Rakai Lukman
Jajaran reklame di jalan utama kota, spanduk dan kibar umbul-umbul diterpa angin barat seperti dadaku saat memandangnya duduk di bangku halte yang kusam. Gadis bermata elok, tubuhnya ramping dibalut kebaya. Pemandangan yang susah kutemui pada kota-kota metropolis di pulau Jawa. Ia mengalihkan perhatianku saat menikmati foto wajah selebriti jelita bersanding iklan seluler merk terbaru, yang kunikmati dengan mengulum bibir sendiri, berfantasi layaknya cumbu rayu jarak jauh. Ya, karena mumpung akal masih sehat, aku tidak memanjat papan setinggi lima meter itu dan menjilatinya lalu kalayak kota akan berbondong-bondong menyaksikan orang gila berkostum office boy, celana necis, berjas hitam, bersepatu dan berdasi.
Gadis itu sering menatap ke bawah seperti tersipu malu, gerak-gerik matanya sering mengarah ke kanan. Kesiur angin berdebu menerpa pipinya yang rona, tak mampu menghapus pandangku. Ada ketakutan kecil di hati, berpuas dengan melihatnya dari jarak kurang lebih sepuluh meter, itu pun di seberang jalan. Anehnya siang ini jalanan sepi, kemana mereka yang biasa lalu lalang di jalanan utama, penghubung antar desa-desa sebelah timur kota. Matahari begitu menyengat, untungnya saya di bawah pohon besar, satu-satunya di jalan utama yang berjarak radius 30 km. Gadis itu beratap seng, tapi tak terlihat peluh dan keringatnya. Udara sejuk dan sesekali angin membelai rambutnya, semakin mempesona dan mengetar jantungku.
Berita yang kudengar dan kutonton di radio dan televisi, berdasarkan ramalan cuaca badan meteorologi dan geofisika, akan terjadi hujan meteor dan badai besar. Tapi saya tak ambil peduli, ini saat menunaikan hasrat sepuas-puasnya, menyaksikan kekasih kesayangan di papan reklame itu, adalah keinginan yang kupendam dua bulan sejak iklan itu dipasang. Perempuan dengan belahan dada dan pantat bahenol di papan reklame itu seolah lenyap dari benakku begitu saja. Bahkan melesat pula nafsu bercinta dengannya. Gadis itu benar-benar menyelamatkan saya dari kegilaan. Apalagi tidak tampak ketegangan pada wajah gadis kebaya ungu itu, Ia semakin membius kesadaranku. Saya dan dia seolah dipertemukan oleh isu yang belum tentu kebenarannya.
Saya hanya pelayan warung makan, karena malu dengan orang sekampung tiap berangkat ke kota saya berseragam layak eksekutif muda. Maklum lulusan perguruan tinggi yang mitosnya kuliah di situ akan menjadi pengusaha atau birokrat bermobil mewah dan mempunyai istri cantik dan bermake up layaknya pergi ke acara-acara kalangan ekslusif, wajarlah bila sarjana muda dari kalangan petani sepertinya saya tidak ada peluang kerja yang diidam-idamkan banyak orang seperti PNS atau investator. Maklum tidak ada modal, mau melamar jadi PNS tidak diterima, meski uji kelayakan intelektual sudah mumpuni tapi kurang syarat utama, yakni uang sepuluh juta. Ingin jadi investor, mimpi siang bolong ni ye!
Gadis kebaya ungu tiba-tiba melempar senyum manis padaku, meski setipis korden jendela ruang tamu rumah ibuku. Seolah memanggil saya untuk menjabat tangannya yang kuning langsat dan halus itu. Tidak terasa sudah sejam saya berdiri di bawah pohon beringin yang konon berusia puluhan tahun, batangnya bersarung kain batik, akar-akar kecilnya bergantungan seperti hujan tak henti-henti, akar induknya menjadi penopang altar persembahan, saya melihat ada dupa kemenyan dan sesaji, berupa sembako dan buah-buahan. Saya jadi teringat masa kuliah, bersama kawan-kawan saya sehabis subuh selalu mengambilnya, karena kalau malam ramai pengunjung dan wisatawan, ada yang minta kaya, kedudukan tinggi dan sampai-sampai ada yang minta menang judi lewat SMS yang marak tersiar di televisi dan radio. Tiap pemohon membaca mantra-mantra kuno sesuai tujuannya. Mereka menggunakan bahasa kawi (Jawa kuno) tak satu pun kata yang saya kenal.
Pohon beringin itu adalah sisa-sisa aliran kepercayaan tua penghuni asli pulau Jawa, animisme-dinamisme, konon di bawah pohon itu juga Aji Saka dimakamkan, berdasarkan mitologi pribumi Jawa beliau yang babad alas pulau Jawa, yang konon jalmo moro jalmo mati. Pohon itu satu-satunya situs yang terpaksa dilindungi keberadaannya oleh pemerintah, karena kepercayaan masyarakarat terlampau mengakar. Adapun pohon yang lain berganti tiang listrik dan telpon, juga trotoar jalan seperti pematang sawah yang dibabat habis rumputnya oleh kemarau panjang berupa tata dan keindahan kota, berganti paving dan pot bunga.
Ah, Pohon beringin tua dan gadis kebaya ungu, kalian berdua benar-benar membuai saya siang ini. Beringin tua biarlah sekian saja riwayatmu. Gadis kebaya ungu sungguh saya tak bisa mengindahkanmu, begitu terserap, tersita, terpana, tak terasa waktu bergulir tambah satu jam. Dia tak pernah berdiri, duduk berpose laksana putri keraton. Sesekali ia menatapku dengan sorot mata yang teduh. Tetapi ia seperti melihat saya alien di seberang jalan atau sebaliknya ia mahluk asing berwajah rupawan, bukan seperti yang digambarkan NASA, bahwa aliensi itu buruk muka. Kebayanya yang ungu dan sanggul rambut bertusuk konde seperti ornamen tiga dimensi, sungguh sejuk hati meski sekedar memandangnya.
Mendung putih bagai kapas yang berhambur di angkasa, cerah matahari memoles sampai kilau, bagi penikmat alam tentu begitu indahnya hari ini. Tapi kemana kalayak yang biasanya meramaikan kota dengan gerakan yang bergegas menyelesaikan target hidup. Ya untuk memenuhi kebutuhan hidup yang beraneka warna, yang semuanya telah campur aduk, berebut minta didahulukan. Barangkali mereka sudah menjadi budak iklan dengan pasukan andalannya sederetan papan reklame dan tayangan iklan televisi yang meminta untuk ditimang dan dibelai mesra, seperti perempuan cantik dan molek, yang ingin dijadikan pendamping sampai tersisa hanya jasad kaku tak berharga. Hari ini bukan karena itu, sebuah ketakutan menghantam dada dan menhancurkan kegigihan mereka. Kalian tahu kemana mereka sembunyi, pada dasarnya ketakutan sudah tertanam dalam batin mereka seperti kematian.
Hai gadis kebaya ungu, sebenarnya saya ingin berbagi kegundahanku tentang kesaksian akan kenyataan, tapi sebagai lelaki saya telah dididik televisi menjadi lelaki perayu dan tukang bual, tapi mesin penggeraknya seketika macet karenamu menyisihkan karakter kebanggaan alias playboy, bahwa saya setiap minggu sekali ganti pacar, ya mumpung masih muda dan modal tampang lumayan. Setidaknya perempuan akan tertunduk oleh kecanggihanku mengolah kata dan mengajaknya berwisata gaya eropa coy.
Adapun saya hanya terpaku, tersipu-sipu. Beruntung saat ini kota sepi, yang sesekali kesiur angin menyepuh wajah dan seragam office boyku, mampu menurunkan temperamen saya dari tegangan tinggi sebagai lelaki yang jatuh hati. Kau di halte dan saya di seberang jalan seperti sebuah pementasan dua aktor yang tersusun rapi skenarionya, bercerita tentang lelaki culun nan lugu bertemu gadis cantik yang cukup puas memandangnya dari jauh. Jari-jari saya bergerak-gerak seperti menari dan keringat dingin menyumbat pori-poriku sejak pertama menatap wajah ayu gadis kebaya ungu. Sebagai tanda kegelisahan lelaki yang tertusuk busur asmara. Kaki saya bergetar-getar, juga kesemutan, adakah kau lihat kegundahan ini melalui ekspresi senyum tipismu, oh gadis kebaya ungu?, ujar hati kecilku.
Awan-awan putih mulai menggumpal, menyerbu matahari. Sinarnya tertutup dan langit pun mendung. Awan menghitam mulai berarak semakin ramai menutup biru langit. Saya melawatkan pandang ke atas, pekatnya tak seperti biasa. Tekanan udara semakin memberat daun beringin bergoyang-goyang ke arah timur seperti ingin meninggalkan rantingnya yang elastis. Gerimis kiriman juga mulai turun, tapi daun beringin terlalu rapat hanya setetes dua tetes menimpa wajah dan rambut, mungkin juga jas hitam yang selalu saya seterika tiap pukul lima pagi, meski tidak pernah dicuci sejak beli di toko barang bekas.
Langit siang ini benar-benar gulita seperti malam. Awan-awan itu bersatu menjelma bentuk kubah. Meski jarak pandangku terhambat gedung-gedung bertingkat, juga swalayan di belakang halte berkarat itu. Namun tak sedikitpun ketakukan merayapi tulang sumsumku. Begitu juga gadis kebaya ungu, tiba-tiba ia beranjak dari kursi halte, berdiri dan melepas sanggulnya, rambut terurai, yang kukira tusuk konde ternyata lontar seperti yang saya jumpai di situs purbakala. Saya melihat jelas saat ia membukanya. Mulutnya mulai komat-kamit seperti merapal mantra. Suaranya lembut, lirih tapi telinga saya yang agak tuli bisa mendengarnya karena terlalu sering pakai headseat, mungkin sebab kota ini begitu sunyi dan angin menghantar suara kali ini sangat nyaring.
Kemudian ia menari bagai sinden seperti yang ada di kenanganku ketika menyaksikan pertunjukan wayang saat kecil dulu. Tiba-tiba Gerombolan awan di langit mendatangi gadis itu. Dengan melesat cepat menyelimuti tubuhnya, lalu berpusar pelahan makin lama semakin cepat. Ia menghampiriku, dia menjabat tanganku, aneh saya hanya membatu. Karena bisikan halusnya “Mari kekasihku, kita tinggalkan fana”. Lalu kami berpusar membentuk angin puting beliung, membabat gedung-gedung, papan-papan reklame, umbul-umbul, menghaburkan paving serta debu-debu.
Dalam pusaran kencang angin gadis kebaya ungu berujar “Saya adalah Dewi Sri yang murka sebab sawah tak lagi tumbuh padi, tapi rumah, gudang dan gedung” bibirku masih kaku tak mampu mengimbangnya. Ungkapan dia yang kedua “Kau, titisan kekasihku”. Sedang pohon beringin ini kami bawah berpusingan, anehnya masih utuh bahkan daun-daunnya tak satupun luruh. Dalam perjalanan kami mulai meninggal kota dan berangkat menuju kerajaan para dewa, kami disambut hangat oleh Bathara Wisnu, di gerbang istana langit terukir “Dasar segala bencana adalah tangan serakah manusia”. Dan kami pun menjadi sepasang mempelai yang tertunda kerinduannya beribu-ribu tahun sebelum manusia mengenal dongeng dan legenda. Sedangkan pohon beringin itu menghias taman para dewa dan malaikat.
Kota telah porak-poranda, hujan meteor hanya rekaan BMG saja. Langit cerah penduduk kota besoknya berhambur, kembali berwisata dengan bencana, bantuan berhamburan dari kota-kota dan desa-desa, bahkan antar pulau dan negara. Berdasarkan laporan badan survey, korban berjumlah ribuan manusia, binatang piaraan dan kerugian kota mencapai triliyunan rupiah. Itu sudah biasa, manipulasi data adalah kegemaran penduduk negeri ini, juga kotaku.
Sebulan kemudian gedung-gedung semakin menjulang ke langit, tak ada lagi taman kota, bahkan tempat ibadah menjadi kios-kios dan jendelanya penuh panflet dan poster, bahkan ada yang jualan sandal dan sepatu di mimbar. Saya dan gadis kebaya ungu hanya senyum-senyum, Manusia semakin menggila. Kami hanya tunggu aba-aba, memberi peringatan kedua pada manusia, tentu semakin dasyat, yang tak bisa diperhitungkan oleh prakiraan apapun, kecuali sang Pencipta.
Papringan februari 2009
http://sastra-indonesia.com/2019/12/gadis-kebaya-ungu/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Selasa, 10 Desember 2019
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
20 Tahun Kebangkitan Sastra-Teater Lamongan
A Jalal
A. Anzieb
A. Khoirul Anam
A. Mustofa Bisri
A. Rodhi Murtadho
A. Syauqi Sumbawi
A.P. Edi Atmaja
Abdoel Moeis
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdullah Abubakar Batarfie
Abdurrahman Wahid
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Acep Iwan Saidi
Achdiat K. Mihardja
Achiar M Permana
Adek Alwi
Adhi Pandoyo
Adib Baroya
Aditya Ardi N
Adri Sandra
Adu Pesona Sang Wakil Cawapres RI
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan MN
Agus Buchori
Agus Dermawan T.
Agus Mulyadi
Agus Prasmono
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunyoto
AH J Khuzaini
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Hasan MS
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Saifullah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alawi Al-Bantani
Alfatihatus Sholihatunnisa
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Alim Bakhtiar
Amie Williams
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amril Taufik Gobel
An. Ismanto
Andhi Setyo Wibowo
Andi Andrianto
Andong Buku #3
AndongBuku #3
Andrea Hirata
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Antologi Sastra Lamongan
Anton Wahyudi
Anugrah Gio Pratama
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia
Arafat Nur
Ardi Wina Saputra
Ardy Suryantoko
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Saifudin Yudistira
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Asarpin
Ashimuddin Musa
Asrul Sani
Astuti Ananta Toer
Atafras
Audifax
Awalludin GD Mualif
Ayu Nuzul
Azizah Hefni
B Kunto Wibisono
Bahrul Amsal
Bambang Kempling
Beni Setia
Benny Benke
Beno Siang Pamungkas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Bernando J. Sujibto
Binhad Nurrohmat
Bloomberg
Bre Redana
Budaya
Budi Darma
Buldanul Khuri
Bustan Basir Maras
Candra Adikara Irawan
Candrakirana
Cangaan Ujungpangkah Gresik Jawa Timur
Capres Cawapres 2019
Catatan
Ceramah
Cerpen
Chairil Anwar
Chicilia Risca
CNN Indonesia
Coronavirus
COVID-19
D. Zawawi Imron
Damiri Mahmud
Darju Prasetya
Darman Moenir
Deddy Arsya
Denny JA
Denny Mizhar
Devy Kurnia Alamsyah
Dhoni Zustiyantoro
Dian Sukarno
Didin Tulus
Dien Makmur
Din Saja
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Donny Anggoro
Donny Darmawan
Dr. Hilma Rosyida Ahmad
Dwi Cipta
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Dyah Ayu Fitriana
Ecep Heryadi
Edy Suprayitno
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Elok Dyah Messwati
Engkos Kosnadi
Erdogan
Erwin Setia
Esai
Esti Nuryani Kasam
Evan Ys
F. Budi Hardiman
F. Rahardi
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Fahrur Rozi
Faidil Akbar
Farah Noersativa
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathul Qorib
Fatkhul Anas
Feby Indirani
Felix K. Nesi
Festival Teater Religi
Festival Teater Religi Pelajar SLTA Se-kabupaten Lamongan
Fira Basuki
Forum Santri Nasional (FSN)
Frischa Aswarini
Fuad Mardhatillah UY Tiba
Fuad Nawawi
Galuh Tulus Utama
Gampang Prawoto
Gde Artawan
Geger Riyanto
Geguritan
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Guenter Grass
Gus Ahmad Syauqi
Gus tf
Gusti Eka
Habib Bahar bin Smith
Haiku
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hamka
Han Gagas
Hary B Koriun
Hasan Basri
Hasnan Bachtiar
Heri Ruslan
Herman Hesse
Hertha Mueller
Heru Kurniawan
Hestri Hurustyanti
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hujuala Rika Ayu
I Made Prabaswara
I Made Sujaya
IAI TABAH (Institut Agama Islam Tarbiyatut Tholabah)
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idrus
Ignas Kleden
Iksaka Banu
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imammuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra Intisa
Indra Mahadi
Indra Tjahyadi
Irfan Afifi
Irine Rakhmawati
Irwan Kelana
Isbedy Stiawan ZS
J.S. Badudu
Jadid Al Farisy
Jajang R Kawentar
Jawa Timur
Jean Marie Gustave le Clezio
JJ. Kusni
Jl Raya Simo Sungelebak
Jo Batara Surya
John H. McGlynn
Jordaidan Rizsyah
Jual Buku Paket Hemat
Juara 3 Lomba Lompat Jauh DISPORA LAMONGAN
Jurnalisme Sastrawi
K.H. Ma'ruf Amin
Kadek Suartaya
Kaheesa Kirania Putri Ayu
Kahfie Nazaruddin
Kalis Mardiasih
Kamaluddin Ramdhan
Kanti W. Janis
Karanggeneng
Kardono Setyorakhmadi
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Kemah Budaya Pantura (KBP)
KetemuBuku Jombang
KH. M. Najib Muhammad
KH. Muhammad Amin (1910-1949)
Khairul Mufid Jr
Khawas Auskarni
Khoirul Abidin
Khoshshol Fairuz
Ki Ompong Sudarsono
Kitab Arbain Nawawi
Kodrat Setiawan
Kompas TV
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA)
Komunitas Sastra dan Teater Lamongan
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Komunitas-komunitas Teater di Lamongan
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Luar Biasa Organisasi Kerja Sama Islam (OKI)
Kopuisi
Kostela
Kritik Sastra
Kumpulan Cerita Buntak
Kurnia Effendi
Kuswaidi Syafi’ie
L Ridwan Muljosudarmo
L.K. Ara
Lamongan
Lan Fang
Lawi Ibung
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M)
Literasi
Liza Wahyuninto
Lukas Luwarso
Lukisan
Lukman
Lukman Santoso Az
Lutfi Mardiansyah
M Farid W Makkulau
M. Faizi
M.D. Atmaja
Madrasah Aliyah Matholi'ul Anwar
Madrasah Ibtida’iyah Thoriqotul Hidayah 1
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Maman S Mahayana
Manado
Manneke Budiman
Maratushsholihah
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Magdalena Bhoernomo
Mario F. Lawi
Marsel Robot
Martin Aleida
Marwanto
Mashuri
Massayu
Masuki M. Astro
Masyhudi
Media Seputar Pendidikan
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Memoar Purnama di Kampung Halaman
Mereka yang Menjerat Gus Dur
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mien Uno
Moh. Dzunnurrain
Moh. Jauhar al-Hakimi
Mohammad Rafi Azzamy
Mohammad Rokib
Mohammad Yamin
Muafiqul Khalid MD
Much. Khoiri
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Alfatih Suryadilaga
Muhammad Antakusuma
Muhammad Fikry Mauludy
Muhammad Hafil
Muhammad Marzuki
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad N. Hassan
Muhammad Subarkah
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhidin M. Dahlan
Muhyiddin
Mukadi
Mukani
Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur
Musa Ismail
Mutia Sukma
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nanang E S
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nezar Patria
Noor H. Dee
Nunus Supardi
Nur Haryanto
Nur Wachid
Nurel Javissyarqi
Nurul Komariyah
Okky Madasari
Olivia Kristina Sinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pagelaran Musim Tandur
Palupi Panca Astuti
Pameran Lukisan
Parimono V / 40 Plandi Jombang
PC. Lesbumi NU Babat
PDS HB Jassin
Pelukis Dahlan Kong
Pelukis Tarmuzie
Penculikan Aktivis 1988
Pendidikan
Pengajian
Pengarang kelahiran Lamongan
Pentigraf
Pepaosan
Perbincangan
Peringatan Hari Pahlawan 10 November
Pilang Tejoasri Laren Lamongan Jawa Timur
Pipiet Senja
Politik
Pondok Pesantren Ali Bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan
Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang
Pramoedya Ananta Toer
Presiden Jokowi
Prosa
Puisi
Puisi Menolak Korupsi (PMK)
Puji Santosa
Pustaka LaBRAK
PUstaka puJAngga
R. Ng. Ronggowarsito
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rasanrasan Boengaketji
Raudlotul Immaroh
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Reuni dan Halal Bihalal Mts Putra-Putri Simo 1992
Ribut Wijoto
Riki Antoni
Riki Dhamparan Putra
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Roland Barthes
Rosi
Rosihan Anwar
RR Miranda
Rumah Budaya Pantura (RBP)
S. Jai
S.W. Teofani
Sabiq Carebesth
Sabrank Suparno
Safitri Ningrum
Sainul Hermawan
Sajak
Salman Aristo
Sandiaga Uno
Sanggar Lukis Alam
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang
Sanggar Sastra Tasikmalaya (SST)
Sarasehan dan Launching Buku
Sartika Sari
Sasti Gotama
Sastra Kuno Suku Sasak
Sastri Bakry
Satmoko Budi Santoso
Satu Jam Sastra
Satyagraha Hoerip
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSAstra Boenga Ketjil
Seni Gumira Ajidarma
Seni Rupa
Seno Gumira Ajidarma
Seputar Sastra Pendidikan
Sergi Sutanto
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sirdjanul Ghufron
Siwi Dwi Saputro
Slamet Rahardjo Rais
Soediro Satoto
Soekarno
Soeparno S. Adhy
Soesilo Toer
Soetanto Soepiadhy
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sosiawan Leak
Sri Handi Lestari
Sri Wintala Achmad
STKIP PGRI Ponorogo
Subagio Sastrowardoyo
Sudarmoko
Sujatmiko
Sukarno
Suminto A. Sayuti
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syahrudin Attar
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili
Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari
Sylvianita Widyawati
Tangguh Pitoyo
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater Ilat
Teater nDrinDinG
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Tias Tatanka
Timur Sinar Suprabana
Titi Aoska
Tiyasa Jati Pramono
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga
Toni Masdiono
Tri Broto Wibisono
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Tulus Wijanarko
Umar Fauzi
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Jember
Universitas Negeri Jember
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W.S. Rendra
Wage Daksinarga
Wahyu Aji
Warung Boengaketjil
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wiji Thukul
Wildan Nugraha
Wildana Wargadinata
Yanusa Nugroho
Yasraf Amir Piliang
Yerusalem Ibu Kota Palestina
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhi Herwibowo
Yuditeha
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Zainal Arifin Thoha
Zainuddin Sugendal
Zara Zettira ZR
Zehan Zareez
Zuhdi Swt
Tidak ada komentar:
Posting Komentar