dan menilai karyanya sudah bagus
namun belum terlalu istimewa.
Ketiga perihal perbandingan puisi Indra Tjahyadi dengan
puisi Acep Zamzam Noor. Ini sebenarnya soal semburan produksi tanda dalam
puisi. Dalam tulisan terdahulu, produksi tanda ini sebenarnya sudah pernah saya
bahas. Lihatlah kutipan puisi “Katastrope” dari Indra berikut: Ziarah atas burung-burung,
cahaya dari rasa sakit yang bertumpuk, yang baru digali dari setiap kubur,
seperti ikalan-ikalan topan, atau impian seribu gadis, dan pelacur.
Puisi “Katastrope” dari antologi Manifesto Surrealisme (FS3LP
Surabaya, 2002). Dirunut dari padanannya dengan dunia yang dibangun, puisi
“Katastrope” sangat tidak sesuai dengan kenyataan empirik. Segalanya datang dan
pergi tanpa bisa dikenali. Satu-satunya fakta yang tersisa dalam puisi Indra
Tjahyadi ialah fakta bahasa. Ditinjau dari segi kategori bahasa
Indonesia, puisi tersebut benar; larik-larik yang menggunakan kata benda, kata
kerja, kata sifat, kata sandang. Secara fungsi bahasa Indonesia, puisi
Indra Tjahyadi tidak memenuhi persyaratan minimal sebuah kalimat, subyek +
predikat; larik-lariknya hanya berposisi sebagai subyek, predikat tidak ada.
Ditinjau dari segi peran, puisi “Katastrope” juga tidak sesuai dengan tindak
bahasa yang benar, pelaku dan penyertanya tidak ada. Hanya saja, seluruh
larik-lariknya menggunakan kata dari bahasa Indonesia. Segi kategori-nya
pun benar. Meski tidak menemukan paduannya dalam realitas, dunia dalam puisi
Indra Tjahyadi bisa dibayangkan oleh pembaca.
Teknik ini menempatkan puisi “Katastrope” dalam wilayah
fantasi, puisi fantasi. Puisi yang hanya bersandar pada fakta bahasa, tanpa
acuan realitas, atau “puisi membentuk realitas” tersendiri. Realitas puisi yang
tidak terlalu berurusan dengan realitas empirik. Saya melihat, pola puitik yang
dikembangkan Indra Tjahyadi ini tidak pernah ada di era 1970-1980-an. Teknik
ini juga tidak terlalu menjadi pilihan para penyair Jatim. Tetapi, Acep Zamzam
Noor menggunakan juga. Lihat saja puisi-puisi Acep dalam antologi
bertitel Di
Atas Umbria.
Keempat perihal stagnasi kepenyairan. Umar Fauzi
mengklaim bahwa Dheny Jatmiko, M. Aris, W Haryanto, Deny Tri Aryanti
berguguran. Kalau Umar Fauzi jeli mengamati atau bertanya pada yang
bersangkutan, para penyair tersebut tidak gugur. Mereka masih tetap menulis
puisi. Karya-karyanya juga tetap disiarkan di media massa. Mereka juga
menyiapkan dan menerbitkan buku puisi.
Begitulah, berbeda kepala bisa saja berbeda sudut pandang
pula. Sastra adalah wilayah multi tafsir. Sepuluh orang membaca satu puisi bisa
jadi menghasilkan sepuluh penafsiran yang berbeda. Itu artinya, tulisan ini
juga hanya satu tafsir dari sekian ribu tafsir yang bisa digali dari puisi dan
kepenyairan Jawa Timur. Secara pribadi, saya berterima kasih kepada Umar Fauzi
yang telah memberi tanggapan kritis atas tulisan saya.
_________Surabaya, 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar