Kompas, 15 Mar 2009
Calon anggota legislatif telah ”memberi bukti” aktivisme mereka, yakni mengubah kota menjadi galeri terbuka, dengan isi pameran foto-foto wajah mereka sendiri. Dengan kata lain, haruslah mereka terima pula komentar terhadap ”karya seni” mereka tersebut meski jauh dari konteks yang mereka maksudkan sama sekali, sesuai dengan teori komunikasi mutakhir, bahwa bukan hanya komunikator, tetapi juga yang memandang foto itu sebagai penerima pesan merupakan produsen makna.
Kibul fotografi
Roland Barthes, yang mengatakan bahwa iklan merupakan usaha penciptaan mitologi baru, juga pernah melakukan perbincangan terhadap foto-foto para calon anggota legislatif di Perancis, yang tersebar dalam bentuk poster di berbagai tembok yang diizinkan untuk itu.
Sebetulnya Barthes melakukan analisis terhadap fotografi, yang tampaknya dipercaya memiliki daya untuk ngibul sehingga menarik diperiksa sebagai media representasi sebuah mitos. Disebutkannya bahwa fotografi memapankan hubungan antara para calon anggota legislatif ini dan para calon pemilih, yang menunjukkan betapa tawaran program saja tidak cukup, melainkan harus diikuti sugesti keadaan fisik: cara berpakaian, postur tubuh, tepatnya morfologi sebuah ungkapan.
Fotografi, dalam konteks foto-foto calon anggota legislatif Perancis itu, disebut antara lain seperti ingin memperbaiki sifat paternalistik dalam pemilihan umum. Fotografi merupakan pengikisan bahasa dan pemampatan atas yang tidak terkatakan secara sosial, menjadikannya senjata antiintelektual dengan semangat menyisihkan ’politik’ (sebagai lembaga problem dan solusi), untuk melaju sebagai status sosio-moral. Begitulah fotografi berada di atas segala pengetahuan atas sesuatu yang dalam dan irasional dengan ko-ekstensi dalam politik. Melalui foto, sang calon menjadi produk, contoh, dan umpan, bukan dari programnya, melainkan motifnya yang terdalam, keluarganya, mentalnya, bahkan lingkungan erotiknya, seluruh gaya hidupnya.
Demikianlah bagaimana ideologi tergambar dalam cara sang calon ingin disaksikan, yang kira-kira akan memperlihatkan kebermiripan latar sosial, kenyamanan spektakuler keluarga, norma-norma hukum dan agama, maupun xenofobia dengan calon para pemilihnya. Fotografi menjadi cermin, tempat pemandangnya diminta untuk membaca yang akrab dan diketahui; menawarkan kepada calon pemilih kebermiripannya sendiri, tetapi yang sudah diagungkan, diangkat secara luar biasa menjadi suatu gaya. Fotografi membuat sang calon menjadi delegasi dirinya sendiri, yakni para calon pemilih yang melihat dirinya terekspresikan dan terpahlawankan, terundang untuk memilih dirinya sendiri.
Maka, segenap ikonografi dalam foto-foto tersebut dimaksud untuk membermaknakan persilangan pikiran dan kehendak serta renungan dan tindakan, yang sesungguhnya menjadi pemerasan nilai-nilai moral menyangkut negara, keluarga, kehormatan, dan heroisme serampangan. Konvensi fotografi sendiri sudah penuh dengan tanda. Foto wajah yang memenuhi latar, kadang setengah sampai tiga perempat badan, menggarisbawahi tampak realistik sang calon, yang menyarankan tirani suatu cita-cita kesempurnaan. Wajah yang tersorot cahaya adialami (supernatural) mengangkatnya ke perwujudan kemanusiaan yang lebih tinggi—memapankan secara anggun kepentingan tersembunyi suatu Tatanan (Barthes: 1972, 91-3)
Esai ”Photography and Electoral Appeal” yang berasal dari kumpulan analisis kehidupan sehari-hari Perancis antara 1954-1956 dalam buku Mythologies (1957) tersebut, seperti disebutnya sendiri ditulis berdasarkan kerangka teoretis ganda; pertama, kritik ideologi atas bahasa yang disebut kebudayaan massa; kedua, usaha mengulas secara semiologis, cara kerja bahasa kebudayaan massa tersebut. Dalam hal pertama maupun kedua, Barthes telah dan selalu memberi contoh dari kehidupan budaya borjuis kecil (petit-bourgeois) Perancis yang dalam proses mistifikasi terubahkan menjadi ”universal”—dan karena itu dibongkarnya.
Membaca kepentingan tersembunyi
Dalam konteks catatan ini, contoh-contoh itu dialihkan kepada foto-foto calon anggota legislatif yang bertebaran di Indonesia, yang karena latar belakang persoalannya berbeda, tentu akan menghasilkan perbincangan berbeda pula.
Disebut tentang memapankan hubungan dengan pemilih, maka dapat diperiksa dari cara berbusana: apakah sudah sedaerah, seagama, sealiran, minimal satu selera? Di Yogya, dalam poster besar di tepi sawah, seorang calon anggota legislatif tampak mengenakan surjan dan belangkon, yang berarti jelas ia bermaksud meneguhkan ikatan dengan calon pemilih yang bersemangat kedaerahan.
Dari segala sisi memang bertebaran penanda-penanda yang menunjukkan orientasi calon anggota legislatif, tentu dengan merujuk kepada wacana dominan yang diandaikannya berada dalam kebudayaan para pemilih. Segera tampak, betapa pengandaiannya memang terwujudkan dalam bahasa umum yang dominan tersebut: cahaya (asal) terang pada wajah, senyum iklan pasta gigi, rambut rapi jali, yang secara langsung mendorong kesan keyakinan, kemandirian, keteguhan, bahkan keberanian, dan barangkali saja kepemimpinan, tetapi yang semuanya tidak bisa langsung menunjuk kepada kecerdasan maupun keanggunan.
Busana langsung mengarah kepada orientasi agama, kedaerahan, atau nasionalis. Namun tidak lebih. Semuanya busana resmi, pantas langsung dipakai kondangan, meski yang resmi termasuk juga seragam partai. Dalam hal ini, dibandingkan dengan foto-foto calon anggota legislatif Perancis, yang semuanya berhenti kepada jas dan dasi, tanpa penanda mana liberal mana komunis, foto-foto calon anggota legislatif di Indonesia jauh lebih “eksotik” (di Madura ada yang pakai destar dan kaus loreng merah putih), dan karena itu mungkin saja memberikan lebih banyak bahan perbincangan. Dari rakyat untuk rakyat. Para calon anggota legislatif, seperti tampak dalam representasi dirinya di jalanan, adalah juga produk komunitasnya. Jadi, menunjuk bangsa Indonesia juga.
Peci jelas merupakan penanda favorit sosio-moral, tetapi tidak selalu menunjuk keindonesiaan, lebih kepada aksesori kostum kedaerahan atau latar belakang keagamaan. Bolehkah calon non- Muslim mengenakan peci untuk mempertegas keindonesiaannya? Menarik juga untuk membaca kepentingan tersembunyi di balik gambar-gambar tersebut, yang apabila cara berbahasa atau sistem tandanya diperiksa, bahkan menjadi dua kali jelas: pertama, yang tersembunyi dapat dibaca; kedua, sistem tandanya menunjuk wacana dominan dalam kebudayaannya.
Wacana patriarki dan paternalistik
Di antara sejumlah kecenderungan, boleh diperhatikan betapa foto-foto para calon anggota legislatif ini kadang-kadang didampingi atau dilatarbelakangi foto orangtuanya yang heroik, atau ketua partainya. Kepentingan tersembunyinya terlalu jelas: kehebatan orangtuanya tentu menurun kepada anaknya, dan yang disebut orangtuanya ini hampir selalu bapaknya karena tidak penting benar siapa ibunya. Bahwa hanya bapak yang eksis dalam perbincangan jelas menunjuk kepada patriarki, dan bahwa potret diri mesti diiringi orangtua atau ketua partai adalah gambaran langsung dari wacana paternalistik. Menarik bahwa patriarki dan paternalisme itu memang tidak merupakan tabu, sebaliknya bahkan diteladankan, diandalkan, dan diunggulkan.
Dapat dikatakan bahwa siapa pun yang kelak memilih mereka sebetulnya merasa nyaman dan merasa berumah jiwa di dalam wacana tersebut. Wacana dominan yang dalam negosiasinya terhadap ”pluralisme” terkadang menganggap bapak sendiri atau ketua partai saja tidak cukup. Ada yang membawa-bawa Tuhan meski masih tahu diri dengan kalimat ”semoga Tuhan…”, simbol kekuasaan seperti kepala harimau (”raja rimba” ?) atau bahkan tampang David Beckham— tentu bukan Beckham sebagai pemain sepak bola yang dianggap uzur, tetapi Beckham sebagai ”bapak kesuksesan”. Perhatikan bagaimana peleburan kode spiritual, kode kekuasaan, dan kode kesuksesan (”urban”?) tercuatkan dalam tradisi purba (”primitif”?) paternalisme nan patriarkis, yang dalam suatu cara juga meliputi foto-foto perempuan calon anggota legislatif ini. Ah ya, memang ada foto perempuan ketua partai sebagai latar belakang, tetapi yang tidak mengubah wacana patriarkis sama sekali.
Betapapun, jika wacana dominan semacam itulah yang berproses dalam hegemoni kebudayaan tempat pemilihan calon anggota legislatif berlangsung, tampaknya pilihan atas kedahsyatan macam apa yang ingin ditawarkan memang terbatas. Apalagi jika wacananya, yakni himpunan gagasan dan praktik sosial budaya yang membentuknya sebagai subyek sosial, memang keberhinggaannya hanya sampai di sana sehingga ideologinya juga tidak bisa pergi ke mana-mana.
Siapa sudi kena kibul?
Kembali kepada Barthes, perbincangannya tentang fotografi dan pemilihan umum untuk memeriksa cara kerja kebudayaan sebetulnya diturunkan oleh teorinya yang sudah terlalu dikenal: bahwa dalam tiga tahap pembermaknaan, denotasi—konotasi—mitologi/ideologi, yang terakhir itu menjadi denotasi (”makna sebenarnya”) lagi, dan seterusnya. Ini berarti, meski setara dengan iklan, cara kerja bahasa foto-foto itu menunjuk suatu kenyataan juga: belum ada Malin Kundang dalam dunia politik Indonesia, yang berani melaju dengan gagasan baru tanpa restu tradisi (politik) lama.
Makanya, pembongkaran mitos dalam kampanye apa pun perlu dilakukan agar para pemilih yang tulus dan ikhlas tidak kena kibul.
***
*) SENO GUMIRA AJIDARMA lahir di Boston, 19 Juni 1958. Sastrawan, fotografer dan kritikus film Indonesia. Cerita pendeknya Pelajaran Mengarang terpilih sebagai Cerita Pendek Terbaik Kompas 1993. Buku kumpulan cerita pendeknya: Manusia Kamar (1988), Penembak Misterius (1993), Saksi Mata (l994), Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi (1995), Sebuah Pertanyaan untuk Cinta (1996), Iblis Tidak Pernah Mati (1999), juga beberapa novel seperti Matinya Seorang Penari Telanjang (2000). Di tahun 1987, mendapat Sea Write Award. Dan mendapat Khatulistiwa Literary Award, 2005. Berkat cerita pendeknya Saksi Mata, peroleh Dinny O’Hearn Prize for Literary, 1997. Kini ia tinggal di Jakarta dan mengajar matakuliah Kajian Media di FFTV-IKJ dan Kajian Sinema di Program Pascasarjana FIB UI.
http://sastra-indonesia.com/2009/03/fotografi-caleg-siapa-sudi-kena-kibul/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar