Nara Ahirullah *
Radar Madura, 9 Feb 2011
Sastrawan, penulis yang juga seorang jurnalis Pramoedya Ananta Toer punya idola penulis juga bernama Idrus (Abdullah Idrus 1921-1979). Saat itu Pramoedya masih sangat muda, bertemu dengan penulis idolanya adalah impiannya. Dia selalu berharap bisa belajar pada Idrus.
Hingga suatu hari Pramoedya bersama seorang kawannya bisa bertemu dengan Idrus. Kata yang keluar dari mulut Idrus pada Pramoedya ternyata kurang enak didengarnya. "Oh ini Pram, Kau Tidak Menulis Pram, Kau Berak" kata Pramoedya menirukan kata-kata idolanya itu dalam sebuah film dokumenter di saat-saat terakhir hidupnya. Pramoedya tak berkata apa-apa, dia diam dan tak pernah lagi bicara pada Idrus meski masih mengidolakannya.
Sepotong cerita sarkastik dan vulgar dari Pramoedya itu bisa menjadi literasi menarik berkaitan dengan Hari Pers Nasional (HPN) ke-65 yang jatuh pada 9 Februari 2011 kemarin. Jika dikaji lebih dalam, cerita Pramoedya itu seakan menampar wajah pers dan produknya. Jangan-jangan sekarang banyak orang yang ingin bicara seperti itu pada jurnalis! Sebab, penyetaraan semacam itu mengingatkan bahwa produk jurnalisme sebaik apapun selalu mengandung kekurangan bagi orang lain.
Idrus mungkin punya ukuran sendiri tentang bagus atau jeleknya tulisan atau hasil penelusuran jurnalistik Pramoedya. Tapi yang jelas, hari ini semua jurnalis sudah dibatasi dengan kode etik jurnalisme. Dengan kode etik itu tidak ada lagi tulisan bagus atau tidak jelek. Produk jurnalisme sudah bergeser pada penilaian subjektif atau objektif.
Tumbuhkembangnya media massa pascareformasi seperti jamur di musim hujan membuat pergeseran nilai itu menjadi rumit. Sebab, media massa tidak hanya berebut informasi dan akurasi berita, tapi juga berebut kecepatan dan perhatian di hati pembacanya. Itu berkaitan juga dengan perebutan "kue" lainnya untuk menghidupi media-media yang bersaing itu.
Persaingan itu membawa jurnalisme dan media pada kehidupan pasar. Tapi, monopoli tidak akan tercipta sampai kapan pun di ranah media, meskipun selalu ada yang terbaik di antara yang banyak itu. Nah, untuk menjadi yang terbaik jelas bukan hal yang mudah. Bahkan, untuk mencapai itu pagar api integritas dan profesionalisme ditabrak, kode etik jurnalisme dilanggar. Sehingga, produk jurnalisme tak ubahnya seperti kotoran, tidak penting dan dibuang.
Di dunia jurnalisme dan media massa, kepercayaan masyarakat merupakan segala-galanya. Tanpa itu jurnalisme dan media massa tidak akan hidup apalagi tumbuh dan berkembang Sedangkan masyarakat saat ini begitu banyak kehilangan kepercayaan pada pilar demokrasi lainnya. Jadi jangan heran kalau jurnalis Mesir tetap bekerja di saat hampir semua warga di Mesir mogok kerja dan berunjuk rasa untuk menurunkan Hosni Mubarak. Itu semua untuk menjaga kepercayaan publik pada media.
Karena itu, peringatan HPN sebaiknya dimaknai dengan cara yang lebih inklusif dengan mengenal lebih dalam lagi profesi jurnalis. Cara mengenal diri sendiri itu akan menjadi dasar karya seorang jurnalis. Penilaian terhadap karya jurnalis menjadi mutlak menentukan nasib jurnalis dan media yang menaunginya. Kode etik jurnalisme harus dibaca lagi, dipahami dan dimanifestasikan dengan baik agar kepercayaan masyarakat terus tercipta. Sehingga, tulisan jurnalis, berita dan produk media massa tidak menjadi "berak", melainkan menjadi literasi yang objektif dan patut dihargai.
Buah dari penghargaan itu merupakan hal yang luar biasa bagi khalayak banyak. Karena menghargai jurnalis dan media berarti mengakui dan menghargai juga keberadaan publik yang berhak tahu kebenaran. Untuk tahu kebenaran maka memerlukan kekebasan informasi. Dengan catatan tidak menabrak pagar api integritas, profesionalisme dan melanggar kode etik jurnalis.
***
*) Nara Ahirullah, Ketua Primer Koperasi Pengelola Sampah (PKPS) Surabaya, Ketua Yayasan Kelola Sampah Indonesia (Yaksindo). Catatan ini diambil dari 'Kompasiana' penulisnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar