Rabu, 22 Mei 2019

Afrizal dan Puisi Peristiwa


Geger Riyanto *
Kompas,10 Mar 2013

Artikel Bandung Mawardi di Kompas (3/2) menarik untuk memicu diskusi tentang puisi Afrizal Malna. Sayangnya, tulisan itu sendiri berhenti setelah meraba bahwa ada recik gambaran kenyataan urban dalam karyanya, tak membawa kita lebih jauh dari pembacaan yang nyaris sama tuanya dengan usia kepenyairan Afrizal sendiri.

Sejak setidaknya Abad yang Berlari pada tahun 1984, puisi-puisi Afrizal dibicarakan sebagai simbolisasi kehidupan urban. Banyak yang lantas lekas mengamininya—sekurangnya, tidak menolaknya—lantaran kesamaan ”cita rasa” antara puisinya dan realitas kota. Kedua teringkus dengan satu kata: kekacauan. Sebagaimana keselarasan adalah hal yang terkesan jauh dari kota, tata bahasa adalah hal yang terasa asing dari puisi khaotiknya.

Namun menjumpai pembacaan urbanisme yang menembus Afrizal lebih jauh dari sebatas menemukan keserupaan antara larik-larik disfiguratifnya dengan kehidupan keras dan serak-semarak kota pun adalah hal yang sulit (pembacaan Tia Setiadi dan Acep Iwan Saidi, yang bernas, saya anggap di luar tema ini). Pembacaan puisinya sebagai visualisasi tata bahasa atas benda-benda pun—yang kemudian berkembang menjadi pembacaan relasi dan tirani obyek atas manusia pada 1990-an dan 2000-an—tak lain berasal dari manifesto Afrizal sendiri.

Pertanyaannya, mungkinkah puisi yang demikian fragmentatif—dan membuat banyak pembacanya frustrasi ini—diselami lewat suatu cara baca yang sistematik? Di luar tak sedikit pembaca yang menyerah, mereka yang memilih melanjutkan membacanya pun biasanya mencoba untuk tidak memahami karyanya. Cukup dinikmati saja. Ada yang membentuk obyek-obyek puisi Afrizal dalam imajinasinya lalu menontonnya. Ada yang membayangkan diri berada di tengah-tengah aliran tak beraturan kata-katanya dan membiarkan diri tenggelam di antaranya. Dan bagi mereka yang melakukan ini, memang, sajak-sajak itu nikmat.

Namun, pembacaan yang tidak melibatkan perangkat kognitif semacam itu sebenarnya sebuah petunjuk. Menikmati karya sastra, mengutip alur berpikir kritik strukturalis, tak dimungkinkan tanpa adanya keserupaan logika di antara karya terkait dengan realitas perasaan yang dihidupi pembacanya. Sajak-sajak Chairil tak mungkin memperoleh perhatian yang didapatnya sekarang bila kalimatnya dimengerti tetapi pembaca tidak dapat merasakan apa-apa darinya. Puisi dibaca untuk sensasi yang bisa diperah darinya, rasa terbakar oleh entakannya untuk menyitir seorang kritikus, dan, tentu saja, bukan untuk informasi aktual yang bisa diperoleh di halaman lain.

Dan inilah menariknya. Bila Chairil mendayagunakan bentuk, bunyi, dan metafora yang gamblang untuk menikamkan sentakan akustik pada pembacanya, ketiga hal di atas nyaris absen sama sekali dari puisi-puisi Afrizal. Namun, tanyakanlah kepada para pembacanya, sajak-sajak Afrizal tak kehilangan efek merajam perasaan yang lazimnya diperoleh pembaca puisi dari perpaduan cakap perumpamaan yang efektif dengan lantunan pembacaan yang bergaung di ceruk kepalanya.

Ambil sepotong puisi Afrizal, ”palu. waktu tak mau berhenti, palu. waktu tak mau berhenti. seribu jam menunjuk waktu yang beda-berbeda. semua berjalan sendiri-sendiri, palu.” Manakala dibacakan, apalagi secara spontan, puisi ini sukar untuk dibawakan dengan lantang dan berirama. Namun, asosiasi yang ditimbulkan di benak kita bukannya tidak dapat disebut puitik. Ia memiliki efek defamiliarisasi, yang menurut Viktor Shklovsky sebuah kualitas yang biasa kita peroleh dari karya seni yang kita nikmati.

Asosiasi

Kita mencecap karya untuk perasaan keterlemparan dan keterasingan, dan puisi barusan menorehnya dengan menyajikan jukstaposisi hal-hal yang telah kita pahami dalam adegan yang janggal. Waktu diperlakukan seperti algojo kejam yang tak punya rasa iba untuk berhenti dan palu menjadi sosok pendengar aku lirik dalam monolognya yang melankolis; kemudian adegan sontak berganti memperlihatkan jam dengan waktu berbeda-beda dan setiap hal berjalan dengan kesendiriannya masing-masing.

Tidak jelas? Sebaliknya. Saya kira, ketidakberdayaan seorang aku yang kehilangan pegangan akan dimensi kalanya tertoreh dengan sangat nyata di lirik-lirik tersebut. Jarang diketahui, tetapi dalam mengompensasi ketiadaan kiasan yang lazim dan eksperimen bentuk, ada kejernihan visual luar biasa sekaligus pengalaman ragawi yang kuat pada paparan Afrizal. Ini memungkinkan kita, seperti salah seorang pembaca tadi, membayangkan diri tergulung di tengah-tengah puisinya.

Kemenyeharian diksi-diksinya— yang mendatangkan kritik bahwa puisinya tidak elegan—justru memagnifikasi daya kekonkretan imaji yang dipicunya. Tema-tema besar yang lebih banyak kita pahami secara konseptual itu—waktu, dunia, abad, kematian, kota—dipadankan Afrizal dengan kata kerja yang adalah aktivitas kita sehari-hari, menjadikannya pengalaman yang betul-betul terasa di atas kulit dan daging manakala kita melewati lorong larik-lariknya.

Ambil sekali lagi Abad yang Berlari. Abad digambarkan berlari. Yang dari tanah kerja, dari laut kerja, dari mesin kerja. Peta berlari, dari kota datang, dari kota pergi, mengejar waktu. Manusia sunyi disimpan waktu. Dunia berlari. Seribu manusia dipacu tak habis mengejar. Runtutan elemen era kontemporer kita—peta, mesin, kota—dimetaforakan dengan aktivitas ketubuhan yang intens. Meski tak merangkai lirik dengan alur yang kentara, seseorang dapat merasakan, ya, ini dia. Inilah kehidupan modern.

Asosiasi-asosiasi nyaris liar ini sepintas tampak tanpa arti. Namun bacalah dengan pikiran sedang menonton film dan tiba di bagian di mana periode sekian tahun diceritakan dengan kilasan-kilasan adegan. Kejapan-kejapan puisi Afrizal, dibaca demikian, akan menyajikan sensasi terkejar-kejar dan ketidakberartian diri yang mendarah daging. Sebuah sensasi yang merangkum modernitas.

Puisi Afrizal tidak ranggi? Sangat benar. Namun, itulah impresi yang justru dihabisinya guna memperoleh serat-serat pengalaman terdalam realitas kekinian yang selama ini tak teraih puisi. Kehidupan yang tergulung dalam proses produksi kehidupan itu sendiri. Perubahan nan cepat yang nyaris-nyaris tak tercerap. Pesimisme, depresi, dan perasaan rendah diri. Susunan absurd puisi Afrizal menghunjamkannya tepat ke atas pembuluh perasa kita.

Dan kota itu sendiri, sebagai atom dari kehidupan modern, dalam sajak Afrizal tak lagi sekadar sesuatu yang digambarkan, tetapi digambarkan dengan intim. Amat intim. Belantara bangunan dan pusat kehidupan sosial itu bukan lagi menjadi proses-proses jauh di luar sana, tetapi ia—beserta segenap eksploitasi, kekerasan, ketergelungan yang dialami penduduknya—menyesap ke wilayah pengalaman pribadi pembacanya. Lewat sajak-sajak ”peristiwa” Afrizal, kota bukan hanya dibaca, bukan hanya sesuatu yang dikisahkan, tetapi terjadi.

Jadi bacalah. Alamilah. Alamilah kota, dalam puisi Afrizal, sebagai rangkaian peristiwa paradoksal. Kerap gelap. Kerap menyedihkan. Dan tak jarang, bertaburan ingatan, personal, menyentuh….

*) Geger Riyanto, Esais

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

20 Tahun Kebangkitan Sastra-Teater Lamongan A Jalal A. Anzieb A. Khoirul Anam A. Mustofa Bisri A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja Abdoel Moeis Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdullah Abubakar Batarfie Abdurrahman Wahid Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Acep Iwan Saidi Achdiat K. Mihardja Achiar M Permana Adek Alwi Adhi Pandoyo Adib Baroya Aditya Ardi N Adri Sandra Adu Pesona Sang Wakil Cawapres RI Afrizal Malna Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agus Buchori Agus Dermawan T. Agus Mulyadi Agus Prasmono Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahmad Farid Yahya Ahmad Hasan MS Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Saifullah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alawi Al-Bantani Alfatihatus Sholihatunnisa Alfian Dippahatang Ali Audah Alim Bakhtiar Amie Williams Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amril Taufik Gobel An. Ismanto Andhi Setyo Wibowo Andi Andrianto Andong Buku #3 AndongBuku #3 Andrea Hirata Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Antologi Sastra Lamongan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Arafat Nur Ardi Wina Saputra Ardy Suryantoko Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arman A.Z. Arsyad Indradi Asarpin Ashimuddin Musa Asrul Sani Astuti Ananta Toer Atafras Audifax Awalludin GD Mualif Ayu Nuzul Azizah Hefni B Kunto Wibisono Bahrul Amsal Bambang Kempling Beni Setia Benny Benke Beno Siang Pamungkas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bloomberg Bre Redana Budaya Budi Darma Buldanul Khuri Bustan Basir Maras Candra Adikara Irawan Candrakirana Cangaan Ujungpangkah Gresik Jawa Timur Capres Cawapres 2019 Catatan Ceramah Cerpen Chairil Anwar Chicilia Risca CNN Indonesia Coronavirus COVID-19 D. Zawawi Imron Damiri Mahmud Darju Prasetya Darman Moenir Deddy Arsya Denny JA Denny Mizhar Devy Kurnia Alamsyah Dhoni Zustiyantoro Dian Sukarno Didin Tulus Dien Makmur Din Saja Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Donny Anggoro Donny Darmawan Dr. Hilma Rosyida Ahmad Dwi Cipta Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Dyah Ayu Fitriana Ecep Heryadi Edy Suprayitno Eka Budianta Eka Kurniawan Elok Dyah Messwati Engkos Kosnadi Erdogan Erwin Setia Esai Esti Nuryani Kasam Evan Ys F. Budi Hardiman F. Rahardi Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Fahrur Rozi Faidil Akbar Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathul Qorib Fatkhul Anas Feby Indirani Felix K. Nesi Festival Teater Religi Festival Teater Religi Pelajar SLTA Se-kabupaten Lamongan Fira Basuki Forum Santri Nasional (FSN) Frischa Aswarini Fuad Mardhatillah UY Tiba Fuad Nawawi Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gde Artawan Geger Riyanto Geguritan Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Guenter Grass Gus Ahmad Syauqi Gus tf Gusti Eka Habib Bahar bin Smith Haiku Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Han Gagas Hary B Koriun Hasan Basri Hasnan Bachtiar Heri Ruslan Herman Hesse Hertha Mueller Heru Kurniawan Hestri Hurustyanti Holy Adib Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu I Made Prabaswara I Made Sujaya IAI TABAH (Institut Agama Islam Tarbiyatut Tholabah) Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Iksaka Banu Imam Jazuli Imam Nawawi Imammuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Mahadi Indra Tjahyadi Irfan Afifi Irine Rakhmawati Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS J.S. Badudu Jadid Al Farisy Jajang R Kawentar Jawa Timur Jean Marie Gustave le Clezio JJ. Kusni Jl Raya Simo Sungelebak Jo Batara Surya John H. McGlynn Jordaidan Rizsyah Jual Buku Paket Hemat Juara 3 Lomba Lompat Jauh DISPORA LAMONGAN Jurnalisme Sastrawi K.H. Ma'ruf Amin Kadek Suartaya Kaheesa Kirania Putri Ayu Kahfie Nazaruddin Kalis Mardiasih Kamaluddin Ramdhan Kanti W. Janis Karanggeneng Kardono Setyorakhmadi Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Pantura (KBP) KetemuBuku Jombang KH. M. Najib Muhammad KH. Muhammad Amin (1910-1949) Khairul Mufid Jr Khawas Auskarni Khoirul Abidin Khoshshol Fairuz Ki Ompong Sudarsono Kitab Arbain Nawawi Kodrat Setiawan Kompas TV Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA) Komunitas Sastra dan Teater Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Komunitas-komunitas Teater di Lamongan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Luar Biasa Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) Kopuisi Kostela Kritik Sastra Kumpulan Cerita Buntak Kurnia Effendi Kuswaidi Syafi’ie L Ridwan Muljosudarmo L.K. Ara Lamongan Lan Fang Lawi Ibung Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Literasi Liza Wahyuninto Lukas Luwarso Lukisan Lukman Lukman Santoso Az Lutfi Mardiansyah M Farid W Makkulau M. Faizi M.D. Atmaja Madrasah Aliyah Matholi'ul Anwar Madrasah Ibtida’iyah Thoriqotul Hidayah 1 Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S Mahayana Manado Manneke Budiman Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mario F. Lawi Marsel Robot Martin Aleida Marwanto Mashuri Massayu Masuki M. Astro Masyhudi Media Seputar Pendidikan Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Purnama di Kampung Halaman Mereka yang Menjerat Gus Dur MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mien Uno Moh. Dzunnurrain Moh. Jauhar al-Hakimi Mohammad Rafi Azzamy Mohammad Rokib Mohammad Yamin Muafiqul Khalid MD Much. Khoiri Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alfatih Suryadilaga Muhammad Antakusuma Muhammad Fikry Mauludy Muhammad Hafil Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad N. Hassan Muhammad Subarkah Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Muhyiddin Mukadi Mukani Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Musa Ismail Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang E S Nara Ahirullah Naskah Teater Nezar Patria Noor H. Dee Nunus Supardi Nur Haryanto Nur Wachid Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Okky Madasari Olivia Kristina Sinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pagelaran Musim Tandur Palupi Panca Astuti Pameran Lukisan Parimono V / 40 Plandi Jombang PC. Lesbumi NU Babat PDS HB Jassin Pelukis Dahlan Kong Pelukis Tarmuzie Penculikan Aktivis 1988 Pendidikan Pengajian Pengarang kelahiran Lamongan Pentigraf Pepaosan Perbincangan Peringatan Hari Pahlawan 10 November Pilang Tejoasri Laren Lamongan Jawa Timur Pipiet Senja Politik Pondok Pesantren Ali Bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Jokowi Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi (PMK) Puji Santosa Pustaka LaBRAK PUstaka puJAngga R. Ng. Ronggowarsito Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rasanrasan Boengaketji Raudlotul Immaroh Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Reuni dan Halal Bihalal Mts Putra-Putri Simo 1992 Ribut Wijoto Riki Antoni Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Robin Al Kautsar Rodli TL Roland Barthes Rosi Rosihan Anwar RR Miranda Rumah Budaya Pantura (RBP) S. Jai S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabrank Suparno Safitri Ningrum Sainul Hermawan Sajak Salman Aristo Sandiaga Uno Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Sastra Tasikmalaya (SST) Sarasehan dan Launching Buku Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Kuno Suku Sasak Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Satu Jam Sastra Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSAstra Boenga Ketjil Seni Gumira Ajidarma Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seputar Sastra Pendidikan Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sirdjanul Ghufron Siwi Dwi Saputro Slamet Rahardjo Rais Soediro Satoto Soekarno Soeparno S. Adhy Soesilo Toer Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Sri Handi Lestari Sri Wintala Achmad STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sujatmiko Sukarno Suminto A. Sayuti Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahrudin Attar Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari Sylvianita Widyawati Tangguh Pitoyo Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Ilat Teater nDrinDinG Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tias Tatanka Timur Sinar Suprabana Titi Aoska Tiyasa Jati Pramono Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Toni Masdiono Tri Broto Wibisono TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Tulus Wijanarko Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Jember Universitas Negeri Jember Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyu Aji Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Wiji Thukul Wildan Nugraha Wildana Wargadinata Yanusa Nugroho Yasraf Amir Piliang Yerusalem Ibu Kota Palestina Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhi Herwibowo Yuditeha Yusri Fajar Yuval Noah Harari Zainal Arifin Thoha Zainuddin Sugendal Zara Zettira ZR Zehan Zareez Zuhdi Swt