Selasa, 06 Juli 2021

Pita Merah

A. Rodhi Murtadho *
 
Pita merah melekat erat di kepang rambut. Tertali rapi disengaja. Menambah kesan hati. Tertarik, imut merayap. Menitip segala yang mengguncang hati. Adat meratap tak bertuan. Hanya menyalahkan. Tak tertahan degup jantung. Mencuat menadakan rasa dari pandang. Menggeliatkan seluruh asa yang memekakkan. Hanya harap bertambah cemas terus melayang. Tak juga mengguncang karena dia belum juga datang. Hanya bisa menjadi selayang pandang berdendang. Pada setiap kehidupan.
 
Daya menitihkan peluh Rani yang terjerambab dalam udara yang pekat dengan panas. Menari-nari di atas kulitnya yang mulus. Bersabar menunggu dia datang. Meski pandang terus malang melintang meresap ke segala pojok rindang. Siang tak pernah merasa kasihan. Hanya angin yang merayap menyapu halus menyejukkan hati.
 
”Selamat siang, Rani! Kau sudah menunggu lama?” tanya dia.
”Baru sebentar, hanya saja daun-daun itu sudah terlihat capek melambai. Semut-semut sudah enggan menitipkan pandang padaku. Mungkin sudah terlalu bosan.”
”Maafkan saya!”
 
Seperti biasa. Hanya diam membimbang menggelayut. Tak ada tutur menyanjung. Keromantisan dongeng cinta tak pernah ada. Kisah Romeo dan Juliet atau Laila dan Majnun atau Sampek dan Ingtek tak pernah memirip. Mereka menjadi kisah sendiri. Kisah yang tak pernah diceritakan menggema dalam dunia dongeng. Mungkin anggapan bahwa kisah seperti mereka tak enak untuk diceritakan. Menghalalkan segala macam norma.
 
Nasib semata yang menjadi arah penentu utama. Menjalani kisah dari ketidakwajaran. Pita merah melambai menghibur. Mencairkan suasana beku di antara panas menganga. Hanya ada degup jantung dan nafas yang teratur. Pandang sudah tak menyematkan kasihan. Amarah terpendam. Nyalang mata tersapu kelu. Rindu bertemu berubah semu. Setahu angin berhembus meyiratkan dengus. Hangus dan menghilang. Kebutuhan tetaplah menjadi kebutuhan. Hanya kaki jenjang penentu tujuan.
***
 
Rani sering bertemu dan bercengkrama dengan Anton. Dulu. Pemuda yang mengikrarkan rasa hati padanya. Rasa tertarik. Bukan sebagai teman. Sebagai seorang yang patut dirindu tentunya. Kekasih.
”Ran, bagaimana aku akan mengungkapkan isi hati lagi. Semua isi hatiku sudah kau ketahui. Kau sudah mengenal aku. Tapi mengapa kau tidak memberikan pasti padaku yang terus berharap padamu.”
”Maaf!”
 
Rani hanya melintas acuh. Membiarkan kecamuk terus bergelora dalam diri Anton. Namun bagaimanapun kharismanya membuat Anton tak bisa untuk sedetik pun melupakan. Mungkin juga rasa yang sudah melekat membuat bayang Rani terus tersenyum.
 
Tak ada kepercayaan dalam diri Rani. Membias maya dalam senyawa yang mudah terurai. Memudar. Bagi Rani, tak ada tempat bersandar selain dirinya dan kepercayaan. Menggantungkannya pada orang lain tanpa kepercayaan. Fatal. Menjadi budak yang mampu mengumpat diri sendiri. Tak bisa berlaku semestinya meski sekadar menghela nafas.
***
 
Rani bertemu dengan dia tanpa sengaja. Saling bercerita kehidupan. Saling menceritakan keluarga. Menguak diri dan derita hati. Memberedel segala uneg-uneg yang bersarang di hati. Tak ada sepakat. Hanya benang merah pengikat saling terikat. Membenamkan diri dalam kasih.
 
Rani menghampiri dia. Seperti biasa. Hanya tersenyum. Membuka sebagian mulutnya untuk sekadar menampakkan giginya yang runcing dan putih. Jembatan senyum yang tulus mengakrabkan mereka dalam binar kasih yang indah. belum ada atau bahkan tak ada yang mampu mengerti mereka. Hanya keikhlasan yang menyibakkan rasa. Kebutuhan yang menyatukan. Tak ada ikatan tentunya karena tak berizin.
 
Debaran jantung mendetakkan tangan mereka untuk memuaskan hasrat sejenak. Menggerayang mampir di segala lekukan dan pori yang menganga. Memainkan segala kelu yang tertahan. Hanya aliran-aliran nafas panas menghanyutkan. Pandang sudah melenggang. Mengikuti yang terasa. Tak terpejam dan tak juga memandang.
***
 
Dia keluar rumah dengan muka masam. Rambut berkepang dua. Bedak tipis sepertinya mampir sejenak. Bibir merekah berlip gloss. Pakaian yang ala kadarnya menutup. Tak peduli. Meski banyak bagian terawang dan merangsang pandang. Hanya keinginannya untuk bertemu dengan kekasih hati yang didamba. Terfokus segala arah mata melihat, curahan pikiran, tumpahan perasaan, mata hati.
 
Siang teramat megah dengan sinar matahari yang berbisa. Melumpuhkan keinginan dan harap yang tak kuat. Dia berjalan dan terus berjalan. Dia ingin sampai tujuan tepat waktu. Hambatan-hambatan ditepis. Segala upaya dilakukan dengan lihai. Menghindar secepat mungkin dari masalah yang terlihat. Acuh tak acuh.
 
”Hei, mau ke mana?”
Suara yang tiba-tiba menghenyakkan konsentrasi. Suara yang pernah dia kenal. Suara yang beberapa tahun lalu menemani. Suara yang selalu berkata mesra. Suara yang menghanyutkan dalam buaian mimpi. Melengking begitu keras. Mungkin sengaja untuk diteriakkan. Tergopoh-gopoh sosok kurus, tinggi semampai, dan tak atletis. Menghampiri.
 
Dia hanya menatap. Tak bisa berkata atau meratap. Tubuh kaku terpaku. Siang menghilang. Terang menggantinya dengan muram dan hitam. Kecewa dan tangis sedih berdatangan mengingatkan. Dia sejenak lupa dengan janji. Masa lalu membinarkan perasaan.
 
”Eeeh...”
”Kau terlihat tergopoh-gopoh. Pasti mau bertemu dengan pacarmu yang baru, ya? Tak usah bingung. Santai sajalah. Kekasihmu itu pasti menunggu.”
”Bu…bu…b…buk…i..iya. Aku mau bertemu dengannya sekarang.”
 
Sikap manis yang ditunjukkan Doni membuat jantung dia berdegup cepat. Menggetarkan semua bagian tubuh. Menggugupkan ucap. Memberatkan nafas. Malas untuk sekadar berkedip. Demam kangen sebagai manusia biasa membuatnya tak bisa berkutik. Berbuat sekehendak pikir. Hanya getaran-getaran yang membimbing dengan segala keraguan.
 
”Ya sudah. Tapi aku minta waktu sejenak. Kita makan es krim dulu di seberang jalan itu. Aku ingin ngobrol sebentar denganmu. Soalnya sudah sangat lama kita tidak bertemu. Sudah hampir…berapa ya? Setahun lebih…”
”Satu tahun empat bulan empat belas hari.”
”Mari kita ke sana sambil makan es krim.”
 
Pikir tak selamanya menyatu dengan hati. Apalagi laku yang ditunjukkan. Jarang untuk dipikirkan. Hanya perasaan menuntun. Meski segala protes menerjang dari segala sisi diri. Tak berpengaruh banyak ketika rasa ditindik dan diseret perasaan sendiri.
 
Meski hanya sekadar es penopang gemetar tangan. Namun tetap juga meleleh dan menampakkan keaslian. Jerambab ratap dalam binar pandang melayang pada kenangan. Pikiran kadang berpikir lain. Gerakan-gerakan masih dalam kewajaran bisa dikontrol. Hati tetap saja menggetarkan degup jantung cepat. Rasa kelam kembali datang. Meski sudah sepakat namun tak pernah bisa ingkari diri.
 
Sepi sendiri hanya dalam dunia sendiri. Otak berputar ingin segera menghindar. Menjalankan komitmen yang pernah diruntuhkan. Sekadar menepati janji hati. Bergegas pergi.
***
 
Rani jarang betah tinggal lama-lama di rumah. Perang rumah tangga sering terjadi. Menjadikan Ayahnya kalap dan bertindak kasar. Menampar, memukul, menendang Ibunya. Mengharuskan seorang Ibu yang patut dicintai selalu menangis kesakitan. Tersedu-sedu dengan muka memar dan lebam di sekujur tubuh. Air mata yang mengalir tak mengiba haru.
 
Derita yang melanda merasuk dalam diri Rani. Sakit yang menghiba Ibunya menjadi penderitaannya juga. Berpersepsi sendiri tentang sosok Ayah. Seorang laki-laki. Tertanam begitu dalam di benak.
 
Nilai tersimpan. Laki-laki berperawakan sama. Struktur tubuh sama. Keinginan sama. Kelakuan tentu akan sama juga. Penderitaan tentu akan sama dirasa. Ibu dan dirinya adalah perempuan. Tentu akan bernasib sama jika mendekati yang sama didekati oleh Ibu dan para perempuan.
 
Namun kadang juga Rani merasa canggung dengan yang dinilai. Derita yang dirasakan Ibu adalah bentuk kasih dari ayah. Hal itu yang pernah dikatakan Ibu kepada Rani. Tentu Ibu suka dengan derita itu. Dan jika tindakan itu disukai Ibu, tentu saja Ayah akan kalap. Terus menyiksa dengan dalih kasih.
 
Ayah suka melihat Ibu menderita. Ibu juga suka untuk disiksa. Apalagi melihat kepuasan Ayah. Ibu akan tersenyum di antara benjolan-benjolan hantaman. Ayah juga ikut tersenyum ketika Ibu menampakkan gigi yang kadang tanggal atau berdarah.
***
 
Pegkhianatan atas nama apapun tetaplah menjadi sebuah khianat. Sudah tak mampu menjalankan amanat yang terbebani sebelum dikhianati. Dia merintih tengah malam hingga pagi. Bukan sakit dari badan. Hati tertancap pisau khianat dari kekasih. Janji yang dirasa sebagai sebuah rasa manis berubah menjadi pahit dan kalut ketika dihinggapi kepalsuan.
 
Rasa yang menggelembung dan membumbung pecah tak bersisa. Kisah kasih suci yang terukir seakan menjadi permainan semata. Dia tahu kalau Doni yang dicintainya menjalin kisah kasih dengan banyak perempuan. Dia tak bisa melakukan apa-apa selain menangis dan selalu mengutuknya dengan berbagai macam umpatan. Dia sangat kecewa dengan Doni. Seorang laki-laki. Pengkhianat.
 
Janji di hati dan sumpah di mulut diucap. Meski tak didengar telinga seorang pun, dia tetap menjalani. Tak ada kasih untuk Doni dan orang semacamnya. Hanya merayu dan cumbu mengganggu. Akan dibuang seperti tebu jika sudah dikercap. Cumbu rayu akan dirindu. Mengharu biru dalam kelam petang. Tatap pandang hanya sebuah dendang penyenang.
***
 
Dia melangkah tertatih-tatih. Mengharapkan kekasih masih menunggu kedatangan. Dia tahu kalau dirinya tidak tepat waktu. Panas yang menyengat membuat keringat bercucuran dan terengah-engah. Dia hanya bisa berpasrah.
 
Lanskap cucuran perasaan menjadi melegakan ketika dia tahu kalau yang menunggunya masih setia di sana. Belahan-belahan jiwa yang tercecer dalam perjalanan seakan ditemukannya kembali. Kerinduan akan pelukan menadakan kasih yang mendalam.
 
”Selamat siang, Rani! Kau sudah menunggu lama?” tanya dia..
”Baru sebentar, hanya saja daun-daun itu sudah terlihat capek melambai. Semut-semut sudah enggan menitipkan pandang padaku. Mungkin sudah terlalu bosan.”
”Maafkan saya!”
 
Kebimbangan dalam perjalanan menghantuinya. Namun tekad yang sudah dibangun tak bisa begitu saja dia tinggalkan. Kasih sayang kepada laki-laki sudah habis terbuang. Dia hanya mau tahu kalau Rani adalah orang yang tepat untuk dirinya. Tempat berkasih. Dia terdiam tak berucap.
 
Rajuk suasana melantunkan senang. Gairah nyalang tumbuh dan terbakar. Ciuman umpatan. Saling meremaskan dada mendempetkan tubuh. Tangan tak berhenti saling mengelus dan menyingkirkan rambut yang terurai menghalangi. Panas matahari atau orang menaruh jijik tak mendera. Tak mengganggu. Kenikmatan memberi segala. Lupa. Pinggir jalan menjadi saksi. Penjaja roti, penjual minuman, dan orang-orang berlalu lalang bersaksi. Dia dan Rani meloncat ke kali.
 
Lamongan, 19 Agustus 2006

*) A. Rodhi Murtadho, lahir di desa Madulegi Cuping, Sukodadi, Lamongan, 15 Maret 1983. Bersama kawan-kawan di Surabaya, menggagas dan mendirikan komunitas sastra Sanggar Interlude, pernah menjadi ketuanya. Sempat bergabung di komunitas Teater Kalang (Kaki Langit) Surabaya. Karya-karyanya dimuat dalam media lokal pun nasional. Sebagian puisinya ada di antologi bersama Dalam Dekapan Kata (2004). Sebagian cerpennya pada himpunan Pameran Makam (2008). http://sastra-indonesia.com/2008/12/pita-merah/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

20 Tahun Kebangkitan Sastra-Teater Lamongan A Jalal A. Anzieb A. Khoirul Anam A. Mustofa Bisri A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja Abdoel Moeis Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdullah Abubakar Batarfie Abdurrahman Wahid Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Acep Iwan Saidi Achdiat K. Mihardja Achiar M Permana Adek Alwi Adhi Pandoyo Adib Baroya Aditya Ardi N Adri Sandra Adu Pesona Sang Wakil Cawapres RI Afrizal Malna Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agus Buchori Agus Dermawan T. Agus Mulyadi Agus Prasmono Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahmad Farid Yahya Ahmad Hasan MS Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Saifullah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alawi Al-Bantani Alfatihatus Sholihatunnisa Alfian Dippahatang Ali Audah Alim Bakhtiar Amie Williams Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amril Taufik Gobel An. Ismanto Andhi Setyo Wibowo Andi Andrianto Andong Buku #3 AndongBuku #3 Andrea Hirata Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Antologi Sastra Lamongan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Arafat Nur Ardi Wina Saputra Ardy Suryantoko Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arman A.Z. Arsyad Indradi Asarpin Ashimuddin Musa Asrul Sani Astuti Ananta Toer Atafras Audifax Awalludin GD Mualif Ayu Nuzul Azizah Hefni B Kunto Wibisono Bahrul Amsal Bambang Kempling Beni Setia Benny Benke Beno Siang Pamungkas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bloomberg Bre Redana Budaya Budi Darma Buldanul Khuri Bustan Basir Maras Candra Adikara Irawan Candrakirana Cangaan Ujungpangkah Gresik Jawa Timur Capres Cawapres 2019 Catatan Ceramah Cerpen Chairil Anwar Chicilia Risca CNN Indonesia Coronavirus COVID-19 D. Zawawi Imron Damiri Mahmud Darju Prasetya Darman Moenir Deddy Arsya Denny JA Denny Mizhar Devy Kurnia Alamsyah Dhoni Zustiyantoro Dian Sukarno Didin Tulus Dien Makmur Din Saja Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Donny Anggoro Donny Darmawan Dr. Hilma Rosyida Ahmad Dwi Cipta Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Dyah Ayu Fitriana Ecep Heryadi Edy Suprayitno Eka Budianta Eka Kurniawan Elok Dyah Messwati Engkos Kosnadi Erdogan Erwin Setia Esai Esti Nuryani Kasam Evan Ys F. Budi Hardiman F. Rahardi Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Fahrur Rozi Faidil Akbar Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathul Qorib Fatkhul Anas Feby Indirani Felix K. Nesi Festival Teater Religi Festival Teater Religi Pelajar SLTA Se-kabupaten Lamongan Fira Basuki Forum Santri Nasional (FSN) Frischa Aswarini Fuad Mardhatillah UY Tiba Fuad Nawawi Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gde Artawan Geger Riyanto Geguritan Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Guenter Grass Gus Ahmad Syauqi Gus tf Gusti Eka Habib Bahar bin Smith Haiku Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Han Gagas Hary B Koriun Hasan Basri Hasnan Bachtiar Heri Ruslan Herman Hesse Hertha Mueller Heru Kurniawan Hestri Hurustyanti Holy Adib Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu I Made Prabaswara I Made Sujaya IAI TABAH (Institut Agama Islam Tarbiyatut Tholabah) Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Iksaka Banu Imam Jazuli Imam Nawawi Imammuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Mahadi Indra Tjahyadi Irfan Afifi Irine Rakhmawati Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS J.S. Badudu Jadid Al Farisy Jajang R Kawentar Jawa Timur Jean Marie Gustave le Clezio JJ. Kusni Jl Raya Simo Sungelebak Jo Batara Surya John H. McGlynn Jordaidan Rizsyah Jual Buku Paket Hemat Juara 3 Lomba Lompat Jauh DISPORA LAMONGAN Jurnalisme Sastrawi K.H. Ma'ruf Amin Kadek Suartaya Kaheesa Kirania Putri Ayu Kahfie Nazaruddin Kalis Mardiasih Kamaluddin Ramdhan Kanti W. Janis Karanggeneng Kardono Setyorakhmadi Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Pantura (KBP) KetemuBuku Jombang KH. M. Najib Muhammad KH. Muhammad Amin (1910-1949) Khairul Mufid Jr Khawas Auskarni Khoirul Abidin Khoshshol Fairuz Ki Ompong Sudarsono Kitab Arbain Nawawi Kodrat Setiawan Kompas TV Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA) Komunitas Sastra dan Teater Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Komunitas-komunitas Teater di Lamongan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Luar Biasa Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) Kopuisi Kostela Kritik Sastra Kumpulan Cerita Buntak Kurnia Effendi Kuswaidi Syafi’ie L Ridwan Muljosudarmo L.K. Ara Lamongan Lan Fang Lawi Ibung Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Literasi Liza Wahyuninto Lukas Luwarso Lukisan Lukman Lukman Santoso Az Lutfi Mardiansyah M Farid W Makkulau M. Faizi M.D. Atmaja Madrasah Aliyah Matholi'ul Anwar Madrasah Ibtida’iyah Thoriqotul Hidayah 1 Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S Mahayana Manado Manneke Budiman Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mario F. Lawi Marsel Robot Martin Aleida Marwanto Mashuri Massayu Masuki M. Astro Masyhudi Media Seputar Pendidikan Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Purnama di Kampung Halaman Mereka yang Menjerat Gus Dur MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mien Uno Moh. Dzunnurrain Moh. Jauhar al-Hakimi Mohammad Rafi Azzamy Mohammad Rokib Mohammad Yamin Muafiqul Khalid MD Much. Khoiri Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alfatih Suryadilaga Muhammad Antakusuma Muhammad Fikry Mauludy Muhammad Hafil Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad N. Hassan Muhammad Subarkah Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Muhyiddin Mukadi Mukani Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Musa Ismail Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang E S Nara Ahirullah Naskah Teater Nezar Patria Noor H. Dee Nunus Supardi Nur Haryanto Nur Wachid Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Okky Madasari Olivia Kristina Sinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pagelaran Musim Tandur Palupi Panca Astuti Pameran Lukisan Parimono V / 40 Plandi Jombang PC. Lesbumi NU Babat PDS HB Jassin Pelukis Dahlan Kong Pelukis Tarmuzie Penculikan Aktivis 1988 Pendidikan Pengajian Pengarang kelahiran Lamongan Pentigraf Pepaosan Perbincangan Peringatan Hari Pahlawan 10 November Pilang Tejoasri Laren Lamongan Jawa Timur Pipiet Senja Politik Pondok Pesantren Ali Bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Jokowi Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi (PMK) Puji Santosa Pustaka LaBRAK PUstaka puJAngga R. Ng. Ronggowarsito Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rasanrasan Boengaketji Raudlotul Immaroh Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Reuni dan Halal Bihalal Mts Putra-Putri Simo 1992 Ribut Wijoto Riki Antoni Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Robin Al Kautsar Rodli TL Roland Barthes Rosi Rosihan Anwar RR Miranda Rumah Budaya Pantura (RBP) S. Jai S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabrank Suparno Safitri Ningrum Sainul Hermawan Sajak Salman Aristo Sandiaga Uno Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Sastra Tasikmalaya (SST) Sarasehan dan Launching Buku Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Kuno Suku Sasak Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Satu Jam Sastra Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSAstra Boenga Ketjil Seni Gumira Ajidarma Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seputar Sastra Pendidikan Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sirdjanul Ghufron Siwi Dwi Saputro Slamet Rahardjo Rais Soediro Satoto Soekarno Soeparno S. Adhy Soesilo Toer Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Sri Handi Lestari Sri Wintala Achmad STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sujatmiko Sukarno Suminto A. Sayuti Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahrudin Attar Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari Sylvianita Widyawati Tangguh Pitoyo Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Ilat Teater nDrinDinG Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tias Tatanka Timur Sinar Suprabana Titi Aoska Tiyasa Jati Pramono Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Toni Masdiono Tri Broto Wibisono TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Tulus Wijanarko Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Jember Universitas Negeri Jember Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyu Aji Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Wiji Thukul Wildan Nugraha Wildana Wargadinata Yanusa Nugroho Yasraf Amir Piliang Yerusalem Ibu Kota Palestina Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhi Herwibowo Yuditeha Yusri Fajar Yuval Noah Harari Zainal Arifin Thoha Zainuddin Sugendal Zara Zettira ZR Zehan Zareez Zuhdi Swt