Taufiq Wr. Hidayat *
Siang itu, saya kembali sowan ke rumah Kiai Sutara. Beliau berkisah kepada saya perihal kisah Nabi Musa.
“Sahdan dikisahkan dalam sebuah buku kuno perihal doa Nabi Musa,” ujar Kiai Sutara membuka pembicaraan.
“Suatu waktu, Nabi Musa mendaki bukit Sinai untuk berdialog dengan Allahnya. Tiba di puncak itu, Nabi Musa bersimpuh.”
“Wahai Allahku. Engkaulah Tuhan segala makhluk," doa Nabi Musa. Allah berkenan menjawab. "Benar, Musa. Akulah itu."
"Wahai Allahku. Tuhannya semesta raya, yang maha pengasih maha penyayang."
"Benar, Musa! Akulah itu."
"Wahai Allahku. Engkaulah Tuhan yang tak ada duanya."
"Benar itu, Musa!"
"Wahai Allahku. Engkaulah Tuhan dari orang-orang kaya raya, yang mujur, yang beruntung, yang baik-baik."
"Benar, Musa!"
"Wahai Allahku. Engkaulah Tuhannya para pendosa, orang sesat, kegelapan, yang bejat, yang hina-dina, yang menderita, dan yang terlunta-lunta tak berharga."
“Sangat benar, Musa! Akulah Tuhan mereka. Benar-benar Akulah Tuhan mereka. Akulah Tuhan mereka. Dan benar-benar itulah Aku, Tuhan bagi mereka!"
“Nabi Musa heran, kenapa jawaban Allah berkali-kali membenarkan ketika Dia disebut sebagai Tuhannya "kegelapan dunia", kesesatan, kebejatan, penderitaan, kehinaan, dan keterlunta-luntaan? Sebelum Nabi Musa bertanya, Allah menjawab apa yang digelisahkannya.”
"Musa! Dengarlah baik-baik. Dan ingatlah baik-baik. Jika dosa dan kekejian, jika duka-lara, kegelapan dan kesesatan, penderitaan, kehinaan, dan keterlunta-luntaan itu telah berputus asa terhadap segalanya. Maka hanya Akulah satu-satunya tempat pulang yang tak pernah menutup pintu, menyambut penuh rindu bagi mereka, yang akan selalu menerima mereka dengan riang dan bahagia.”
Kiai Sutara terdiam sejenak. Beliau menuntaskan rokoknya yang sudah pendek. Menindas rokoknya dalam asbak. Kemudian beliau melanjutkan dhawuhnya.
“Lalu apakah suatu dosa harus dihindari? Benar jika dosa harus dihindari. Tetapi apakah bisa manusia luput dari dosa? Tak bisa. Bagi Ibn Arabi, iman tak mengajarkan manusia takut pada dosa. Tetapi lebih dalam, iman mendidik dan mengajarkan manusia supaya merasa berdosa. Sehingga ia mengerti bagaimana mengolah dan melayani kehidupan. Di dunia ini, kata orang bijak entah siapa. Orang bijak selalu tak punya identitas yang jelas, hanya suaranya yang terdengar indah bagai musik yang rumit dan menakjubkan.”
Kiai Sutara melanjutkan.
“Orang bijak itu berkata. Bahwa ada orang lapar. Ialah mereka yang belum makan. Ingatkanlah, agar mereka makan sehingga tidak lapar. Ada orang yang pura-pura lapar, padahal sesungguhnya ia tidak lapar. Jauhi dan hindarilah, katanya. Lantaran orang yang pura-pura lapar, tak lain manusia rakus. Pura-pura sakit, pura-pura gawat, pura-pura menderita. Kemudian menggarong dan menipu. Sedang di situ, ada orang yang benar-benar lapar. Katanya, ialah orang yang lapar dan tidak ada yang dapat ia makan. Itulah orang yang tak berdaya. Maka tolonglah. Membantu dan menolong itu mudah bagi orang yang punya. Tapi tak mudah bagi yang tidak berpunya. Sedang nilai ketakwaan dalam agama kita, ialah menafkahkan rejeki di kala sempit dan lapang. Bukan cuma di kala lapang. Apa gunanya seember air bagi orang yang tidak dahaga? Tak ada gunanya! Tapi secangkir air akan sangat berharga bagi orang yang benar-benar dahaga dan tak punya air untuk diminumnya. Paham, santri tolol?”
“Baik, Kiai.”
“Bagus! Kisah kuno itu sesungguhnya hendak mengabarkan dan meyakinkan, bahwa Tuhan tak terjangkau. Ia melampaui akal-budi. Tetapi Dia pun dalam akal-budi dengan nama-nama-Nya yang maha luhur. Nama-nama dan sifat-Nya hanyalah sarana bagi manusia untuk memahami kemanusiaannya, mengenali-Nya yang tak akan pernah selesai dikenali.”
Angin siang mengelus pundakku. Dan kulihat Kiai Sutara telah tertidur di kursinya. Mendengkur dengan sangat tenteram.
Sobo, 2020
_____________________
*) Taufiq Wr. Hidayat dilahirkan di Dusun Sempi, Desa Rogojampi, Kab. Banyuwangi. Taufiq dibesarkan di Desa Wongsorejo Banyuwangi. Menempuh pendidikan di UNEJ pada fakultas Sastra Indonesia. Karya-karyanya yang telah terbit adalah kumpulan puisi “Suluk Rindu” (YMAB, 2003), “Muncar Senjakala” [PSBB (Pusat Studi Budaya Banyuwangi), 2009], kumpulan cerita “Kisah-kisah dari Timur” (PSBB, 2010), “Catatan” (PSBB, 2013), “Sepotong Senja, Sepotong Malam, Sepotong Roti” (PSBB, 2014), “Dan Badut Pun Pasti Berlalu” (PSBB, 2017), “Serat Kiai Sutara” (PSBB, 2018). “Kitab IBlis” (PSBB, 2018), “Agama Para bajingan” (PSBB, 2019), dan Buku terbarunya “Kitab Kelamin” (PSBB, 2019). Tinggal di Banyuwangi, Sekarang Sebagai Ketua Lesbumi PCNU Banyuwangi.
http://sastra-indonesia.com/2020/04/para-pendosa/
Siang itu, saya kembali sowan ke rumah Kiai Sutara. Beliau berkisah kepada saya perihal kisah Nabi Musa.
“Sahdan dikisahkan dalam sebuah buku kuno perihal doa Nabi Musa,” ujar Kiai Sutara membuka pembicaraan.
“Suatu waktu, Nabi Musa mendaki bukit Sinai untuk berdialog dengan Allahnya. Tiba di puncak itu, Nabi Musa bersimpuh.”
“Wahai Allahku. Engkaulah Tuhan segala makhluk," doa Nabi Musa. Allah berkenan menjawab. "Benar, Musa. Akulah itu."
"Wahai Allahku. Tuhannya semesta raya, yang maha pengasih maha penyayang."
"Benar, Musa! Akulah itu."
"Wahai Allahku. Engkaulah Tuhan yang tak ada duanya."
"Benar itu, Musa!"
"Wahai Allahku. Engkaulah Tuhan dari orang-orang kaya raya, yang mujur, yang beruntung, yang baik-baik."
"Benar, Musa!"
"Wahai Allahku. Engkaulah Tuhannya para pendosa, orang sesat, kegelapan, yang bejat, yang hina-dina, yang menderita, dan yang terlunta-lunta tak berharga."
“Sangat benar, Musa! Akulah Tuhan mereka. Benar-benar Akulah Tuhan mereka. Akulah Tuhan mereka. Dan benar-benar itulah Aku, Tuhan bagi mereka!"
“Nabi Musa heran, kenapa jawaban Allah berkali-kali membenarkan ketika Dia disebut sebagai Tuhannya "kegelapan dunia", kesesatan, kebejatan, penderitaan, kehinaan, dan keterlunta-luntaan? Sebelum Nabi Musa bertanya, Allah menjawab apa yang digelisahkannya.”
"Musa! Dengarlah baik-baik. Dan ingatlah baik-baik. Jika dosa dan kekejian, jika duka-lara, kegelapan dan kesesatan, penderitaan, kehinaan, dan keterlunta-luntaan itu telah berputus asa terhadap segalanya. Maka hanya Akulah satu-satunya tempat pulang yang tak pernah menutup pintu, menyambut penuh rindu bagi mereka, yang akan selalu menerima mereka dengan riang dan bahagia.”
Kiai Sutara terdiam sejenak. Beliau menuntaskan rokoknya yang sudah pendek. Menindas rokoknya dalam asbak. Kemudian beliau melanjutkan dhawuhnya.
“Lalu apakah suatu dosa harus dihindari? Benar jika dosa harus dihindari. Tetapi apakah bisa manusia luput dari dosa? Tak bisa. Bagi Ibn Arabi, iman tak mengajarkan manusia takut pada dosa. Tetapi lebih dalam, iman mendidik dan mengajarkan manusia supaya merasa berdosa. Sehingga ia mengerti bagaimana mengolah dan melayani kehidupan. Di dunia ini, kata orang bijak entah siapa. Orang bijak selalu tak punya identitas yang jelas, hanya suaranya yang terdengar indah bagai musik yang rumit dan menakjubkan.”
Kiai Sutara melanjutkan.
“Orang bijak itu berkata. Bahwa ada orang lapar. Ialah mereka yang belum makan. Ingatkanlah, agar mereka makan sehingga tidak lapar. Ada orang yang pura-pura lapar, padahal sesungguhnya ia tidak lapar. Jauhi dan hindarilah, katanya. Lantaran orang yang pura-pura lapar, tak lain manusia rakus. Pura-pura sakit, pura-pura gawat, pura-pura menderita. Kemudian menggarong dan menipu. Sedang di situ, ada orang yang benar-benar lapar. Katanya, ialah orang yang lapar dan tidak ada yang dapat ia makan. Itulah orang yang tak berdaya. Maka tolonglah. Membantu dan menolong itu mudah bagi orang yang punya. Tapi tak mudah bagi yang tidak berpunya. Sedang nilai ketakwaan dalam agama kita, ialah menafkahkan rejeki di kala sempit dan lapang. Bukan cuma di kala lapang. Apa gunanya seember air bagi orang yang tidak dahaga? Tak ada gunanya! Tapi secangkir air akan sangat berharga bagi orang yang benar-benar dahaga dan tak punya air untuk diminumnya. Paham, santri tolol?”
“Baik, Kiai.”
“Bagus! Kisah kuno itu sesungguhnya hendak mengabarkan dan meyakinkan, bahwa Tuhan tak terjangkau. Ia melampaui akal-budi. Tetapi Dia pun dalam akal-budi dengan nama-nama-Nya yang maha luhur. Nama-nama dan sifat-Nya hanyalah sarana bagi manusia untuk memahami kemanusiaannya, mengenali-Nya yang tak akan pernah selesai dikenali.”
Angin siang mengelus pundakku. Dan kulihat Kiai Sutara telah tertidur di kursinya. Mendengkur dengan sangat tenteram.
Sobo, 2020
_____________________
*) Taufiq Wr. Hidayat dilahirkan di Dusun Sempi, Desa Rogojampi, Kab. Banyuwangi. Taufiq dibesarkan di Desa Wongsorejo Banyuwangi. Menempuh pendidikan di UNEJ pada fakultas Sastra Indonesia. Karya-karyanya yang telah terbit adalah kumpulan puisi “Suluk Rindu” (YMAB, 2003), “Muncar Senjakala” [PSBB (Pusat Studi Budaya Banyuwangi), 2009], kumpulan cerita “Kisah-kisah dari Timur” (PSBB, 2010), “Catatan” (PSBB, 2013), “Sepotong Senja, Sepotong Malam, Sepotong Roti” (PSBB, 2014), “Dan Badut Pun Pasti Berlalu” (PSBB, 2017), “Serat Kiai Sutara” (PSBB, 2018). “Kitab IBlis” (PSBB, 2018), “Agama Para bajingan” (PSBB, 2019), dan Buku terbarunya “Kitab Kelamin” (PSBB, 2019). Tinggal di Banyuwangi, Sekarang Sebagai Ketua Lesbumi PCNU Banyuwangi.
http://sastra-indonesia.com/2020/04/para-pendosa/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar