Sastra sebagai salah satu cabang seni, cukuplah banyak digemari oleh masyarakat di Jawa Timur. Hal tersebut dapat terlihat dari maraknya keberadaan komunitas sastra, baik Indonesia maupun Jawa yang hidup dan berkembang di Provinsi Jawa Timur. Komunitas-komunitas tersebut misalnya: FASS (Forum Apresiasi Sastra Surabaya), Forasamo (Forum Apresiasi Sastra Mojokerto), Sanggar Sastra Kalimas (Unesa), Komunitas Sastra Rabo Sore (Unesa), FS3LP (Forum Studi Sastra & Seni Luar Pagar Unair), FSBS (Forum Sastra Bersama Surabaya), Komunitas Sastra Teater Persada (Ngawi), Komunitas BMS (Bengkel Muda Surabaya), Kostela (Komunitas Sastra dan Teater Lamongan), KSLP (Komunitas Sastra Lembah Pring – Jombang), KSE (Komunitas Sastra Esok – Sidoarjo), KARS (Komunitas Alam Ruang Sastra – Sidoarjo), dan mungkin masih banyak lagi. Sementara komunitas sastra Jawa, ada Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya (PPSJS), Pamarsudi Sastra Jawi Bojonegoro (PSJB), Sanggar Sastra Jawa Triwida (SSJT) Tulungagung, dan Sanggar Sastra Parikuning (SSP) di Sempu, Banyuwangi.
Banyak pula naskah karya sastra yang ditulis sastrawan Jawa Timur, selain berupa buku, juga berupa karya-karya lepas yang termuat di berbagai media-massa (surat kabar dan majalah), baik terbitan lokal Jawa Timur maupun nasional. Karya tersebut dapat berupa buku prosa (cerita pendek/cerita sambung), puisi, bahkan naskah drama. Sedangkan mereka yang masih pemula, banyak pula yang menulis di ruang-ruang dunia maya atau internet, semacam: facebook, blogspot, twitter, wordpress dan lain sebagainya. Sebagian yang lain, malah buat kumpulan puisi atau cerpen sendiri, dan kemudian dibacakan pada forum-forum diskusi sastra, yang kini kian menjamur di Jawa Timur. Baik yang diselenggarakan di ibu kota provinsi, Surabaya, atau kota-kota di wilayah Jawa Timur, semacam: Jombang, Mojokerto, Gresik, Sidoarjo, Sumenep, Pamekasan, Bangkalan, Lamongan, Lumajang, Malang, Jember, Banyuwangi, Ngawi, dan mungkin masih banyak lagi.
Fenomena semacam ini tentunya sangatlah menggembirakan bagi masyarakat sastra Jawa Timur, dan hal ini tentunya, layak untuk diakomodasi oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Semisal dibuatkan sendiri majalah Sastra dan Budaya tingkat Jawa Timur. Mengapa demikian?
Sebab selama ini, majalah sastra Horison, satu-satunya majalah sastra di Indonesia itu, tidak lagi bisa menampung karya-karya sastra yang membludak (baik dari Jatim maupun karya-karya sastra dari provinsi lain) yang cakupannya se-Indonesia.
Di Jawa Timur sendiri, karya sastra yang dilahirkan telah begitu banyaknya. Terbukti dengan banyaknya komunitas-komunitas sastra menerbitkan karyanya sendiri, tanpa pernah kita ketahui, apakah pernah dimuat di sebuah koran atau majalah. Meski sebenarnya hal tersebut tidak menjadikan ukuran baik-tidaknya sebuah karya sastra, tapi setidaknya bisa dijadikan semacam parameter sementara; bahwa karya-karya tersebut telah terseleksi oleh dewan redaksi sebuah koran atau majalah yang telah memuatnya.
Hal tersebut akan lebih baik, ketika naskah-naskah sastra karya sastrawan muda Jatim itu, bisa ditampung dalam sebuah majalah sastra sendiri, terbitan Jawa Timur. Tidak ikut nebeng (gabung) nama di majalah sastra satu-satunya di Indonesia, bernama Horison, yang mana mereka harus berjuang melawan antrian panjang dari para penulis lain di luar Jawa Timur. Sungguh, kerja yang melelahkan!
Nah… apabila Jawa Timur punya majalah sastra sendiri, antrian panjang melelahkan itu akan bisa sedikit kita kurangi. Sekaligus menampung kreativitas sastrawan muda yang kian membludak jumlahnya.
Majalah Sastra Jatim, Mungkinkah?
Sekian tahun yang lalu, sekitar tahun 1980-1990-an, membuat semacam majalah kebudayaan yang memuat sastra di Jawa Timur memang telah dirintis oleh beberapa komunitas sastra. Pertama, Teater Ideot, yang diprakarsai oleh Muhammad Sinwan, dengan menerbitkan majalah kebudayaan ‘Iklim’. Kedua, komunitas Sanggar Sastra Kalimas, yang dimotori Tengsoe Tjahjono (IKIP Surabaya, sekarang Unesa) menerbitkan majalah kebudayaan ‘Kalimas’ Surabaya.
Dua majalah yang berlabel ‘majalah kebudayaan’ ini banyak memuat karya sastra, baik cerpen dan puisi. Hal ini disebabkan redaksi pengelolanya berangkat dari mahasiswa jurusan bahasa dan sastra Indonesia, dan pemain teater. Sehingga tidaklah salah, jika banyak memuat karya sastra. Akan tetapi dua majalah ini tidak bisa bertahan lama. Di samping tidak didukung dana yang kuat, juga kesulitan dalam menjual, dan mendistribusikan majalahnya.
Sedangkan majalah berlabel ‘Buletin DKS’ yang diterbitkan Dewan Kesenian Surabaya pada waktu itu, juga tidak bertahan lama penerbitannya. Lantas buletin itu pun tidak terbit tanpa diketahui sebabnya. Tapi syukurlah, kini ada gantinya, “Alur” yang juga diterbitkan Dewan Kesenian Surabaya. Moga-moga bisa bertahan, dan jadi alternatif bagi para penulis sastra Jawa Timur, utamanya kaum muda. Ada juga majalah “Pandom” jurnal budaya Surabaya, tak lama terbit juga mati. Sementara majalah seni dan budaya‘Kidung’ terbitan Dewan Kesenian Jawa Timur, meski tetap terbit, tapi tidak kontinyu sebulan sekali terbitannya. Bahkan distribusi majalah ‘Kidung’ juga tidak menjangkau luas kepada masyarakat. Begitu pula majalah ‘Bende’ terbitan Dikbangkes Jatim, tidak menjangkau banyak masyarakat luas di Jawa Timur.
Di tengah hiruk pikuknya anak-anak muda sekarang lagi keranjingan menulis sastra (cerpen maupun puisi), maka selayaknyalah Pemerintah Provinsi Jatim, c.q Dewan Kesenian Jawa Timur, untuk membuat majalah sastra Jatim sendiri. Atau memperbaiki penerbitan dan distribusinya majalah seni dan budaya ‘Kidung’ itu menjadi terbit secara kontinyu, setiap sebulan sekali. Memuat karya sastra, yang berupa prosa, puisi, dan naskah drama. Apa lagi kini ketua DKJT baru, baru saja terpilih kedua kalinya.
Jawa Timur punya banyak nama-nama sastrawan yang cukup disegani di tingkat Nasional, seperti: Budi Darma, Suparto Brata, Akhudiat, D. Zawawi Imron, dan seabreg yang lain. Lantas ada nama-nama yang lebih muda: Tengsoe Tjahjono, Sabrot D. Malioboro, Suharmono Kasijun, Beni Setia, Rusdi Zaki, Bonari Nabonenar, M. Shoim Anwar, Aming Aminoedhin, Herry Lamongan, R. Giryadi, Widodo Basuki, Tjahjono Widarmanto & Widijanto, Mashuri, HU Mardiluhung, W. Haryanto, Indra Tjahyadi, Zoya Herawati, Wina Bojonegoro, Sirikit Syah, dan banyak lagi.
Nama-nama para sastrawan tersebutlah yang sebenarnya bisa mejadi tim redaksi majalah sastra budaya Jatim yang akan kita buat nanti. Nama-nama mereka itu cukuplah handal untuk bisa menyeleksi naskah masuk yang mungkin akan berjibun jumlahnya.
Persoalannya sekarang, apakah Pemerintah Provinsi Jawa Timur (cq DKJT), benar-benar mau menerbitkan majalah sastra Jatim sendiri? Atau barangkali melalui UPT Dikbangkes majalah itu bisa diterbitkan?
Harapannya, majalah seni budaya tersebut, jika terbit haruslah menjangkau banyak masyarakat seni secara luas di Jawa Timur. Utamanya para guru seni budaya di sekolah. Adakah bisa? Saya pikir masih bisa! Mungkinkah? Sangat mungkin!
Desaku Canggu, 27/12/2013
*) Penyair, Ketua Forum Sastra Bersama Surabaya (FSBS), dan tinggal di Canggu, Mojokerto. http://sastra-indonesia.com/2014/05/majalah-seni-budaya-di-jatim/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar