sinarharapan.co.id
Pasar buku Indonesia dalam kurun waktu dua tiga tahun terakhir ini masih dibanjiri novel fiksi karya penulis perempuan dan sastra hiburan. Koran Tempo edisi 1 Agustus 2004 menurunkan catatan tak kurang dari 30.000 eksemplar novel karya mereka ludes di pasaran. Masih dari sumber yang sama, kebanyakan dari sastra hiburan tersebut dihasilkan oleh penulis perempuan usia di bawah 30 tahun. Seperti menguatkan data-data di atas, Rachmat H Cahyono (RHC) dalam tulisannya “Booming” Buku Fiksi (Kompas Minggu, 26 September 2004) berujar, sastra hiburan tampaknya tak akan kehilangan pembaca, sampai kapan pun.
Dalam tulisan tersebut RHC mencoba menengarai bahwa betapa ganjilnya di tengah ramainya kritik sastra baku, ternyata tak ditemukan pengamat yang intens mengikuti perkembangan teks sastra hiburan. Menurutnya tak semua teks sastra yang tergolong serius tergolong “berlian” yang kilaunya menggetarkan dan juga tak semua teks sastra hiburan adalah “sampah”. Ia memijakkan kalimat tersebut pada asumsi betapa keringnya pertumbuhan kritik sastra terkini kita, terutama sastra hiburan.
Pendapat RHC cukup beralasan walau di tengah sejarah sastra kita pertumbuhan kritik sastra bukannya sama sekali tak pernah “mampir” ke dalam wacana sastra hiburan. Jakob Sumardjo (JS) satu dari kritikus sastra senior yang sampai sekarang masih aktif berkarya dalam bukunya Sastra dan Massa (ITB Bandung, 1995) dan Konteks Sosial Novel Indonesia (Penerbit Alumni, 1999) pernah menulis ulasan cukup tajam terhadap sastra hiburan. Pamusuk Eneste (PE) juga pernah melakukannya dalam Novel-Novel dan Cerpen-cerpen Indonesia Tahun 70-an (Nusa Indah, 1980) walau sebagian besar tinjauan dalam buku tersebut lebih didominasi teks karya sastra serius.
Dalam konteks ini, posisi sastra hiburan menjadi marginal karena karya-karya tersebut kurang diminati oleh peminat sastra dengan latar belakang pendidikan sastra. Karya sastra lain yang kebetulan dilahirkan dalam label “sastra Islami” juga nyaris mengalami nasib serupa. Ulasan karya sastra yang dimotori kakak beradik Helvy Tiana Rosa dan Asma Nadia dalam organisasi FLP (Forum Lingkar Pena) walau secara kuantitas mengisi pasar buku fiksi Indonesia jarang dilakukan lantaran sebagian besar karya-karya tersebut lebih banyak masuk ke jalur sastra hiburan, bukan sastra pencerahan seperti karya Danarto, sastra transenden seperti karya Sutardji Calzoum Bachri, sastra sufistik seperti karya Abdul Hadi W.M dan sastra profetik Kuntowijoyo.
Ulasan yang ada tak banyak, kecuali yang pernah dilakukan penggeraknya sendiri, Helvy Tiana Rosa dalam Segenggam Gumam (Syaamil Cipta Media, 2003) atau tulisan Ekky-al Malaky yang menyoroti selintas perjalanan “sastra Islami” dalam Tentang Mewabahnya Sastra Islami (Cybersastra.net, 3 Agustus 2004).
Memasyarakatkan Buku
Masih dalam tulisan yang sama RHC juga menghimbau berbagai pihak seperti editor, penulis, dan pengamat mengakui perlunya penajaman dalam spesialisasi kepengarangan. Imbauan ini sungguh relevan, hanya sayangnya masih menjangkau pada permukaan karena belum menyorot upaya lain sebagai contoh konkret.
Produksi buku memang menjadi usaha kapitalis, tak bedanya dengan usaha di bidang lain. Sayangnya pengertian produksi buku di negeri ini masih digayuti melulu pengertian “hanya menerbitkan buku” sehingga wajarlah produk buku tetap saja masih terjangkau segelintir orang.
Di Indonesia yang pasar bukunya tengah bergeliat memang belum menyadari betapa pentingnya semacam media perbukuan yang paling tidak dapat menjadi panduan membeli dan membaca buku. Begitu banyak buku yang terbit setiap tahun sehingga risiko luputnya buku-buku apa pun genre-nya yang sebenarnya layak mendapat perhatian sangat mungkin terjadi.
Di tengah-tengah “booming” buku yang notabene juga “booming” penerbit sesungguhnya masyarakat membutuhkan panduan buku apa saja yang pantas dibaca. Hadirnya rubrik resensi buku di berbagai media cetak atau talk show di radio swasta pada kenyataannya tetap saja kurang karena masih banyak hal lain yang belum dirambah.
Mungkin tak ada salahnya kita meniru cara Oprah Winfrey dalam upayanya “memasyarakatkan buku”. Acara talk show populer Oprah Winfrey memiliki program Oprah Winfrey Book Club setiap minggunya merekomendasikan 5 judul buku dari berbagai genre. Setiap 5 buku yang direkomendasikan Oprah Winfrey Book Club nyaris selalu menjadi best seller.
Diterbitkannya media perbukuan seperti Literary Journal, Publishers Weekly, The New York Review of Books, suplemen New York Times Book Review, dan lain-lain menyuburkan pertumbuhan kritik sastra dengan lebih sehat. Ulasan yang sungguh-sungguh, yang kemudian melahirkan sekian banyak pengulas buku ternama dari berbagai genre. Salah satunya bahkan penulis ternama seperti John Updike yang setia menulis ulasan buku di majalah The New Yorker. Begitu populernya sehingga ulasan Updike atau pengulas lain di media perbukuan dikutip sebagai blurb di tiap judul buku yang baru terbit.
Debut novel Zadie Smith, White Teeth dalam genre ChickLit generasi pertama sehingga mendapat ulasan positif oleh Mick Brown dalam U.K Daily Telegraph adalah bukti keberhasilan media “melahirkan” pengamat sastra yang juga intens terhadap perkembangan sastra hiburan.
Tanpa Kritikus?
Agak sulit menumbuhkan cita-cita berkembangnya kritik sastra modern jikalau produk buku fiksinya sendiri yang “merindukan pembaptis” nyatanya enggan dilirik kritikus. Tapi Satmoko Budi Santoso dalam Kompas, 8 Juni 2003 pernah mengemukakan pendapatnya yang bertentangan dengan kesehatan sastra modern kita, “Bolehlah disepakati bahwa sebagai salah satu penentu masa depan -peradaban estetik- cerpen Indonesia, tangan redakturlah yang kini mengemban tanggung jawab cukup besar karena kritikus telah mati- tak ada anasir the invisible hand dalam kemeriahan pasar buku sastra Indonesia karena sekalipun tak ada kritikus yang menjembatani karya sastra, cerpen Indonesia sudah berjalan sendiri?”
Kritikus sudah mati, menurut Satmoko sedangkan RHC malah cemas tanpa hadirnya kritikus yang bisa mengungkapkan -tak semua teks sastra yang tergolong serius tergolong “berlian” yang kilaunya menggetarkan dan juga tak semua teks sastra hiburan adalah “sampah”.
Memang, Satmoko memijakkan kalimat itu pada asumsi rendahnya mutu kritik sastra kita- paling tidak, dalam amatannya, kritik cerpen kita. Sayangnya dari asumsi itu ia langsung meloncat kepada seruan bahwa “kritikus sudah mati” yang notabene mengacaukan kesehatan sastra itu sendiri dengan menyempitkan pandangan bahwa mutu sebuah karya tergantung tangan redaktur (baca: selera).
Kehidupan sastra yang baik, lengkap dengan segala pernak-perniknya tetap membutuhkan kritikus yang mengingatkan pencipta ataupun pembaca kepada disiplin ilmu sastra. Kritikus tetap dibutuhkan selain sebagai jembatan antara pembaca dengan karya sastra, bahkan sebagai medium antara masyarakat peminat sastra dan seniman, bukan sebagai anasir penghambat demokratisasi sastra.
T.S Eliot dalam esainya Tradition and Individual Talent (The Sacret Wood, London:Methuen&Co, 1960) berseru, “kritik yang jujur dan apresiatif diarahkan bukan kepada penyair tetapi pada sajaknya. Jika kita memperhatikan omongan kacau para kritikus di koran serta desir ulangan populer yang menyusulnya, kita akan mendengar banyak nama penyair sedangkan jika kita mencari kenikmatan karya, kita akan jarang mendapatkannya.”
Ya, dinamika sastra tanpa kritik memadai laiknya kepala tanpa leher atau tangan tanpa lengan. Bukankah demokratisasi sastra yang sepertinya terlihat bergairah dengan banyak munculnya buku fiksi maupun sastra serius juga sebaiknya dilihat sebagai kesempatan memperbaiki lingkungan?
Dewasa kini aktivitas komunitas perbukuan yang bisa menghasilkan acara peluncuran buku hampir setiap minggu di berbagai tempat seperti di Rumah Dunia, Tobucil, dan Ommunium, diskusi bulanan yang diselenggarakan Jaker, komunitas AKY (Akademi Kebudayaan Yogyakarta), dan banyak lagi. Kehadiran mereka mungkin adalah pintu dari usaha yang diharapkan kelak dapat memunculkan pengamat yang juga berminat menjelajah sastra hiburan, sehingga kehidupan kritik sastra modern kita senantiasa berkembang.
Rawamangun, Oktober 2004 http://sastra-indonesia.com/2009/04/buku-fiksi-ramai-pembaca-sepi-pembaptis/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar