Djoko Saryono *
sesungguhnya suara itu tak bisa diredam
mulut bisa dibungkam
namun siapa mampu menghentikan nyanyian bimbang
dan pertanyaan-pertanyaan dari lidah jiwaku
suara-suara itu tak bisa dipenjarakan
di sana bersemayam kemerdekaan
apabila engkau memaksa diam
aku siapkan untukmu: pemberontakan
...
sesungguhnya suara itu akan menjadi kata
ialah yang mengajari aku bertanya
dan pada akhirnya tidak bisa tidak
engkau harus menjawabnya
apabila engkau tetap bertahan
aku akan memburumu seperti kutukan
(Wiji Thukul, Sajak Suara dalam Aku Ingin Jadi Peluru, 2004, hlm 74, Penerbit Indonesiatera)
Sebagai makhluk berjiwa-berhati-berpikir yang membadan, niscayalah kita selalu merasa butuh mengekspresikan atau mengomunikasikan pikiran, pendapat, gagasan, perasaan, keyakinan, dan lain-lain secara lisan dan atau tulis. Sudah tentu, yang kita ekspresikan atau komunikasikan itu meliputi aneka ragam persoalan, tema, atau hal; yang boleh jadi ratusan ragamnya, bisa juga lebih, bergantung pada kebutuhan ekspresi atau komunikasi masing-masing individu. Boleh jadi, seorang individu hanya mampu mengekspresikan satu atau dua persoalan atau tema, tetapi bisa juga seorang individu mengekspresikan banyak persoalan atau tema secara rutin. Pada kehidupan zaman modern atau ultramodern atau malah pascamodern kini, kebutuhan ekspresi atau komunikasi itu sudah menjadi hak dasar setiap individu. Ia menjelma menjadi hak asasi manusia yang diakui dan dihormati semua manusia di dunia.
Hak berekspresi atau berkomunikasi tersebut sering diyakini mudah atau gampang dilaksanakan baik secara lisan maupun tertulis. Berbicara tentang sesuatu diyakini mudah; demikian juga menulis tentang sesuatu tidak sukar dilaksanakan. Buktinya, setiap hari beribu-ribu orang berbicara dan menulis untuk publik tentang sesuatu tidak [pernah] mengalami apa-apa, tidak digugat atau diancam orang, malah ditanggapi pun tidak. Bukankah banyak politisi, penyiar, presenter, dan lain-lain setiap hari berbicara banyak tanpa pernah kita tahu apa dampaknya kepada mereka sendiri? Bukankah setiap hari para wartawan, penulis skenario, penulis iklan, dan lain-lain juga menulis sesuatu tanpa dampak negatif kepada mereka? Maka dari itu, berbicara yang merupakan pengejawantahan tradisi kelisanan dan menulis yang merupakan pengejawantahan tradisi keberaksaraan kemudian dianggap sebagai rutinitas-mekanis yang tak berdampak apa-apa kepada pembicara atau penulis.
Berekspresi atau berkomunikasi lisan atau tulis juga diyakini dapat memiliki maslahat dan guna besar yang bermakna bagi manusia – baik sebagai individu maupun kelompok. Benedict Anderson, dalam Imagined Community, menunjukkan bahwa bacaan atau tulisan mendasari dan menyangga pembentukan dan pematangan nasionalisme Indonesia sehingga kegiatan menulis memberi maslahat besar bagi keberadaan Indonesia. Takhasi Siraishi, dalam Zaman Bergerak, juga menunjukkan betapa tulisan atau bacaan menyangga perdebatan ideologi pergerakan kebangsaan. Bahkan banyak kalangan memandang bahwa menulis sebagai komunikasi tulis telah membawa manusia memasuki peradaban baru, yaitu peradaban keberaksaraan, sehingga kegiatan menulis pada umumnya dipandang positif.
Dalam peradaban keberaksaraan, menulis ihwal ilmu pengetahuan, misalnya ihwal kedokteran, kesehatan, kesusilaan, dan pengembangan diri, memang jelas bermaslahat besar bagi kehidupan manusia. Di samping ilmu pengetahuan dapat berkembang, manusia-pembaca bisa mendulang berbagai hal darinya. Pastilah pelbagai kalangan akan mendukung dan melindungi kegiatan menulis demikian. Begitu juga kegiatan menulis resep makanan-minuman, panduan perawatan diri, panduan perbaikan kendaraan bermotor, dan sejenisnya tentu akan banyak mendapat dukungan dan lindungan berbagai kalangan. Pasalnya, kegiatan menulis hal-hal seperti itu bakal menguntungkan pembaca. Karena itu, tak mengherankan, kegiatan menulis diyakini sebagai kegiatan yang menguntungkan atau bermanfaat karena telah membebaskan manusia dari berbagai keterbatasan pada satu sisi dan pada sisi lain telah meluaskan cakrawala harapan atau horison hidup manusia.
Meski tak salah, keyakinan tersebut tak selalu benar, tak sepenuhnya benar. Hal ini karena berdampak tidaknya berbicara dan menulis bergantung pada banyak faktor, yang demi sederhananya bisa kita sebut faktor kekuasaan dan atau otoritas dalam pengertian seluas-luasnya. Itu sebabnya, acap kita justru sangat sulit berbicara kepada khalayak; demikian juga sangat sulit menulis sesuatu untuk khalayak. Mengapa? Dalam keadaan tertentu, akibat (dianggap) mengganggu atau mengancam kekuasan politik atau ekonomi, berbicara dan menulis malah kerap membuat sang penulis berurusan atau berhadapan dengan hukum, bahkan bisa menjalani hukuman. Dalam situasi tertentu, berbicara tentang sesuatu justru bisa mengakibatkan sang pembicara bermusuhan dengan pihak lain atau diberi cap negatif; demikian juga menulis tentang sesuatu yang kemudian dipublikasikan juga bisa mengakibatkan sang penulis dikucilkan atau dicap negatif.
Karena itu, berbicara dan menulis bagi khalayak, bukan hanya disimpan di laci meja semata, merupakan kegiatan penuh risiko, bermacam-macam risiko bisa menimpa para pembicara atau penulis, bergantung pada pelbagai keadaan dan situasi kekuasaan atau otoritas yang menyertainya. Jadi, menulis – juga berbicara – selalu mengandung risiko tertentu yang acap buruk atau tak sesuai harapan kita; menulis selalu dibayang-bayangi risiko tertentu ketika dilaksanakan dengan hati nurani di samping juga bisa mendatangkan maslahat kemanusiaan.
Di samping memberitakan maslahat dan manfaat, sejarah sudah begitu banyak memberitahukan kepada kita bahwa kegiatan tulis-menulis memang bisa mendatangkan risiko buruk, bahkan risiko tak terbayangkan sama sekali oleh sang penulis atau khalayak, misalnya dihukum mati atau dijebloskan ke penjara. Gustave Flaubert, penulis roman-mashur Madame Bovary sekaligus pembaharu roman Prancis diadili karena tulisannya dianggap merusak tata susila dan akhlak anak muda. Buku-buku spiritualistis Hamzah Fansuri, tokoh sufi terkemuka Melayu atau Indonesia, perintis puisi modern Indonesia, dan pembaharu bahasa Indonesia, juga dibakar dan dimusnahkan serta pengikutnya diancam hukuman mati. Pada masa Orde Baru, sekadar mengingatkan, baru/hanya membaca atau memiliki novel-novel Pramoedya Ananta Toer, belum menulis, sudah mengakibatkan sang pemilik atau pembaca novel menghuni penjara bertahun-tahun. Untuk diingat pula, gara-gara tulisan tertentu yang ditulis oleh wartawan, penguasa Orde Baru bisa marah dan kemudian menutup sebuah majalah, Majalah Berita Mingguan Tempo, pada awal 1990-an; ini menunjukkan betapa menulis sangat berisiko pada masa Orde Baru. Demikian juga H.B. Jassin mengalami ancaman atau gugatan bertubi-tubi karena menerjemahkan al-Qur’an berwajah puisi. Tentulah kita juga masih ingat, gara-gara menulis peringkat orang-orang terkemuka berdasarkan suatu survei, dan menempatkan Nabi Muhammad tidak pada peringkat pertama, maka Arswendo Atmowiloto bukan hanya kehilangan Tabloid Monitor yang tertinggi tirasnya pada saat itu, tetapi juga harus beberapa tahun hidup di penjara. Baru-baru ini, pada masa demokratisasi sekarang, karena menulis sebuah berita tentang kemungkinan penyelewengan yang dilakukan oleh suatu perusahaan, Majalah Berita Mingguan Tempo digugat atau diperkarakan ke pengadilan oleh sang pemilik perusahaan, kemudian (di)kalah(kan) dan dihukum oleh pengadilan.
