Jumat, 04 Desember 2020

Fotografi Caleg: Siapa Sudi Kena Kibul?

Seno Gumira Ajidarma *
Kompas, 15 Mar 2009
 
Calon anggota legislatif telah ”memberi bukti” aktivisme mereka, yakni mengubah kota menjadi galeri terbuka, dengan isi pameran foto-foto wajah mereka sendiri. Dengan kata lain, haruslah mereka terima pula komentar terhadap ”karya seni” mereka tersebut meski jauh dari konteks yang mereka maksudkan sama sekali, sesuai dengan teori komunikasi mutakhir, bahwa bukan hanya komunikator, tetapi juga yang memandang foto itu sebagai penerima pesan merupakan produsen makna.
 
Kibul fotografi
 
Roland Barthes, yang mengatakan bahwa iklan merupakan usaha penciptaan mitologi baru, juga pernah melakukan perbincangan terhadap foto-foto para calon anggota legislatif di Perancis, yang tersebar dalam bentuk poster di berbagai tembok yang diizinkan untuk itu.
 
Sebetulnya Barthes melakukan analisis terhadap fotografi, yang tampaknya dipercaya memiliki daya untuk ngibul sehingga menarik diperiksa sebagai media representasi sebuah mitos. Disebutkannya bahwa fotografi memapankan hubungan antara para calon anggota legislatif ini dan para calon pemilih, yang menunjukkan betapa tawaran program saja tidak cukup, melainkan harus diikuti sugesti keadaan fisik: cara berpakaian, postur tubuh, tepatnya morfologi sebuah ungkapan.
 
Fotografi, dalam konteks foto-foto calon anggota legislatif Perancis itu, disebut antara lain seperti ingin memperbaiki sifat paternalistik dalam pemilihan umum. Fotografi merupakan pengikisan bahasa dan pemampatan atas yang tidak terkatakan secara sosial, menjadikannya senjata antiintelektual dengan semangat menyisihkan ’politik’ (sebagai lembaga problem dan solusi), untuk melaju sebagai status sosio-moral. Begitulah fotografi berada di atas segala pengetahuan atas sesuatu yang dalam dan irasional dengan ko-ekstensi dalam politik. Melalui foto, sang calon menjadi produk, contoh, dan umpan, bukan dari programnya, melainkan motifnya yang terdalam, keluarganya, mentalnya, bahkan lingkungan erotiknya, seluruh gaya hidupnya.
 
Demikianlah bagaimana ideologi tergambar dalam cara sang calon ingin disaksikan, yang kira-kira akan memperlihatkan kebermiripan latar sosial, kenyamanan spektakuler keluarga, norma-norma hukum dan agama, maupun xenofobia dengan calon para pemilihnya. Fotografi menjadi cermin, tempat pemandangnya diminta untuk membaca yang akrab dan diketahui; menawarkan kepada calon pemilih kebermiripannya sendiri, tetapi yang sudah diagungkan, diangkat secara luar biasa menjadi suatu gaya. Fotografi membuat sang calon menjadi delegasi dirinya sendiri, yakni para calon pemilih yang melihat dirinya terekspresikan dan terpahlawankan, terundang untuk memilih dirinya sendiri.
 
Maka, segenap ikonografi dalam foto-foto tersebut dimaksud untuk membermaknakan persilangan pikiran dan kehendak serta renungan dan tindakan, yang sesungguhnya menjadi pemerasan nilai-nilai moral menyangkut negara, keluarga, kehormatan, dan heroisme serampangan. Konvensi fotografi sendiri sudah penuh dengan tanda. Foto wajah yang memenuhi latar, kadang setengah sampai tiga perempat badan, menggarisbawahi tampak realistik sang calon, yang menyarankan tirani suatu cita-cita kesempurnaan. Wajah yang tersorot cahaya adialami (supernatural) mengangkatnya ke perwujudan kemanusiaan yang lebih tinggi—memapankan secara anggun kepentingan tersembunyi suatu Tatanan (Barthes: 1972, 91-3)
 
Esai ”Photography and Electoral Appeal” yang berasal dari kumpulan analisis kehidupan sehari-hari Perancis antara 1954-1956 dalam buku Mythologies (1957) tersebut, seperti disebutnya sendiri ditulis berdasarkan kerangka teoretis ganda; pertama, kritik ideologi atas bahasa yang disebut kebudayaan massa; kedua, usaha mengulas secara semiologis, cara kerja bahasa kebudayaan massa tersebut. Dalam hal pertama maupun kedua, Barthes telah dan selalu memberi contoh dari kehidupan budaya borjuis kecil (petit-bourgeois) Perancis yang dalam proses mistifikasi terubahkan menjadi ”universal”—dan karena itu dibongkarnya.
 
Membaca kepentingan tersembunyi
 
Dalam konteks catatan ini, contoh-contoh itu dialihkan kepada foto-foto calon anggota legislatif yang bertebaran di Indonesia, yang karena latar belakang persoalannya berbeda, tentu akan menghasilkan perbincangan berbeda pula.
 
Disebut tentang memapankan hubungan dengan pemilih, maka dapat diperiksa dari cara berbusana: apakah sudah sedaerah, seagama, sealiran, minimal satu selera? Di Yogya, dalam poster besar di tepi sawah, seorang calon anggota legislatif tampak mengenakan surjan dan belangkon, yang berarti jelas ia bermaksud meneguhkan ikatan dengan calon pemilih yang bersemangat kedaerahan.
 
Dari segala sisi memang bertebaran penanda-penanda yang menunjukkan orientasi calon anggota legislatif, tentu dengan merujuk kepada wacana dominan yang diandaikannya berada dalam kebudayaan para pemilih. Segera tampak, betapa pengandaiannya memang terwujudkan dalam bahasa umum yang dominan tersebut: cahaya (asal) terang pada wajah, senyum iklan pasta gigi, rambut rapi jali, yang secara langsung mendorong kesan keyakinan, kemandirian, keteguhan, bahkan keberanian, dan barangkali saja kepemimpinan, tetapi yang semuanya tidak bisa langsung menunjuk kepada kecerdasan maupun keanggunan.
 
Busana langsung mengarah kepada orientasi agama, kedaerahan, atau nasionalis. Namun tidak lebih. Semuanya busana resmi, pantas langsung dipakai kondangan, meski yang resmi termasuk juga seragam partai. Dalam hal ini, dibandingkan dengan foto-foto calon anggota legislatif Perancis, yang semuanya berhenti kepada jas dan dasi, tanpa penanda mana liberal mana komunis, foto-foto calon anggota legislatif di Indonesia jauh lebih “eksotik” (di Madura ada yang pakai destar dan kaus loreng merah putih), dan karena itu mungkin saja memberikan lebih banyak bahan perbincangan. Dari rakyat untuk rakyat. Para calon anggota legislatif, seperti tampak dalam representasi dirinya di jalanan, adalah juga produk komunitasnya. Jadi, menunjuk bangsa Indonesia juga.
 
Peci jelas merupakan penanda favorit sosio-moral, tetapi tidak selalu menunjuk keindonesiaan, lebih kepada aksesori kostum kedaerahan atau latar belakang keagamaan. Bolehkah calon non- Muslim mengenakan peci untuk mempertegas keindonesiaannya? Menarik juga untuk membaca kepentingan tersembunyi di balik gambar-gambar tersebut, yang apabila cara berbahasa atau sistem tandanya diperiksa, bahkan menjadi dua kali jelas: pertama, yang tersembunyi dapat dibaca; kedua, sistem tandanya menunjuk wacana dominan dalam kebudayaannya.
 
Wacana patriarki dan paternalistik
 
Di antara sejumlah kecenderungan, boleh diperhatikan betapa foto-foto para calon anggota legislatif ini kadang-kadang didampingi atau dilatarbelakangi foto orangtuanya yang heroik, atau ketua partainya. Kepentingan tersembunyinya terlalu jelas: kehebatan orangtuanya tentu menurun kepada anaknya, dan yang disebut orangtuanya ini hampir selalu bapaknya karena tidak penting benar siapa ibunya. Bahwa hanya bapak yang eksis dalam perbincangan jelas menunjuk kepada patriarki, dan bahwa potret diri mesti diiringi orangtua atau ketua partai adalah gambaran langsung dari wacana paternalistik. Menarik bahwa patriarki dan paternalisme itu memang tidak merupakan tabu, sebaliknya bahkan diteladankan, diandalkan, dan diunggulkan.
 
Dapat dikatakan bahwa siapa pun yang kelak memilih mereka sebetulnya merasa nyaman dan merasa berumah jiwa di dalam wacana tersebut. Wacana dominan yang dalam negosiasinya terhadap ”pluralisme” terkadang menganggap bapak sendiri atau ketua partai saja tidak cukup. Ada yang membawa-bawa Tuhan meski masih tahu diri dengan kalimat ”semoga Tuhan…”, simbol kekuasaan seperti kepala harimau (”raja rimba” ?) atau bahkan tampang David Beckham— tentu bukan Beckham sebagai pemain sepak bola yang dianggap uzur, tetapi Beckham sebagai ”bapak kesuksesan”. Perhatikan bagaimana peleburan kode spiritual, kode kekuasaan, dan kode kesuksesan (”urban”?) tercuatkan dalam tradisi purba (”primitif”?) paternalisme nan patriarkis, yang dalam suatu cara juga meliputi foto-foto perempuan calon anggota legislatif ini. Ah ya, memang ada foto perempuan ketua partai sebagai latar belakang, tetapi yang tidak mengubah wacana patriarkis sama sekali.
 
Betapapun, jika wacana dominan semacam itulah yang berproses dalam hegemoni kebudayaan tempat pemilihan calon anggota legislatif berlangsung, tampaknya pilihan atas kedahsyatan macam apa yang ingin ditawarkan memang terbatas. Apalagi jika wacananya, yakni himpunan gagasan dan praktik sosial budaya yang membentuknya sebagai subyek sosial, memang keberhinggaannya hanya sampai di sana sehingga ideologinya juga tidak bisa pergi ke mana-mana.
 
Siapa sudi kena kibul?
 
Kembali kepada Barthes, perbincangannya tentang fotografi dan pemilihan umum untuk memeriksa cara kerja kebudayaan sebetulnya diturunkan oleh teorinya yang sudah terlalu dikenal: bahwa dalam tiga tahap pembermaknaan, denotasi—konotasi—mitologi/ideologi, yang terakhir itu menjadi denotasi (”makna sebenarnya”) lagi, dan seterusnya. Ini berarti, meski setara dengan iklan, cara kerja bahasa foto-foto itu menunjuk suatu kenyataan juga: belum ada Malin Kundang dalam dunia politik Indonesia, yang berani melaju dengan gagasan baru tanpa restu tradisi (politik) lama.
 
Makanya, pembongkaran mitos dalam kampanye apa pun perlu dilakukan agar para pemilih yang tulus dan ikhlas tidak kena kibul.
***
 
*) SENO GUMIRA AJIDARMA lahir di Boston, 19 Juni 1958. Sastrawan, fotografer dan kritikus film Indonesia. Cerita pendeknya Pelajaran Mengarang terpilih sebagai Cerita Pendek Terbaik Kompas 1993. Buku kumpulan cerita pendeknya: Manusia Kamar (1988), Penembak Misterius (1993), Saksi Mata (l994), Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi (1995), Sebuah Pertanyaan untuk Cinta (1996), Iblis Tidak Pernah Mati (1999), juga beberapa novel seperti Matinya Seorang Penari Telanjang (2000). Di tahun 1987, mendapat Sea Write Award. Dan mendapat Khatulistiwa Literary Award, 2005. Berkat cerita pendeknya Saksi Mata, peroleh Dinny O’Hearn Prize for Literary, 1997. Kini ia tinggal di Jakarta dan mengajar matakuliah Kajian Media di FFTV-IKJ dan Kajian Sinema di Program Pascasarjana FIB UI.
http://sastra-indonesia.com/2009/03/fotografi-caleg-siapa-sudi-kena-kibul/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

20 Tahun Kebangkitan Sastra-Teater Lamongan A Jalal A. Anzieb A. Khoirul Anam A. Mustofa Bisri A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja Abdoel Moeis Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdullah Abubakar Batarfie Abdurrahman Wahid Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Acep Iwan Saidi Achdiat K. Mihardja Achiar M Permana Adek Alwi Adhi Pandoyo Adib Baroya Aditya Ardi N Adri Sandra Adu Pesona Sang Wakil Cawapres RI Afrizal Malna Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agus Buchori Agus Dermawan T. Agus Mulyadi Agus Prasmono Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahmad Farid Yahya Ahmad Hasan MS Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Saifullah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alawi Al-Bantani Alfatihatus Sholihatunnisa Alfian Dippahatang Ali Audah Alim Bakhtiar Amie Williams Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amril Taufik Gobel An. Ismanto Andhi Setyo Wibowo Andi Andrianto Andong Buku #3 AndongBuku #3 Andrea Hirata Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Antologi Sastra Lamongan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Arafat Nur Ardi Wina Saputra Ardy Suryantoko Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arman A.Z. Arsyad Indradi Asarpin Ashimuddin Musa Asrul Sani Astuti Ananta Toer Atafras Audifax Awalludin GD Mualif Ayu Nuzul Azizah Hefni B Kunto Wibisono Bahrul Amsal Bambang Kempling Beni Setia Benny Benke Beno Siang Pamungkas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bloomberg Bre Redana Budaya Budi Darma Buldanul Khuri Bustan Basir Maras Candra Adikara Irawan Candrakirana Cangaan Ujungpangkah Gresik Jawa Timur Capres Cawapres 2019 Catatan Ceramah Cerpen Chairil Anwar Chicilia Risca CNN Indonesia Coronavirus COVID-19 D. Zawawi Imron Damiri Mahmud Darju Prasetya Darman Moenir Deddy Arsya Denny JA Denny Mizhar Devy Kurnia Alamsyah Dhoni Zustiyantoro Dian Sukarno Didin Tulus Dien Makmur Din Saja Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Donny Anggoro Donny Darmawan Dr. Hilma Rosyida Ahmad Dwi Cipta Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Dyah Ayu Fitriana Ecep Heryadi Edy Suprayitno Eka Budianta Eka Kurniawan Elok Dyah Messwati Engkos Kosnadi Erdogan Erwin Setia Esai Esti Nuryani Kasam Evan Ys F. Budi Hardiman F. Rahardi Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Fahrur Rozi Faidil Akbar Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathul Qorib Fatkhul Anas Feby Indirani Felix K. Nesi Festival Teater Religi Festival Teater Religi Pelajar SLTA Se-kabupaten Lamongan Fira Basuki Forum Santri Nasional (FSN) Frischa Aswarini Fuad Mardhatillah UY Tiba Fuad Nawawi Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gde Artawan Geger Riyanto Geguritan Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Guenter Grass Gus Ahmad Syauqi Gus tf Gusti Eka Habib Bahar bin Smith Haiku Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Han Gagas Hary B Koriun Hasan Basri Hasnan Bachtiar Heri Ruslan Herman Hesse Hertha Mueller Heru Kurniawan Hestri Hurustyanti Holy Adib Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu I Made Prabaswara I Made Sujaya IAI TABAH (Institut Agama Islam Tarbiyatut Tholabah) Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Iksaka Banu Imam Jazuli Imam Nawawi Imammuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Mahadi Indra Tjahyadi Irfan Afifi Irine Rakhmawati Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS J.S. Badudu Jadid Al Farisy Jajang R Kawentar Jawa Timur Jean Marie Gustave le Clezio JJ. Kusni Jl Raya Simo Sungelebak Jo Batara Surya John H. McGlynn Jordaidan Rizsyah Jual Buku Paket Hemat Juara 3 Lomba Lompat Jauh DISPORA LAMONGAN Jurnalisme Sastrawi K.H. Ma'ruf Amin Kadek Suartaya Kaheesa Kirania Putri Ayu Kahfie Nazaruddin Kalis Mardiasih Kamaluddin Ramdhan Kanti W. Janis Karanggeneng Kardono Setyorakhmadi Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Pantura (KBP) KetemuBuku Jombang KH. M. Najib Muhammad KH. Muhammad Amin (1910-1949) Khairul Mufid Jr Khawas Auskarni Khoirul Abidin Khoshshol Fairuz Ki Ompong Sudarsono Kitab Arbain Nawawi Kodrat Setiawan Kompas TV Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA) Komunitas Sastra dan Teater Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Komunitas-komunitas Teater di Lamongan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Luar Biasa Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) Kopuisi Kostela Kritik Sastra Kumpulan Cerita Buntak Kurnia Effendi Kuswaidi Syafi’ie L Ridwan Muljosudarmo L.K. Ara Lamongan Lan Fang Lawi Ibung Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Literasi Liza Wahyuninto Lukas Luwarso Lukisan Lukman Lukman Santoso Az Lutfi Mardiansyah M Farid W Makkulau M. Faizi M.D. Atmaja Madrasah Aliyah Matholi'ul Anwar Madrasah Ibtida’iyah Thoriqotul Hidayah 1 Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S Mahayana Manado Manneke Budiman Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mario F. Lawi Marsel Robot Martin Aleida Marwanto Mashuri Massayu Masuki M. Astro Masyhudi Media Seputar Pendidikan Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Purnama di Kampung Halaman Mereka yang Menjerat Gus Dur MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mien Uno Moh. Dzunnurrain Moh. Jauhar al-Hakimi Mohammad Rafi Azzamy Mohammad Rokib Mohammad Yamin Muafiqul Khalid MD Much. Khoiri Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alfatih Suryadilaga Muhammad Antakusuma Muhammad Fikry Mauludy Muhammad Hafil Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad N. Hassan Muhammad Subarkah Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Muhyiddin Mukadi Mukani Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Musa Ismail Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang E S Nara Ahirullah Naskah Teater Nezar Patria Noor H. Dee Nunus Supardi Nur Haryanto Nur Wachid Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Okky Madasari Olivia Kristina Sinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pagelaran Musim Tandur Palupi Panca Astuti Pameran Lukisan Parimono V / 40 Plandi Jombang PC. Lesbumi NU Babat PDS HB Jassin Pelukis Dahlan Kong Pelukis Tarmuzie Penculikan Aktivis 1988 Pendidikan Pengajian Pengarang kelahiran Lamongan Pentigraf Pepaosan Perbincangan Peringatan Hari Pahlawan 10 November Pilang Tejoasri Laren Lamongan Jawa Timur Pipiet Senja Politik Pondok Pesantren Ali Bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Jokowi Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi (PMK) Puji Santosa Pustaka LaBRAK PUstaka puJAngga R. Ng. Ronggowarsito Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rasanrasan Boengaketji Raudlotul Immaroh Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Reuni dan Halal Bihalal Mts Putra-Putri Simo 1992 Ribut Wijoto Riki Antoni Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Robin Al Kautsar Rodli TL Roland Barthes Rosi Rosihan Anwar RR Miranda Rumah Budaya Pantura (RBP) S. Jai S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabrank Suparno Safitri Ningrum Sainul Hermawan Sajak Salman Aristo Sandiaga Uno Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Sastra Tasikmalaya (SST) Sarasehan dan Launching Buku Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Kuno Suku Sasak Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Satu Jam Sastra Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSAstra Boenga Ketjil Seni Gumira Ajidarma Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seputar Sastra Pendidikan Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sirdjanul Ghufron Siwi Dwi Saputro Slamet Rahardjo Rais Soediro Satoto Soekarno Soeparno S. Adhy Soesilo Toer Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Sri Handi Lestari Sri Wintala Achmad STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sujatmiko Sukarno Suminto A. Sayuti Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahrudin Attar Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari Sylvianita Widyawati Tangguh Pitoyo Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Ilat Teater nDrinDinG Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tias Tatanka Timur Sinar Suprabana Titi Aoska Tiyasa Jati Pramono Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Toni Masdiono Tri Broto Wibisono TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Tulus Wijanarko Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Jember Universitas Negeri Jember Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyu Aji Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Wiji Thukul Wildan Nugraha Wildana Wargadinata Yanusa Nugroho Yasraf Amir Piliang Yerusalem Ibu Kota Palestina Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhi Herwibowo Yuditeha Yusri Fajar Yuval Noah Harari Zainal Arifin Thoha Zainuddin Sugendal Zara Zettira ZR Zehan Zareez Zuhdi Swt