Geger Riyanto *
Kompas,10 Mar 2013
Artikel Bandung
Mawardi di Kompas (3/2) menarik untuk memicu diskusi tentang puisi Afrizal
Malna. Sayangnya, tulisan itu sendiri berhenti setelah meraba bahwa ada recik
gambaran kenyataan urban dalam karyanya, tak membawa kita lebih jauh dari
pembacaan yang nyaris sama tuanya dengan usia kepenyairan Afrizal sendiri.
Sejak setidaknya
Abad yang Berlari pada tahun 1984, puisi-puisi Afrizal dibicarakan sebagai
simbolisasi kehidupan urban. Banyak yang lantas lekas mengamininya—sekurangnya,
tidak menolaknya—lantaran kesamaan ”cita rasa” antara puisinya dan realitas
kota. Kedua teringkus dengan satu kata: kekacauan. Sebagaimana keselarasan
adalah hal yang terkesan jauh dari kota, tata bahasa adalah hal yang terasa
asing dari puisi khaotiknya.
Namun menjumpai
pembacaan urbanisme yang menembus Afrizal lebih jauh dari sebatas menemukan
keserupaan antara larik-larik disfiguratifnya dengan kehidupan keras dan
serak-semarak kota pun adalah hal yang sulit (pembacaan Tia Setiadi dan Acep
Iwan Saidi, yang bernas, saya anggap di luar tema ini). Pembacaan puisinya
sebagai visualisasi tata bahasa atas benda-benda pun—yang kemudian berkembang
menjadi pembacaan relasi dan tirani obyek atas manusia pada 1990-an dan
2000-an—tak lain berasal dari manifesto Afrizal sendiri.
Pertanyaannya,
mungkinkah puisi yang demikian fragmentatif—dan membuat banyak pembacanya
frustrasi ini—diselami lewat suatu cara baca yang sistematik? Di luar tak
sedikit pembaca yang menyerah, mereka yang memilih melanjutkan membacanya pun
biasanya mencoba untuk tidak memahami karyanya. Cukup dinikmati saja. Ada yang membentuk
obyek-obyek puisi Afrizal dalam imajinasinya lalu menontonnya. Ada yang
membayangkan diri berada di tengah-tengah aliran tak beraturan kata-katanya dan
membiarkan diri tenggelam di antaranya. Dan bagi mereka yang melakukan ini,
memang, sajak-sajak itu nikmat.
Namun, pembacaan
yang tidak melibatkan perangkat kognitif semacam itu sebenarnya sebuah
petunjuk. Menikmati karya sastra, mengutip alur berpikir kritik strukturalis,
tak dimungkinkan tanpa adanya keserupaan logika di antara karya terkait dengan
realitas perasaan yang dihidupi pembacanya. Sajak-sajak Chairil tak mungkin
memperoleh perhatian yang didapatnya sekarang bila kalimatnya dimengerti tetapi
pembaca tidak dapat merasakan apa-apa darinya. Puisi dibaca untuk sensasi yang
bisa diperah darinya, rasa terbakar oleh entakannya untuk menyitir seorang
kritikus, dan, tentu saja, bukan untuk informasi aktual yang bisa diperoleh di
halaman lain.
Dan inilah
menariknya. Bila Chairil mendayagunakan bentuk, bunyi, dan metafora yang
gamblang untuk menikamkan sentakan akustik pada pembacanya, ketiga hal di atas
nyaris absen sama sekali dari puisi-puisi Afrizal. Namun, tanyakanlah kepada
para pembacanya, sajak-sajak Afrizal tak kehilangan efek merajam perasaan yang
lazimnya diperoleh pembaca puisi dari perpaduan cakap perumpamaan yang efektif
dengan lantunan pembacaan yang bergaung di ceruk kepalanya.
Ambil sepotong
puisi Afrizal, ”palu. waktu tak mau berhenti, palu. waktu tak mau berhenti.
seribu jam menunjuk waktu yang beda-berbeda. semua berjalan sendiri-sendiri,
palu.” Manakala dibacakan, apalagi secara spontan, puisi ini sukar untuk
dibawakan dengan lantang dan berirama. Namun, asosiasi yang ditimbulkan di
benak kita bukannya tidak dapat disebut puitik. Ia memiliki efek
defamiliarisasi, yang menurut Viktor Shklovsky sebuah kualitas yang biasa kita
peroleh dari karya seni yang kita nikmati.
Asosiasi
Kita mencecap karya
untuk perasaan keterlemparan dan keterasingan, dan puisi barusan menorehnya
dengan menyajikan jukstaposisi hal-hal yang telah kita pahami dalam adegan yang
janggal. Waktu diperlakukan seperti algojo kejam yang tak punya rasa iba untuk
berhenti dan palu menjadi sosok pendengar aku lirik dalam monolognya yang
melankolis; kemudian adegan sontak berganti memperlihatkan jam dengan waktu
berbeda-beda dan setiap hal berjalan dengan kesendiriannya masing-masing.
Tidak jelas?
Sebaliknya. Saya kira, ketidakberdayaan seorang aku yang kehilangan pegangan
akan dimensi kalanya tertoreh dengan sangat nyata di lirik-lirik tersebut.
Jarang diketahui, tetapi dalam mengompensasi ketiadaan kiasan yang lazim dan
eksperimen bentuk, ada kejernihan visual luar biasa sekaligus pengalaman ragawi
yang kuat pada paparan Afrizal. Ini memungkinkan kita, seperti salah seorang
pembaca tadi, membayangkan diri tergulung di tengah-tengah puisinya.
Kemenyeharian
diksi-diksinya— yang mendatangkan kritik bahwa puisinya tidak elegan—justru
memagnifikasi daya kekonkretan imaji yang dipicunya. Tema-tema besar yang lebih
banyak kita pahami secara konseptual itu—waktu, dunia, abad, kematian,
kota—dipadankan Afrizal dengan kata kerja yang adalah aktivitas kita
sehari-hari, menjadikannya pengalaman yang betul-betul terasa di atas kulit dan
daging manakala kita melewati lorong larik-lariknya.
Ambil sekali lagi
Abad yang Berlari. Abad digambarkan berlari. Yang dari tanah kerja, dari laut
kerja, dari mesin kerja. Peta berlari, dari kota datang, dari kota pergi,
mengejar waktu. Manusia sunyi disimpan waktu. Dunia berlari. Seribu manusia
dipacu tak habis mengejar. Runtutan elemen era kontemporer kita—peta, mesin,
kota—dimetaforakan dengan aktivitas ketubuhan yang intens. Meski tak merangkai
lirik dengan alur yang kentara, seseorang dapat merasakan, ya, ini dia. Inilah
kehidupan modern.
Asosiasi-asosiasi
nyaris liar ini sepintas tampak tanpa arti. Namun bacalah dengan pikiran sedang
menonton film dan tiba di bagian di mana periode sekian tahun diceritakan
dengan kilasan-kilasan adegan. Kejapan-kejapan puisi Afrizal, dibaca demikian,
akan menyajikan sensasi terkejar-kejar dan ketidakberartian diri yang mendarah
daging. Sebuah sensasi yang merangkum modernitas.
Puisi Afrizal tidak
ranggi? Sangat benar. Namun, itulah impresi yang justru dihabisinya guna
memperoleh serat-serat pengalaman terdalam realitas kekinian yang selama ini
tak teraih puisi. Kehidupan yang tergulung dalam proses produksi kehidupan itu
sendiri. Perubahan nan cepat yang nyaris-nyaris tak tercerap. Pesimisme,
depresi, dan perasaan rendah diri. Susunan absurd puisi Afrizal
menghunjamkannya tepat ke atas pembuluh perasa kita.
Dan kota itu
sendiri, sebagai atom dari kehidupan modern, dalam sajak Afrizal tak lagi
sekadar sesuatu yang digambarkan, tetapi digambarkan dengan intim. Amat intim.
Belantara bangunan dan pusat kehidupan sosial itu bukan lagi menjadi
proses-proses jauh di luar sana, tetapi ia—beserta segenap eksploitasi,
kekerasan, ketergelungan yang dialami penduduknya—menyesap ke wilayah
pengalaman pribadi pembacanya. Lewat sajak-sajak ”peristiwa” Afrizal, kota
bukan hanya dibaca, bukan hanya sesuatu yang dikisahkan, tetapi terjadi.
Jadi bacalah.
Alamilah. Alamilah kota, dalam puisi Afrizal, sebagai rangkaian peristiwa
paradoksal. Kerap gelap. Kerap menyedihkan. Dan tak jarang, bertaburan ingatan,
personal, menyentuh….
*) Geger Riyanto,
Esais
Tidak ada komentar:
Posting Komentar