Contoh-contoh di atas menegaskan betapa risiko besar selalu hadir atau membayangi kegiatan menulis yang dihajatkan untuk menyampaikan sesuatu yang bermakna dan atau berguna bagi banyak orang atau pelbagai kalangan.Betapapun besarnya risiko yang mungkin timbul, kegiatan menulis ternyata terus-menerus dilakukan atau dilaksanakan oleh banyak orang. Terbukti, kegiatan menulis berjalan terus, tidak bisa atau tak mungkin dihentikan oleh rupa-rupa kekuasaan atau otoritas apa pun – baik kekuasaan politik, ekonomi maupun kekuasaan sosial dan spiritual. Sebagai misal, kendati tulisan-tulisan yang dihasilkan terus-menerus (selalu) dilarang oleh kekuasaan politik, pada masa Orde Baru Pramoedya Ananta Toer tetap menulis. Mengapa? Ujar Pram, “Mengarang adalah tugas nasional bagi saya…. bisa saya katakan, mengarang adalah profesi. Saya hidup dan mati karena mengarang dan saya konsekuen terhadap semua akibat yang saya peroleh”. Sementara kata Nadine Gordimer, seorang penerima Nobel Sastra, “Menulis itu ada kita (being)” sehingga kata Isak Dinesen, “Menulis itu adalah jalan hidup”; “Menulis adalah sebuah petualangan”, ujar Albert Camus. “Jangan takut ambil risiko”, imbuh David Mamet. “Menulis itu mengikat makna’, ujar Hernowo menyitir ucapan Ali bin Abu Thalib. Lalu kata Ricoeur, menulis itu memakukan dan mengawetkan sesuatu dalam teks. Ada pula yang berkata, kegiatan menulis adalah kegiatan melawan lupa; mencegah amnesia sejarah; mengabadikan eksistensi. Semua pernyataan ini menandaskan bahwa di balik kegiatan tulis-menulis terdapat dorongan-dorongan spiritual, psikologis, sosial-politis, dan rekreatif yang bisa menimbulkan keteguhan, keberanian, kegigihan, kesungguhan, ketangguhan, dan sejenisnya pada diri penulis. Di sini menulis tampak disikapi sebagai laku spiritual, psikologis, sosial-politis, rekreatif, bahkan laku intelektual yang agung dan anggun sehingga menulis harus selalu dijalankan. Menulis pada akhirnya menjadi strategi laku hidup.
Kendati demikian, risiko-risiko kegiatan menulis tetap perlu diperhitungkan secara seksama oleh para penulis. Sekalipun tidak takut dengan risiko apapun, seorang penulis harus tangkas, cekatan, dan pandai melindungi atau menyelamatkan diri dalam menjalani kegiatan tulis-menulis; tidak boleh ceroboh dan teledor, apalagi bertindak konyol, sehingga menjadi ‘santapan’ kekuasaan tertentu yang tak suka tulisan yang ada. Pengalaman telah banyak memberitahu kita, penyelamatan diri itu cukup dilakukan sendiri oleh penulis, cukup bermodalkan ketangkasan, kecekatan, dan kepiawaiannya menulis, tidak perlu meminta bantuan aparat keamanan atau hukum. Tegasnya, perlindungan atau penyelamatan diri cukup dengan berpikir dan bersikap strategis pada kegiatan menulis.
Sejak dini hal tersebut dapat dilakukan dengan memperhitungkan bentuk tulisan, strategi penulisan, pola penalaran atau penyajian, pilihan gaya bahasa, dan lain-lain. Sebagai contoh, dengan mengingat kekejaman penjajah Jepang, beberapa sastrawan Angkatan Zaman Jepang memilih bentuk tulisan berupa novel yang sangat simbolis-bertendens, antara lain diberi judul Dengarlah Keluhan Pohon Mangga. Mengingat demikian sensitif dan berisikonya melaporkan sesuatu yang tak dikehendaki oleh pemuka Orde Baru, Seno Gumira Ajidarma memilih bentuk cerpen dengan metafora, analogi, paralelisme, dan rujuk-silang yang kuat untuk melaporkan drama kekerasan dan kekacauan di Timor Timur (kini: Timor Leste). Dengan memegang asas Ketika Jurnalistik Dibungkam, Sastra Harus Bicara, dia mengolah fakta menjadi fiksi sehingga kekerasan, kekejaman, kekacauan, dan lain-lain yang terjadi di Timor Timur dapat dibocorkan kepada khalayak. Seno mengaku: ”Saya diberhentikan karena meloloskan berita mengenai Insiden Dili 1991: laporan 17 saksi mata mengenai peristiwa berdarah itu, yang jelas berbeda dengan berita-berita di media massa resmi. Saya menafsirkan pemberhentian saya sebagai usaha pembungkaman untuk mengungkap fakta seputar Insiden Dili, saya menganggap perlawanan paling tepat adalah mengungkapkan kembali fakta tersebut. Namun karena saat itu saya mengalami pencekalan dalam dunia fakta, maka saya hanya berpeluang mengungkapkannya dalam dunia fiksi”. Jadi, kegiatan menulis bisa berguna untuk memelihara ingatan, melawan lupa, membongkar kebohongan, memberikan kesaksian dan atau sekadar mengajak berinteraksi sekaligus melindungi atau menyelamatkan diri penulis dari pelbagai risiko yang datang dari kekuasaan atau otoritas yang “bermata gelap”. Mari kita senantiasa menulis.
***
______________________
*) Prof. Dr. Djoko Saryono, M.Pd adalah Guru Besar Jurusan Sastra Indonesia di Fakultas Sastra pada kampus UNM (Universitas Negeri Malang). Telah banyak menghasilkan buku, artikel apresiasi sastra, serta budaya. Dan aktif menjadi pembicara utama di berbagai forum ilmiah kesusatraan tingkat Nasional juga Internasional.
http://sastra-indonesia.com/2019/12/menulis-sebagai-strategi/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
20 Tahun Kebangkitan Sastra-Teater Lamongan
A Jalal
A. Anzieb
A. Khoirul Anam
A. Mustofa Bisri
A. Rodhi Murtadho
A. Syauqi Sumbawi
A.P. Edi Atmaja
Abdoel Moeis
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdullah Abubakar Batarfie
Abdurrahman Wahid
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Acep Iwan Saidi
Achdiat K. Mihardja
Achiar M Permana
Adek Alwi
Adhi Pandoyo
Adib Baroya
Aditya Ardi N
Adri Sandra
Adu Pesona Sang Wakil Cawapres RI
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan MN
Agus Buchori
Agus Dermawan T.
Agus Mulyadi
Agus Prasmono
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunyoto
AH J Khuzaini
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Hasan MS
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Saifullah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alawi Al-Bantani
Alfatihatus Sholihatunnisa
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Alim Bakhtiar
Amie Williams
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amril Taufik Gobel
An. Ismanto
Andhi Setyo Wibowo
Andi Andrianto
Andong Buku #3
AndongBuku #3
Andrea Hirata
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Antologi Sastra Lamongan
Anton Wahyudi
Anugrah Gio Pratama
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia
Arafat Nur
Ardi Wina Saputra
Ardy Suryantoko
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Saifudin Yudistira
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Asarpin
Ashimuddin Musa
Asrul Sani
Astuti Ananta Toer
Atafras
Audifax
Awalludin GD Mualif
Ayu Nuzul
Azizah Hefni
B Kunto Wibisono
Bahrul Amsal
Bambang Kempling
Beni Setia
Benny Benke
Beno Siang Pamungkas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Bernando J. Sujibto
Binhad Nurrohmat
Bloomberg
Bre Redana
Budaya
Budi Darma
Buldanul Khuri
Bustan Basir Maras
Candra Adikara Irawan
Candrakirana
Cangaan Ujungpangkah Gresik Jawa Timur
Capres Cawapres 2019
Catatan
Ceramah
Cerpen
Chairil Anwar
Chicilia Risca
CNN Indonesia
Coronavirus
COVID-19
D. Zawawi Imron
Damiri Mahmud
Darju Prasetya
Darman Moenir
Deddy Arsya
Denny JA
Denny Mizhar
Devy Kurnia Alamsyah
Dhoni Zustiyantoro
Dian Sukarno
Didin Tulus
Dien Makmur
Din Saja
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Donny Anggoro
Donny Darmawan
Dr. Hilma Rosyida Ahmad
Dwi Cipta
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Dyah Ayu Fitriana
Ecep Heryadi
Edy Suprayitno
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Elok Dyah Messwati
Engkos Kosnadi
Erdogan
Erwin Setia
Esai
Esti Nuryani Kasam
Evan Ys
F. Budi Hardiman
F. Rahardi
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Fahrur Rozi
Faidil Akbar
Farah Noersativa
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathul Qorib
Fatkhul Anas
Feby Indirani
Felix K. Nesi
Festival Teater Religi
Festival Teater Religi Pelajar SLTA Se-kabupaten Lamongan
Fira Basuki
Forum Santri Nasional (FSN)
Frischa Aswarini
Fuad Mardhatillah UY Tiba
Fuad Nawawi
Galuh Tulus Utama
Gampang Prawoto
Gde Artawan
Geger Riyanto
Geguritan
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Guenter Grass
Gus Ahmad Syauqi
Gus tf
Gusti Eka
Habib Bahar bin Smith
Haiku
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hamka
Han Gagas
Hary B Koriun
Hasan Basri
Hasnan Bachtiar
Heri Ruslan
Herman Hesse
Hertha Mueller
Heru Kurniawan
Hestri Hurustyanti
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hujuala Rika Ayu
I Made Prabaswara
I Made Sujaya
IAI TABAH (Institut Agama Islam Tarbiyatut Tholabah)
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idrus
Ignas Kleden
Iksaka Banu
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imammuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra Intisa
Indra Mahadi
Indra Tjahyadi
Irfan Afifi
Irine Rakhmawati
Irwan Kelana
Isbedy Stiawan ZS
J.S. Badudu
Jadid Al Farisy
Jajang R Kawentar
Jawa Timur
Jean Marie Gustave le Clezio
JJ. Kusni
Jl Raya Simo Sungelebak
Jo Batara Surya
John H. McGlynn
Jordaidan Rizsyah
Jual Buku Paket Hemat
Juara 3 Lomba Lompat Jauh DISPORA LAMONGAN
Jurnalisme Sastrawi
K.H. Ma'ruf Amin
Kadek Suartaya
Kaheesa Kirania Putri Ayu
Kahfie Nazaruddin
Kalis Mardiasih
Kamaluddin Ramdhan
Kanti W. Janis
Karanggeneng
Kardono Setyorakhmadi
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Kemah Budaya Pantura (KBP)
KetemuBuku Jombang
KH. M. Najib Muhammad
KH. Muhammad Amin (1910-1949)
Khairul Mufid Jr
Khawas Auskarni
Khoirul Abidin
Khoshshol Fairuz
Ki Ompong Sudarsono
Kitab Arbain Nawawi
Kodrat Setiawan
Kompas TV
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA)
Komunitas Sastra dan Teater Lamongan
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Komunitas-komunitas Teater di Lamongan
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Luar Biasa Organisasi Kerja Sama Islam (OKI)
Kopuisi
Kostela
Kritik Sastra
Kumpulan Cerita Buntak
Kurnia Effendi
Kuswaidi Syafi’ie
L Ridwan Muljosudarmo
L.K. Ara
Lamongan
Lan Fang
Lawi Ibung
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M)
Literasi
Liza Wahyuninto
Lukas Luwarso
Lukisan
Lukman
Lukman Santoso Az
Lutfi Mardiansyah
M Farid W Makkulau
M. Faizi
M.D. Atmaja
Madrasah Aliyah Matholi'ul Anwar
Madrasah Ibtida’iyah Thoriqotul Hidayah 1
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Maman S Mahayana
Manado
Manneke Budiman
Maratushsholihah
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Magdalena Bhoernomo
Mario F. Lawi
Marsel Robot
Martin Aleida
Marwanto
Mashuri
Massayu
Masuki M. Astro
Masyhudi
Media Seputar Pendidikan
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Memoar Purnama di Kampung Halaman
Mereka yang Menjerat Gus Dur
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mien Uno
Moh. Dzunnurrain
Moh. Jauhar al-Hakimi
Mohammad Rafi Azzamy
Mohammad Rokib
Mohammad Yamin
Muafiqul Khalid MD
Much. Khoiri
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Alfatih Suryadilaga
Muhammad Antakusuma
Muhammad Fikry Mauludy
Muhammad Hafil
Muhammad Marzuki
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad N. Hassan
Muhammad Subarkah
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhidin M. Dahlan
Muhyiddin
Mukadi
Mukani
Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur
Musa Ismail
Mutia Sukma
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nanang E S
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nezar Patria
Noor H. Dee
Nunus Supardi
Nur Haryanto
Nur Wachid
Nurel Javissyarqi
Nurul Komariyah
Okky Madasari
Olivia Kristina Sinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pagelaran Musim Tandur
Palupi Panca Astuti
Pameran Lukisan
Parimono V / 40 Plandi Jombang
PC. Lesbumi NU Babat
PDS HB Jassin
Pelukis Dahlan Kong
Pelukis Tarmuzie
Penculikan Aktivis 1988
Pendidikan
Pengajian
Pengarang kelahiran Lamongan
Pentigraf
Pepaosan
Perbincangan
Peringatan Hari Pahlawan 10 November
Pilang Tejoasri Laren Lamongan Jawa Timur
Pipiet Senja
Politik
Pondok Pesantren Ali Bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan
Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang
Pramoedya Ananta Toer
Presiden Jokowi
Prosa
Puisi
Puisi Menolak Korupsi (PMK)
Puji Santosa
Pustaka LaBRAK
PUstaka puJAngga
R. Ng. Ronggowarsito
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rasanrasan Boengaketji
Raudlotul Immaroh
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Reuni dan Halal Bihalal Mts Putra-Putri Simo 1992
Ribut Wijoto
Riki Antoni
Riki Dhamparan Putra
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Roland Barthes
Rosi
Rosihan Anwar
RR Miranda
Rumah Budaya Pantura (RBP)
S. Jai
S.W. Teofani
Sabiq Carebesth
Sabrank Suparno
Safitri Ningrum
Sainul Hermawan
Sajak
Salman Aristo
Sandiaga Uno
Sanggar Lukis Alam
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang
Sanggar Sastra Tasikmalaya (SST)
Sarasehan dan Launching Buku
Sartika Sari
Sasti Gotama
Sastra Kuno Suku Sasak
Sastri Bakry
Satmoko Budi Santoso
Satu Jam Sastra
Satyagraha Hoerip
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSAstra Boenga Ketjil
Seni Gumira Ajidarma
Seni Rupa
Seno Gumira Ajidarma
Seputar Sastra Pendidikan
Sergi Sutanto
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sirdjanul Ghufron
Siwi Dwi Saputro
Slamet Rahardjo Rais
Soediro Satoto
Soekarno
Soeparno S. Adhy
Soesilo Toer
Soetanto Soepiadhy
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sosiawan Leak
Sri Handi Lestari
Sri Wintala Achmad
STKIP PGRI Ponorogo
Subagio Sastrowardoyo
Sudarmoko
Sujatmiko
Sukarno
Suminto A. Sayuti
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syahrudin Attar
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili
Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari
Sylvianita Widyawati
Tangguh Pitoyo
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater Ilat
Teater nDrinDinG
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Tias Tatanka
Timur Sinar Suprabana
Titi Aoska
Tiyasa Jati Pramono
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga
Toni Masdiono
Tri Broto Wibisono
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Tulus Wijanarko
Umar Fauzi
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Jember
Universitas Negeri Jember
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W.S. Rendra
Wage Daksinarga
Wahyu Aji
Warung Boengaketjil
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wiji Thukul
Wildan Nugraha
Wildana Wargadinata
Yanusa Nugroho
Yasraf Amir Piliang
Yerusalem Ibu Kota Palestina
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhi Herwibowo
Yuditeha
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Zainal Arifin Thoha
Zainuddin Sugendal
Zara Zettira ZR
Zehan Zareez
Zuhdi Swt
Tidak ada komentar:
Posting Komentar