Selasa, 20 Juli 2021

Ucu Sam

Marhalim Zaini
Minggu Pagi,Juli 2002
 
Ucu Sam mengamuk. Kebun karet seluas satu hektar dekat sungai Rambai itu, dini hari tadi habis dilahap api. Seperti orang kesetanan, Ucu Sam berteriak-teriak sambil mengacungkan parang panjang ke sekeliling kampung. Tak pelak, subuh yang biasanya damai dengan kicau burung murai, kini seperti dihantam badai. Orang-orang yang bersiap-siap berangkat ke batang karet untuk menunaikan rutinitas, tiba-tiba harus dikejutkan dengan suara petirnya Ucu Sam.
 
“Pukimak! Ini pasti ulah bule bedebah itu! Betul cakapku dulu, pasti budak-budak yang sok pandai tu telah mulai berani buat rusuh, telah berani membawa penjajah ke kampung kita ni. Tengoklah, kebun karetku satu-satunya telah mereka bakar. Mereka kira aku ni bengal, tak tahu menahu tentang politik kotor mereka tu. Pukimak! Mentang-mentang aku tak sekolah, mereka seenaknya nak menukar kebun karet aku tu dengan janji-janji busuk mereka tu. Oi…ke sinilah! Kubabat batang leher kalian…!”
 
Ucu Sam kalap. Matanya gelap. Lalu jatuh terjerembab.
Dalam waktu sekejap, orang-orang telah berkumpul di ujung kampung, di sebuah rumah panggung reot beratap rumbia. Matahari yang berangsur merangkaki celah-celah pohon kelapa yang berbaris, mulai menelusup ke celah jendela papan dan menyirami wajah Ucu Sam yang terbaring di tengah rumah. Seraut wajah keriput, dengan garis-garis jelas dan keras, legam dan penuh bekas jilatan matahari. Lelaki berumur mendekati satu abad, yang masa tuanya tak ditemani siapa pun. Ia sebatang kara sejak istrinya meninggal dan enam orang anaknya pergi dan tak pernah kembali. Ia sendiri tak tahu, kenapa semua anaknya satu persatu pergi dan tak kembali. Padahal ia merasa tak pernah mengusir mereka dari rumah. Tak pernah pula rasanya ia berkata-kata kasar kepada mereka, apalagi dengan sengaja menyinggung perasaan mereka. Meskipun demikian biarlah, ia tak pernah mengutuk anak-anaknya itu sebagai pendurhaka, sebab ia sadar bahwa setiap orang berhak menentukan jalan hidupnya masing-masing. Lagi pula, seekor burung Tiung dalam sangkar yang tergantung di teras depan rumah, masih tetap setia setiap pagi memanggil-manggil, “Ucu Sam Abahku…Ucu Sam Abahku….”
 
Sampai matahari naik sepenggalah, Ucu Sam belum juga sadarkan diri. Orang-orang bingung. Lurah, ketua RW, ketua RT dan semua perangkat desa yang hadir, hanya bisa menunggu. Sementara mantri Warno, satu-satunya tukang suntik di kampung itu, tampak tak berkutik menghadapi Ucu Sam. Tapi, yang pasti Ucu Sam masih bernafas. Itu artinya, masih ada harapan ia akan terjaga. Walau tak tahu, kapan saatnya.
 
”Ucu Sam mengalami defresi berat, ia sebaiknya kita bawa ke rumah sakit di kabupaten.” Mantri Warno nyeletuk sambil membenahi peralatannya.
Semua orang semakin bingung. Kalau saja Ucu Sam dibawa ke kabupaten yang jaraknya 83 kilometer itu, tentunya harus ada yang menanggung biaya dan semua kebutuhannya. Apalagi membawa orang sekarat di atas jalan penuh lubang dengan oplet tua satu-satunya milik Wak Karman, bukanlah hal yang mudah. Sementara Ucu Sam sendiri, selama ini tak pernah bertegur sapa dengan siapapun di kampung itu. Ucu Sam dikenal sebagai lelaki tua yang menyendiri, introvert. Apalagi dalam kondisi ekonomi kampung yang teruk, tentu tak mungkin ada yang berani berkorban hanya untuk seorang Ucu Sam.
 
“Sudahlah. Ucu Sam tu cuma pingsan saja, paling satu atau dua jam lagi bangunlah dia.” Kata si Bujang, pemuda kampung.
“Mungkin juga dia tu kemasukan hantu galah. Bolehlah kita panggilkan bomo Hasan di kampung sebelah!” usul yang lain.
“Atau jangan-jangan penunggu kebun karet Ucu Sam yang terbakar tu, mengamuk, dan masuk ke dalam tubuh Ucu Sam!” seru yang lain pula.
“Ya, benar juga tu…” sambut suara-suara yang lain.
 
Mantri Warno hanya geleng-geleng kepala. Tentu, setelah selama belasan tahun dia mengabdi, ia tahu benar bagaimana fikiran mayoritas masyarakat kampung itu. Meskipun ada juga yang sudah berfikiran agak maju, itu pun sebagian kecil, dan tentunya takkan mampu mempengaruhi sebuah faham yang turun-temurun menjadi kepercayaan yang telah mengakar dalam kehidupan masyarakat, seolah-olah telah menjadi semacam ideologi.
 
Kini bomo Hasan telah beraksi. Dengan berharap-harap cemas semua orang memperhatikan aktivitas Bomo Hasan. Bau asap kemenyan memenuhi ruangan. Daun-daun ramuan ditabur ke tubuh Ucu Sam. Semburan air sirih berkali-kali keluar dari mulut bomo Hasan ke wajah Ucu Sam. Jampa-jampi terdengar mendengung di telinga. Sungguh, waktu seketika terbius oleh suasana mistis.
 
Entah pada hitungan semburan air sirih ke berapa, tiba-tiba mata Ucu Sam terbuka, dan seketika itu juga ia memaki dengan lantang, “Pukimaaaaaak!” Semua orang tersentak, termasuk bomo Hasan. Apalagi mantri Warno yang sejak tadi hanya mengeleng-gelengkan kepala, dahinya berkerut seakan tak percaya.
 
Ucu Sam perlahan bangkit, dan duduk bersandar di tiang jati tengah rumah. Matanya kosong. Tubuhnya lunglai. Bibirnya berkomat-kamit, tapi tak bersuara. Orang-orang pun tak berani bersuara. Ucu Sam seperti bicara dengan dirinya sendiri. Orang-orang pun hanya berani bicara dalam hati. Lama Ucu Sam begitu. Orang-orang pun mulai gelisah, tapi tak satupun yang berani mengungkapkan kegelisahan dengan kata-kata. Orang-orang hanya saling pandang, bertanya lewat isyarat mata. Tapi jawaban hampir serupa, menggelengkan kepala.
 
Tapi tiba-tiba saja burung Tiung memecah kebekuan, “Ucu Sam Abahku…Ucu Sam Abahku….” Ucu Sam seperti tersadar, tapi tak mampu beranjak. Kini matanya membelalak. Nafasnya berpacu. Kedua tangannya mengepal. Ia kembali berteriak, ”Bedebah. Kalian penjajah. Kalian nak usir kami dari sini. Kalian nak rampas hidup kami. Tak cukupkah kekayaan kami yang kalian jual buat kenyang perut kalian sendiri. Tak sudahkah derita kami selama ini. Sekarang kalian nak bunuh kami pelan-pelan. Kalian bakar kebun karet kami dengan api dengki. Hati kalian telah mati!”
 
Orang-orangpun tersentak. Orang-orang tak paham kenapa Ucu Sam memakai kata kami, padahal yang terbakar hanya kebun karet milik Ucu Sam. Siapakah kalian yang dimaksud Ucu Sam? Kalaulah yang dimaksud kalian itu adalah orang-orang kampung, sepertinya tak satupun orang kampung yang pernah mengusir Ucu Sam, merampas hidup Ucu Sam, menjual kekayaan Ucu Sam. Dan tak pernah terniat di hati orang kampung untuk membunuh Ucu Sam secara perlahan. Lagi pula apalah gunanya membunuh Ucu Sam yang sudah dekat dengan pintu kubur itu. Wah, kejam sekali Ucu Sam menuduh orang kampung hatinya telah mati.
 
“Kalian memang haram jadah. Kalian kira kami tak tahu akal bulus kalian tu. Kalian cakap datang nak bertamu, tapi diam-diam kalian curi isi periuk kami. Tengoklah sekarang dapur kami tak lagi berasap. Anak-anak kami jadi pendatang haram di negeri orang, jadi kuli di negeri sendiri. Sementara kalian sibuk makan darah dan minum keringat kami. Oi, awas kalian, takkan selamat hidup kalian..!”
 
Orang-orang semakin bingung, dan seperti mulai terbawa emosi. Betapa tidak, setelah dimaki tak tentu ujung pangkalnya, kini Ucu Sam mulai menuduh yang bukan-bukan. Kalau tentang pendatang haram, mungkin orang-orang agak maklum, sebab bisa dikata semua anak laki-laki setamat Sekolah Dasar, paling tinggi tamat SMP, telah ikut tongkang Wak Birin ke Malaysia, bekerja secara illegal, Imigran Gelap kata orang kota. Tapi itukan namanya mereka berdikari. Daripada nganggur jadi preman simpang di kampung, lebih baik ke Malaysia cari untung. Paling tidak cari bekal buat berumah tangga, sekaligus bisa bantu orang tua. Yang jadi kuli di negeri sendiri pun banyak juga. Tapi, apakah Ucu Sam tak salah cakap bahwa orang-orang makan darah dan minum keringat sendiri?
 
Wak Loyang yang sejak tadi diam di sudut dekat pintu, lama-lama tak senang hati juga mendengar perkataan Ucu Sam yang tak tentu arah itu, “Ucu Sam, awak tu kalau cakap elok-eloklah sikit. Kampung kita ni kampung beradat, ada petatah-petitih kalau nak selamat. Apalagi awak tu sama tuanya dengan usia kampung ini, sama putihnya rambut di kepala kita!”
 
Tapi, Ucu Sam malah tertawa. Tawanya seperti orang geli kalau perutnya ditusuk-tusuk pakai jari. Wak Loyang tentu semakin panas hatinya. Tampak gigi Wak Loyang gemeretak menahan geram. Namun, sebelum Wak Loyang membuka mulutnya, Ucu Sam telah lebih dulu meracau. “Kalian memang pandai bersilat lidah. Sebab yang tak bertulang memang mudah melenggang. Dengan begitu, semua tipu dianggap madu. Kita ni, dianggap bengang, tak sepadan dengan rambut yang dah beruban.”
 
“Ucu Sam! Jangan gara-gara nila setitik rusak susu sebelanga!” seru Wak Loyang dengan berkacak pinggang di tengah pintu. Tapi belum sempat Wak Loyang menyambung kalimatnya, sebuah suara dari jauh memanggil-manggil nama Wak Loyang. Semua orang memandang siapa yang datang.
 
“Wak Loyang……Wak Loyang……” rupanya si Atan. Ia terengah-engah seperti dikejar setan.
“Ada apa Tan?” orang-orang tak sabar menanti kabar.
“Kenapa kau Tan?” Wak Loyang menggoyang bahu Atan.
“Anu Wak, anu…” Atan tergagap.
“Apa Tan?”
“Kebun karet Wak Loyang…”
“Kenapa kebun karetku?”
“Ter…ter…terbakar!”
 
Seperti disambar petir, tubuh Wak Loyang gemetar. Ia berlari melebihi dikejar setan. Orang-orang pun segera berlari mengikuti Wak Loyang. Siapa tahu, masih ada sepetak sisa kebun karet yang masih bisa diselamatkan. Tapi, mungkinkah memadamkan api yang mengamuk dengan jiwa yang remuk?
 
Senja kembali datang, menutup lembaran siang. Semburat merah, menyala di mata Ucu Sam. Ia masih bersandar di tiang jati. Mulutnya masih berkomat-komit. Tapi kini ia sendiri. Tak ada lagi yang sudi menemani.
 
Sorot matanya nyalang, memandang sisa asap kebun karet yang terbakar di langit malam. Memandang waktu yang segera menghilang dan segera pula datang. Ia sadar, umurnya takkan panjang. Ia tak mungkin bisa menyaksikan barisan pabrik di sepanjang tepian sungai. Ia tak mungkin dapat mendengar dan melihat kapal-kapal dari segala penjuru dunia berlabuh di sepanjang pantai. Ia pun tak pernah berharap akan bertemu dengan anak-anaknya. Sebab ia sangat tahu anak-anaknya pasti sangat sibuk melayani para pendatang dan meraup keuntungan di atas bekas kebun karet yang ter(di)bakar. Ia hanya berharap, semoga kelak anak-anaknya tak didustai (bukan didurhakai) oleh anak-anak mereka sendiri. Sebab, ia sangat tahu betapa tidak nikmatnya hidup dalam sejarah yang berulang. Ah, setelah ini entah kebun karet siapa lagi yang terbakar. Entah, hati siapa lagi yang terbakar.
 
“Ucu Sam Abahku……Ucu Sam Abahku……”

Riau-Yogyakarta, Maret 2002 http://sastra-indonesia.com/2008/10/ucu-sam/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

20 Tahun Kebangkitan Sastra-Teater Lamongan A Jalal A. Anzieb A. Khoirul Anam A. Mustofa Bisri A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja Abdoel Moeis Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdullah Abubakar Batarfie Abdurrahman Wahid Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Acep Iwan Saidi Achdiat K. Mihardja Achiar M Permana Adek Alwi Adhi Pandoyo Adib Baroya Aditya Ardi N Adri Sandra Adu Pesona Sang Wakil Cawapres RI Afrizal Malna Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agus Buchori Agus Dermawan T. Agus Mulyadi Agus Prasmono Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahmad Farid Yahya Ahmad Hasan MS Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Saifullah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alawi Al-Bantani Alfatihatus Sholihatunnisa Alfian Dippahatang Ali Audah Alim Bakhtiar Amie Williams Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amril Taufik Gobel An. Ismanto Andhi Setyo Wibowo Andi Andrianto Andong Buku #3 AndongBuku #3 Andrea Hirata Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Antologi Sastra Lamongan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Arafat Nur Ardi Wina Saputra Ardy Suryantoko Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arman A.Z. Arsyad Indradi Asarpin Ashimuddin Musa Asrul Sani Astuti Ananta Toer Atafras Audifax Awalludin GD Mualif Ayu Nuzul Azizah Hefni B Kunto Wibisono Bahrul Amsal Bambang Kempling Beni Setia Benny Benke Beno Siang Pamungkas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bloomberg Bre Redana Budaya Budi Darma Buldanul Khuri Bustan Basir Maras Candra Adikara Irawan Candrakirana Cangaan Ujungpangkah Gresik Jawa Timur Capres Cawapres 2019 Catatan Ceramah Cerpen Chairil Anwar Chicilia Risca CNN Indonesia Coronavirus COVID-19 D. Zawawi Imron Damiri Mahmud Darju Prasetya Darman Moenir Deddy Arsya Denny JA Denny Mizhar Devy Kurnia Alamsyah Dhoni Zustiyantoro Dian Sukarno Didin Tulus Dien Makmur Din Saja Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Donny Anggoro Donny Darmawan Dr. Hilma Rosyida Ahmad Dwi Cipta Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Dyah Ayu Fitriana Ecep Heryadi Edy Suprayitno Eka Budianta Eka Kurniawan Elok Dyah Messwati Engkos Kosnadi Erdogan Erwin Setia Esai Esti Nuryani Kasam Evan Ys F. Budi Hardiman F. Rahardi Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Fahrur Rozi Faidil Akbar Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathul Qorib Fatkhul Anas Feby Indirani Felix K. Nesi Festival Teater Religi Festival Teater Religi Pelajar SLTA Se-kabupaten Lamongan Fira Basuki Forum Santri Nasional (FSN) Frischa Aswarini Fuad Mardhatillah UY Tiba Fuad Nawawi Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gde Artawan Geger Riyanto Geguritan Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Guenter Grass Gus Ahmad Syauqi Gus tf Gusti Eka Habib Bahar bin Smith Haiku Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Han Gagas Hary B Koriun Hasan Basri Hasnan Bachtiar Heri Ruslan Herman Hesse Hertha Mueller Heru Kurniawan Hestri Hurustyanti Holy Adib Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu I Made Prabaswara I Made Sujaya IAI TABAH (Institut Agama Islam Tarbiyatut Tholabah) Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Iksaka Banu Imam Jazuli Imam Nawawi Imammuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Mahadi Indra Tjahyadi Irfan Afifi Irine Rakhmawati Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS J.S. Badudu Jadid Al Farisy Jajang R Kawentar Jawa Timur Jean Marie Gustave le Clezio JJ. Kusni Jl Raya Simo Sungelebak Jo Batara Surya John H. McGlynn Jordaidan Rizsyah Jual Buku Paket Hemat Juara 3 Lomba Lompat Jauh DISPORA LAMONGAN Jurnalisme Sastrawi K.H. Ma'ruf Amin Kadek Suartaya Kaheesa Kirania Putri Ayu Kahfie Nazaruddin Kalis Mardiasih Kamaluddin Ramdhan Kanti W. Janis Karanggeneng Kardono Setyorakhmadi Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Pantura (KBP) KetemuBuku Jombang KH. M. Najib Muhammad KH. Muhammad Amin (1910-1949) Khairul Mufid Jr Khawas Auskarni Khoirul Abidin Khoshshol Fairuz Ki Ompong Sudarsono Kitab Arbain Nawawi Kodrat Setiawan Kompas TV Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA) Komunitas Sastra dan Teater Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Komunitas-komunitas Teater di Lamongan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Luar Biasa Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) Kopuisi Kostela Kritik Sastra Kumpulan Cerita Buntak Kurnia Effendi Kuswaidi Syafi’ie L Ridwan Muljosudarmo L.K. Ara Lamongan Lan Fang Lawi Ibung Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Literasi Liza Wahyuninto Lukas Luwarso Lukisan Lukman Lukman Santoso Az Lutfi Mardiansyah M Farid W Makkulau M. Faizi M.D. Atmaja Madrasah Aliyah Matholi'ul Anwar Madrasah Ibtida’iyah Thoriqotul Hidayah 1 Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S Mahayana Manado Manneke Budiman Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mario F. Lawi Marsel Robot Martin Aleida Marwanto Mashuri Massayu Masuki M. Astro Masyhudi Media Seputar Pendidikan Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Purnama di Kampung Halaman Mereka yang Menjerat Gus Dur MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mien Uno Moh. Dzunnurrain Moh. Jauhar al-Hakimi Mohammad Rafi Azzamy Mohammad Rokib Mohammad Yamin Muafiqul Khalid MD Much. Khoiri Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alfatih Suryadilaga Muhammad Antakusuma Muhammad Fikry Mauludy Muhammad Hafil Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad N. Hassan Muhammad Subarkah Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Muhyiddin Mukadi Mukani Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Musa Ismail Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang E S Nara Ahirullah Naskah Teater Nezar Patria Noor H. Dee Nunus Supardi Nur Haryanto Nur Wachid Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Okky Madasari Olivia Kristina Sinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pagelaran Musim Tandur Palupi Panca Astuti Pameran Lukisan Parimono V / 40 Plandi Jombang PC. Lesbumi NU Babat PDS HB Jassin Pelukis Dahlan Kong Pelukis Tarmuzie Penculikan Aktivis 1988 Pendidikan Pengajian Pengarang kelahiran Lamongan Pentigraf Pepaosan Perbincangan Peringatan Hari Pahlawan 10 November Pilang Tejoasri Laren Lamongan Jawa Timur Pipiet Senja Politik Pondok Pesantren Ali Bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Jokowi Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi (PMK) Puji Santosa Pustaka LaBRAK PUstaka puJAngga R. Ng. Ronggowarsito Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rasanrasan Boengaketji Raudlotul Immaroh Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Reuni dan Halal Bihalal Mts Putra-Putri Simo 1992 Ribut Wijoto Riki Antoni Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Robin Al Kautsar Rodli TL Roland Barthes Rosi Rosihan Anwar RR Miranda Rumah Budaya Pantura (RBP) S. Jai S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabrank Suparno Safitri Ningrum Sainul Hermawan Sajak Salman Aristo Sandiaga Uno Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Sastra Tasikmalaya (SST) Sarasehan dan Launching Buku Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Kuno Suku Sasak Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Satu Jam Sastra Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSAstra Boenga Ketjil Seni Gumira Ajidarma Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seputar Sastra Pendidikan Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sirdjanul Ghufron Siwi Dwi Saputro Slamet Rahardjo Rais Soediro Satoto Soekarno Soeparno S. Adhy Soesilo Toer Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Sri Handi Lestari Sri Wintala Achmad STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sujatmiko Sukarno Suminto A. Sayuti Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahrudin Attar Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari Sylvianita Widyawati Tangguh Pitoyo Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Ilat Teater nDrinDinG Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tias Tatanka Timur Sinar Suprabana Titi Aoska Tiyasa Jati Pramono Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Toni Masdiono Tri Broto Wibisono TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Tulus Wijanarko Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Jember Universitas Negeri Jember Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyu Aji Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Wiji Thukul Wildan Nugraha Wildana Wargadinata Yanusa Nugroho Yasraf Amir Piliang Yerusalem Ibu Kota Palestina Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhi Herwibowo Yuditeha Yusri Fajar Yuval Noah Harari Zainal Arifin Thoha Zainuddin Sugendal Zara Zettira ZR Zehan Zareez Zuhdi Swt