Sabtu, 06 Juni 2020

Indonesia: Sebuah Kejutan

Goenawan Mohamad
Antara, 19 Okt 2011

"...sabuk zamrud di khatulistiwa" —Multatuli (1820-1887)

Sebuah metafora bisa memikat, juga ketika ia meleset. Gambaran Multatuli tentang kepulauan ini (ia belum menyebutnya "Indonesia") berulang-ulang dikutip para pemimpin pergerakan nasional di awal abad ke-20. Tapi kiasan adalah kiasan, bukan batasan.

"Zamrud" atau "smaragd" (kalimat Multatuli, "de gordel van smaragd") berasal dari bahasa Yunani, smaragdos: "batu mulia yang berwarna hijau". Indahnya mempesona. Ia memang bisa mengingatkan kita akan kesegaran hutan tropis yang tak habis-habis. Tapi zamrud yang keras dan ditatah itu, ketika tampak sebagai "sabuk" (gordel), adalah sesuatu yang telah jadi...

Sementara itu, 17.000 pulau yang "sambung menyambung menjadi satu" ("itulah Indonesia", kata sebuah lagu nasional) adalah sebuah ruang yang tak pernah selesai. Ia tak berhenti diproduksi. Proses persambungan itu terjadi lebih dahulu sebelum yang 17.000 itu "menjadi satu", dan ia akan berlangsung terus selepas itu.

Sebab keadaan "menjadi satu" selalu menuntut untuk dilihat kembali dan dikerjakan ulang. Sebab "satu" adalah angka yang penuh teka-teki. Kita tak selamanya pasti benarkah ada sebuah "satu" yang tanpa celah, tanpa kurang, dan tanpa turah. Terutama jika ia merupakan transformasi dari "tujuh belas ribu".

Yang kita tahu: sebuah ruang telah, tengah, dan akan terjadi.
***

Manusia memproduksikan ruang, dan sebuah ruang sosial tumbuh.

Ada saat ketika ruang hadir sebagai sesuatu yang dikonsepkan. Ini adalah ruang sebagaimana yang dihadapi pembangun rumah dan ladang, arsitek, pakar tata kota, perancang administrasi regional, teknokrat perekonomian nasional, juga ahli rekayasa sosial.

Saya akan menyebutnya sebagai "ruang L", singkatan dari "lurus", "linear", "lekas".

"Ruang L" ini amat berperan di tiap masyarakat. Dialah yang membentuk tata modern, dan sebaliknya juga dibentuk oleh tatanan tersebut. Ia mudah diterjemahkan dalam desain, huruf, dan angka. Ia tampak terang sebagai hitam di atas putih. Ia mudah dikendalikan dan dipakai buat mengendalikan.

Tapi ia bukan segala-galanya.

Ada yang lain ketika ruang sosial diproduksi dalam sejarah: ruang yang secara langsung dihuni manusia dengan tubuhnya—dari mana lahir adat, legenda, dan pelbagai laku simbolik lain. Ialah yang disebut dalam kenangan, harapan, dan kecemasan, dan sebab itu tak mudah disalin dalam aksara dan cetakbiru. Ruang "representasional" ini saya sebut "R", singkatan dari "rekalsitran", "rumit", "redup".

Sejarah 17.000 pulau ini sering merupakan benturan, atau tarik-menarik antara ruang "L" dan ruang "R" dan manusia yang berinteraksi dengan keduanya, serentak atau berganti-ganti.

Ruang "L" mendorong kita menarik garis yang lempang dan tunggal. Di sini pembakuan dan penyeragaman berperan penting. Tapi di pihak sana, ruang "R" selalu mrucut dari jangkauan lengkap "L". Ia tak selamanya jelas, ia merepotkan, ia beda yang tak kunjung reda. Penyatuan keduanya membutuhkan manajemen pengelolaan bagi perbedaan-perbedaan yang ada. Tentunya dengan penanganan yang hati-hati.

Di ruang "L", manusia mengelola perbedaan sebagaimana ia mengelola Taman Mini: deretan 17.000 pulau, 450 bahasa, dan entah berapa logat, hukum adat, dan agama itu direpresentasikan sebagai deret satuan yang tetap, ibarat anjungan yang tampak pada latar yang serupa. Tapi "Taman Mini" ini, dengan niat baik "multikultural" sekalipun, mengabaikan ruang "R". Para penyelia ruang "L" condong membakukan (yang berarti juga membekukan) selisih pelbagai arus yang saling tak cocok, malah bentrok, yang remang-remang dan berubah sewaktu-waktu dan umumnya luput dari klasifikasi.

Mereka yang melihat dunia sebagai ruang "L"—para pejabat departemen, perwira teritorial, penguasa real estate—tak akan pernah sepenuhnya berhasil memproduksikan ruang sebagaimana yang mereka niatkan. Sebab ruang "R" adalah tempat yang hidup; ia bicara dengan lambang dan isyaratnya, dengan gema ingatan dan traumanya, dengan endapan sejarah atau bawah-sadar sosialnya. Dalam diagram dan tulisan, di ruang "L" orang hanya bisa menangkap beberapa aspek ruang "R" saja. Selebihnya tak terjabarkan.

Adapun bermacam-macam mereka yang hidup dengan kesadaran dan ketaksadaran dalam ruang "R" tak selamanya menampik bila dunia kehidupan mereka disalin ke dalam ruang "L". Terkadang mereka malah menikmatinya. Tapi lebih sering mereka ingkar. Pada akhirnya, memberontak atau tidak, para "pengguna" ruang ini berada dalam posisi yang berseberangan dengan para "produser" ruang di balik desain besar.

Itu sebabnya 17.000 pulau yang dibayangkan sebagai ruang sebentuk "komunitas" atau "bangsa" itu bukanlah satu himpunan yang telah dinubuatkan.

Begitu juga "negara-bangsa" adalah sebuah simbiosis yang tak selamanya stabil antara ruang "L" dan ruang "R", antara bangunan yang dikonstruksikan dan wilayah yang telah terbentang bersama sejarah. Nasionalisme-lah yang berupaya menyediakan wacana bagi simbiosis itu. Nasionalisme-lah yang memberi tampilan rasionalitas pada penyatuan tersebut.

Renungan Bennedict Anderson dalam Imagined Communities menunjukkan ideologi ini lahir dengan bayang-bayang gairah keagamaan yang digantikannya, termasuk sisinya yang tak rasional: nasionalisme-lah yang secara sekuler mengubah, misalnya "Indonesia", dari sesuatu yang sebetulnya bisa berakhir jadi sesuatu yang seakan-akan kekal, sesuatu yang belum tentu jadi sebuah makna, sesuatu yang kebetulan jadi takdir.

Tapi justru sebab itu betapa tak pastinya wacana nasionalisme bisa berhasil. Ruang yang dibentuk itu, seperti saya katakan di atas, bagaimana juga sebuah ruang politik: di sana kekuasaan, bentrokan, dan persaingan berlangsung. Sebuah "komunitas yang dibayangkan" tak pernah dibayangkan secara universal. Ia selamanya hasil dari satu pihak yang secara dominan membayangkannya—pihak pemegang hegemoni tapi fana...

Yang mengagumkan pada nasionalisme ialah bahwa ia, dalam ketakpastiannya, tampil menguak takdir—seraya ia sendiri seakan-akan suara takdir.
***

Sebuah untaian 17.000 pulau yang tampak bagaikan "sabuk zamrud di khatulistiwa" adalah sebuah tamasya yang hanya bisa disaksikan dari angkasa. Artinya: dari ruang yang tak tersentuh waktu.

Di bumi, ruang dan waktu saling membentuk. "Garis Wallace", celah yang memisahkan Bali dan Lombok, Kalimantan dan Sulawesi—hingga berbeda benar fauna di kedua belahan 17.000 pulau itu—adalah contohnya: dulu Benua Asia tak berujung di pantai Cina dan semenanjung Malaysia, melainkan mencakup sampai Kalimantan dan Bali. Tarikh Pleistocene, yang berlangsung dua juta tahun sampai 10 ribu tahun yang lalu, membuat muka bumi berubah. Masa beku berganti-ganti dengan masa hangat. Unggunan es mencair dan terbentuk, laut dan pulau pun terjadi, benua bertaut atau berpisah. Geografi adalah sejarah.

Tapi ada masanya ketika proses saling bentuk antara ruang dan waktu itu berubah. Dominasi ruang "L" atas ruang "R"—yang menandai modernitas—menunjukkan perubahan itu.

Waktu akhirnya memang hanya direkam dalam alat pengukur dan jam, buat fungsi yang terpisah-pisah. Waktu sebagai sesuatu yang dihayati dalam ruang "R", waktu yang dekat dengan tubuh dan simbol kehidupan bersama—pakuwon Jawa, perhitungan hari baik, pesta panen, ritus potong gigi atau sunat—telah nyaris kehilangan makna. Ia jadi waktu dalam ruang "L": diterjemahkan secara visual dalam angka dan huruf, dapat dibagi-bagi, dikerat dan diciutkan, dan bahkan dapat dihapus seakan-akan tak ada. Atau jadi komoditas: dihargai karena bisa dipertukarkan dengan uang.

Tentu saja ketika negara-bangsa bekerja, ia butuh keajekan dan kepastian, dan waktu pun harus diubah jadi unit matematis: ke-17.000 pulau ini pun dibagi dalam "Waktu Indonesia Bagian Barat" dan "Bagian Timur".

Namun, waktu yang sesungguhnya selalu luput dari pembagian. Ia seperti sebuah arus misterius yang mendesakkan perubahan-perubahan. Gugusan kepulauan itu, yang dari langit nampak berkilau bak untaian permata, tak pernah tetap sama. Bagi saya, ia adalah percikan yang mengisyaratkan bahwa selalu ada sebuah ruang yang memikat dan tidak sepenuhnya berhasil ditundukkan. Sebuah kejutan.

http://www.facebook.com/notes/catatan-fesbuk/goenawan-mohamad-indonesia-sebuah-kejutan/291209664241239

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

20 Tahun Kebangkitan Sastra-Teater Lamongan A Jalal A. Anzieb A. Khoirul Anam A. Mustofa Bisri A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja Abdoel Moeis Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdullah Abubakar Batarfie Abdurrahman Wahid Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Acep Iwan Saidi Achdiat K. Mihardja Achiar M Permana Adek Alwi Adhi Pandoyo Adib Baroya Aditya Ardi N Adri Sandra Adu Pesona Sang Wakil Cawapres RI Afrizal Malna Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agus Buchori Agus Dermawan T. Agus Mulyadi Agus Prasmono Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahmad Farid Yahya Ahmad Hasan MS Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Saifullah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alawi Al-Bantani Alfatihatus Sholihatunnisa Alfian Dippahatang Ali Audah Alim Bakhtiar Amie Williams Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amril Taufik Gobel An. Ismanto Andhi Setyo Wibowo Andi Andrianto Andong Buku #3 AndongBuku #3 Andrea Hirata Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Antologi Sastra Lamongan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Arafat Nur Ardi Wina Saputra Ardy Suryantoko Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arman A.Z. Arsyad Indradi Asarpin Ashimuddin Musa Asrul Sani Astuti Ananta Toer Atafras Audifax Awalludin GD Mualif Ayu Nuzul Azizah Hefni B Kunto Wibisono Bahrul Amsal Bambang Kempling Beni Setia Benny Benke Beno Siang Pamungkas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bloomberg Bre Redana Budaya Budi Darma Buldanul Khuri Bustan Basir Maras Candra Adikara Irawan Candrakirana Cangaan Ujungpangkah Gresik Jawa Timur Capres Cawapres 2019 Catatan Ceramah Cerpen Chairil Anwar Chicilia Risca CNN Indonesia Coronavirus COVID-19 D. Zawawi Imron Damiri Mahmud Darju Prasetya Darman Moenir Deddy Arsya Denny JA Denny Mizhar Devy Kurnia Alamsyah Dhoni Zustiyantoro Dian Sukarno Didin Tulus Dien Makmur Din Saja Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Donny Anggoro Donny Darmawan Dr. Hilma Rosyida Ahmad Dwi Cipta Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Dyah Ayu Fitriana Ecep Heryadi Edy Suprayitno Eka Budianta Eka Kurniawan Elok Dyah Messwati Engkos Kosnadi Erdogan Erwin Setia Esai Esti Nuryani Kasam Evan Ys F. Budi Hardiman F. Rahardi Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Fahrur Rozi Faidil Akbar Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathul Qorib Fatkhul Anas Feby Indirani Felix K. Nesi Festival Teater Religi Festival Teater Religi Pelajar SLTA Se-kabupaten Lamongan Fira Basuki Forum Santri Nasional (FSN) Frischa Aswarini Fuad Mardhatillah UY Tiba Fuad Nawawi Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gde Artawan Geger Riyanto Geguritan Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Guenter Grass Gus Ahmad Syauqi Gus tf Gusti Eka Habib Bahar bin Smith Haiku Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Han Gagas Hary B Koriun Hasan Basri Hasnan Bachtiar Heri Ruslan Herman Hesse Hertha Mueller Heru Kurniawan Hestri Hurustyanti Holy Adib Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu I Made Prabaswara I Made Sujaya IAI TABAH (Institut Agama Islam Tarbiyatut Tholabah) Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Iksaka Banu Imam Jazuli Imam Nawawi Imammuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Mahadi Indra Tjahyadi Irfan Afifi Irine Rakhmawati Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS J.S. Badudu Jadid Al Farisy Jajang R Kawentar Jawa Timur Jean Marie Gustave le Clezio JJ. Kusni Jl Raya Simo Sungelebak Jo Batara Surya John H. McGlynn Jordaidan Rizsyah Jual Buku Paket Hemat Juara 3 Lomba Lompat Jauh DISPORA LAMONGAN Jurnalisme Sastrawi K.H. Ma'ruf Amin Kadek Suartaya Kaheesa Kirania Putri Ayu Kahfie Nazaruddin Kalis Mardiasih Kamaluddin Ramdhan Kanti W. Janis Karanggeneng Kardono Setyorakhmadi Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Pantura (KBP) KetemuBuku Jombang KH. M. Najib Muhammad KH. Muhammad Amin (1910-1949) Khairul Mufid Jr Khawas Auskarni Khoirul Abidin Khoshshol Fairuz Ki Ompong Sudarsono Kitab Arbain Nawawi Kodrat Setiawan Kompas TV Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA) Komunitas Sastra dan Teater Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Komunitas-komunitas Teater di Lamongan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Luar Biasa Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) Kopuisi Kostela Kritik Sastra Kumpulan Cerita Buntak Kurnia Effendi Kuswaidi Syafi’ie L Ridwan Muljosudarmo L.K. Ara Lamongan Lan Fang Lawi Ibung Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Literasi Liza Wahyuninto Lukas Luwarso Lukisan Lukman Lukman Santoso Az Lutfi Mardiansyah M Farid W Makkulau M. Faizi M.D. Atmaja Madrasah Aliyah Matholi'ul Anwar Madrasah Ibtida’iyah Thoriqotul Hidayah 1 Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S Mahayana Manado Manneke Budiman Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mario F. Lawi Marsel Robot Martin Aleida Marwanto Mashuri Massayu Masuki M. Astro Masyhudi Media Seputar Pendidikan Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Purnama di Kampung Halaman Mereka yang Menjerat Gus Dur MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mien Uno Moh. Dzunnurrain Moh. Jauhar al-Hakimi Mohammad Rafi Azzamy Mohammad Rokib Mohammad Yamin Muafiqul Khalid MD Much. Khoiri Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alfatih Suryadilaga Muhammad Antakusuma Muhammad Fikry Mauludy Muhammad Hafil Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad N. Hassan Muhammad Subarkah Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Muhyiddin Mukadi Mukani Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Musa Ismail Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang E S Nara Ahirullah Naskah Teater Nezar Patria Noor H. Dee Nunus Supardi Nur Haryanto Nur Wachid Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Okky Madasari Olivia Kristina Sinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pagelaran Musim Tandur Palupi Panca Astuti Pameran Lukisan Parimono V / 40 Plandi Jombang PC. Lesbumi NU Babat PDS HB Jassin Pelukis Dahlan Kong Pelukis Tarmuzie Penculikan Aktivis 1988 Pendidikan Pengajian Pengarang kelahiran Lamongan Pentigraf Pepaosan Perbincangan Peringatan Hari Pahlawan 10 November Pilang Tejoasri Laren Lamongan Jawa Timur Pipiet Senja Politik Pondok Pesantren Ali Bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Jokowi Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi (PMK) Puji Santosa Pustaka LaBRAK PUstaka puJAngga R. Ng. Ronggowarsito Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rasanrasan Boengaketji Raudlotul Immaroh Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Reuni dan Halal Bihalal Mts Putra-Putri Simo 1992 Ribut Wijoto Riki Antoni Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Robin Al Kautsar Rodli TL Roland Barthes Rosi Rosihan Anwar RR Miranda Rumah Budaya Pantura (RBP) S. Jai S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabrank Suparno Safitri Ningrum Sainul Hermawan Sajak Salman Aristo Sandiaga Uno Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Sastra Tasikmalaya (SST) Sarasehan dan Launching Buku Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Kuno Suku Sasak Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Satu Jam Sastra Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSAstra Boenga Ketjil Seni Gumira Ajidarma Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seputar Sastra Pendidikan Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sirdjanul Ghufron Siwi Dwi Saputro Slamet Rahardjo Rais Soediro Satoto Soekarno Soeparno S. Adhy Soesilo Toer Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Sri Handi Lestari Sri Wintala Achmad STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sujatmiko Sukarno Suminto A. Sayuti Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahrudin Attar Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari Sylvianita Widyawati Tangguh Pitoyo Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Ilat Teater nDrinDinG Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tias Tatanka Timur Sinar Suprabana Titi Aoska Tiyasa Jati Pramono Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Toni Masdiono Tri Broto Wibisono TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Tulus Wijanarko Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Jember Universitas Negeri Jember Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyu Aji Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Wiji Thukul Wildan Nugraha Wildana Wargadinata Yanusa Nugroho Yasraf Amir Piliang Yerusalem Ibu Kota Palestina Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhi Herwibowo Yuditeha Yusri Fajar Yuval Noah Harari Zainal Arifin Thoha Zainuddin Sugendal Zara Zettira ZR Zehan Zareez Zuhdi Swt