Tuhan Yang Maha Cantik, sertai aku dalam membatik, hidupkan hawa warna dalam kain. Nyalakan bara pada tungku, lunturkan malam yang liat dan yang rapuh. Pulaskan warna daun jati sebagai alasnya, seduhkan warna teh untuk batangnya, baurkan sepat akar manggis sebagai daunnya, bubuhkan kunyit dan jenitri untuk bunganya. Aku butuh ilalang bersinar untuk burungnya dan daun putri malu mengalun merdu untuk sayapnya, yang bergetar ringan mengambang mengimbangi bumi, untuk menghirup sari bunga yang manis, simbol harmoni di tiga negeri!
***
Seolah syair, kata-kata di atas menjadi semacam tembang yang mengalun merdu dari hati hingga ke jemari para pembatik. Aku bertumbuh kembang di Lasem, kecamatan menjadi legenda di Rembang. Aku turun-temurun telah merawat garis nasib pembatik, “Garis itu berawal dari buyut perempuanku, lalu nenekku, kemudian ibuku dan terus bersambung hingga aku, bahkan mungkin kelak akan sampai pada anak perempuanku, bila nasibnya kurang baik kelak.” Kami semua tekun memulaskan lelehan malam cair dengan canting. Semua hanya perempuan yang bisa terhubung oleh garis itu, seolah-olah takdir atau mungkin kutukan, garis itu ikut menentukan hidup kami. Jika kemudian aku diperistri seorang bangsawan sekaligus saudagar batik, pekerjaan utamaku tetap saja membatik.
Pagi ini mataku terbuka lindap, seperti biasanya rohku selalu masih melindang di pagi hari. Membayangkan kekang kendali yang harus kembali kukenakan sebagai gundik bangsawan sekaligus juragan batik besar. Aku memang bukan garwa padmi atau permaisuri. Mulanya aku memang hanya garwa ampeyan, yang karena kehangatan dan kesuburan rahimku, aku menjadi nampak istimewa di mata Bendoroku. Karena aku yang memberinya anak-anak, sementara tidak ada seorang pun anak yang lahir dari istri permaisurinya, namun statusku di rumah besar ini hanya semacam hiasan rumah. Dari rahimku lahirlah para raden mas dan raden rara yang akan mewarisi gelar kebangsawanan suamiku. Mereka akan segera dipisahkan dari air susuku, begitu mereka harus dididik sebagai putra dan putri bangsawan. Dan berhenti memanggilku ibu untuk selanjutnya memanggilku emban. Kekang kendali yang kukenakan membuatku tak lagi sempat meratap karena sangatlah besar syukurku ketika anak-anakku tumbuh besar sebagai anak bangsawan. Hanya itulah yang membuatku bertahan menghela kekang kendali.
Terhuyung langkahku. Terasa lamban kakiku. Hari masih buta dan aku berjalan diseret menuju dapur. “Aah, mungkin aku masih mengantuk!” Semalam hingga jauh larut aku membubuhkan malam lowong dengan canting cecek menyelesaikan gambar bunga jambu dan burung kolibri di kain batikku. Motif-motif bunga jambu yang halus, dengan putik sarinya yang lembut, menjuntai keluar dari kelopak bunga. Tampak tumpah ruah berhamburan dalam pandangan mata. Burung kolibri mungil warna-warni serasa terbang berputar di kepala. Langkahku limbung, “Semua mengambang, naik turun seperti kolibri yang menghampiri bunga.” Lantai dapur yang datar menjadi seperti berbukit dan berlembah. Aku mengambil air, menuangkannya ke dalam ceret dan hendak menaikkannya ke pawon yang apinya masih redup menyala. “Tumpah!” Seketika api di pawon mati. Dan dapur menjadi gulita.
***
“Stroke!” berulang-ulang dokter mengatakan itu pada istriku. Telingaku mendengar namun tubuhku membeku di tengah ruangan dingin dan putih. Sebuah kateter menancap di kelamin. Tensimeter mengukur nadi di kaki. Selang cairan keluar dari lambung. Sebuah mesin otomatis bekerja memasukkan cairan pengencer darah. Sementara dokter datang setiap satu jam memeriksa keadaan. Meskipun semua indikator kehidupan telah terbaca melalui monitor di sisi kanan tubuh. Namun semua tanda vital kehidupan diperiksa ulang secara manual, seolah tidak percaya pada alat yang telah memantau setiap detik. “Rupanya aku sedang di ruang ICU rumah sakit,” batinku “Bukankah tadi aku sedang bersepeda?”
Setiap peluang perdarahan, termasuk perdarahan di otak, diperiksa dengan seksama. Sesekali perawat mengecek apakah ada perdarahan di saluran kemih dan saluran cerna. “Dikembalikan lagi ya suster, kan sayang, aku habis sarapan soto!” begitu kataku ketika suster menyedot sebagian isi perutku melalui sonde untuk mengecek apakah ada perdarahan di perut. Mungkin nyawaku sudah setengah beranjak. Andai aku penganut reinkarnasi, mungkin rohku hendak menitis menjadi sebangsa tanaman yang hanya menanti air mengucur dari langit. Tapi minimal, dalam keadaan begitu rupa, aku masih bisa mentertawakan diriku.
Aku masih bisa mendengar dan turut merasakan aura kesedihan ketika suami kawan istriku, yang guru SMP, mangkat di kamar sebelah karena serangan stroke yang memecahkan pembuluh di batang otaknya. Kataku bergumam, “Oooh, mungkin guru yang sedang dibutuhkan di akhirat sana, pekerja sosial seperti aku masih belum…” Sembilan hari di rumah sakit, bagai mimpi yang berkepanjangan, aku masih kesulitan mencerna apakah ini yang terjadi padaku. Kembali ke rumah pada hari kesepuluh dengan separuh tubuh lumpuh. Aku masih berkutat dengan teka-teki tentang bagaimana urusan toilet, mandi dan makan. Hingga satu setengah bulan kemudian aku mulai bisa berdiri dan berjalan dengan bantuan sampur sang penari yang dililitkan pada pinggang dan dipegangi pramurukti, sekedar untuk menjaga agar tidak jatuh.
Banyak kawan datang berkunjung dan menyemangati. Sesuatu yang membantu mengisi hariku ketika aku sudah mulai bisa merangkai peristiwa ini secara utuh. Saat itu, menjelang Hari Raya namun sepertinya aku tak lagi butuh hari raya.
“Setiap hari adalah hari raya bagiku. Hari raya semoga lekas sembuh!” kataku pada kawan yang datang berkunjung.
“Apakah kau pernah pergi piknik?” tanyaku padanya.
“Tentu saja pernah!” tukasnya.
“Dari setiap piknikmu, apa yang berbeda dan apa yang selalu sama?” tanyaku lagi.
“Emmm, tempat pikniknya berubah-ubah, pemandangannya selalu baru, alat transportasinya berganti-ganti,” katanya.
“Namun ada yang tidak berubah, selalu sama. Apa itu?” sergahku.
“Kau! Kau masih engkau yang sama, engkau yang usang, berbau apak dan masih saja membosankan meski kau sudah piknik kemana-mana. Piknik hanya membuat kita semakin arogan karena merasakan pencapaian,” kataku.
“Oh ya?” sahutnya.
“Ya. Cobalah sakit yang agak serius, kau akan merasa seperti mendapat piknik besar! Tempatnya sama bahkan cuma di pembaringan yang itu, namun engkaulah yang berubah. Kita yang sebelumnya selalu yakin dan arogan menjadi kita yang peragu, yang tidak yakin apakah besok masih bernafas dan yang merasa bahwa ada sesuatu yang Agung yang mengatur hidup kita!” cecarku. Dan dia melongo.
Proses penyembuhan terjadi berangsur-angsur. Beberapa kawan lama yang juga terkena stroke datang menyapa melalui media sosial. Rupanya stroke ini menggunakan sistem kredit cicil harian sehingga penyembuhannya pun terjadi berangsur-angsur setiap hari dan melalui proses yang lambat. Beberapa penyembuh aku temui, dokter, fisioterapis, akupunturis atau herbalis. “Mereka seperti daun, yang berfotosintesis dengan cahaya, lalu berbunga sabar dan berbuah harapan bagiku,” kataku ketika dimintai penilaian tentang metode-metode yang dipakai oleh para penyembuh.
Namun masih ada yang selalu menggangguku. Sejak setengah nyawaku beranjak di unit stroke rumah sakit, aku merasakan tempat yang hangat dan lampunya terang. Sebuah rumah yang besar berhalaman luas. Entah di suatu tempat dan suatu masa. Di tempat itu, banyak kain direntang di gawangan. Banyak perempuan duduk di dingklik, memalam dengan canting beraneka rupa. Asap arang yang hangat dan bau malam yang mencair bersekongkol menyerbu hidungku seakan nyata. Pria-pria bekerja keras melorodkan kain batik setengah jadi yang sudah dimalam oleh para perempuan. Dan seorang pria dewasa yang paling cakap tampak memerintah sana-sini. Di manakah ini?
***
“Maaf, Ndoro, ini yang namanya sawan luwak karena Biyung Emban terlalu lama memendam rasa permusuhan dan kedengkian,” demikian papar tabib kepada Bendoroku. Sawan luwak adalah penyakit yang menyebabkan kelumpuhan separuh badanku. Tabib mengatakan sebabnya adalah kebencian yang telah mengundang roh jahat untuk datang dan menguasai tubuhku. Sawan luwak ini menyebabkan kelumpuhan pada sisi kanan tubuhku. Seolah-olah melolosi semua faedah yang bisa kuberikan sebagai seorang selir dan ibu dari anak-anakku.
“Apa gunanya Bendoro memelihara selir lumpuh itu?” kata Permaisuri “Tidak akan akan ada ruginya bagi keraton Bendoro bila diceraikan segera. Bendoro bisa mengembalikannya pada Paman Carik Dukuh Seti.”
“Tapi aku pernah menyukainya, sebelum penyakit itu datang, dia selir yang menyenangkan,” kata Bendoro.
“Memang Kangmaslah yang boleh menentukan siapa yang akan tinggal dan pergi dari sini, namun dengan segala hormat kalau saya boleh menyampaikan, kehadirannya tak akan menggenapi apa pun dan kepergiannya tak akan pula mengurangi apa pun di sini. Anak-anaknya boleh tetap tinggal di sini untuk menemani Bendoro berniaga setelah mereka dewasa kelak. Dan Bendoro yang tampan bisa memetik bunga yang lain,”
“Baiklah, akan aku pertimbangkan usulmu itu,” sahut Bendoro.
Beberapa hari kemudian aku mendengar Bendoro berkata dengan tegas kepadaku.
“Aku sudah menimbang, merenung dan akhirnya memutuskan,” kata Bendoro. “Bahwa engkau tidak bisa tinggal di sini lagi. Engkau akan dipulangkan ke rumah Paman Carik. Semua demi kebaikan kami dan anak-anakmu juga. Penyakitmu akan berakibat buruk bagi yang lain. Mereka akan tinggal dan besar di sini. Mereka menjadi tanggungjawabku,” lanjutnya.
“Maaf Bendoro, saya memohon ampun atas penyakit saya ini, bukan keinginan hamba untuk sakit seperti ini, bukan maksud hamba untuk tidak mau melayani Ndoro, namun bolehkah saya tetap tinggal hanya untuk memandang anak-anak saya tumbuh saja? Saya akan tinggal bersama para cantrik pun boleh, tidak perlu di Keputren yang mewah ini,” pintaku.
‘Tidak, nasibmu sudah ditetapkan, kamu harus pulang, mereka akan membantu mengemasi barang-barangmu dan kau boleh pamitan dengan anak-anakmu malam ini, besok kamu berangkat!” jawab Bendoro tegas.
Cahaya lampu senthir terlampau redup untuk menerangi kamarku. Minyaknya sudah hampir habis.
“Apakah kita akan berpisah selamanya, Ibu?” tanya si bungsu. Hanya di kamarku anak-anak boleh memanggil aku ibu.
“Hanya sampai penyakit ini sirna, Nak.”
“Tapi itu seperti kutukan, tidak akan pernah sirna,” sergah sulungku sambil tertunduk.
“Semua tergantung kemurahan Bendoro, Ayahmu, Nak. Segala perbuatan pasti ada karmanya. Mungkin ini karma untuk kita,” kataku.
“Apakah kami tidak boleh menengok suatu hari?” tanya si tengah.
“Kalau diijinkan, boleh. Kalian memang kulahirkan, tapi kalian anak-anak Bendoro juga, itu yang perlu dijaga. Ibu akan selalu di hati kalian, menemani kalian sampai kapan pun.” Aku menatap anak-anakku satu demi satu, karena ini kali terakhir aku boleh menatap mereka.
“Ingat, ibu akan menyertai kalian sampai di mana pun kalian berada,” pungkasku.
Semua barang-barangku, yang tidak terlalu banyak itu, sudah dikemas. Termasuk kain batik bermotif bunga jambu dan burung kolibri yang baru saja selesai kukerjakan.
“Semua sudah siap Ndoro,” kata sais. “Kereta sudah dipersiapkan di depan rumah.”
Kereta tersebut untuk mengantarku karena aku akan dipulangkan ke rumah pamanku. Nampaknya nasibku sudah dipertimbangkan dan sudah pula ditetapkan. Kepada paman yang dahulu menawarkan aku ke Bendoro, aku akan dikembalikan, padanyalah selanjutnya nasibku akan digariskan. Tidak ada gunanya memelihara perempuan lumpuh di rumah ini, hanya akan menghabiskan beras saja
Yang aku pikirkan adalah anak-anakku. Mereka telah direnggut dariku sejak kecil, setelah itu aku hanya bisa memandang mereka tumbuh besar. Bahkan mereka pun hanya boleh memanggilku emban, karena meskipun aku yang melahirkan mereka, namun mereka adalah bibit bangsawan yang tidak sama bobotnya dengan aku yang hanya selir “kelas dua”. Perempuan dari kasta biasa yang diperselir bangsawan karena kesegaran dan kemontokannya. Perkara rahimku yang sangat subur bagi benih bangsawan adalah perkara yang lain. Semacam karunia yang meningkatkan statusku dari “selir kelas dua” menjadi garwa ampeyan sehingga garis nasibku lebih baik dari dua puluh lima selir Bendoro yang lainnya. “Kau beruntung rahimmu subur untuk benih Bendoro,” demikian kata dukun bayi ketika menolongku melahirkan.
Sekarang, mereka pun akan kembali merenggut anak-anak dari pandanganku. Sekedar memandang pun sudah terlarang bagiku. Mataku panas, air mata merebak, namun lidah tidak dapat mengucap sepatah kata apapun. Separuh badanku tidak bisa digerakkan, sebesar apapun aku menginginkannya. Rahimku terasa dingin dan kosong karena perasaan kehilangan yang begitu mendalam sampai balung-sumsumku. Air mata tertumpah ketika aku mulai digotong ke depan oleh empat pria kekar. Badanku meronta namun tiada pesan penolakan yang membuat mereka mengerti betapa sakitnya aku, hanya tatapan mesum yang aku terima dari keempat pria pengusung. “Bekas selir dan lumpuh lagi, berarti boleh dinikmati tubuhnya,” begitu mungkin yang ada di benak mereka. Aku tidak lagi melihat satu pun anak-anakku, mereka sudah mulai masuk usia pingitan dan ditempatkan di belakang bersama anak-anak selir yang lain.
Kain batik motif bunga jambu dan burung kolibri nampak teronggok di atas badanku, seolah turut menyaksikan nafsu yang telah mereka tuntaskan. Perjalanan pulang ke Dukuh Seti, kampung asalku terasa begitu lambat, menghancurkan jiwa dan sangat melelahkan. Namun bersamaan dengan itu, seperti dibangkitkan dari pertapaannya, burung hong di hatiku menggeliat bangun, terbang mengitari langit kemudian mendekat ke tubuhku hingga lidah apinya membakar bunga jambu dan burung kolibri yang indah di kain batik yang kukenakan. Api semakin benderang membakar lembar mori halus bermotif. Jangan remehkan induk singa betina, kehancuran justru seolah memberikan daya pada singa betina yang terluka ini. Putik sari bunga jambu yang rapuh menengang menjadi ribuan jarum beracun yang mematikan. Burung kolibri yang mungil dan manis menjelma menjadi ujung tusuk konde yang tajam untuk menembus setiap jantung kalbu. Siap sedia meng-upas siapapun yang akan kupersalahkan karena rasa sakit hatiku kini. Lara seorang ibu yang dipisahkan dari anak-anak kandungnya.
Satu-satunya harapanku adalah adikku. Dia masih tinggal bersama anak-anakku sebagai kerani yang menghitung pemasukan dan pengeluaran batik. Pada kesempatan perjalanan mengantar kiriman batik ke Pekalongan, adikku menyempatkan berkunjung.
“Bagaimana anak-anakku? Apakah mereka merindukan aku? Apakah mereka berkecukupan atau disia-siakan?” tanyaku.
Semuanya dijawab dengan tenang oleh adikku. Melaluinya aku bisa mengirim pesan kepada anak-anakku. Keadaan ini harus tetap begitu, hingga saat yang tepat, setelah anak-anak besar, amarah burung hong ini harus mengejawantah!
***
Tepat dua tahun setelah serangan stroke, aku diundang menghadiri upacara pernikahan adikku yang bungsu, saudara kami yang terakhir yang akan menikah. Pada hari baik ini, kesempatan di mana seluruh keluarga bisa berkumpul, Kakak Sulung berinsiatif untuk sekalian membicarakan status warisan ibu. Kami semua, sembilan bersaudara kandung, berkumpul di rumah pusaka.
“Setelah seluruh harta tak bergerak kita bagi, sekarang saatnya membagi benda-benda warisan Ibu,” pungkas Kakak Sulungku hendak mengakhiri pembicaraan.
Bagian ini sepertinya tidak menarik bagi saudara-saudara yang lain. Barang-barang Ibu hanya perabot tua. Perhiasan-perhiasan sudah dibicarakan pembagiannya oleh para anak perempuan dan para menantu perempuan. Kakak perempuan tertuakulah yang mengatur semuanya.
Berbeda dengan saudara-saudara yang lain. Aku merasakan daya tarik pada perabot di rumah ibu. Mereka seperti memanggilku untuk merawatnya. Aku merasakan keindahan daya yang belum tertuntaskan, syahdu seperti bendungan yang tenang dan indah namun sekaligus berbahaya bila airnya jebol menghantam kota.
“Rumah Harsya yang paling besar, sepertinya bisa kita sepakati bahwa semua perabot dan pernik rumah ini dirawat oleh Harsya, toh rumahnya yang paling dekat dengan rumah Ibu. Apakah semua setuju? Ada yang keberatan?” sepertinya kakak ingin segera mengakhiri bagian pembahasan yang tidak menarik ini.
“Tidak ada yang merespon,” kata saudara yang lain.
“Sepertinya bagian ini memang harus menjadi tanggungjawab yang rumahnya terdekat,” pungkas kakak yang kedua.
“Dengan demikian kau harus segera membereskannya karena rumah ini sudah menjadi milik bersama tiga saudara perempuanmu,” demikian Kakak mengakhiri pembahasan.
Seperti sebuah wadah yang ketemu dengan tutupnya, aku mengemasi perabotan di rumah ibu. Saudara-saudara perempuan yang menghaki rumah pusaka ini nampak tak berminat untuk merawatnya, mereka ingin segera menjualnya agar bisa segera menjadi tas Hermes atau liburan ke Eropa. Mataku terpaku pada sebuah besek yang terbuat dari anyaman pandan. Sesuatu yang pilu serasa menyergap perasaanku.
“Entah isinya apa. Mungkin kain,” celotehku. Aku membukanya, di dalamnya ada kain warna akar jati terlipat rapi.
“Motif yang sudah sangat langka, bunga jambu dan burung kolibri,” kataku. Aku membuka lipatannya.
“Wangi melati, orang jaman dulu biasa menyimpan kain batik dengan bunga-bungaan agar tidak apak karena terlalu lama disimpan,” kata istriku. Kami menggelar kain tersebut, mengagumi komposisi warna dan kehalusan goresan cantingnya. Tiba-tiba satu titik api muncul dari tengah kain, melebar ke tepi hingga peganganku kulepaskan. Kain melayang ringan ke lantai. Utuh! Dan api padam.
“Aku seperti melihat burung hong pada api tadi,” kataku terkejut.
Terhuyung aku lalu jatuh terduduk. Tiba-tiba aku mengerti dimana rumah yang besar berhalaman luas, banyak kain direntang di gawangan, banyak perempuan duduk di dingklik membatik dengan canting beraneka rupa. Dan aku merasa sangat kenal dengan seorang pria dewasa yang paling cakap dan tampak memerintah sana-sini. Rupanya aku harus mencegah niat saudari-saudariku menjual rumah Ibu. Di rumah ini sebuah amarah belum tertuntaskan.
***
Glosarium:
jenitri: bijian yang keras dan indah
garwa padmi: istri yang permaisuri
garwa ampeyan: selir
Bendoro atau Ndoro: gelar kehormatan untuk patriark di Jawa
Emban atau Biyung Emban: ibu pengasuh
raden mas: anak laki-laki ningrat
raden rara: anak perempuan ningrat
lowong: jenis malam untuk membatik
canting cecek: canting bermata kecil
ceret: tempat memasak air
pawon: tungku tanah untuk memasak
gawangan: dudukan untuk menaruh kain yang sedang dibatik
dingklik: tempat duduk untuk membatik
sawan luwak: penyakit kelumpuhan
carik: kerani desa
senthir: lampu minyak
besek: kotak dari anyaman bambu.
________________________
*) Rinto Andriono adalah seorang konsultan UNDP untuk Indonesia, dulu ia adalah seorang aktivis anti korupsi yang militan di GeRAK Indonesia. Pasca terserang stroke, ia kemudian mengambil keputusan untuk belajar menulis sastra di Akademi Menulis.
http://sastra-indonesia.com/2020/02/amarah-burung-hong/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar