Yang dimaksud dengan bekal dasar pengapresiasi sastra ialah bekal minimal yang harus ada dan dimiliki oleh pengapresiasi sastra agar dapat melakukan kegiatan apresiasi sastra secara minimal dan bersifat dasar. Segala sesuatu yang, inheren, melekat dalam diri pengapresiasi sastra bisa dijadikan bekal dasar. Jadi, bekal dasar ini bukan hasil pembelajaran yang khusus, melainkan bawaan dan penguasaan secara alamiah. Dalam batas tertentu memang dapat berupa hasil pembelajaran yang umum.
Terdapat bermacam-macam bekal dasar. Berikut ini bekal-bekal dasar apresiasi sastra. Pertama, bekal dasar paling utama dan penting yang harus ada dan dimiliki oleh pengapresiasi sastra ialah kemauan, kesudian, kesediaan, dan ketetapan hati untuk menggumuli dan menggauli karya sastra. Tanpa kemauan, kesudian, dan ketetapan hati ini niscaya kegiatan apresiasi sastra tidak akan bisa berlangsung.
Sebagai contoh, jika Laila Kinanti akan mengapresiasi Amba karya Laksmi Pamuntjak terbitan Gramedia paruh kedua Abad XXI, maka pertama-tama dia harus memiliki kemauan, kesudian, kesediaan, dan ketetapan hati untuk menggumuli dan menggauli Amba agar kegiatan mengapresiasi Amba dapat berlangsung dengan baik. Tanpa ini semua jelas Laila Kinanti tidak akan bisa mengapresiasi Amba karena proses kontak atau komunikasi antara dirinya dan karya sastra Amba tidak dapat berlangsung atau bersimpang maksud. Tanpa kontak atau komunikasi dengan karya sastra, niscaya makna karya sastra yang tak berpendaran atau bermunculan.
Kedua, bekal dasar selanjutnya yang harus ada dan dimiliki oleh pengapresiasi sastra ialah perasaan, keyakinan, dan pikiran yang positif akan manfaat, nilai guna, dan faedah karya sastra dalam kehidupan manusia baik kehidupan sehari-hari maupun segi-segi kehidupan tertentu. Bahwa karya sastra memenuhi hajat rohaniah manusia, merupakan tempat mendulang bahan-bahan renungan, dan merupakan kebutuhan rohaniah manusia perlu dirasakan, diyakini, dan diakui oleh pengapresiasi sastra agar bisa melakukan kegiatan apresiasi sastra secara khusuk dan sungguh-sungguh nikmat.
Sebagai contoh, jika Aruming Ramadani mengapresiasi Duka-Mu Abadi (Sapardi Djoko Damano), maka dia harus bisa merasakan, yakin, dan tahu bahwa Duka-Mu Abadi bisa menjadi bahan renungan dan memenuhi kebutuhan rohaniahnya. Misalnya, dengan membaca kumpulan puisi tersebut dia yakin akan mendapatkan permenungan tentang kemaha-segalaan Tuhan. Kalau tidak, niscaya proses apresiasi sastra tidak dapat berlangsung sebagaimana diharapkan sebab ibaratnya gayung tidak bersambut; dalam hal ini gayungnya karya sastra.
Ketiga, pengalaman hidup sehari-hari juga merupakan bekal dasar. Adanya dan dimilikinya pengalaman hidup sehari-hari, misalnya merasakan bunyi-bunyi yang demikian merdu, keindahan-keindahan ketika mendengarkan sesuatu, kegembiraan dan kesedihan saat menghadapi sesuatu, dan kepekaan menangkap sesuatu yang sesuai dengan cita rasa dan tidak sesuai dengan cita rasa, menopang proses berlangsungnya apresiasi sastra. Jika Laila Kinanti mengapresiasi puisi-puisi Chairil Anwar dalam Aku Ini Binatang Jalang, maka pengalaman-pengalamannya tentang hal-hal tersebut akan ikut menopang proses keberlangsungan apresiasi Aku Ini Binatang Jalang. Setidak-tidaknya apresiasinya akan lebih bermakna, meluas, dan mendalam. Jadi, dalam batas-batas tertentu pengalaman hidup sehari-hari bisa memantapkan proses apresiasi sastra.
Keempat, kemampuan dan kemahiran berbahasa juga merupakan bekal dasar yang perlu ada dan dimiliki oleh pengapresiasi sastra. Kemampuan menyimak, membaca, berbicara, dan menulis secara minimal perlu dimiliki oleh pengapresiasi sastra. Menguasai keempat kemampuan dan kemahiran tersebut tentulah baik sekali. Namun, setidak-tidaknya pengapresiasi sastra menguasai dengan baik salah satu di antara empat kemampuan dan kemahiran tersebut. Kemampuan membaca dan berbicara seyogianya dikuasai dengan baik karena diperlukan untuk membaca karya-karya sastra tulis dan melisankan karya-karya sastra tulis seperti deklamasi, teatrikalisasi, poetry reading, dan story telling.
Keempat bekal dasar tersebut di atas menjadi prasyarat agar seseorang dapat melakukan kegiatan apresiasi sastra. Keempat bekal dasar tersebut menentukan berlangsung tidaknya kegiatan apresiasi sastra sehingga seseorang pengapresiasi sastra perlu memiliki empat bekal dasar tersebut. Untuk memilikinya seorang pengapresiasi sastra tidak perlu mengikuti pembelajaran secara khusus karena empat bekal dasar tersebut dapat dimiliki selama menjalani hidup dan kehidupan (bermasyarakat). Jadi, pengapresiasi sastra dapat memiliki dan menguasainya dengan sendirinya jika benar-benar memaknai setiap perjalanan dan pengalaman hidupnya.
Bersambung 17
*) Prof. Dr. Djoko Saryono, M.Pd., Guru Besar Jurusan Sastra Indonesia di Fakultas Sastra pada kampus UNM (Universitas Negeri Malang). Telah banyak menghasilkan buku, artikel apresiasi sastra, serta budaya. Dan aktif menjadi pembicara utama di berbagai forum ilmiah kesusatraan tingkat Nasional juga Internasional. http://sastra-indonesia.com/2021/08/bekal-dasar-pengapresiasi-sastra-16/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar