Fuad Nawawi *
Pembuka
Hermeneutik
bukanlah sebuah istilah modern, melainkan sebuah istilah kuno yang dapat
ditelusuri sampai zaman Yunani. Istilah ini terkait dengan Hermes, tokoh dalam
mitologi Yunani yang bertindak sebagai utusan dewa-dewa untuk menyampaikan
pesan ilahi kepada manusia. Hermeneutik dalam bahasa Inggris hermeneutics
berasal dari kata Yunani hermeneuein yang berarti menerjemahkan atau bertindak
sebagai penafsir.[1]
Di dalam kegiatan menerjemahkan sebuah teks, kita harus memahami lebih dahulu
teks tersebut. Menerjemahkan bukan hanya sekedar menukar kata asing dengan kata
dalam bahasa kita, melainkan juga memberikan penafsiran. Dengan demikian,
hermeneutika diartikan sebagai sebuah kegiatan atau kesibukan untuk menyingkap
makna teks. Pada perkembangan kemudian, teks dimengerti secara luas sebagai
jejaring makna atau struktur simbol-simbol, segala sesuatu yang mengandung
jejaring makna atau struktur simbol-simbol adalah teks. Perilaku, tindakan,
norma, mimik, tata nilai, isi pikiran, percakapan, benda-benda kebudayaan,
obyek-obyek sejarah dan seterusnya adalah teks. Karena semua hal yang
berhubungan dengan manusia dimaknai olehnya, yaitu kebudayaan, agama,
masyarakat, negara dan bahkan seluruh alam semesta, semuanya adalah teks. Jika
demikian, hermeneutika diperlukan untuk memahami semua itu.[2]
Sebelum
konsep hermeneutika diperbaharui secara radikal oleh Heidegger dalam bukunya Sein
und Zeit/Being and Time, pada mulanya hermeneutika dimaknai sebagai
penafsiran teks kuno atau tafsir kitab suci yang digawangi Schleiermacher dan
sebagai pendasaran metodologis yang bersifat universal untuk ilmu-ilmu sosial
yang dirintis Wilhelm Dilthey. Saat itu, hermeneutika belum menjadi perhatian
atau tema pokok filsafat. Hermeneutika menjadi sebuah kajian filosofis yang
berbobot, baru mengemuka lewat terbitnya buku magnum opus Hans Georg Gadamer
–selanjutnya disebut Gadamer- yang berjudul Wahrheit und Methode/Truth and
Method. Penulis dalam esai ini mengelaborasi hermeneutika Gadamer, yang
meliputi kritik Gadamer terhadap teori hermeneutik sebelumnya, apa yang menjadi
pokok-pokok hermeneutik Gadamer, implikasi filosofis hermeneutik Gadamer dan
kritik Habermas terhadap hermeneutik Gadamer.
1.
Kritik Gadamer terhadap Teori Hermeneutik Sebelumnya
a.
Kritik Terhadap Romantisme Schleiermacher.
Hermeneutik
Schleiermacher memusatkan diri pada upaya memahami keasingan dalam teks-teks
kuno. Schleiermacher berkehendak untuk menghadirkan kembali makna dari masa
silam seutuh-utuhnya agar kesalahpahaman dengan pembaca masa kini dapat diatasi.
Tindakan memahami diandaikan sebagai rekonstruksi atas produksi teks atau makna
yang seolah bisa steril dari keterlibatan penafsirnya dalam kekiniannya. Dengan
demikian, hermeneutik romantis Schleiermacher dikategorikan sebagai hermeneutik
reproduktif.[3]
Yang
dilupakan oleh teori ini, menurut Gadamer, adalah pengarang dan pembacanya
masing-masing sudah senantiasa bergerak di dalam wilayah saling-pemahaman yang
berbeda. Tindakan memahami, lanjut Gadamer, bukanlah sebuah representasi atas
makna dari masa silam, melainkan sebuah peleburan antara cakrawala/horizon masa
silam dari pengarang dan horizon masa kini dari pembaca.[4]
b.
Kritik Terhadap Historisme[5] Wilhelm
Dilthey
Menurut
Gadamer, Wilhelm Dilthey –selanjutnya disebut Dilthey- belum keluar sepenuhnya
dengan cara pandang cartesian yang dikritiknya. Dua hal yang dikemukakan
Gadamer untuk mengkritik Dilthey. Pertama, Dilthey berpandangan bahwa kita
ditentukan sejarah, maka kita dapat mengetahui sejarah sebagai fakta. Dalam
arti ini lalu pengetahuan sejarah berciri universal, yaitu melampaui sejarah
konkret. Pandangan ini bertentangan dengan historisitas itu sendiri yang
mengandaikan bahwa kita manusia bergerak di dalam sejarah dan tidak
mengatasinya. Kedua, kesadaran historis Dilthey masih dipahami sebagai
kesadaran akan sejarah, bukan sebagai kesadaran dalam sejarah. Kesadaran
historis Dilthey merupakan hasil refleksi yang seolah-olah bisa keluar dari
sejarah, seperti pandangan burung di atas bumi dan dengan cara itu menemukan
fakta obyektif. Padahal, menurut Gadamer, pengetahuan kita sendiri menyejarah.
Ada yang lebih primordial daripada kesadaran atau pengetahuan akan sejarah,
yakni kesadaran yang ditentukan dan dipengaruhi oleh sejarah.
Dengan
mengkritik kedua tokoh tersebut, Gadamer berpendapat bahwa pembaca tidak dapat
kembali ke masa silam untuk menemukan makna asli yang dimaksud penulis teks.
Kesadaran kita juga tidak berada di luar sejarah, melainkan bergerak di dalam
sejarah, sehingga pemahaman kita juga dibentuk oleh sejarah. Dengan ungkapan
lain, pemahaman kita berada di dalam horizon tertentu. Setelah mengkritik
Schleiermacher dan Dilthey, pada paragraf berikutnya, penulis menjelaskan
solusi yang ditawarkan Gadamer melalui subbab kedua: pokok-pokok hermeneutik
Gadamer.
2.
Pokok-pokok Hermeneutik Gadamer
Sebelum masuk penjelasan tentang pokok-pokok hermeneutik Gadamer,
penulis lebih dahulu menjelaskan keterpengaruhan teori hermeneutik Gadamer oleh
sang Guru, Heidegger. Kerangka hermeneutik Gadamer berangkat dari paradigma
Hiedegger tentang dimensi ontologis manusia, yakni cara berada Dasein. Gadamer
mengembalikannya pada interpretasi pada umumnya yang juga dilakukan dalam ranah
keseharian. Seseorang yang mencoba untuk memahami tak terlindung dari distraksi
makna-makna yang telah ada sebelumnya yang tidak berasal dari hal-hal itu
sendiri. Bila memahami selalu melibatkan makna yang telah ada sebelumnya, suatu
pra-struktur pemahaman, tidak akan ada interpretasi obyektif sebagaimana
dikejar Schleiermacher dan Dilthey. Pra struktur pemahaman ini diadaptasi
Gadamer menjadi konsep prasangka. Prasangka ini bersumber dari otoritas dan
tradisi. Manusia, menurut Gadamer tidak bisa keluar dari tradisi, tiada
pemahaman yang bekerja sendiri, tanpa prasangka, karena dalam setiap pemahaman
bekerja unsur-unsur dari otoritas dan tradisi.
Pra-struktur pemahaman Heidegger yang sudah disinggung di atas itu terdiri
dari tiga unsur yaitu Vorhabe, Vorsicht dan Vorgriff. Menurut Gadamer,
Heidegger mendiskusikan lingkaran hermeneutik pertama-tama bukan sebagai usaha
pemahaman praktis, melainkan dimaksudkan untuk memberikan deskripsi cara
pencapaian pemahaman melalui interpretasi. Heidegger mengatakan bahwa jika
seseorang ingin memahami sesuatu, ia membawa latarbelakang tradisi yang telah
ia miliki sebelumnya. Unsur pertama dalam hermeneutik ini disebut dengan Vorhabe
(Fore-have). Selanjutnya, dalam membuat penafsiran, orang itu selalu
dibimbing oleh cara pandang tertentu. Maka dari itu dalam setiap tindak
pemahaman ia selalu didasari oleh apa yang telah dilihat sebelumnya. Itulah
unsur yang dinamakan Vorsicht (Fore-sight). Unsur ketiga yang menjadi
syarat pemahaman adalah konsep-konsep yang memberi kerangka awal yang diistilahkan
dengan Vorgriff (Fore-conception).[6] Ketiga
unsur inilah yang dikembangkan Gadamer menjadi pokok-pokok hermeneutiknya
sebagai berikut:
a)
Peleburan Cakrawala (Fusion of Horizon).
Memahami
sesuatu, menurut Gadamer, bukanlah sebuah representasi atas makna dari masa
silam, transposisi diri atau teman sezaman dengan pengarang di masa lampau
seperti yang diusulkan Schleiermacher cukup problematis, karena kita, sebagai
pembaca, sudah mempunyai suatu cakrawala untuk menempatkan diri kita sendiri
dalam situasi historis. Oleh karena itu, menurut Gadamer, setiap proses
pemahaman adalah sebuah peleburan antara cakrawala masa silam dari pengarang
dan cakrawala masa kini dari pembaca. Kedua cakrawala itu tidak berada dalam
posisi via a vis. Keduanya hanya dapat dimengerti kalau dilihat hubungan yang
ada di antara mereka. Mencari makna dari masing-masing per se adalah tindakan
sia-sia. Dengan demikian, dalam kesadaran sejarah orang dituntut untuk bersikap
waspada atas keunikan cakrawalanya sendiri yang pada gilirannya mampu
membedakan dirinya dari cakrawala tradisi meskipun disadari bahwa tidak akan
pernah ada suatu rekonstruksi historis secara menyeluruh.
b)
Sejarah Pengaruh (Effective History Consciousness)
Memahami
sejarah tidak hanya berarti bahwa kita memahami fenomena sejarah, seperti
misalnya memahami isi karya-karya masa silam, melainkan juga memahami
pengaruh-pengaruh karya itu dalam sejarah. Yang disebut terakhir ini kurang
mendapat perhatian Dilthey dan justru diangkat menjadi pokok pemikiran Gadamer
sekaligus kritiknya terhadap historisme Dilthey. Istilah sejarah pengaruh
mengacu pada keterlibatan kita dalam sejarah, yakni suatu situasi yang di
dalamnya kita sebagai pelaku-pelaku sejarah tidak melampaui sejarah.
Terkait
dengan penjelasan sejarah pengaruh, Budi Hardiman memberikan ilustrasi begini:
seorang peneliti sejarah memahami fenomena sejarah, seperti misalnya peristiwa
gerakan 30 September 1965, dengan mengambil jarak. Hasil pemaparannya diklaim
sebagai obyektif karena tanpa keterlibatan peneliti di dalamnya. Pengetahuan
obyektif tentang sejarah itulah kesadaran sejarah yang dibanggakan pencerahan
Eropa sebagai prestasinya. Gadamer melawan kepongahan intelektual seperti itu.
Menurutnya, peneliti dengan kesadaran sejarah itu justru tidak menyadari bahwa
pengambilan jarak yang dia lakukan saat meneliti itu merupakan sebuah situasi hermeneutis
yang di dalamnya ia juga berada di bawah pengaruh-pengaruh zamannya sendiri.
Paparan sejarah seorang peneliti mencerminkan sedikit banyak kekuatan-kekuatan
pengaruh, seperti kepentingan-kepentingan ideologis, politis, kultural, ataupun
ekonomis, yang mengarahkan penelitiannya.[7]
3.
Implikasi filosofis hermeneutik Gadamer
Gadamer
berpendapat bahwa interpretasi bukanlah rekonstruksi ataupun representasi makna
dari masa silam, melainkan interseksi antara tradisi dan kekinian penafsir
sedemikian rupa sehingga dihasilkan sesuatu yang baru. Hermeneutik tidak
berciri reproduktif, melainkan produktif. Dengan demikian, bagi Gadamer,
pemahaman terhadap teks merupakan hasil peleburan cakrawala-cakrawala. Dari
pendapat tersebut mengimplikasikan bahwa
kebenaran tidak hanya bersifat historis, yakni bergerak dalam ruang dan
waktu, melainkan juga tidak mungkin dicapai suatu kebenaran final dan absolut.[8]
Pandangan
itu mengandaikan bahwa kebenaran bukanlah sesuatu untuk ditemukan, seolah-olah
suatu kebenaran utuh telah ada dan menanti untuk ditemukan melainkan sesuatu
yang dibuat. Kata “dibuat” di sini bukan dalam pengertian direkayasa misalnya
lewat retorika, melainkan dalam pengertian bahwa praktik-praktik otoritas dan
tradisi yang mengisi horison hermeneutis itu yang mengisi kebenaran. Kebenaran
muncul dari hubungan-hubungan kompleks tradisi dan otoritas yang membentuk
horizon pemahaman kita.[9]
4.
Kritik Habermas Terhadap Hermeneutik Gadamer
Habermas
mengkritik hermeneutik Gadamer terutama terkait tradisi dan klaim universal
dari hermeneutik. Menurut Gadamer, konsep memahami bergerak di dalam tradisi
dan otoritas tertentu, karena kita adalah makhluk sejarah yang memahami dalam
horizon tradisi tertentu, yang tentu dijaga oleh otoritas tertentu. Memahami
tak lain daripada kesepahaman atau persetujuan dengan tradisi. Kita tidak dapat
melampaui tradisi karena kita tidak mungkin melampaui tradisi. Singkatnya,
Gadamer mengandaikan adanya konvergensi antara hermeneutik dan tradisi. Tidak
setuju dengan Gadamer, Habermas berargumentasi bahwa tradisi tidak hanya untuk
diteruskan, kita dapat juga putus darinya karena kita tidak bersikap pasif
terhadap tradisi dan otoritas, melainkan juga bersikap kritis, sehingga
penerimaan atas legitimitas tradisi juga tergantung pada refleksi kita atasnya.
Yang
dipersoalkan Habermas bukan elemen tradisi dan otoritas dalam pemahaman,
sesuatu yang dalam keadaan normal bisa saja tanpa masalah, melainkan
hubungan-hubungan kekuasaan di dalamnya. Jadi, Gadamer terlalu fokus pada
proses pemahaman dan mengabaikan fakta bahwa pemahaman itu juga dikendalikan
oleh kekuasaan. Habermas memasukkan dimensi kekuasaan sebagai sebuah unsur
sentral dalam memahami teks. Menurut Habermas, bahasa bukanlah sesuatu yang
netral, karena bahasa juga dapat menjadi medium kekuasaan dan dapat dipakai untuk
membenarkan hubungan-hubungan kekuasaan. Hermeneutik sebagai pemakaian bahasa,
sebagaimana dijelaskan oleh Gadamer, menurut Habermas hanyalah sebuah momen
dari proses sosial yang terkait dengan kekuasaan terorganisasi. Bila kita
mengabaikan elemen ini, hermeneutik hanya akan terjebak ke dalam sikap
konservatif dan bahkan naif membenarkan tatanan yang ada.
Kritik
Habermas terhadap gagasan Gadamer tentang hermeneutik universal bahwa
hermeneutik tidak dapat diterapkan di semua pengetahuan, misalnya tidak berlaku
di ilmu alam. Ada batas lain yang dapat ditemui oleh hermeneutik sehingga klaim
universalitasnya sulit dipenuhi yaitu ketika seorang penafsir berhadapan dengan
teks-teks yang tidak lazim (abnormal), maksudnya bahasa dan perilaku yang tidak
dimengerti oleh penutur atau pelakunya sendiri. Habermas menunjuk kepada kasus
psikopatologis dan kasus perilaku kolektif hasil indoktrinasi. Kedua kasus
tersebut, menurut Habermas, mengalami komunikasi yang terdistorsi secara
sistematis.
Solusi
Yang Ditawarkan: Hermeneutik Kritis[10]
Mengatasi
kedua kasus tersebut, Habermas mengajukan hermeneutika kritis dengan memakai
metode psikoanalisis Freud dan kritik ideologi Marx. Habermas membedakan hermeneutik
biasa dengan psikoanalisis. Hermeneutik biasa menghadapi teks-teks yang memuat
ingatan subjektif tentang sejarah hidupnya dalam kondisi-kondisi normal. Di
sini penulis teks dipandang mengetahui dirinya dan secara sadar mengungkapkan
struktur-struktur simbolis dalam teks itu. Seorang penafsir lalu berupaya memahami
teks itu “dari dalam” untuk mengetahui apa yang dimaksudkan. Makna-makna
struktur simbolis itu dipelajari dengan kecurigaan hanya terhadap intervensi tak
sadar dari kondisi-kondisi eksternal, misalnya konteks sejarah si penulis
sendiri. Yang dihadapi psikoanalisis justru teks-teks yang mencurigakan dari
segi internal penulis. Struktur-struktur simbolis yang terungkap tidak dengan
sadar dimaksudkan demikian, karena si penulis atau subyek mengalami gangguan-gangguan
internal atau simtom-simtom neorosis. Struktur-struktur simbolis yang
diungkapkan telah terdistorsi dari maksud sesungguhnya oleh penyakitnya. Dengan
demikian, jika hermeneutik biasa menghadapi language game yang berfungsi
baik, psikoanalisis menghadapi language game yang telah menjadi kacau
susunannya.
Dengan
adanya unsur-unsur tak sadar dan terselubung itu, psikoanalisis melampaui
hermeneutik biasa. Psikoanalisis bermaksud menembus makna-makna simbolis yang
ada di permukaan yang tidak dicurigai oleh hermeneutik biasa sampai menemukan motif-motif
tak sadar dari subyek. Dalam psikoanalisis, digabungkan dua metode lain menjadi
satu yaitu analisis bahasa dan penelitian psikologis. Karena itu, metode yang ditemukan
Freud ini tidak dapat disamakan dengan hermeneutik biasa dan menurut Habermas,
lebih tepat disebut hermeneutik dalam atau hermeneutik kritis. Sebagai
hermeneutik kritis, psikoanalisis berusaha menerjemahkan teks itu sampai dapat
dipahami baik oleh orang lain maupun subyek itu sendiri. Dengan kata lain,
menurut Habermas, psikoanalisis menerjemahkan ketidaksadaran menjadi kesadaran.
Dalam praktek klinis, hermeneutik biasa tidak
akan mampu menafsirkan struktur simbolis yang dihasilkan subyek karena
hermeneutik biasa hanya ingin mengatasi kesulitan dalam komunikasi dua subyek
yang terpisah secara historis, kultural, dan sosial dan bukan terpisah oleh
taraf normalitas psikis. Dalam keadaan patologis, subyek tidak akan mampu
mencapai saling pemahaman timbal balik karena struktur simbolis yang seharusnya
rasional terdistorsi secara psikis. Komunikasi yang terganggu ini tidak
memerlukan seorang penafsir hermeneutis biasa, melainkan seorang analis yang
mengajari subyek untuk dapat memahami bahasanya sendiri. Analis mengajarnya
untuk membaca teks yang telah didistorsikannya sendiri lalu mengajarinya
bagaimana menerjemahkan struktur-struktur simbolis privat itu ke dalam bahasa
publik.
Habermas
memahami tekhnis analitis dari psikoanalisis itu termasuk sebagai refleksi
diri. Refleksi diri menurut Habermas adalah tindakan rasio yang menyebabkan ego
dapat membebaskan diri dari dogmatisme atau kesadaran palsu. Di dalam refleksi
diri, ego menjadi transparan terhadap dirinya sendiri dan terhadap asal usul
kesadarannya sendiri. Di dalam kegiatan refleksi, kita sebagai ego tidak hanya
memiliki kesadaran baru tentang diri kita sendiri melainkan bahwa kesadaran
baru itu mengubah hidup eksistensial kita sendiri. Tindakan mengubah hidup itu
adalah tindakan emansipatoris. Karena di dalam refleksi diri kesadaran dan
tindakan emansipatoris itu menyatu, dalam kegiatan refleksi, rasio kita langsung
menjadi praktis. Refleksi diri, lanjut Habermas, adalah intuisi sekaligus
emansipasi, pemahaman sekaligus pembebasan dari ketergantungan dogmatis. Dengan
demikian, refleksi diri adalah kegiatan kognitif yang memuat kekuatan
emansipatoris karena kegiatan ini didorong oleh kepentingan yang inheren di
dalam rasio kita sendiri, yaitu kepentingan emansipatoris.
Habermas
mengungkap tiga alasan lain kenapa pengetahuan analitis itu dikategorikan
sebagai refleksi diri. Pertama, pengetahuan analitis mencakup baik unsur
kognitif maupun afektif dan motivasional. Pengetahuan semacam ini adalah kritik
karena didorong oleh pengetahuan dan kebutuhan akan perubahan praktis. Keadaan
patologis pasien tak lain dari kesadaran palsu yang dapat dihancurkan hanya
dengan kehendak, dengan apa yang disebut Habermas sebagai passion for
critique. Di sini kepentingan pasien untuk sembuh, kepentingan
emansipatoris, merupakan syarat suksesnya terapi. Dengan kata lain, suksesnya
terapi bukan terutama disebabkan oleh pengarus analis, melainkan pada refleksi
diri dari pasien sendiri. Kedua, dalam proses terapi ditekankan agar pasien
tidak menghubungkan penyakitnya dengan penyakit fisik melainkan harus
memandangnya sebagai bagian dari kediriannya sendiri. Dalam proses itu, ego si
pasien mengenal dirinya sebagai kedirian yang terasing karena penyakitnya dan
ia harus mengidentifikasikan diri dengan kedirian yang terasing itu. Dalam hal
ini pasien mengemban tanggung jawab moral atas penyakitnya sendiri. Dan di
sini, menurut Habermas, rasio teoritis dan rasio praktis tidak dapat dipisahkan
karena terapi merupakan suatu moral insight. Ketiga, dalam proses terapi
itu, analis membuat dirinya sendiri sebagai alat pengetahuan, tidak dengan
menyingkirkan subyektifitasnya, melainkan dengan suatu pelaksanaan terkendali.
Untuk menyembuhkan pasien, analis menghayati peranan si pasien, yaitu peran
seorang penderita yang sedang berusaha membebaskan diri dari penyakitnya. Dengan
kata lain, analis harus sungguh terlibat secara mendalam di dalam
pengalaman-pengalaman pasiennya. Melihat proses analitis tersebut, tampaklah
bahwa pengetahuan analitis bukannya tanpa kepentingan karena terapi diperoleh
sejauh pasien didorong oleh kepentingan emansipatoris untuk sembuh dan
sebaliknya analis didorong kepentingan yang sama untuk membebaskan pasien.
Sebagai refleksi diri, psikoanalisis menyatukan kognisi dan afeksi, rasio
teoritis dan rasio praktis dan akhirnya menyatukan pengetahuan dan kepentingan.[11]
Sampai
di sini, Habermas telah menunjukkan bagaimana psikoanalisis menjadi contoh ilmu
kritis pada level individual. Habermas juga mencoba mengintegrasikan
psikoanalisis Freud ini ke dalam materialisme sejarah Karl Marx untuk
menunjukkan bagaimana ilmu kritis yang masih ada di dalam bentuk program itu
diterapkan dalam realitas sosial. Di atas secara implisit telah terkandung
suatu persoalan yaitu tentang normalitas psikis. Masalah ini menarik karena
menjadi titik tolak bahasan Habermas tentang psikoanalisis sebagai kritik
sosial. Habermas melihat adanya kesamaan dan perbedaan antara Marx dan Freud
dalam memahami masyarakat dan kebudayaan. Meskipun di dalam istilah yang
berbeda, Freud juga membedakan kekuatan-kekuatan produksi dan hubungan-hubungan
produksi. Seperti Marx memahami masyarakat, Freud memahami kebudayaan sebagai
sarana manusia untuk melampaui taraf kondisi-kondisi eksistensi hewan. Manusia
melampaui hewan dalam dua aspek. Pertama, manusia memiliki kemampuan dan
pengetahuan untuk mengendalikan kekuatan-kekuatan alam dan menimba hasilnya
untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhannya. Kedua, untuk mendistribusikan
hasil-hasil alam ini manusia mengatur interaksinya satu sama lain melalui
pranata-pranata sosial. Kedua aspek ini saling tergantung dan tumpang tindih
karena tiga hal. Pertama interaksi secara mendalam dipengaruhi oleh pemuasan
naluri-naluri yang dimungkinkan oleh hasil-hasil alam itu. Kedua, manusia dapat
memakai sesamanya seperti ia memakai alam, entah memperlakukannya sebagai obyek
kerja entah sebagai obyek seksual. Ketiga, setiap individu sesungguhnya adalah
musuh kebudayaan meskipun kebudayaan merupakan kepentingan manusiawi universal
untuk pemeliharaan diri kolektif. Menurut Habermas, pada alasan ketiga inilah
terdapat perbedaan antara Freud dan Marx.
Berbeda
dengan Marx yang memandang pranata-pranata sosial sebagai penataan
kepentingan-kepentingan yang memungkinkan berfungsinya sistem kerja sosial,
Freud memandangnya dalam kaitannya dengan represi atas dorongan-dorongan naluriah,
maka pranata sosial adalah musuh individual juga. Penataan kepentingan dalam
pandangan Marx berakar pada struktur kelas dan terdistorsi oleh struktur itu
sehingga keuntungan dan kewajiban sosial didistribusikan menurut struktur
kelas. Represi sosial dipaksakan secara universal tak tergantung pada struktur
kelas. Dalam hal-hal di atas, menurut Habermas, terdapat perbedaan konteks
pemahaman atas penataan institusional antara Freud dan Marx. Jika Marx
memahaminya sebagai penataan pembagian kerja, Freud memahaminya sebagai
penataan tekanan atas pembagian kerja sosial itu. Dengan kata lain, Freud tidak
memahaminya dalam konteks tindakan instrumental, melainkan dalam konteks
interaksi. Untuk menjaga kelangsungan sistem pemeliharaan diri kolektif itu
yang perlu diatur bukanlah kerja, melainkan tekanan atas kerja itu.
Berbicara
tentang materialisme sejarah Marx, Habermas menunjukkan bahwa Marx tidak
menghasilkan ilmu sebagai kritik karena memahami aktivitas revolusioner yang
mendorong proses pembentukan diri dalam konteks tindakan rasional bertujuan.
Pengetahuan yang dihasilkan dengan paradigma kerja bukanlah pengetahuan
refleksif, melainkan produktif. Menurut Habermas, kegiatan revolusioner itu
harus dipahami dalam konteks tindakan komunikatif. Hal ini, menurut Habermas,
tidak dipahami Marx dan kekurangan Marx ini dapat diatasi oleh teori Freud. Freud
memahami pranata-pranata kekuasaan dan ideologi-ideologinya sebagai tindakan
komunikatif yang terdistorsi. Pranata-pranata telah menukarkan kekuasaan
eksternal dengan tekanan internal permanen yang menghasilkan komunikasi yang
terdistorsi yaitu ideologi-ideologi sebagai kepuasan substitusi.[12]
Mengapa
Marx tidak dapat memahami kekuasaan dan ideologi sebagai komunikasi yang
menyimpang? Marx mendasarkan diri pada pengandaian bahwa manusia membedakan
dirinya dari hewan saat ia mengubah tingkah laku adaptifnya menjadi tindakan
instrumental. Dari pengandaian ini, ia memahami sejarah sebagai penataan fisik
atas tindakan-tindakan instrumental. Karena itu pula tindakan revolusioner
emansipatoris dipahami dalam kategori tindakan rasional-bertujuan. Berbeda dari
Marx, Freud mendasarkan diri pada pengandaian bahwa manusia membedakan dirinya
dengan hewan saat ia berhasil mengubah tingkah laku yang dikendalikan oleh
naluri-naluri menjadi tindakan komunikatif. Jika Marx meletakkan kerja sebagai
dasar alamiyah dari sejarah, yang oleh Freud dipahami sebagai dasar alamiyah
dari sejarah adalah penataan fisik atas tindakan-tindakan komunikatif dalam kategori-kategori
dorongan-dorongan naluriyah yang berlebihan dan penyalurannya. Apa tujuan dari
langkah-langkah perkembangan masyarakat itu? Di sini kita sampai pada semacam
cita-cita atau utopia yang termuat dalam teori kritis Habermas tentang
masyarakat, yaitu terciptanya suatu masyarakat yang berinteraksi dalam lingkup
komunikasi bebas penguasaan.
Dengan
demikian bagi hermeneutik kritis yang digagas Habermas, memahami bukanlah
sekedar mereproduksi makna sebagaimana Schleiermacher dan Dilthey dan juga
bukan sekedar memproduksi makna baru yang terarah ke masa depan, seperti pada
Heidegger dan Gadamer, melainkan membebaskan penulis dari komunikasi yang
terdistorsi secara sistematis yang telah menghasilkan teksnya. Lazimnya,
hermeneutik bertujuan agar pembaca memahami teks, tetapi hermeneutik kritis
bertujuan agar penulisnya memahami teks yang ditulisnya sendiri sehingga ia
bebas dari distorsi-distorsi yakni dalam psikoanalisis memperoleh kesembuhan
dan dalam kasus kritik ideologi memperoleh otonomi. Hermeneutik kritis melampaui hermeneutik biasa
dalam arti bahwa metode ini berupaya keras untuk menemukan motif yang tidak
disadari pelakunya. Memahami bagi Habermas sebagai emansipasi (praksis pembebasan).
Memahami secara kritis metodologis merupakan praksis pembebasan dari
kesepahaman semu hasil dominasi untuk mencapai kesepahaman rasional yang bebas
dominasi.[13]
***
Catatan:
[1]
Richard E Palmer, Hermeneutika,
Teori Baru Mengenai Interpretasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h.
16-17.
[2]
Budi Hardiman, Seni Memahami
(Jakarta: Kanisius, 2015), h. 11-12.
[3]
Palmer, Hermeneutika, Teori
Baru Mengenai Interpretasi, h. 220.
[4]
Edi Mulyono, Belajar
Hermeneutika Dari Konfigurasi Filosofis Menuju Praksis Islamic Studies
(Yogyakarta: Ircisod, 2013), h. 151-152.
[5]
Historisme adalah pandangan
yang diwakili madzhab sejarah yang mewarnai lanskap intelektual Jerman abad
ke-19 lewat para filolog dan penulis sejarah seperti August W. Boeck, Leopold
von Ranke. Madzhab ini melawan filsafat sejarah Hegel yang menurut mereka
terlalu metafisis dan ingin mendasarkan sebuah penelitian sejarah yang empiris.
Sejarah ingin dipahami tidak dari skema metafisis dan teleologis, melainkan
dari peristiwa dan konteksnya yang empiris. Menurut pandangan ini
peristiwa-peristiwa sejarah hanyalah ungkapan zamannya yang dapat diakses
sebagai fakta-fakta obyektif. Selengkapnya baca Hardiman, Seni Memahami,
h. 164-165.
[6]
Agus Darmaji, “Dasar-Dasar
Ontologis Pemahaman Hermeneutik Hans-Georg Gadamer,” Jurnal Refleksi
Vol. 13 (2013): h. 473.
[7]
Hardiman, Seni Memahami,
h. 176-177.
[8]
Palmer, Hermeneutika, Teori
Baru Mengenai Interpretasi, h. 265-269.
[9]
Hardiman, Seni Memahami,
h. 185.
[10]
Budi Hardiman, Kritik
Ideologi, Menyingkap Kepentingan Pengetahuan Bersama Jurgen Habermas
(Yogyakarta: Buku Baik, 2004), h. 218.
[11]
Mohammad Anas, Rekonstruksi
Epistemologi Ilmu Pengetahuan, Analitis Kritis-Dialogis Jurgen Habermas Dan M.
Abid Al-Jabiri (Malang: UB Press, 2018), H. 129-131.
[12]
Listiyono Santoso, Epistemologi
Kiri (Yogyakarta: Ar-Ruzz Press, 2013), H. 240-241.
[13]
Hardiman, Seni Memahami,
h. 230-231.
_________________
*) Fuad Nawawi: adalah seorang calon doktor pada UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Sehari-hari ia masih mengajar mengaji di kampungnya, di samping itu ia masih sempat belajar menulis esai pada Akademi Menulis-Dunia Sastra Kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar