Akhmad Taufiq *
Dari agenda bedah buku yang diselenggarakan LP3M (Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu) Universitas Jember (UNEJ), 5 Oktober 2019. Apa yang terjadi kemarin?
Sebuah perdebatan sengit atas nama tafsir, dan perspektif terhadap realitas teks yang ditarik pada ruang “makna.”
Perdebatan atas dua buku, yakni buku “Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia”, karya Nurel Javissyarqi, dan “Agama Para Bajingan”, karya Taufiq Wr. Hidayat. Bagi saya, kedua buku tersebut menawarkan dua tafsir dalam sebuah pendekatan yang berbeda.
Pertama, pada karya Nurel, lebih dekat menggunakan pendekatan tafsir lafdziyyah, tafsir atas logos, dan melahirkan logosentrisme yang baru. Gramatologi dipinjam dengan teori dekonstruksinya untuk mengritik keras atas kecerobohan Sutardji Cholzum Bachri (menurut Nurel), dan kritik sastra Ignas Kleden. Sayangnya, kritik atas logosentrism SCB dan IK oleh Nurel, bagi saya hanya melahirkan logosentrisme baru ala Nurel.
Apa itu? Berupa premis tentang “kecerobohan dan ketidakbenaran”. Nurel semestinya berani melahirkan logosentrisme lain, yang tidak hanya berupa penyangkalan. Strategi baca atau lebih tepatnya cara baca close reading yang dilakukan oleh Nurel, menurut saya sangat memungkinkan untuk lebih dari melahirkan sebuah penyangkalan; meskipun, saya secara pribadi apresiatif atas penyangkalan tersebut.
Kedua, tafsir maknawiyah, yang menonjol pada karya Taufiq Wr. Hidayat, yang mencoba menarik realitas sosial, berupa fenomena-fenomena sosial yang janggal, jumud, nakal, penuh kemunafikan, dan segala tetek bengek banalitas, ke ruang makna yang esensial yang esoteris. Ini menjadi menarik, ketika agama bagi dia diposisikan hanya sebagai label dan sekaligus kedok bagi segala kepentingan profan manusia, yang jauh dari transendensi yang semestinya.
Spiritualitas dan lebih dari itu sakralitas, diasingkan sedemikian rupa dalam hati manusia. Agama hanya menjadi labelling bagi kepentingan itu, dan dengan demikian manusia gagal beragama, gagal bertuhan, dan juga gagal dalam bercinta. Dan dengan demikian, katanya, kesetiaan (baca: keimanan) menjadi penting. Tapi bagi saya, kesetiaan itu perlu diiringi dengan komitmen atas keutuhan.
Agenda ini kemudian dilanjutkan dengan penyerahan hadiah lomba penulisan puisi tingkat SLTP, dan SLTA se-Jember, diteruskan dengan Temu Penyair Timur Jawa.
Salam Sastra!
Salam Puitika Nusantara!
http://sastra-indonesia.com/2019/10/dari-agenda-bedah-buku-agama-para-bajingan-dan-membongkar-mitos-kesusastraan-indonesia/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar