Kata “serendipitas” berasal dari bahasa Inggris, serendipity,
yang populer sejak 28 Januari 1754. Orang pertama kali yang menggunakannya Horace
Walpole, yang menulis sepucuk surat untuk temannya yang bernama Horace Mann.
Walpole bercerita kepada temannya itu tentang sebuah penemuan berharga yang
selalu tidak disengaja sebelumnya.
Sebelum menjadi kosa kata baru dalam bahasa Inggris,
Serendip adalah sebuah buku fiksi yang berjudul “The Three Princes of Serendip,”
yang diterbitkan oleh Michele Tramezzino di Venice tahun 1557. Buku ini, buku
terjemahan dari bahasa Italia, yang berjudul “Peregrinaggio Di Tre Giovani
Figliuoli Del Re Di Serendippo.” Buku berbahasa Italia ini juga hasil
terjemahan oleh Cristoforo Armeno, yang menerjemahkan sebuah karya pujangga
Persia, Amir Khusrau, bertitel “Hasht-Bihisht” bertarikh 1302.
Serendip adalah kosa kata bahasa Persia klasik, sebagai
nama lain dari Sri Lanka. Ada banyak bunyi dalam mengucapkan kosa kata “Serendip”
ini, di antaranya Serendivis bagi orang-orang Romawi, Serandib bagi orang Arab,
dan Serendip bagi orang Persia. Apa pun lidah manusia membunyikannya, Serendip merujuk
pada Simhala (Sri Lanka) dalam Baghavata Purana dan Rajatarangini. Serendip
adalah kosa kata yang sakral sekali.
Serendipitas yang sakral ini menjadi ruh sains. Tuhan
menciptakan alam semesta sebagai gudang misteri, kemudian menyuruh manusia menyingkap
seluruh tabir misterinya. Manusia secara suka rela maupun terpaksa, atas
inisiatif sendiri atau stimulus eksternal, berusaha membongkar misteri
kehidupan. Pekerjaan membongkar misteri hidup ini, salah satunya, melalui
kerja-kerja saintifik. Proses penyingkapan misteri ini nyaris mengisi seluruh
abad manusia dalam sejarah, sejak purba hingga saat ini. Dalam bekerja
menyingkap misteri hayat, anak manusia mengalami serendipitas.
Dalam melakukan riset ilmiah, ada kalanya manusia
membangun hipotesis lebih dulu, lalu mencari data pembuktiannya. Ada kalanya,
hipotesis itu terkonfirmasi, namun lebih sering dikoreksi. Ada kalanya manusia
melakukan riset lapangan tanpa hipotesis apa pun, dan membiarkan kepala
peneliti kosong tanpa asumsi. Data-data temuan satu persatu saling melengkapi,
memberikan informasi yang lebih utuh. Namun, dua pola ini (berangkat dari
hipotesis awal maupun tidak) sama-sama selalu memberikan kejutan bagi manusia;
suatu penemuan yang tanpa disengaja. Ini serendipitas saintifik itu.
Serendipitas, nyaris merupakan karakter khas kerja saintifik.
Tidak ada satu ilmuan mengetahui secara akurat hasil akhir proposal risetnya
sebelum terjun lapangan melakukan riset. Riset ilmiah itu sendiri bertujuan menemukan
kebaharuan yang belum seorang pun mengetahuinya sekali pun harus merujuk ke
sejarah panjang masa lalu. Sehingga sebuah penemuan disebut betul-betul baru
hanya jika tidak terprediksi sejak awal sebelum penelitian. Di sinilah,
serendipitas itu terjadi. Ini alamiah, lazim, normal, karakter sains.
Serendipitas dengan begitu selalu menyisakan ruang
kemungkinan bagi hadirnya kebaruan, novelty, sebuah penelitian. Dari sini,
serendipitas tidak saja sakral sebagaimana asal katanya melainkan juga
saintifik, karena mencerminkan karakteristik kerja riset ilmiah. Sakralitas
serendipitas ini menguat dalam Islam, dan saya tidak tahu apa yang terjadi di
agama lain. Beberapa ayat berikut penting dibahas.
Pertama-tama, Tuhan mendefinisikan alam semesta secara
ontologis. Salah satu firman-Nya dalam al-Quran: “akan selalu Kami (Tuhan)
perlihatkan kepada mereka tanda-tanda Kami di ufuk-ufuk dan di dalam jiwa
mereka sampai menjadi jelas bagi mereka bahwa itulah kebenaran,” (Qs.
Fushshilat: 53).
Alam semesta (langit, galaksi, bintang, planet, orbit,
cahaya, etc.) maupun jiwa (ruh, kesadaran, perasaan, etc.) adalah tanda-tanda.
Sebatas tanda. Tidak lebih dari tanda. Karena alam semesta beserta isinya
sebatas sebagai tanda, tentu di balik tanda menyimpan segudang misteri. Dari
sana, tidak cukup Tuhan mendefinisikan alam semesta secara ontologis. Kebutuhan
dasar berikutnya adalah tentang epistemologis, atau metode mengungkap misteri
di balik tanda.
Tuhan
menjelaskan metode pengungkapan misteri tanda tersebut, seperti dalam
firman-Nya: “tidakkah mereka melihat unta, bagaimana diciptakan? Langit,
bagaimana ditegakkan? Bumi, bagaimana dihamparkan?” (Qs. Al-Ghasyiah: 17-20).
Pertanyaan-pertanyaan bagaimana, mengapa, kenapa, apa, dan siapa adalah pertanyaan-pertanyaan
dalam batasan dan rumusan sebuah penelitian. Tanpa batasan dan rumusan masalah,
maka pendekatan dan kerangka teori sebuah penelitian tidak dapat dilanjutkan.
Ketika alam semesta sudah diperlakukan dengan benar,
sebagaimana pengertian ontologis dan epistemologis dari Tuhan, maka jaminannya
sudah pasti, pengetahuan baru yang tidak disangka-sangka sebelumnya. Inilah
serendipitas. Ketika pertanyaan-pertanyaan kritis diajukan, data-data
dikumpulkan sebanyak mungkin, lalu dianalisis secara tajam dan kritis, pada
akhirnya seorang peneliti mendapatkan kebaruan atau serendipitas.
Serendipitas ini lebih luas dan panjang dibahas oleh Imam
al-Ghazali dalam kitabnya berjudul ar-Risalah al-Ladunniyah (Epistemologi Ilmu
Ladunni). Ada dua jenis serendipitas, tapi yang kontekstual dengan topik sains
hanya satu, seperti yang ada dalam tulisan ini. Serendipitas itu sendiri
merupakan janji Allah swt yang berfirman: “Dia (Tuhan) mengajari manusia apa
pun yang belum diketahui,” (Qs. Al-‘Alaq: 5).
Ayat 5 surat al-‘Alaq ini bicara tentang hasil akhir
kerja penelitian, yakni mendapati kebaruan (novelty), yang belum diketahui
sebelumnya. Artinya, Tuhan menjamin akan menganugerahkan pengetahuan baru bagi
mereka yang sudah bekerja secara saintifik. Namun pengetahuan baru itu tetap
tidak dapat diprediksi sejak awal, sebelum penelitian dilakukan secara purna.
Pengetahuan baru itu akan menjadi serendipitas, bila diukur dari posisi calon
peneliti yang baru akan memulai kerja riset ilmiahnya.
Naifnya, kepongahan manusia terletak pada klaim. Mereka,
mengklaim secara subjektif bahwa pengetahuan yang diraih, diperoleh, dengan
jalur metodologis ilmiah-rasional-positivistik bebas dari “anugerah ilahiah,”
dan sepenuhnya hasil kerja keras banting tulang manusia. Klaim sepihak ini
tidak akan pernah menggoyahkan sedikit pun saintis beriman teguh berpegang kepada
Tuhan.
Segala jenis gonjang ganjing, saling serang, saling
merevisi, saling validasi, dan falsifikasi satu sama lain, bukan topik utama
bagi saintis muslim. Sebaliknya, hal itu akan dianggap sepenuhnya cara Tuhan
mengajari manusia untuk bekerja lebih profesional di dunia sains. Yakni, Fastabiqul
khoirot (berlomba-lomba dalam kebaikan). Dalam dunia sains, berlomba-lomba mencari
novelty. Itulah perintah utama Islam. Karena Tuhan sendiri berfirman: “sampai
menjadi jelas bagi mereka bahwa itulah kebenaran,” (Qs. Fushshilat: 53).
Sebelum kerja ilmiah tersebut melahirkan kebenaran,
proses pencarian jawaban dari segala jenis pertanyaan masih berlangsung, maka
saintis muslim yang berpegang teguh pada al-Quran, akan terus berpacu dalam
riset ilmiah, baik lewat pendekatan empiris-positifis maupun rasional-logis.
Orang muslim yang baik tidak akan meninggalkan al-Quran,
dan al-Quran sendiri mendorong, memacu, mewajibkan semangat saintifik, dan
kerja-kerja riset. Meninggalkan kerja-kerja riset ilmiah dan berpikir al-Quran
tidak mendorong ke arah sana ialah keyakinan keliru dalam Islam. Memang manusia
pertama kali lahir ke bumi tidak punya “sikap rasa ingin tahu yang besar pada
kehidupan”—meminjam istilah Lukas Luwarso (Facebook, 9/6/2020). Namun, setelah
tumbuh dewasa, manusia dihadapkan pada dorongan, perintah, dan kewajiban dari
al-Quran, misalnya.
Intinya, agama Islam sebagai penyebab dan faktor
pendorong kerja-kerja saintifik. Tidak cukup di situ saja, Islam dengan kitab
suci al-Quran juga berperan sebagai “reason for being (raison d’etre)” bagi
munculnya teori sains. Bahkan, wahyu pertama dalam Islam berbunyi: “bacalah
atas nama Tuhanmu yang menciptakan!,” (Qs. Al-‘Alaq: 1). Ayat ini berbicara
tentang alasan mengapa umat muslim harus menciptakan banyak teori saintifik.
Ayat 1 surat Al-‘Alaq ini dapat dibaca dengan dua cara:
pertama, sebagai alasan (raison d’etre) menciptakan teori-teori sains. Kedua,
sebagai alasan mengapa pencapaian sains dihubungkan pada dimensi Ilahiah. Dan melalui
ayat: “bacalah!”, umat muslim memiliki alasan meriset dan melahirkan teori baru
agar berkontribusi dalam peradaban sains. Dengan kebebasan berpikir di dalam
kerangka kerja membaca, umat muslim berkarya. Segala jenis disiplin ilmu
pengetahuan yang pernah ada dalam sejarah manusia, boleh ditekuni. Itu perintah
agama.
Melalui ayat: “atas nama Tuhanmu!”, umat muslim memiliki
alasan untuk tidak memisahkan agama dari prestasi sains. Sebaliknya, segala
prestasi ataupun pencapaian kerja saintifik harus diatasnamakan Tuhan, sebagai
sebuah persembahan, pengabdian, dan bukti telah menjalankan perintah.
Di titik inilah, saintis muslim berbeda identitas dengan
saintis lain. Tuhan dalam agama Islam tidak menuntut apa pun selain segala
prestasi kerja saintifik diatasnamakan kepada-Nya. Meriset bagi muslim adalah
menantikan anugerah Ilahiah, dan serendipitas atau penemuan berharga yang tidak
disangka-sangka merupakan perkara suci nan sakral dalam dunia sains Islam.
Serendipitas dalam sains Islam itu sakral sebagaimana
Serendip itu sendiri merujuk pada Kota Suci Sri Lanka yang juga sakral.
*) Imam Nawawi, santri. Tulisan sebelumnya: http://sastra-indonesia.com/2020/06/persetujuan-penuh-atas-interupsi-fransiscus-budi-hardiman/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar