Goenawan Mohamad
Antara, 19 Okt 2011
"...sabuk zamrud di khatulistiwa" —Multatuli (1820-1887)
Sebuah metafora bisa memikat, juga ketika ia meleset. Gambaran Multatuli tentang kepulauan ini (ia belum menyebutnya "Indonesia") berulang-ulang dikutip para pemimpin pergerakan nasional di awal abad ke-20. Tapi kiasan adalah kiasan, bukan batasan.
"Zamrud" atau "smaragd" (kalimat Multatuli, "de gordel van smaragd") berasal dari bahasa Yunani, smaragdos: "batu mulia yang berwarna hijau". Indahnya mempesona. Ia memang bisa mengingatkan kita akan kesegaran hutan tropis yang tak habis-habis. Tapi zamrud yang keras dan ditatah itu, ketika tampak sebagai "sabuk" (gordel), adalah sesuatu yang telah jadi...
Sementara itu, 17.000 pulau yang "sambung menyambung menjadi satu" ("itulah Indonesia", kata sebuah lagu nasional) adalah sebuah ruang yang tak pernah selesai. Ia tak berhenti diproduksi. Proses persambungan itu terjadi lebih dahulu sebelum yang 17.000 itu "menjadi satu", dan ia akan berlangsung terus selepas itu.
Sebab keadaan "menjadi satu" selalu menuntut untuk dilihat kembali dan dikerjakan ulang. Sebab "satu" adalah angka yang penuh teka-teki. Kita tak selamanya pasti benarkah ada sebuah "satu" yang tanpa celah, tanpa kurang, dan tanpa turah. Terutama jika ia merupakan transformasi dari "tujuh belas ribu".
Yang kita tahu: sebuah ruang telah, tengah, dan akan terjadi.
***
Manusia memproduksikan ruang, dan sebuah ruang sosial tumbuh.
Ada saat ketika ruang hadir sebagai sesuatu yang dikonsepkan. Ini adalah ruang sebagaimana yang dihadapi pembangun rumah dan ladang, arsitek, pakar tata kota, perancang administrasi regional, teknokrat perekonomian nasional, juga ahli rekayasa sosial.
Saya akan menyebutnya sebagai "ruang L", singkatan dari "lurus", "linear", "lekas".
"Ruang L" ini amat berperan di tiap masyarakat. Dialah yang membentuk tata modern, dan sebaliknya juga dibentuk oleh tatanan tersebut. Ia mudah diterjemahkan dalam desain, huruf, dan angka. Ia tampak terang sebagai hitam di atas putih. Ia mudah dikendalikan dan dipakai buat mengendalikan.
Tapi ia bukan segala-galanya.
Ada yang lain ketika ruang sosial diproduksi dalam sejarah: ruang yang secara langsung dihuni manusia dengan tubuhnya—dari mana lahir adat, legenda, dan pelbagai laku simbolik lain. Ialah yang disebut dalam kenangan, harapan, dan kecemasan, dan sebab itu tak mudah disalin dalam aksara dan cetakbiru. Ruang "representasional" ini saya sebut "R", singkatan dari "rekalsitran", "rumit", "redup".
Sejarah 17.000 pulau ini sering merupakan benturan, atau tarik-menarik antara ruang "L" dan ruang "R" dan manusia yang berinteraksi dengan keduanya, serentak atau berganti-ganti.
Ruang "L" mendorong kita menarik garis yang lempang dan tunggal. Di sini pembakuan dan penyeragaman berperan penting. Tapi di pihak sana, ruang "R" selalu mrucut dari jangkauan lengkap "L". Ia tak selamanya jelas, ia merepotkan, ia beda yang tak kunjung reda. Penyatuan keduanya membutuhkan manajemen pengelolaan bagi perbedaan-perbedaan yang ada. Tentunya dengan penanganan yang hati-hati.
Di ruang "L", manusia mengelola perbedaan sebagaimana ia mengelola Taman Mini: deretan 17.000 pulau, 450 bahasa, dan entah berapa logat, hukum adat, dan agama itu direpresentasikan sebagai deret satuan yang tetap, ibarat anjungan yang tampak pada latar yang serupa. Tapi "Taman Mini" ini, dengan niat baik "multikultural" sekalipun, mengabaikan ruang "R". Para penyelia ruang "L" condong membakukan (yang berarti juga membekukan) selisih pelbagai arus yang saling tak cocok, malah bentrok, yang remang-remang dan berubah sewaktu-waktu dan umumnya luput dari klasifikasi.
Mereka yang melihat dunia sebagai ruang "L"—para pejabat departemen, perwira teritorial, penguasa real estate—tak akan pernah sepenuhnya berhasil memproduksikan ruang sebagaimana yang mereka niatkan. Sebab ruang "R" adalah tempat yang hidup; ia bicara dengan lambang dan isyaratnya, dengan gema ingatan dan traumanya, dengan endapan sejarah atau bawah-sadar sosialnya. Dalam diagram dan tulisan, di ruang "L" orang hanya bisa menangkap beberapa aspek ruang "R" saja. Selebihnya tak terjabarkan.
Adapun bermacam-macam mereka yang hidup dengan kesadaran dan ketaksadaran dalam ruang "R" tak selamanya menampik bila dunia kehidupan mereka disalin ke dalam ruang "L". Terkadang mereka malah menikmatinya. Tapi lebih sering mereka ingkar. Pada akhirnya, memberontak atau tidak, para "pengguna" ruang ini berada dalam posisi yang berseberangan dengan para "produser" ruang di balik desain besar.
Itu sebabnya 17.000 pulau yang dibayangkan sebagai ruang sebentuk "komunitas" atau "bangsa" itu bukanlah satu himpunan yang telah dinubuatkan.
Begitu juga "negara-bangsa" adalah sebuah simbiosis yang tak selamanya stabil antara ruang "L" dan ruang "R", antara bangunan yang dikonstruksikan dan wilayah yang telah terbentang bersama sejarah. Nasionalisme-lah yang berupaya menyediakan wacana bagi simbiosis itu. Nasionalisme-lah yang memberi tampilan rasionalitas pada penyatuan tersebut.
Renungan Bennedict Anderson dalam Imagined Communities menunjukkan ideologi ini lahir dengan bayang-bayang gairah keagamaan yang digantikannya, termasuk sisinya yang tak rasional: nasionalisme-lah yang secara sekuler mengubah, misalnya "Indonesia", dari sesuatu yang sebetulnya bisa berakhir jadi sesuatu yang seakan-akan kekal, sesuatu yang belum tentu jadi sebuah makna, sesuatu yang kebetulan jadi takdir.
Tapi justru sebab itu betapa tak pastinya wacana nasionalisme bisa berhasil. Ruang yang dibentuk itu, seperti saya katakan di atas, bagaimana juga sebuah ruang politik: di sana kekuasaan, bentrokan, dan persaingan berlangsung. Sebuah "komunitas yang dibayangkan" tak pernah dibayangkan secara universal. Ia selamanya hasil dari satu pihak yang secara dominan membayangkannya—pihak pemegang hegemoni tapi fana...
Yang mengagumkan pada nasionalisme ialah bahwa ia, dalam ketakpastiannya, tampil menguak takdir—seraya ia sendiri seakan-akan suara takdir.
***
Sebuah untaian 17.000 pulau yang tampak bagaikan "sabuk zamrud di khatulistiwa" adalah sebuah tamasya yang hanya bisa disaksikan dari angkasa. Artinya: dari ruang yang tak tersentuh waktu.
Di bumi, ruang dan waktu saling membentuk. "Garis Wallace", celah yang memisahkan Bali dan Lombok, Kalimantan dan Sulawesi—hingga berbeda benar fauna di kedua belahan 17.000 pulau itu—adalah contohnya: dulu Benua Asia tak berujung di pantai Cina dan semenanjung Malaysia, melainkan mencakup sampai Kalimantan dan Bali. Tarikh Pleistocene, yang berlangsung dua juta tahun sampai 10 ribu tahun yang lalu, membuat muka bumi berubah. Masa beku berganti-ganti dengan masa hangat. Unggunan es mencair dan terbentuk, laut dan pulau pun terjadi, benua bertaut atau berpisah. Geografi adalah sejarah.
Tapi ada masanya ketika proses saling bentuk antara ruang dan waktu itu berubah. Dominasi ruang "L" atas ruang "R"—yang menandai modernitas—menunjukkan perubahan itu.
Waktu akhirnya memang hanya direkam dalam alat pengukur dan jam, buat fungsi yang terpisah-pisah. Waktu sebagai sesuatu yang dihayati dalam ruang "R", waktu yang dekat dengan tubuh dan simbol kehidupan bersama—pakuwon Jawa, perhitungan hari baik, pesta panen, ritus potong gigi atau sunat—telah nyaris kehilangan makna. Ia jadi waktu dalam ruang "L": diterjemahkan secara visual dalam angka dan huruf, dapat dibagi-bagi, dikerat dan diciutkan, dan bahkan dapat dihapus seakan-akan tak ada. Atau jadi komoditas: dihargai karena bisa dipertukarkan dengan uang.
Tentu saja ketika negara-bangsa bekerja, ia butuh keajekan dan kepastian, dan waktu pun harus diubah jadi unit matematis: ke-17.000 pulau ini pun dibagi dalam "Waktu Indonesia Bagian Barat" dan "Bagian Timur".
Namun, waktu yang sesungguhnya selalu luput dari pembagian. Ia seperti sebuah arus misterius yang mendesakkan perubahan-perubahan. Gugusan kepulauan itu, yang dari langit nampak berkilau bak untaian permata, tak pernah tetap sama. Bagi saya, ia adalah percikan yang mengisyaratkan bahwa selalu ada sebuah ruang yang memikat dan tidak sepenuhnya berhasil ditundukkan. Sebuah kejutan.
http://www.facebook.com/notes/catatan-fesbuk/goenawan-mohamad-indonesia-sebuah-kejutan/291209664241239
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
20 Tahun Kebangkitan Sastra-Teater Lamongan
A Jalal
A. Anzieb
A. Khoirul Anam
A. Mustofa Bisri
A. Rodhi Murtadho
A. Syauqi Sumbawi
A.P. Edi Atmaja
Abdoel Moeis
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdullah Abubakar Batarfie
Abdurrahman Wahid
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Acep Iwan Saidi
Achdiat K. Mihardja
Achiar M Permana
Adek Alwi
Adhi Pandoyo
Adib Baroya
Aditya Ardi N
Adri Sandra
Adu Pesona Sang Wakil Cawapres RI
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan MN
Agus Buchori
Agus Dermawan T.
Agus Mulyadi
Agus Prasmono
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunyoto
AH J Khuzaini
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Hasan MS
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Saifullah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alawi Al-Bantani
Alfatihatus Sholihatunnisa
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Alim Bakhtiar
Amie Williams
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amril Taufik Gobel
An. Ismanto
Andhi Setyo Wibowo
Andi Andrianto
Andong Buku #3
AndongBuku #3
Andrea Hirata
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Antologi Sastra Lamongan
Anton Wahyudi
Anugrah Gio Pratama
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia
Arafat Nur
Ardi Wina Saputra
Ardy Suryantoko
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Saifudin Yudistira
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Asarpin
Ashimuddin Musa
Asrul Sani
Astuti Ananta Toer
Atafras
Audifax
Awalludin GD Mualif
Ayu Nuzul
Azizah Hefni
B Kunto Wibisono
Bahrul Amsal
Bambang Kempling
Beni Setia
Benny Benke
Beno Siang Pamungkas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Bernando J. Sujibto
Binhad Nurrohmat
Bloomberg
Bre Redana
Budaya
Budi Darma
Buldanul Khuri
Bustan Basir Maras
Candra Adikara Irawan
Candrakirana
Cangaan Ujungpangkah Gresik Jawa Timur
Capres Cawapres 2019
Catatan
Ceramah
Cerpen
Chairil Anwar
Chicilia Risca
CNN Indonesia
Coronavirus
COVID-19
D. Zawawi Imron
Damiri Mahmud
Darju Prasetya
Darman Moenir
Deddy Arsya
Denny JA
Denny Mizhar
Devy Kurnia Alamsyah
Dhoni Zustiyantoro
Dian Sukarno
Didin Tulus
Dien Makmur
Din Saja
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Donny Anggoro
Donny Darmawan
Dr. Hilma Rosyida Ahmad
Dwi Cipta
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Dyah Ayu Fitriana
Ecep Heryadi
Edy Suprayitno
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Elok Dyah Messwati
Engkos Kosnadi
Erdogan
Erwin Setia
Esai
Esti Nuryani Kasam
Evan Ys
F. Budi Hardiman
F. Rahardi
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Fahrur Rozi
Faidil Akbar
Farah Noersativa
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathul Qorib
Fatkhul Anas
Feby Indirani
Felix K. Nesi
Festival Teater Religi
Festival Teater Religi Pelajar SLTA Se-kabupaten Lamongan
Fira Basuki
Forum Santri Nasional (FSN)
Frischa Aswarini
Fuad Mardhatillah UY Tiba
Fuad Nawawi
Galuh Tulus Utama
Gampang Prawoto
Gde Artawan
Geger Riyanto
Geguritan
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Guenter Grass
Gus Ahmad Syauqi
Gus tf
Gusti Eka
Habib Bahar bin Smith
Haiku
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hamka
Han Gagas
Hary B Koriun
Hasan Basri
Hasnan Bachtiar
Heri Ruslan
Herman Hesse
Hertha Mueller
Heru Kurniawan
Hestri Hurustyanti
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hujuala Rika Ayu
I Made Prabaswara
I Made Sujaya
IAI TABAH (Institut Agama Islam Tarbiyatut Tholabah)
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idrus
Ignas Kleden
Iksaka Banu
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imammuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra Intisa
Indra Mahadi
Indra Tjahyadi
Irfan Afifi
Irine Rakhmawati
Irwan Kelana
Isbedy Stiawan ZS
J.S. Badudu
Jadid Al Farisy
Jajang R Kawentar
Jawa Timur
Jean Marie Gustave le Clezio
JJ. Kusni
Jl Raya Simo Sungelebak
Jo Batara Surya
John H. McGlynn
Jordaidan Rizsyah
Jual Buku Paket Hemat
Juara 3 Lomba Lompat Jauh DISPORA LAMONGAN
Jurnalisme Sastrawi
K.H. Ma'ruf Amin
Kadek Suartaya
Kaheesa Kirania Putri Ayu
Kahfie Nazaruddin
Kalis Mardiasih
Kamaluddin Ramdhan
Kanti W. Janis
Karanggeneng
Kardono Setyorakhmadi
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Kemah Budaya Pantura (KBP)
KetemuBuku Jombang
KH. M. Najib Muhammad
KH. Muhammad Amin (1910-1949)
Khairul Mufid Jr
Khawas Auskarni
Khoirul Abidin
Khoshshol Fairuz
Ki Ompong Sudarsono
Kitab Arbain Nawawi
Kodrat Setiawan
Kompas TV
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA)
Komunitas Sastra dan Teater Lamongan
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Komunitas-komunitas Teater di Lamongan
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Luar Biasa Organisasi Kerja Sama Islam (OKI)
Kopuisi
Kostela
Kritik Sastra
Kumpulan Cerita Buntak
Kurnia Effendi
Kuswaidi Syafi’ie
L Ridwan Muljosudarmo
L.K. Ara
Lamongan
Lan Fang
Lawi Ibung
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M)
Literasi
Liza Wahyuninto
Lukas Luwarso
Lukisan
Lukman
Lukman Santoso Az
Lutfi Mardiansyah
M Farid W Makkulau
M. Faizi
M.D. Atmaja
Madrasah Aliyah Matholi'ul Anwar
Madrasah Ibtida’iyah Thoriqotul Hidayah 1
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Maman S Mahayana
Manado
Manneke Budiman
Maratushsholihah
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Magdalena Bhoernomo
Mario F. Lawi
Marsel Robot
Martin Aleida
Marwanto
Mashuri
Massayu
Masuki M. Astro
Masyhudi
Media Seputar Pendidikan
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Memoar Purnama di Kampung Halaman
Mereka yang Menjerat Gus Dur
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mien Uno
Moh. Dzunnurrain
Moh. Jauhar al-Hakimi
Mohammad Rafi Azzamy
Mohammad Rokib
Mohammad Yamin
Muafiqul Khalid MD
Much. Khoiri
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Alfatih Suryadilaga
Muhammad Antakusuma
Muhammad Fikry Mauludy
Muhammad Hafil
Muhammad Marzuki
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad N. Hassan
Muhammad Subarkah
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhidin M. Dahlan
Muhyiddin
Mukadi
Mukani
Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur
Musa Ismail
Mutia Sukma
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nanang E S
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nezar Patria
Noor H. Dee
Nunus Supardi
Nur Haryanto
Nur Wachid
Nurel Javissyarqi
Nurul Komariyah
Okky Madasari
Olivia Kristina Sinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pagelaran Musim Tandur
Palupi Panca Astuti
Pameran Lukisan
Parimono V / 40 Plandi Jombang
PC. Lesbumi NU Babat
PDS HB Jassin
Pelukis Dahlan Kong
Pelukis Tarmuzie
Penculikan Aktivis 1988
Pendidikan
Pengajian
Pengarang kelahiran Lamongan
Pentigraf
Pepaosan
Perbincangan
Peringatan Hari Pahlawan 10 November
Pilang Tejoasri Laren Lamongan Jawa Timur
Pipiet Senja
Politik
Pondok Pesantren Ali Bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan
Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang
Pramoedya Ananta Toer
Presiden Jokowi
Prosa
Puisi
Puisi Menolak Korupsi (PMK)
Puji Santosa
Pustaka LaBRAK
PUstaka puJAngga
R. Ng. Ronggowarsito
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rasanrasan Boengaketji
Raudlotul Immaroh
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Reuni dan Halal Bihalal Mts Putra-Putri Simo 1992
Ribut Wijoto
Riki Antoni
Riki Dhamparan Putra
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Roland Barthes
Rosi
Rosihan Anwar
RR Miranda
Rumah Budaya Pantura (RBP)
S. Jai
S.W. Teofani
Sabiq Carebesth
Sabrank Suparno
Safitri Ningrum
Sainul Hermawan
Sajak
Salman Aristo
Sandiaga Uno
Sanggar Lukis Alam
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang
Sanggar Sastra Tasikmalaya (SST)
Sarasehan dan Launching Buku
Sartika Sari
Sasti Gotama
Sastra Kuno Suku Sasak
Sastri Bakry
Satmoko Budi Santoso
Satu Jam Sastra
Satyagraha Hoerip
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSAstra Boenga Ketjil
Seni Gumira Ajidarma
Seni Rupa
Seno Gumira Ajidarma
Seputar Sastra Pendidikan
Sergi Sutanto
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sirdjanul Ghufron
Siwi Dwi Saputro
Slamet Rahardjo Rais
Soediro Satoto
Soekarno
Soeparno S. Adhy
Soesilo Toer
Soetanto Soepiadhy
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sosiawan Leak
Sri Handi Lestari
Sri Wintala Achmad
STKIP PGRI Ponorogo
Subagio Sastrowardoyo
Sudarmoko
Sujatmiko
Sukarno
Suminto A. Sayuti
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syahrudin Attar
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili
Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari
Sylvianita Widyawati
Tangguh Pitoyo
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater Ilat
Teater nDrinDinG
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Tias Tatanka
Timur Sinar Suprabana
Titi Aoska
Tiyasa Jati Pramono
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga
Toni Masdiono
Tri Broto Wibisono
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Tulus Wijanarko
Umar Fauzi
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Jember
Universitas Negeri Jember
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W.S. Rendra
Wage Daksinarga
Wahyu Aji
Warung Boengaketjil
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wiji Thukul
Wildan Nugraha
Wildana Wargadinata
Yanusa Nugroho
Yasraf Amir Piliang
Yerusalem Ibu Kota Palestina
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhi Herwibowo
Yuditeha
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Zainal Arifin Thoha
Zainuddin Sugendal
Zara Zettira ZR
Zehan Zareez
Zuhdi Swt
Tidak ada komentar:
Posting Komentar