Robin Al Kautsar *
Ini Obituari. Obituari dari seorang murid kepada gurunya, yang dia anggap bukan hanya sebagai guru, tetapi juga kakak, orang tua, bahkan pendeta yang menempanya menjadi mental baja. Sang murid ialah penyair Nurel Javissyarqi, dan sang guru Tarmuzie, yang keduanya saya kenal dalam ruang dan waktu berbeda.
Nurel, saya kenal di Jombang sekitar tahun 2007 dalam salah satu acara sastra (membedah antologi puisinya Kitab Para Malaikat). Sedangkan Tarmuzie saya kenal sekitar tahun 1995 di Surabaya, dalam komunitas pekerja teater dan pelukis di sebuah warkop yang disebut “kantor.”
Walaupun buku ini berjudul “proses kreatif,” buku ini tidak mendedahkan bagaimana sebuah karya seni dilahirkan dengan berbagai aspek yang mempengaruhinya. Buku ini lebih tepatnya sebagai gambaran ringkas bagaimana sang penulis mulai tertarik pada seni lukis, kemudian mencoba memasukinya, tetapi anehnya justru dia menemukan dunia kepenulisan atau sastra.
Kehidupan Nurel bersua dengan kehidupan Tarmuzie, ketika dia memasuki kursus lukis Sanggar Lukis Alam, pada saat kelas satu Madrasah Tsanawiyah. Itu sanggar lukis yang aneh serta bohemian, dikarena tanpa biaya belajar dan jadwal yang ketat. Pembelajaran inipun tentu harus berakhir, ketika Nurel sudah diterima di sebuah Madrasah Aliyah di Kota Jombang.
Walaupun demikian, hubungan guru dan murid ini terus dipelihara dengan baik meskipun Nurel kuliah di Yogyakarta hingga akhirnya berumahtangga. Dapat anda bayangkan, bagaimana komunikasi penggemar sastra dan pelukis yang eksentrik ini?
Buku yang bertajuk “Proses Kreatif Saya bersama Pelukis Tarmuzie” ini, di sisi lain diramu seperti sebuah petualangan untuk mencari “hikmah terpendam,” ketika Nurel bersusah payah mencari juga mengunjungi para pelukis jaringan Tarmuzie di Kota Yogyakarta.
Bukan saja dia mendapati ‘ilmu seni,” tapi juga kemiskinan seniman (pelukis Harjiman) yang menyayat sekaligus gagah, karena tidak bersedia lukisannya dibeli orang ketika lapar menyerang. Tetapi ada yang paradoks, ketika hubungan guru-murid menjelma pertemanan, justru kreativitas gurunya itu sedang paceklik alias vakum.
Sedikit sekali karya baru yang dilahirkan, bahkan lebih menjadi “pertapa” yang menjauhi rimba persilatan kesenian. Paradoks kedua ialah pernyataan Nurel yang melintasi batas-batas cabang kesenian:
“Tarmuzie merupakan salah satu orang dibalik layar atas keberadaan saya di pentas kesenian di mimbar kesusastraan, meski ia bukanlah sastrawan, namun hampir dipastikan stategi yang saya jalani dalam susastra, terlebih dulu meminta pendapat beliau, darinya memberi banyak masukan nilai serta tanda resiko harus dihadapi,...”
***
Saya dahulu sering berjumpa dengan Tarmuzie di Komunitas Kesenian (sastra, teater, dan seni rupa) di Jalan Babadan Rukun, Surabaya. Ada beberapa pelukis yang “ngantor” di sana, seperti Bambang Thelo, Fauzi, Farid, Tiyok, Thayib Tambsar, Agung, dan Tarmuzie.
Walaupun pelukis-pelukis itu bermacam-macam alirannya, tetapi mereka sangat terpengaruhi cara berpikir zaman romantik, dimana komunikasi atau jalan menikmati karya seni semata-mata tergantung kepada “roso” atau perasaan. Oleh karena itu, mereka agak memandang miring terhadap kritikus. Dan proses kreatif yang heroik itu disebut “ngrogo sukmo” atau menyelami jiwa. Tarmuzie termasuk yang memegang erat pandangan ini, walaupun dia pelukis abstrak. Dan dia lebih suka, kalau disebut pelukis abstrak ekspresionis.
Saya tak tahu banyak karya-karya Tarmuzie, sehingga tidak dapat memberikan dengan baik perkembangan karirnya. Beliau mengaku dipengaruhi oleh Affandi, Willem de Kooning dan Jackson Pollock. Cuma sejauh manakah pengaruh itu bersinergi dengan milik sang pelukis yang otentik, saya juga tidak tahu betul.
Banyak orang yang bingung dan termangu-mangu di depan lukisan abstrak. Ini maknanya apa, maksudnya apa? Ini membicarakan apa, atau menceritakan apa? Seni abstrak sesungguhnya hanya menggunakan bahasa visual bentuk, warna, garis, bidang, dan ruang untuk menciptakan komposisi karya, serta tidak mengambil referensi visual yang ada di alam/dunia.
Lukisan abstrak menghadirkan gambaran yang tidak ada wujudnya di dunia. Lukisan abstrak tidak akan menggambar subjek potret manusia, pemandangan, hewan atau referensi lainnya yang terdapat di alam dunia. Itulah sebabnya, mengapa lukisan abstrak tampak hanya seperti coretan asal yang dilukiskan di kanvas.
Penemuan kamera, merupakan salah satu teknologi yang paling mempengaruhi kecenderungan baru ini. Dengan maraknya fotografi, para seniman mulai meninggalkan salah satu fungsi karya lukis sebagai media dokumentasi dan representasi alam. Sehingga berbagai gerakan baru seni diluar realisme terus bermunculan, termasuk lukisan abstrak!
Terdapat beberapa cara yang dapat digunakan untuk memahami atau mengapresiasi lukisan abstrak, yaitu 1). Stop mencari bentuk nyata 2). Rasakan berbagai emosi pada lukisan abstrak 3). Pelajari latar belakang seniman dalam melukis karya abstrak 4). Hentikan menghakimi diri 5). Berhenti mencari makna.
Salah satu kesalahan umum yang terjadi saat kita ingin memahami karya seni, ketika diri kita terus bertanya “ini maksudnya apa?” Tidak semua karya seni harus memiliki pesan, atau maksud tertentu. Terkadang lukisan abstrak dilukis hanya untuk dinikmati, seperti keindahan bunga-bunga di taman. Apresiasi dan nikmati berbagai kombinasi bentuk serta warna yang terjadi pada karya-karya abstrak.
Selamat jalan kawan, semoga Allah Swt mengampunimu dan memberimu tempat yang terbaik, amin...
***
5 April 2014 Cangkringrandu, Perak, Jombang, Jawa Timur.
Makalah dalam acara
SelaSAstra Boenga Ketjil #38 Jombang.
Andhi Setyo Wibowo, Robin Al Kautsar, Dahlan Kong
SelaSAstra Boenga Ketjil #38 Jombang 5 April 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar