UNBOXING TEATER LAMONGAN
Rodli TL
Membaca judul ini, muncul dalam benak pikiran pertamakali, apa hubungan teater dan ikan?
Secara geografis Lamongan berada pada pantai utara pulau jawa. Di lewati sungai bengawan Solo, juga banyak bagian kampung yang berada pada dataran rawa-rawa. Dengan kondisi alam seperti itu, maka secara alamia masyarakatnya survive dengan air dan kekayaannya, apakah ituh? Jawabannya pastilah ikan. Tentulah orang Lamongan akan mengenal ratusan jenis dan nama ikan laut, puluhan ikan sungai bengawan dan rawa-rawa. Mulai dari ikan sembilang, bloso sampai jatul. Dan kemudian Lamongon gagah dengan lambang ikannya, yaitu lele bermakna ulet dan survival sedang bandeng sebagai komoditas derajat perekonomian dan masa depan.
Hari ini menjadi nyata, bahwa sebagian besar masyarakat Lamongan sejahtera lantaran karunia Allah lewat berbagai macam ikan. Masyarakatnya sangat terampil bagaimana cara menangkap dengan berbagai alat yang mereka kreasikan. Mulai dari jaring, jala, waring, serok, wuwu, susuk, rajut, jegog, ancak, sengkap dan lain sebagainya. Dengan cara miyang, mirik, ngubeg, ngesat dan mancing. Sesungguhnya Lamongan punya berbagai cara untuk ada dan berada dengan ikannya.
Lalu apa hubungannya dengan teater?
Sejak ratusan tahun lalu, Lamongan punya teater tradisional kentrung, mungkin saja disebar oleh Sunan Drajat yang konsep pertunjukannya belajar dari Sunan Kalijaga, atau karena kluntrang-kluntrungnya Kyai Basiman dari Bale Tuban sampai Lamongan yang kemudian dikembangkan oleh mbah Marko di Payaman yang kemudian sampai saat ini dilanjutkan oleh mbah Ahmad Kusaeri dengan nama Kentrung Sunan Drajat yang dikenalkan sejak tahun 1991.
Di Lamongan bagian selatan, juga ratusan tahun yang lalu pernah punya teater tradisional yang dinamai dengan sandur. Belasan tahun yang lalu pernah diteliti dan dikembangkan oleh Kamijo yang kemudian dikenal dengan Joko Sandur. Ia mengungkapkan bahwa kesenian sandur di daerah Lamongan ini mempunyai kesamaan dengan kesenian sandur yang ada di daerah lain (Tuban dan Bojonegoro). Kata sandur berawal dari sebuah artikel yang berjudul “Seni Sandur Saya Mundur”. Dengan kata lain bahwa sandur berasal dari kata mesisan ngedur atau beksan mundur, karena sandur dipentaskan semalam ngedur (semalam suntuk). Kesenian sandur merupakan kesenian yang terminologinya diambil dari anonim sandur: isane tandur (sa’wise tandur) yang berarti selesai bercocok tanam. Dengan kata lain bahwa seni sandur adalah salah satu bentuk ekspresi seni masyarakat agraris yang dilakukan selesai bercocok tanam. Disamping itu cerita yang ada dalam sandur, berbicara tentang gambaran kehidupan petani dalam menjalankan aktifitas agrarisnya.
Sandur sempat pentas di Gor dan Alun-alun Lamongan pada tahun 2005, 2006an. Sejak itu, teater tradisional yang pakem dengan nama-nama tokoh Jasmirah, Balong, Petak, Jasmani, Pak Empang, Nyai Asil, Anton, Lithi, Pak Calak, dan seorang Germo ini sudah jarang muncul, bahkan tidak pernah lagi pentas di panggung apapun di Lamongan. Teater tradisional yang seakan-akan hanya mampir saja, tidak punya tempat tinggal lagi di Lamongan.
Ironisnya perkembangan teater tradisional tersebut tidak sejalan dengan pertumbuhan ikan di Lamongan. Ikan Lamongan dengan berbagai jenis dan cara memasaknya terus berkembang ke berbagai daerah wilayah nusantara terkenal dengan kekhasan Lamongan sampai manca Negara. Namun ironisnya teater tradisionalnya tak lagi memiliki generasi yang mau mengembangkannya. Sandur sudah tiada, kentrung hanya seorang Kusaeri saja.
Di tahun 1980an mulai muncul teater-teater modern yang digandrungi anak muda yang tumbuh kembang di sekolah dan beberapa perguruan tinggi di Lamongan dengan berbagai nama. Ada Teater Ganast, Teater Citra, teater Tewol, Teater Nawa, Teater Pelangi, Teater Rupa, Teater Kukobeluk, Teater Rayap, Teater Taman, Teater Ramu, Teater Timur Tengah, Teater Air, Teater Talimama, Teater Kipas, Teater Sketsa, Teater Model dan masih banyak yang lainya. Di beberapa perguruan tinggi ada Teater Roda, Teater Nafas Kata, Teater Rasa, Teater Ilat, Teater Serulink, Teater Klaras. Juga muncul teater-teater yang mandiri yaitu Kostela, Sangbala, Ginyo dan Doet Theatre. Namun sebagian besar teater itu juga masih sulit bernafas dengan karya-karya pertunjukannya.
Lamongan juga pernah punya peristiwa-peristiwa penting dalam perhelatan teater, ada Lamongan Art, Kolaborasi agenda tahunan Dewan Kesenian Lamongan, Temu Karya Teater Roda, Festival Monolog Teater Nafas Kata, Padhang Bulan Kotaselam, Candrakirana Kostela, Pojok Seni Sangbala. Sebagian besar peristiwa-peritiwa itupun kehilangan tanggal hari waktunya. Hanya Temu Karya Teater Roda yang masih punya nyali besar untuk terus ada.
Walau tidak berkali-kali beberapa kelompok teater pernah mementaskan karyanya pada peristiwa teater nasional dan internasioanl, Teater Anak Sangbala pada Festival Seni Internasional PPPPTK Jogjakarta, Teater Roda pada acara Temu Sastrawan Nusantara di Taman Budaya Surakarta, Teater Ginyo, Teater Nafas Kata, Doet Theatre juga seringkali pentas di Hari Teater Dunia di Taman Budaya Surakarta. Juga kerjasama Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, Sanggar Tri Melati, Sangbala dan beberapa aktor Lamongan beberapakali mementaskan karyanya di Taman Mini Indonesia Indah. Dan banyak lagi teater-teater pelajar mengikuti festival-festival regional dan nasioanal.
Tulisan diatas suatu usaha unboxing teater Lamongan, membuka kotak yang berisi tumpukan-tumpukan teater yang pernah dimiliki Lamongan. Lalu menjadi harapan sebagaimana ikan lele, bandeng, panami, cumi-cumi, kepiting dan kakap, selalu dijaga ekosistemya dan dikembangkanya. Tidak menututup kemungkian teater-teater yang tersimpan dalam kotak Lamongan tersebut akan menjadi survive dengan budaya masyarakatnya.
Tentunya masih banyak tumpukan-tumpukan lain yang masih belum terbuka. Semoga saja kemarau teater di Lamongan tidak terlalu panjang. Bila hujan itu segera turun teater-teater itu kembali berlompatan pada laut dan sungai, rawa dan tambak. Anak-anak pasti semakin giat bersekolah gembira dan bermain dengan nyanyian “udan telak / bapak golek iwak / dipangan dangak-dangak”. Teater-teater akan menjadi atribut kebesaran prestasinya. Akan ada pasar-pasar teater Lamongan yang mengirim karya-karya teater ke nusantara bahkan ke manca negara. Sebagaimana pasar ikan Lamongan yang seringkali mengekspor ikan kakap dan panami ke Jepang dan berbagai negara lainnya.
***
*) Dipresentasikan pada acara Unboxing Teater Lamongan di Teater Roda Unisda, 29 Juni dan Rumah Budaya Pantura, 7 Juli 2019 dan menyusul di tempat-tempat lainnya.
http://sastra-indonesia.com/2019/07/unboxing-teater-lamongan/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar