Agus Buchori *
Bertemu
saat tak sengaja di tempat yang tidak tepat dan waktu yang juga betul betul
tidak tepat. Pertemuan yang tergugah kembali. Kenangan dua puluh tahun yang
lampau. Nun jauh terpendam puluhan musim.
Saat
itu aku menemukanmu terbaring dengan ibumu..bercengkerama entah tentang apa.
Ketidaksengajaan menemukanmu dalam bentuk yang paling utuh. Saat itu terbangun
impian bahwa kamu adalah takdirku. Dalam ketaksempurnaan matamu memandang aku
dan seolah ada yang mengalir cepat di syaraf tubuhku entah yang mana.
Kau
menunduk malu, aku remaja yang sedikit nakal juga tak mampu bertahan menatap
bola matamu. Sejak itu namamu menggurat kuat di hati. Saat aku kembali dari
pertemuan tak sengaja itu, bahkan kita belum sempat kenalan waktu itu, waktu
hanya berjalan dan menimpa setiap kesadaranku tentangmu dengan bunga bunga yang
baru.
Kini
dua puluh lima tahu sembilan hari kemudian, kita saling bicara bersama dengan
nama yang saling berbeda di media sosial dan kenangan keutuhan tubuhmu
menggelora bagai ombak laut selatan menerjang karang dadaku...
Wajah
dengan senyuman merekah itu terus berseliweran di beranda media sosialku
mengajak pertemanan. Aku masih ragu apakah itu kamu yang pernah mengejutkanku
puluhan tahun yang lalu.
Ada
satu yang membuatku yakin itu kamu, yaitu mata sebelahmu agak sedikit redup kalau
gak bisa dikatakan sipit. Mungkin ciri ini hanya aku yang tahu karena jarang
sekali kau berpenampilan seperti itu di keseharianmu.
Selama
satu minggu aku terus membiarkan ajakan pertemanan itu. Aku ragu juga sedikit
segan untuk menerimamu. Aku intip foto fotomu, ternyata di akun medsosmu kau
banyak memposting kegiatanmu sebagai pengajar di sebuah kursus belajar siswa
sekolah dasar.
Kau
terlihat keibuan sekali di antara anak didikmu, meski sebenarnya kamu begitu
centil dan sedikit manja. Begitu temanmu pernah bercerita bahwa kau itu centil
dan sedikit manja.
Saat
aku menerima ajakan pertemanan itu. Aku beranikan untuk kirim pesan padamu dan
bertanya.
"Kamu
itu Mbak Asih yang rumahnya sebelah mushola Hijrah itu. ya..."
Selama
dua hari pesanku belum dibacanya. Aku risau juga dibuatnya. di hari ketiga aku
mendengar handphoneku berbunyi Kling...dan sebuah pemberitahuan adanya pesan
masuk sedang on di hapeku.
"Ya...aku
Asih....terima kasih atas konfirmnya," begitu jawabmu di kotak masukku.
"Kok
tahu aku Asih..."
"Siapa
di kampung kita yang nggak kenal mbak Asih?" Aku menimpali tanyanya sambil
ada sedikit harap agar ia nggak bosan dengan tanyaku.
"Kita
pernah ketemu, mbak, sudah lama sekali dan mungkin mbak juga gak ingat kapan
dan di mana."
"masak..?"
"Sebenarnya
akhir akhir ini kita lho sering berpapasan cuma, mbak saja yang gak peduli,
tempat mbak memberi les itu sebenarnya dekat dengan tempatku kerja,"'
jelasku.
"lho....kalau
begitu tiap kita berpapasan menyapa, ya......."
Tempat
mbak Asih mengajar les memang hanya sekitar seratus meter dari perpustakaan
umum tempatku bekerja. Sudah hampi tuhuh belas tahun aku berkecimpung dengan
buku buku.
Menyenangkan
memang. Menjadi pustakawan adalah impianku sejak es em pe dahulu. Aku yang
sangat menggemari bacaan dan menjadi penghuni setia perpustakaan umum sekolah
sangat terbantukan dengan menjadi pustakawan.
Dengan
menjadi pustakawan, aku sangat mudah memperoleh bacaan tanpa harus membeli.
Harga buku yang kelewat mahal tentunya menjadi prioritas kesekian dari
kebutuhanku sehari hari untuk aku sisihkan buat membeli buku.
Dan
lagi, bekerja di perpustakaan aku banyak ketemu orang orang dengan berbagai
latar belakang mulai dari orang yang bukan siapa siapa sampai yang berprofesi
sebagai apa.
Hari
itu, tepatnya pagi itu sangat cerah. Aku memutuskan berangkat kerja berjalan
kaki dan berharap ketemu Mbak Asih. Seperti biasa aku berjalan tak terburu buru
karena aku jarang berangkat kerja mepet waktu sebagaimana orang yang biasa
terburu buru.
Sekitar
lima belas menit aku berjalan, aku melihat Mbak Asih menuju ke arahku. Aku
heran dan bertanya dalam hati kok ia mengarah ke sini. saat aku berpapasan
kusapa dia, "Mbak, mau kemana? lho aku sudah menyapa tho..seperti yang
mbak minta di inboxku kemarin."
"Eh
kamu si Bagus, kan? Aku hampir lupa. Dulu kamu imut banget."
"Dulu
kan masih kecil, ya tentu imut," balasku.
"Betul,
aku betul betul lupa. Andai kau nggak menyapa lebih dulu aku nggak tahu
lho....sungguh,," jawabnya sambil tersenyum yang sepertinya ada nuansa
menggoda, di sana.
Senyuman
itu masih sama seperti yang dulu saat aku pertama melihatnya dua puluh tahun
lalu.
"Mau
kemana?"
"Ini,...mau
fotokopi materi."
"Sekarang
kamu tambah ganteng, lho, sungguh, lho kamu kerja di mana?" lanjutnya.
Sudah kebiasaan mbak asih, memuja muji lelaki yang ia temui dan aku pun biasa
menanggapinya.
"lelaki,
ya jelas ganteng, kalau perempuan ya cantik tentunya. Aku kerja di Perpustakaan
Umum. Mampirlah, mbak, kalau ada waktu"
Aku
pun mohon diri melanjutkan sambil terus terbayang senyuman dan matanya yang
sedikit sipit sebelah.
Sejak
pertemuan itu, Mbak asih selalu komen di statusku dan kadang diselingi pesan
pesan sedikit menggoda. Aku pun balas menggoda dan bila kurasa agak pribadi
bahasannya aku pun pindah ke inboxnya.
"Sudah
punya anak berapa, Mbak?"
"Hayo
tebak pantasnya punya berapa aku?"
"Dua,
ya....."
"Salah,.....aku
belum nikah."
"Masa
sih,...orang cantik kayak mbak kok belum ada yang nglamar.."
"Nggak...
sebenarnya anakkusudah tiga, suamiku satu, rumahku satu, nanya apa lagi"
jawab yang terakhir ini disertai foto keluarganya.
"Sippp..suaminya
ganteng anaknya apalagi ganteng ganteng. Sudah dulu, mbak, aku mau lanjut ada
yang mau pinjam buku,"
"Yups
.....mmmuach!!"
"Mbak
tetep nakal ya....." Jawabku yang terakhir tak dibalasnya lagi. Aku agak
kaget tadi dapat kiss teks. Tapi lagi lagi aku sadari dia memang begitu
orangnya suka ceroboh dalam menggoda.
Setelah
beberapa bulan berinboks aku dan mbak asih mulai berbagi nomor hape. Dan dari
sinilah semuanya bermula, aku dan dia saling sapa dan kadang kadang saling
menggoda...
Seminggu
ini aku lelah sekali. Pekerjaan banyak menumpuk banyak buku yang belum diolah
dan perlu diselesaikan. Tiba tiba istriku bertanya, "Kok kusut kenapa, Pa?"
"Biasa,
lah, banyak kerjaan," jawabku singkat. Malam itu aku agak suntuk saat
menjawab tanya istriku. Mungkin aku maunya dipijit itu baru agak lega. tapi
ketika ia bertanya kok kusut aku jadi agak berat. Tiba tiba ada pesan masuk di
hapeku. Kling klung...
Agak malas kubuka hapeku dan kulihat pesan dari Mbak
asih. aku langsung semangat membuka dan kubaca tertulis singkat di sana,
"aku gak bisa tidur."
kujawab
dengan agak malas, "kenapa?"
"Ingat kamu, nggak tahu kok tiba tiba ingat kamu."
"lho
kok bisa sama," aku jawab saja dengan berbohong agar obrolanku berlanjut.
benar
saja ia langsung melanjutkan pesannya.
"masak?"
"bener."
"nggak
Percaya,...kan ada istrimu, yang menemani,"
"lho, mbak juga ada suami yang menemani, kok ingat saya?"
Dia agak lama menjawabnya. Dan tak pernah menjawabnya lagi. Mungkin ia sadar dan malu dan aku pun begitu.
Sejak dari itu aku tak pernah lagi ketemu atau membayangkan mbak Asih karena secara usia mbak asih jauh dariku terpaut sekitar 5 tahun. Ia sepantaran dengan kakakku yang tertua. Dan dari ketidaksengajaan itulah aku suka menjadikan mbak asih sebagai standar ukuran paras wanita yang kukagumi bersama teman temanku.
Dari pertemuan itu aku tak pernah lagi bertemu mbak asih, Tapi waktu kadang seperti kembali ke masa lalu. Kini aku bertemu ia lagi dalam kondisi yang sama sama sudah dewasa dan juga berkeluarga. Pertemuan yang akan membuat jalan hidupku berubah. Berubah menjadi lebih sensitif terhadap benda benda yang sering menjadi lambang orang orang yang sedang kasmaran.
Kini aku lebih menghayati Bulan, Hujan, pelangi dan warna jingga pada langit senja. Aku lebih menghayati sepi dan kesepian.
Aku mulai menggeluti dunia sepiku di saat perpustakaan sedang sepi pengunjung dengan mencoba coba bersyair.
Sejak sekolah aku kurang menggemari pelajaran bahasa indonesia karena terlalu teknis dan njlimet. fungsi ini lah fungsi itulah pokoknya tidak asyik. Tapi aku senang sekali bila ada materi membaca puisi.
Saat menikmati kesepian, sejak mengenal mbak Asih, kegairahanku membuat syair muncul kembali.
Kosakata seolah hadir bertubi tubi untuk kuolah menjadi sajak sajak cinta.
Ada di antara sajak sajak itu kukirimkan ke Mbak Asih
agar dikomentari.
Dia lulusan sastra indonesia di Perguruan tinggi negeri di Yogya. tentunya aku berharap dikomentari dan juga berharap dia mengerti isi hatiku.
"He...mana sajaknya kok lama nggak kirim ke sini. Aku kangen..kangen karyanya lho bukan orangnya, hehehe," tiba tiba sms masuk menanyakan sajakku. Pesan itu dari Mbak Asih.
"kebetulan, ini aku baru buat lagi, mbak..." balasku meyakinkan hatinya.
inilah sajakku yang kesekian untuknya.
Asmara Terlambat Kita
Setiap kali kau sapa diriku
sejenak lalu menghilang lama
aku
terus mencarimu meski aku tahu
itu
jebakan untuk merenggutku pada akhirnya
Saat
aku mulai terperangkap jala jala asmaramu
aku
berusaha menikmati meski
ketidakpastian
akan pemenuhan rindu ini
namun
merasa digoda kamu itu lebih menggoda dari pada
diam
melamun berkasih kasih mesra
Aku mungkin nakal bagai remaja puber
dan kamu kurasa punya sejuta cara iseng
namun
pasti kusemaikan cinta
dalam
labirin kesetiaan pada kasihku
kau
pun punya kekasih
yang
katamu tak mengharu biru seperti aku
Maaf kasih gelapku
kuputuskan menikmati
dirimu
sebatas keberanianmu menggoda
karena
kita tak lebih
hanya
penikmat canda tawa semata
meski
ada rasa
mari
kita endapkan di sudut asmara terlambat kita
Sekian lama kita bersapa via online ada kangen juga untuk bertemu muka. Dari saling berkirim puisi, aku dan mbak Asih pun jadi makin berani untuk saling merayu. Terkadang pun ada selingan nakalnya juga. Dan maklumlah kita kan sudah sama dewasa bukan seperti remaja puber yang membabi buta.
Ada saatnya pun aku harus menemuinya. Saat itu ia ingin aku mencarikan kliping puisi dari sapardi Djoko Damono sastrawan senior yang sangat ia kagumi.
"Carikan aku puisi SDD; Sajak kecil tentang cinta," salah satu pesannya melalui inbok di hapeku.
"Aku kirim ke mana ini nanti kalau ketemu," balasku.
"Tolong bawa ke tempat nge les ku, sayang..." jawabnya dengan emoji hati merah menyala.
"Hemmmm, kalau ada maunya manggil sayang.....norak!" jawabku kethus tapi dalam hati sebenarnya aku suka cara dia menggoda.
Satu minggu kucari kutemukan juga puisi itu. ...Mencintaimu harus menjelma aku..... itulah kalimat terakhir pada sajak itu yang kata mbak Asih pernah didengarnya pada salah satu radio. Dan saat ia mendengar itu ia mengingatku bahkan membayangkan.bisa membacakan sajak itu di depanku.
"sudah kutemukan, jam berapa nanti aku ke sana?" kukirimkan pesan via wa nya.
"nanti jam 07.00 sebelum jam mengajar, ya...kutunggu tepat waktu," balasnya.
Pagi itu aku bergegas ke tempat kerja. Sangat pagi sekali. Aku berangkat pukul enam tiga puluh pagi. Aku mampir ke Lembaga Bimbel Cerdas tempat Mbak Asih mengajar.
Terlihat sepi. Aku memasuki salah satu ruang. Terdengar tawa perempuan, ketika aku masih bingung hendak ke mana. Itu tawa khas Mbak Asih. aku bergegas ke ruang sebelah.
Ia kaget ketika aku tiba tiba ada di depan pintu ruang itu.
Ia menunduk. Diam. tiba tiba lengang karena aku juga terdiam.
"Ini puisinya," kusodorkan kertas kliping puisi itu. Diambilnya dengan tetap menundukkan kepala.
"Terima kasih," jawabnya singkat.
Adakah yang lebih menderita dari orang yang sedang dimabuk asmara yang datang tak terduga. Ada situasi yang membuat ini terjadi. Tapi bukan ini alasan pasti karena semua orang punya gejolak yang sama dan mempunyai pilihan untuk terhanyut atau mengabaikannya. Bagi lelaki mampukah ia mengabaikan pendar pendar cahaya yang begitu banyak gemerlapnya.
Aku dan istriku sudah 17 tahun bersama. Ia seorang perawat di sebuah Rumah Sakit di Kotaku. Istriku ini termasuk wanita yang tegas dan sedikit judes untuk tataran orang jawa. Meski kami menikah lewat berpacaran tapi pacaran kami cuma tiga bulan dan langsung menikah.
Aku hanya mengikuti iramanya aku pun tak perlu perlu amat untuk saling beromantis ria. Kita sibuk bersama soal ngurusi anak dan rumah tangga lainnya. Kita betul betul melupakan kebutuhan hati kita-tanpa kita sadari.
Hingga tibalah saat aku bertemu Mbak Asih. Aku kembali bergairah dalam hidup ini. Dan anehnya, istriku pun bergairah lagi untuk bermesra mesra denganku. Situasi yang seringkali terjadi di dunia ini sebuah kebetulan yang klop dengan situasi baru yang tak terduga.
Aku ada pada situasi sulit. Dua keindahan hadir pada satu momen. Yang satu adalah hakku dan yang satu adalah pilihanku. Keduanya istimewa, luar biasa dan bermakna. Aku terjebak tapi tak hendak menyerah. Aku yakin pasti ada maksud dan tujuan dari semua ini.
Saat aku memberikan puisi yang ia minta, Itulah pertemuan terakhirku dengan Mbak Asih. Sejak itu aku selalu menghindarinya bahkan hanya sekedar bersimpangan di jalan. Dia pun sepertinya begitu, karena aku pun jarang menemukannya baik di jalan atau di tempat kebiasaanya: perpustakaan kotaku.
Lama lama aku,merasakan ada kekosongan dalam hari hariku tanpanya. mungkin ada kebiasaan yang hilang saja kurasa. Aku tak terlalu risau namun kian hari aku semakin terus terbayang wajahnya. apakah ini rindu? Bukan bukan mungkin ini hanya kebiasaan yang hilang tanpa kehadirannya.
Seminggu. sebulan. hingga takterasa sudah tiga bulan aku tak bersapa dengannya baik itu ketemu muka atau sekedar chat biasa.
"Kok
terlihat lusuh kamubeberapa bulan ini," Zidan teman kerjaku menyapa pagi
itu.
"Ah,
nggak..mungkin karena rambutku aja yang acak acakan hingga sepertinya lusuh tak
terurus," jawabku dengan tetap menuliskan laporan tahunan akhirtahun.
"Tahu
sendiri lah, akhir tahun itu seperti apa?" aku melanjutkan dengan agak
kesal.
"hahahahaha....nyantai,
Bro...habis ini kita tour." Sambil ngeluyur meninggalkanku ia menjawab
seolah itu memberiku semangat kerja.
Aku
masih serius dengan apa yang kukerjakan, tiba tiba otakku macet untuk menyusun
kalimat laporanku. Aku memegang hape dan kucari kontak mbak Asih. Ada keinginan
untuk menelepon hari itu. Lama kupandangi nama dalam hapeku. Ada fotonya
separuh wajah dengan senyum yang sedikit menggoda.
Tak
berapa lama kupencet nomor dengan gambar separuh wajah wanita paruh baya itu.
'maaf nomor yang anda hubungi sedang tidak aktif atau berada di luar area'
suara mesin operator di ujung sana begitu menyesakkan terdengar di telingaku.
Aku bertanya tanya ada apa dengan dirinya. Aku makin gusar dan rasa kosong ini menikamku. Sepi.
_________
*) Arsiparis Lamogan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar