Di atas meja triplek berwarna hitam, berlembar-lembar kertas berserakan. Di luar jendela, gang sempit membentang lengkap dengan bendera kebangsaan yang lusuh, melambai-lambai diterpa angin, seakan-akan atau seperti yang telah dikatakan bahwa bangsa ini telah merdeka dari kolonialisme putih. Di sisi kanan meja, ada kursi kayu tua dipernis sedemikian rupa, sehingga dapatlah engkau melihat dirimu di sana. Di sisi kiri meja, gorden berumbai pembatas ruangan yang tidak begitu luas itu dengan dua kamar, terayun-ayun. Tujuh kaki dari meja itu, pintu kaca berdecit. Itu terdengar seperti requiem. Kadang-kadang, terlihat seperti rengkuh seorang tentara yang hidup tanpa sepasang tangan. Tak lama kemudian, seorang lelaki pendek, berantakan, dan jelek muncul dari balik pintu. Wajahnya masam. Langkah kakinya hampir tidak terdengar. Dia duduk di kursi kayu itu dan meraba-raba setiap lembaran kertas itu. Kemudian, tangannya yang pendek mengambil selembar kertas dan membacanya dengan seksama.
Aku penulis cerita yang buruk, gumamnya. Bagaimana para penerbit cerita-cerita semacam ini?! Lelaki pendek itu kemudian mengambil lembaran kertas kedua dan membacanya secara seksama. Cinta, gumamnya lagi. Para redaktur yang agung, jelas akan mengejek cerita semacam ini! Oh! Kemudian lelaki itu mengambil lembaran kertas ketiga dan membacanya secara seksama. Kali ini, dia membisu. Sepasang matanya terpaku pada plot cerita di dalamnya. Bagaimana pun, dia tak mungkin bisa memungkiri bahwa pada lembaran kertas ketiga itu, tampak rumah-rumah baja tumbuh menjamur di atas tanah gersang - tanah kelahirannya yang telah habis. Kata demi kata yang telah ditulisnya, membuatnya terperanjat, mendongakkan kepala, kemudian memejamkan mata. Dan, cerita ini baru saja dimulai.
Orang kebanyakan bisa memperindah kesedihan korban-korban penindasan. Orang kebanyakan bisa mengatakan bahwa kaum miskin kota adalah simbol kegagalan negara. Namun, tidak seorang pun di antara mereka memiliki kesudian menjadi dan hidup di antara korban-korban dan kaum miskin kota itu. Lelaki pendek itu bangkit dari dipan tuanya. Matanya sembab dan merah. Semalam, pada musim hujan pertama, dia menghabiskan bacaannya; sebuah buku kumpulan cerita pendek tentang kesaksian dan cinta. Hal itu dia lakukan selama tiga tahun belakangan ini. Untuk membunuh kemalasan menulis, katanya. Setelah sarapan, lelaki pendek itu menapaki anak tangga yang berujung persis di ruangan berpintu serba kaca. Di sanalah, hampir sepanjang hari dia menghabiskan waktu untuk menulis.
“Menulis, membuatku hidup. Kata-kata telah membentuk diriku. Bagaimana aku akan mengkhianati itu dengan berpura-pura bekerja sebagai juru parkir atau tukang pos?! Katakan kepadaku, wahai penulis yang malang!” kata lelaki pendek itu kepada dirinya sendiri ketika dia berdiri persis di depan pintu, kemudian melanjutkan, “hari ini aku harus melahirkan satu cerita yang menarik yang bisa membuatku bertahan.”
Bagi lelaki pendek itu, menjadi penulis adalah kutukan. Engkau, katanya, takkan mungkin dapat membaca kehidupan dan kekacauan yang telah lalu. Karena kutukan, dia merasa ada semacam kengerian tersendiri. Bagaimana pun, pikirnya, sudah terlampau banyak penulis yang hidup sebagai parasit dan menulis cerita-cerita sekadarnya. Pula sudah terlampau banyak penulis, kiri-kanan-atas-bawah-haluan kiri-haluan kanan, melakukan kejahatan; mereka mengambil semangat perjuangan korban-korban penindasan dan kaum miskin kota menjadi cerita yang menarik, indah, dan menyengit. Maxim Gorki dan Pramoedya Ananta Toer sekalipun! Bukankah mereka menulis bukan atas dasar kemerdekaan individu, melainkan titah partai! Dan, bukankah segala bentuk titah adalah kekuasaan yang bisu yang sukar kita lawan, sekali pun kita adalah bagian dari perjuangan dan pesakitan?! Lelaki pendek itu, tiba-tiba, merobek selembar kertas berisi bakal cerita miliknya.
Setelah itu, lelaki pendek itu membanting penanya dan kursi kayu tuanya. Kemarahan yang meledak-ledak di dadanya. Dia mencintai dunia penulis, tetapi tak satu pun cerita selesai tertulis. Ada semacam kutukan yang lain, kutukan bahwa sesungguhnya dia belum pantas menjadi seorang penulis. Cintanya kepada dunia penulis, membuatnya hina. Kemudian, lelaki itu duduk di kursi di tepi gang sempit yang membentang lengkap dengan bendera kebangsaan yang lusuh, melambai-lambai kepadanya. Matanya yang sembab dan merah menatap bendera itu cukup lama. Imajinasi kepenulisannya muncul. Bendera kebangsaan itu tampak seperti sebuah rumah baja yang telah merampas tanah-airnya. Ada ribuan orang hidup di sana, di tanah gersang itu. Tidak lain. Semakin lelaki pendek itu menatap bendera kebangsaan itu, semakin hanyut pula dia dalam imajinasinya, sehingga pada satu titik dia bertemu dengan seorang buruh, perempuan yang mirip seperti ibunya, mengangkat sekarang pupuk yang sama beratnya dengan tubuhnya.
Ketika lelaki pendek itu hendak membantu, perempuan itu menolak. Tak baik, katanya. Orang kota seperti lelaki pendek itu tak semestinya berada di lingkungan rumah baja. Para petugas atau para mandor akan mencurigainya. Bahkan, tak segan-segan menghabisinya. Tetapi, lelaki pendek itu bersikeras dan mengatakan bahwa perempuan itu mirip dengan ibunya. Sekali lagi, perempuan itu menolak. Dan, lelaki pendek itu kalah. Dia menghentikan dirinya untuk memaksa perempuan itu. Akhirnya, dia menunggu perempuan itu menyelesaikan pekerjaannya. Sembari menunggu, pintu serba kaca itu berdecit. Kini, itu tak terdengar seperti requiem, melainkan suara istrinya.
“Apa yang engkau lamunkan?” kata istrinya.
Lelaki pendek itu terkejut, kemudian bangkit dan berjalan perlahan menuju istrinya.
“Tidak ada yang bisa kita makan hari ini. Cobalah pergi ke toko buku dan jual beberapa buku koleksimu. Atau, bukankah engkau memiliki seorang teman yang memiliki penerbitan. Katakan, bahwa engkau memiliki cerita-cerita yang menarik tentang perjuangan, penindasan, perlawanan, dan kegagalan sebagai hasilnya. Bukankah para pembacamu menyukai cerita-cerita demikian?! Aku malu, sungguh, jika aku harus datang ke rumah keluarga besar. Mereka tidak sepertimu, jadi jangan memaksa diri untuk tampak bahwa engkau memiliki kemampuan.”
Lelaki pendek itu tak menggubris. Kemudian dia duduk di kursi kayu tuanya dan mengambil selembar kertas baru untuk cerita baru yang muncul dalam kepalanya. Sementara itu, istrinya kembali ke kamar dan berharap bahwa lelaki pendek itu dapat menyelamatkan mereka.
Pukul sebelas malam, gerimis tiba sejam sebelum terompet kereta terdengar. Lelaki itu berjuang sekuatnya untuk menulis cerita tentang cintanya kepada tanah air dan keluarganya; lebih-lebih dia berharap temannya yang memiliki penerbitan itu bersedia membacanya dan membayar di awal. Akan tetapi, hingga langit subuh sebentar lagi robek, matahari segera muncul, dan hidupnya akan begitu saja lagi, tidak satu pun cerita berhasil dia tuliskan. Semua percobaan berakhir di kata pertama, kata pembuka. Entah mengapa. Karena sudah tak kuasa lagi, lelaki pendek itu pergi ke dapur, mencopot tabung gas kemudian melempar sebilah korek api ke sana, maka api menyala-nyala membakar semuanya. Benar, semuanya. Tak tersisa. Bau daging panggang dan rambut terbakar memenuhi setiap sudut gang! Dan, bendera kebangsaan itu berhenti melambai-lambai. Entah mengapa.
Surabaya, 2021 http://pustakapujangga.com/2021/08/bagaimana-cinta-menghabisi/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar