Muhammad Subarkah
Republika, 06 Apr 2018
Apa sih definisi puisi bermutu itu? Ketika pertanyaan ditanyakan kepada
sastrawan dan Guru Besar Filsafat Universitas Paramadina, Prof Abdul Hadi WM,
dia hanya menjawab pendek. Katanya, “Puisi yang baik memiliki nilai estetis.
Nilai inilah yang membuat sebuah puisi berharga. Dalam nilai estetis itu sudah
terangkum nilai-nilai lain. Jadi bukan karena bikin heboh,'” ujarnya.
Dan ketika ditanya soal kualitas puisi Sukmawati ‘Ibu Indonesia’ yang di
media sosial dikenal juga dengan ‘puisi konde’, Abdul Hadi menjawab singkat
bahwa di kalangan kritikus sastra ada istilah 'under critic'. Dalam kategori
ini kritikus sastra enggan mengomentari, karena tidak ada pencapaian estetik
yang bermutu sehingga tak perlu juga dilakukan kritik atas karya tersebut.
Pernyataan itu membuat tercenung, apalagi kemudian melihat tayangan debat
di Youtube yang mengatakan sebuah karya puisi tak usah jadi masalah dan jangan
dibuat sastra sebagai ancaman. Puisi harus dibalas puisi, bukan ancaman pidana
atau malah vonis penjara. Dengan simpulan kata yang lebih sederhana sikap itu
terkesan juga: jangan menjadikan karya sastra mengeruhkan keadaan.
***
Terkait pernyataan itu ingatan tentu harus balik kepada nasib yang menimpa
sederet nama sastrawan kondang seperti Amir Hamzah, Buya Hamka, WS Rendra,
Pramodeya Ananta Toer, atau hingga nasib Wiji Thukul. Atau di bidang seni yang
lain, yakni musik, di sana ada kisah nasib terkait dengan Koes Plus, Rhoma
Irama, Betharia Sonata, dan lainnya. Sosok itulah yang mengalami langsung
ternyata ‘jargon’ seni untuk seni hanya sekedar omongan hampa belaka.
Di zaman perjuangan kemerdekaan dikenal lagu Indonesia Raya karya WS
Supratman. Di kemudian hari diketahui ide kata Indonesia berasal dari pihak
lain, yakni para pelajar yang kala itu menuntut ilmu di Belanda (Perhimpunan
Pelajar Indonesia). Bahkan ‘frase’ kalimat ‘merdeka’ ada yang menyatakan itu
terpengaruh dari tulisan dan keyakinan pejuang Tan Malaka yang sampai akhir
hidupnya yang tragis itu diketahui memimpikan Indonesa merdeka yang total atau
merdeka 100 persen. Tan Malaka banyak menulis, tentu saja karya sastra, yang
memimpikan datangnya masa kemerdekaan itu.
Bahkan pula, Tan Malaka di tahun 1920-an, dengan gagah berani mengatakan
jangan anggap remeh kekuatan Islam (termasuk Indonesia). Omongan ini dikatakan
Tan Malaka bukan dalam forum 'ecek-ecek' atau panggung hiburan, namun dalam
sebuah rapat tokoh partai komunis dunia yang digelar di Rusia. Tan Malaka
datang ke sana dari Belanda khusus untuk memberikan pidato dari satu-satunya
wakil dari benua Asia. Katanya, Islam adalah salah satu kekuatan untuk membuat
revolusi! Maka harus diajak kerja sama. Dengan kata lain' tak perlu dimusuhi'.
Tan Malaka di situ bertemu bapak bangsa Vietnam, Ho Chi Minh. 'Paman Ho' kagum
pada Tan Malaka dan dia sendiri rela hanya datang sebagai delegasi peninjau,
alias tak memberikan pidato.
***
Semua tahu apa yang saat itu telah terjadi. Kala itu, kekuatan Islam --baik
politik dan agama -- telah tumbuh di kepulauan Nusantara seiring dengan
hadirnya Sarikat Dagang Islam, Sarekat Islam, Muhammadiyah. Tokoh utamanya
tentu saja HOS Tjokroaminoto, yang saat itu dijuluki 'Raja Jawa Tanpa Mahkota'.
Dengan suara pidatonya yang menggelegar Tjokro membangunkan kesadaran orang
betapa sakitnya hidup dalam penjajahan dan betapa berharganya sebuah
kemerdekaan. Ribuan orang datang dalam rapat umum untuk mendengarkan orasi
Tjokro. Masa mengeluk-elukannya. Bahkan dalam forum pertemuan di berbagai
tempat di Jawa orang spontan duduk bersila di tanah untuk menghormati
kedatangannya.
Di samping Tjokro, tentu saja ada tokoh lain seperti 'si anak pintar' dari
Sumatra Barat, Agus Salim. Dan kemudian ada juga tokoh Soekarno yang merupakan
anak asuhan Tjokro sendiri. Di samping itu juga kemudian muncul cucu sufi besar
ranah Minangkabau, Mohammad Hatta. Dan juga ada sosok lain seperti Moh Yamin,
Sutan Syahrir, M Natsir, dan lainnya.
Jalinan itulah yang menguatkan pembentukan Indonesia. Melintasi batas dan
tidak hanya soal urusan baju dan gaya rambut, dari yang berkonde seperti Jawa
atau berkerudung di tanah Melayu. Ada Jong Ambon, Sumatra, Celebes, Kalimantan
dan lainnya. Dan di masa itu para tokoh memang kadang berbeda pendapat, bahkan
berselisih baik secara fiksi dan nyata. Tapi akhirnya mereka tetap lapang dada
memaafkan. Para bapak bangsa mencontohkan sekaligus sadar bisa 'menyingkapkan
daun untuk mengambil buah'. Mereka menemukan arti persahabatan dan inti sari
perjuangan sejati. Memisahkan nilai perjuangan dengan nafsu atau ego politik
pribadi.
Di tahun 1960-an memang ada polemik sangat keras antara Pramoedya Ananta
Toer dan Buya Hamka. Tak kepalang tanggung, Pramoedya berusaha mengakhiri karir
bersastra Hamka dengan menuduh banyak karyanya sebagai hasil plagiat. Dengan
'kewenangan kekuasannya' sebagai
Redaktur Budaya Koran berafiliasi Partai Komunis Indonesia, Harian Rakjat,
menuding segala hal mengenai Hamka dianggap buruk, bahkan jahat.
HB Jassin yang berusaha membela Hamka terkena imbasnya. Organisasi Manifes
Kebudayaan yang didirkan Wiratmo Soekito (dan HB Jassin yang menjadi
anggotanya) dibubarkan. Jassin dipecat sebagai dosen Universitas Indonesia.
Manifes Kebudayaan oleh orang-orang ‘kiri’ diolok-olok secara pejoratif menjadi
akronim: 'Manikebu'. Anggota lainnya seperti Taufiq Ismail dipecat sebagai
dosen dan gagal belajar ke luar negeri.
Tapi apakah Buya Hamka dendam? Setelah rezim berganti seiring dengan
jatuhnya Soekarno dari kursi presiden, ternyata Hamka (H. Abdul Malik Karim
Amrullah) terbukti tidak menyimpan dendam. Padahal dia punya hak untuk itu,
diperlakukan buruk oleh Pramoedya hingga dijebloskan ke penjara tanpa
pengadilan oleh pemerintahan Soekarno (Presiden RI pertama). Dia malah di awal tahun
1970-an dengan keras menantang pelarangan buku karya-karya Pramoedya, hingga
dengan ringan hati menshalatkan jenasah Soekarno yang dulu pernah
memenjarakannya itu. Tak cuma itu, dia pun membuka tangan menerima anak dan
menantu Pramoedya yang meminta diajari mengaji kepadanya.
Tokoh lain juga begitu. Pencetus perjanjian Roem-Royen, Mr Moh Roem di
tahun 1980-an dengan gagah berani menepis sinyalemen yang ada dalam tulisan
Rosihan Anwar mengenai isi dokumen pada tahun 1930-an yang kala itu diterbitkan
kembali di Belanda. Dalam arsip itu Soekarno dinyatakan pernah meminta ampun
kepada Belanda untuk meringankan masa tahanan ketika meringkuk di penjara
Sukamiskin Bandung.
Bukan hanya itu, Rosihan dalam tulisannya menyatakan Soekarno pernah pula
menyerah dengan mengibarkan bendera putih ketika Yogyakarta diduduki Belanda
pada Agresi Belanda II tahun 1948. Maka, Mr Roem pun dengan berani membantah
hal itu dengan menyatakan: Sokarno benar-benar pejuang sejati dan tak kenal
menyerah!
“Menurut MR Roem, benar ada bendera putih berkibar di Istana Yogyakarta
saat agresi Belanda II. Itu yang menyerah bukan putusan pribadi Sukarno, tapi
atas keputusan sidang kabinet. Wakil Presiden Moh Hatta di sidang itu
menyarankan biar para tokoh ditangkap saja. Pilihan ini dengan mempertimbangkan
dana dan kesediaan personil pasukan serta senjata untuk mengawal Presiden dan
Wakil Presiden menyingkir ke pedalaman untuk memimpin perang gerilya,'” kata
mantan staf Perdana Menteri M Natsir, Lukman Hakiem seraya mengatakan, dengan
ditangkap malah keselamatan para tokoh Republik bisa lebih terjamin.
Dan sikap Mr Roem ini sangat pula istimewa, karena diketahui selaku
petinggi Partai Masyumi tahun 1960-an dengan surat yang mengatasnamakan Jendral
AH Nasution, dia ditangkap dan dijebloskan ke penjara tanpa melalui proses
pengadilan. Tuduhannya tak jelas, namun kiranya penguasa rezim kala itu merasa
MR Roem selaku petinggi Masyumi ikut dalam apa yang disebut pemberontakan PRRI/
Permesta. Di kemudian hari kemudian diketahui PRRI/Permesta sebenarnya bukan sebagai
pemberontakan, melainkan protes atas ketidakadilan otonomi daerah dan sikap
protes anti komunis. Bahkan ada ahli sejarah yang mengatakan, itu sebenarnya
pemberontakan ‘setengah hati’.
Sama dengan Mr Roem, Mr Sjafruddin Prawiranegara juga bersikap lapang hati
dengan Soekarno. Pendiri Bank Indonnesia (BI) ini, diakhir hidupnya memaafkan
Soekarno meski dia pernah mengejar-ngejarnya dan menuduh sebagai terlibat dalam
pemberontakan PRRI/Permesta, karena pergi melawan dengan menyingkir ke berbagai
kawasan hutan di Sumatra Barat. Sama dengan Hamka, Mr Moh Roem, Sjafruddin juga
cukup lama hidup dalaman penjara.
“Aku sudah maafkan dia. Sebab, setelah ditimbang-timbang jasa Soekarno pada
bangsa ini masih jauh lebih banyak, dibandingkan kesalahannya,” kata Sjafruddin
seperti diceritakan salah seorang putrinya.
***
Dan ketika dekade 70-an, semua paham apa yang dilakukan WS Rendra dengan
puisi dan teaternya. Pertunjukan dia di teater terbuka Taman Ismail Marzuki
dibubarkan paksa dan dilempari cairan berbau busuk, amoniak. Beberapa waktu
sesudah itu, Rendra ditangkap dan menghuni penjara. Dia mengalami rasanya
berendam di kolam penyiksaan yang berbau dan penuh lintah, hingga diberi makan
seadanya yang disajikan dengan cara dilemparkan dalam piring kaleng.
Tapi, sampai akhir hayatnya Rendra tak peduli dengan memberikan kredo
kesaksian: “Kesadaran adalah matahari, kesabaran adalah bumi, dan perjuangan
adalah pelaksanaan kata-kata.” Serupa dengan nasib Rendra, kemudian menimpa
Wiji Thukul --nasib tragis juga menimpa penyair pelopor Pujangga Baru, Amir
Hamzah, yang terbunuh dalam Revolusi Sosial (kerusuhan) di Sumatra Utara. Jasad
Amir Hamzah ditemukan tak bernyawa, sedangkan penyair asal Solo, Wiji Thukul,
sampai sekarang tak ketahuan di mana rimbanya. Puisi Thukul jelas melakukan
perlawanan pada rezim Orde Baru dengan jargonnya yang terkenal: “Ketika
penguasa pidato dan kita malah pergi kencing diam-diam, maka hanya ada satu
kata, lawan!”
***
Pada kurun yang hampir sama ada pula soal pencekalan terhadap Rhoma Irama.
Dia tak leluasa, bahkan dicoba dihambat untuk berekpresi karena tidak pro
rezim. Tampil di televisi kala itu adalah hal yang tak bisa dilakukannya.
Betharia Sonata dalam hal yang lebih lunak juga sempat bernasib sama. Senandung
Betharia pada lagu ciptaan Obbie Maesakh, 'Hati yang Luka, mengalami kendala
karena oleh penguasa dianggap cengeng.
Nasib itu hampir sama dengan Koes Plus pada penghujung masa Orde Lama yang
masuk bui karena dianggap kebarat-baratan, lantaran banyak menyanyikan lagu
grup musik kugiran Inggris: 'The Beatles'. Dan kala itu, tentu saja lagu Koes
Plus berlawanan dengan lagu Lilis Suryani, misalnya lagu 'Oentoek Paduka Jang
Mulia (PJM) Soekarno' yang banyak memberikan sanjung puja kepada penguasa
termasuk ideloginya, yakni: Manipol Usdek. Hal ini juga diulang pada rezim
berikutnya, pada sebuah karya lagu Titik Puspa yang bertajuk ‘Soeharto Bapak
Pembangunan’.
Jadi fakta sejarah itu menjelaskan soal bahwa ‘jargon seni hanya untuk seni
atau kekebasan sastra’ hanya bualan atau kicauan kosong saja. Ternyata, semua
budayawan-sastrawan harus bisa mengukur diri dengan kehidupan bersama,
menyesuaikan dengan sistem politik, sosial, hukum, ekonomi, dan sebagainya. Kalau
tidak diindahkan, kelak akan terjadi chaos sosial seperti pembunuhan para awak
majalah kartun Charlie Hebdo di Prancis, atau adanya fatwa hukuman mati
Ayatollah Khomeini kepada penulis novel 'Ayat Ayat Setan' asal India yang
tinggal di Inggris: Salman Rushdie.
Atau juga karena imbas kasus menghina adzan. Dalam soal ini, maka harus
ingat pada kisah awal yang menjadi penyebab meletusnya 'pemberontakan petani
Banten' pada tulisan karya Hamka yang puluhan tahun lalu terbit: buku
'Perbendaharaan Lama'. Kala itu, ada orang Muslim tersinggung karena ada
pejabat daerah berkebangsaan Belanda marah-marah mendengar Adzan di siang hari
bolong yang menggangu kenyamanan waktu
'siesta' atau tidur siangnya. Dia meminta, agar suara adzan dari sebuah
surau yang tak jauh dari kediamaan pejabat Belanda itu tak dilakukan karena
menimbulan suara berisik.
Maka, mendengar kisah itu orang Islam di Banten tersulut marah. Perasaan
benci akibat tertindas yang selama ini tertanam seolah menemukan jalannya atau
menyulut sumbu untuk meledak. Maka meletuslah kerusuhan sosial yang hebat.
Ibarat api, ini situasi tak lagi sekedar bara yang terpendam, tapi sudah ikut
berkobar menjilati masalah dasar yang lain, yakni kesenjangan sosial, hukum,
dan ekonomi. Banyak korban jatuh dalam pemberontakan yang berlangsung pada 9
Juli tahun 1888 itu. Baru padam setelah banyak orang ditangkap, tokoh pemicunya
dihukum gantung yang vonisnya dilakukan di tengah alun alun, dan banyak orang
Banten dihukum buang ke tanah pengasingan. Akibat omongan, ternyata berdampak
sangat serius berupa situasi kerugian besar sekali.
Dalam sastra memang ada kebebasan ‘lingua politika’ tapi itu hanya sebatas
soal teknis dan diksi pilihan kata. Di luar itu, ada ‘harimau’ yang harus
dijaga yakni harmoni masyarakat dan kelangsungan negara. Fiksi ternyata
sejatinya bukan fiksi, sebab fiksi dan fakta kerapkali berbaur satu. Ini bisa
dilihat dari mulai Babad Tanah Jawa, karya sastranya Buya Hamka dan Pramoedya,
novel 'Para Priyayi'-nya Umar Kayam, hingga cerpennya Seno Gumbira Ajidarma
yang bercerita soal 'Penembak Misterius'.
***
Dalam lakon teater pun begitu. Dulu di tahun 1960-an, para seniman Lembaga
Kebudayaan Rakyat (Lekra) di sekitar wilayah kaki gunung Merapi, Merbabu, dan
Sindoro, kerap menggelar pertunjukan ‘teater Jawa’ (Ketoprak) dengan judul
‘Patine Gustiallah hingga Gustiallah Mantu’. Ceritanya sebenarnya tentang
perjuangan kelas, misalnya ada seorang putri tuan tanah yang memaksa kawin
dengan orang rakyat jelata. Tapi kemudian idenya dan alur cerita pemanggungan
bisa berbelok ke mana saja hingga soal kisah 'landreform' (bagi-bagi tanah)
hingga melecehan kekuasaan kerajaan Jawa. Mereka juga sibuk mengkritik 'bandit
rakyat' yang dinamakan para 'Setan desa'.
Pada saat yang sama, pihak Islam di Yogyakarta, melawannya dengan
mendirikan Teater Muslim yang dipimpin Mohammad Diponegoro, yang kemudian
menjadi penyiar Radio Australia itu. Di sini juga ada keterlibatan sosok Arifin
C Noer, Amoroso Katamsi, Chaerul Umam, Kuntowidjoyo, bahkan yang mengejutkan,
ada sosok Abu Bakar Ba’asyir.
Maka muncullah sajian pertunjukan drama atau teater berjudul 'Tikungan
Iblis ', sebuah lakon tentang pengorbanan Nabi Ismail ketika hendak disembelih
oleh bapaknya, Nabi Ibrahim AS. Di situ digambarkan berbagai upaya dan muslihat
iblis yang berusaha menipu Nabi Ibrahim yang tetap kokoh melaksanakan perintah
Allah dengan mengorbankan anaknya Ismail. Ibrahim pun marah kepada iblis dengan
melemparinya dengan batu, yang kini lestari dengan ritual melempar jumrah oleh
ketika umat Islam dalam menunaikan ibadah haji.
Suasana pemahaman, sekaligus sikap arif itulah yang hendaknya terjalin pada
karya sastra sebagai wahana ekpresi terkait urusan pribadi, hubungan sosial,
hingga soal politik. Sebagai ‘akhirul kalam’ maka sebaiknya merenungkan lagi
potongan pidato pakar hukum tata negara dan tokoh politik Prof DR Yusril Ihza
Mahendra dalam pidato pada acara Konggres Umat Islam Sumtara Utara di Medan,
beberapa hari lalu.
Kata Yusril, umat Islam harus sadar politik sebab kalau tidak, politik akan
diambil pihak lain. Politik itu bukan suatu hal yang najis. “Ketika umat Islam
berkuasa, umat Muslim terbukti hirau akan (keberadaan) mereka, tetapi ketika
mereka berkuasa, mereka tak hirau akan kita. Celaka memang. Ini membuktikan
segudang kekuasaan tak berarti apa-apa dengan sekepal kekuasaan!”.
Maka melihat kontroversi dunia politik hingga soal 'puisi konde', maka ada
pesan yang bijaksana dari Pramodeya Ananta Toer di masa akhir Orde Baru: “Berbuat
adillah sejak dari pikiran.’’ Ironisnya, kata adil –seperti juga dikatakan WS
Rendra— orang Jawa (yang suka disimbolkan dengan tusuk konde) tak punya padanan
kata ‘adil’ yang itu jelas berasal dari kata Arab. Padahal padanan kata adil
dalam bahasa Belanda, Inggris, dan Prancis jelas-jelas ada.
Dalam suluk dalang di pentas pewayangan misalnya, kata adil malah ditaruh
jenjangnya di bawah kata 'bijaksana'. Padahal bijaksana adalah cermin daripada
kata yang berbau ‘feodalistik’ bahwa semuanya berdasarkan kemauan serta sikap
murah hati dari pihak penguasa (raja). Dan ini berbeda secara diametral dengan
adil yang mensyaratkan kesetaraan manusia, yakni harus ada aturan hukum
tertulis, adanya lembaga peradilan mandiri, dan berlaku untuk semua, tak peduli
raja maupun jelata. Misalnya, siapapun yang mencuri tak peduli itu dilakukan
priyayi (bahkan raja dan keluarganya) atau orang biasa, harus mendatkan hukuman
setimpal.
Jadi bijaksana, kadang tak adil, karena hanya ‘bijak di sana’ bukan ‘bijak
di sini’! Semoga pola kasus cerpen Ki Panjikusmin ‘langit Makin Mendung’ di
tahun 1969 yang telah membuat HB Jassin divonis hukuman dua tahun percobaan tak
terulang.
***
http://sastra-indonesia.com/2021/07/hamka-ws-rendra-puisi-sukmawati-drama-patine-gustiallah/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
20 Tahun Kebangkitan Sastra-Teater Lamongan
A Jalal
A. Anzieb
A. Khoirul Anam
A. Mustofa Bisri
A. Rodhi Murtadho
A. Syauqi Sumbawi
A.P. Edi Atmaja
Abdoel Moeis
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdullah Abubakar Batarfie
Abdurrahman Wahid
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Acep Iwan Saidi
Achdiat K. Mihardja
Achiar M Permana
Adek Alwi
Adhi Pandoyo
Adib Baroya
Aditya Ardi N
Adri Sandra
Adu Pesona Sang Wakil Cawapres RI
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan MN
Agus Buchori
Agus Dermawan T.
Agus Mulyadi
Agus Prasmono
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunyoto
AH J Khuzaini
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Hasan MS
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Saifullah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alawi Al-Bantani
Alfatihatus Sholihatunnisa
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Alim Bakhtiar
Amie Williams
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amril Taufik Gobel
An. Ismanto
Andhi Setyo Wibowo
Andi Andrianto
Andong Buku #3
AndongBuku #3
Andrea Hirata
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Antologi Sastra Lamongan
Anton Wahyudi
Anugrah Gio Pratama
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia
Arafat Nur
Ardi Wina Saputra
Ardy Suryantoko
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Saifudin Yudistira
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Asarpin
Ashimuddin Musa
Asrul Sani
Astuti Ananta Toer
Atafras
Audifax
Awalludin GD Mualif
Ayu Nuzul
Azizah Hefni
B Kunto Wibisono
Bahrul Amsal
Bambang Kempling
Beni Setia
Benny Benke
Beno Siang Pamungkas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Bernando J. Sujibto
Binhad Nurrohmat
Bloomberg
Bre Redana
Budaya
Budi Darma
Buldanul Khuri
Bustan Basir Maras
Candra Adikara Irawan
Candrakirana
Cangaan Ujungpangkah Gresik Jawa Timur
Capres Cawapres 2019
Catatan
Ceramah
Cerpen
Chairil Anwar
Chicilia Risca
CNN Indonesia
Coronavirus
COVID-19
D. Zawawi Imron
Damiri Mahmud
Darju Prasetya
Darman Moenir
Deddy Arsya
Denny JA
Denny Mizhar
Devy Kurnia Alamsyah
Dhoni Zustiyantoro
Dian Sukarno
Didin Tulus
Dien Makmur
Din Saja
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Donny Anggoro
Donny Darmawan
Dr. Hilma Rosyida Ahmad
Dwi Cipta
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Dyah Ayu Fitriana
Ecep Heryadi
Edy Suprayitno
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Elok Dyah Messwati
Engkos Kosnadi
Erdogan
Erwin Setia
Esai
Esti Nuryani Kasam
Evan Ys
F. Budi Hardiman
F. Rahardi
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Fahrur Rozi
Faidil Akbar
Farah Noersativa
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathul Qorib
Fatkhul Anas
Feby Indirani
Felix K. Nesi
Festival Teater Religi
Festival Teater Religi Pelajar SLTA Se-kabupaten Lamongan
Fira Basuki
Forum Santri Nasional (FSN)
Frischa Aswarini
Fuad Mardhatillah UY Tiba
Fuad Nawawi
Galuh Tulus Utama
Gampang Prawoto
Gde Artawan
Geger Riyanto
Geguritan
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Guenter Grass
Gus Ahmad Syauqi
Gus tf
Gusti Eka
Habib Bahar bin Smith
Haiku
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hamka
Han Gagas
Hary B Koriun
Hasan Basri
Hasnan Bachtiar
Heri Ruslan
Herman Hesse
Hertha Mueller
Heru Kurniawan
Hestri Hurustyanti
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hujuala Rika Ayu
I Made Prabaswara
I Made Sujaya
IAI TABAH (Institut Agama Islam Tarbiyatut Tholabah)
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idrus
Ignas Kleden
Iksaka Banu
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imammuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra Intisa
Indra Mahadi
Indra Tjahyadi
Irfan Afifi
Irine Rakhmawati
Irwan Kelana
Isbedy Stiawan ZS
J.S. Badudu
Jadid Al Farisy
Jajang R Kawentar
Jawa Timur
Jean Marie Gustave le Clezio
JJ. Kusni
Jl Raya Simo Sungelebak
Jo Batara Surya
John H. McGlynn
Jordaidan Rizsyah
Jual Buku Paket Hemat
Juara 3 Lomba Lompat Jauh DISPORA LAMONGAN
Jurnalisme Sastrawi
K.H. Ma'ruf Amin
Kadek Suartaya
Kaheesa Kirania Putri Ayu
Kahfie Nazaruddin
Kalis Mardiasih
Kamaluddin Ramdhan
Kanti W. Janis
Karanggeneng
Kardono Setyorakhmadi
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Kemah Budaya Pantura (KBP)
KetemuBuku Jombang
KH. M. Najib Muhammad
KH. Muhammad Amin (1910-1949)
Khairul Mufid Jr
Khawas Auskarni
Khoirul Abidin
Khoshshol Fairuz
Ki Ompong Sudarsono
Kitab Arbain Nawawi
Kodrat Setiawan
Kompas TV
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA)
Komunitas Sastra dan Teater Lamongan
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Komunitas-komunitas Teater di Lamongan
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Luar Biasa Organisasi Kerja Sama Islam (OKI)
Kopuisi
Kostela
Kritik Sastra
Kumpulan Cerita Buntak
Kurnia Effendi
Kuswaidi Syafi’ie
L Ridwan Muljosudarmo
L.K. Ara
Lamongan
Lan Fang
Lawi Ibung
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M)
Literasi
Liza Wahyuninto
Lukas Luwarso
Lukisan
Lukman
Lukman Santoso Az
Lutfi Mardiansyah
M Farid W Makkulau
M. Faizi
M.D. Atmaja
Madrasah Aliyah Matholi'ul Anwar
Madrasah Ibtida’iyah Thoriqotul Hidayah 1
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Maman S Mahayana
Manado
Manneke Budiman
Maratushsholihah
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Magdalena Bhoernomo
Mario F. Lawi
Marsel Robot
Martin Aleida
Marwanto
Mashuri
Massayu
Masuki M. Astro
Masyhudi
Media Seputar Pendidikan
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Memoar Purnama di Kampung Halaman
Mereka yang Menjerat Gus Dur
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mien Uno
Moh. Dzunnurrain
Moh. Jauhar al-Hakimi
Mohammad Rafi Azzamy
Mohammad Rokib
Mohammad Yamin
Muafiqul Khalid MD
Much. Khoiri
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Alfatih Suryadilaga
Muhammad Antakusuma
Muhammad Fikry Mauludy
Muhammad Hafil
Muhammad Marzuki
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad N. Hassan
Muhammad Subarkah
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhidin M. Dahlan
Muhyiddin
Mukadi
Mukani
Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur
Musa Ismail
Mutia Sukma
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nanang E S
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nezar Patria
Noor H. Dee
Nunus Supardi
Nur Haryanto
Nur Wachid
Nurel Javissyarqi
Nurul Komariyah
Okky Madasari
Olivia Kristina Sinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pagelaran Musim Tandur
Palupi Panca Astuti
Pameran Lukisan
Parimono V / 40 Plandi Jombang
PC. Lesbumi NU Babat
PDS HB Jassin
Pelukis Dahlan Kong
Pelukis Tarmuzie
Penculikan Aktivis 1988
Pendidikan
Pengajian
Pengarang kelahiran Lamongan
Pentigraf
Pepaosan
Perbincangan
Peringatan Hari Pahlawan 10 November
Pilang Tejoasri Laren Lamongan Jawa Timur
Pipiet Senja
Politik
Pondok Pesantren Ali Bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan
Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang
Pramoedya Ananta Toer
Presiden Jokowi
Prosa
Puisi
Puisi Menolak Korupsi (PMK)
Puji Santosa
Pustaka LaBRAK
PUstaka puJAngga
R. Ng. Ronggowarsito
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rasanrasan Boengaketji
Raudlotul Immaroh
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Reuni dan Halal Bihalal Mts Putra-Putri Simo 1992
Ribut Wijoto
Riki Antoni
Riki Dhamparan Putra
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Roland Barthes
Rosi
Rosihan Anwar
RR Miranda
Rumah Budaya Pantura (RBP)
S. Jai
S.W. Teofani
Sabiq Carebesth
Sabrank Suparno
Safitri Ningrum
Sainul Hermawan
Sajak
Salman Aristo
Sandiaga Uno
Sanggar Lukis Alam
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang
Sanggar Sastra Tasikmalaya (SST)
Sarasehan dan Launching Buku
Sartika Sari
Sasti Gotama
Sastra Kuno Suku Sasak
Sastri Bakry
Satmoko Budi Santoso
Satu Jam Sastra
Satyagraha Hoerip
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSAstra Boenga Ketjil
Seni Gumira Ajidarma
Seni Rupa
Seno Gumira Ajidarma
Seputar Sastra Pendidikan
Sergi Sutanto
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sirdjanul Ghufron
Siwi Dwi Saputro
Slamet Rahardjo Rais
Soediro Satoto
Soekarno
Soeparno S. Adhy
Soesilo Toer
Soetanto Soepiadhy
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sosiawan Leak
Sri Handi Lestari
Sri Wintala Achmad
STKIP PGRI Ponorogo
Subagio Sastrowardoyo
Sudarmoko
Sujatmiko
Sukarno
Suminto A. Sayuti
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syahrudin Attar
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili
Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari
Sylvianita Widyawati
Tangguh Pitoyo
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater Ilat
Teater nDrinDinG
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Tias Tatanka
Timur Sinar Suprabana
Titi Aoska
Tiyasa Jati Pramono
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga
Toni Masdiono
Tri Broto Wibisono
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Tulus Wijanarko
Umar Fauzi
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Jember
Universitas Negeri Jember
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W.S. Rendra
Wage Daksinarga
Wahyu Aji
Warung Boengaketjil
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wiji Thukul
Wildan Nugraha
Wildana Wargadinata
Yanusa Nugroho
Yasraf Amir Piliang
Yerusalem Ibu Kota Palestina
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhi Herwibowo
Yuditeha
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Zainal Arifin Thoha
Zainuddin Sugendal
Zara Zettira ZR
Zehan Zareez
Zuhdi Swt
Tidak ada komentar:
Posting Komentar