Audifax *
rumahbukuku.wordpress.com
‘Tanda dan Pelampauan Tanda’, itulah yang saya tangkap dari buku ‘Hipersemiotika – Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna’ yang terbit pada tahun (2003). buku karya Yasraf Amir Piliang ini pernah terbit sebelumnya dengan judul ‘Hiper-realitas Kebudayaan’ yang kemudian ‘diterbitkan kembali’ dengan beberapa penambahan. buku ini, bisa dikategorikan sebuah pengantar untuk memelajari semiotika posmodern, atau postrukturalisme
gagasan Jean Baudrillard, tampak cukup pekat terasa dalam nuansa buku ini,
meski YAP juga membahas pemikir-pemikir lain seperti: Jacques Lacan, Umberto
Eco, Gilles Deleuze, Felix Guattari, Julia Kristeva dan banyak lain. kekhasan
ini yang barangkali membuat pemikiran YAP mudah dikenali, tidak hanya lewat
buku ini, namun lewat buku-buku lainnya, terutama yang terbit di seputar 1998-2004
hal lain yang menarik dari buku ini adalah ketika penulis menggunakan gerbang seni, terutama seni visual sebagai pintu masuk. namun, pembahasan yang dilakukan sepanjang buku ini, tak hanya membawa pembaca keluar lewat pintu yang sama, namun bisa ditarik ke berbagai arah yang berkaitan dengan budaya
hal lain yang menarik dari buku ini adalah ketika penulis menggunakan gerbang seni, terutama seni visual sebagai pintu masuk. namun, pembahasan yang dilakukan sepanjang buku ini, tak hanya membawa pembaca keluar lewat pintu yang sama, namun bisa ditarik ke berbagai arah yang berkaitan dengan budaya
setelah bab prolog, pembaca akan memasuki tinjauan filosofis modernisme dan
posmodernisme. meski di judul bab terkesan adanya keseimbangan antara tinjauan
modernisme dan posmodernisme, namun YAP tidak terlalu banyak membahas
modernisme. YAP justru memulai pembahasan melalui Hegel, yang jika dicermati
merupakan pemikir modernisme penting bagi pemikiran Baudrillard. Setelah Hegel,
YAP membawa pada mazhab Franfurt dan kemudian Nietzche, Heidegger, sebagai mediasi
sebelum membahas pemikir-pemikir postrukturalis semacam Lacan, Deleuze,
Guattari, (Giani) Vattimo, dll. di akhir bab, YAP memungkasi dengan kelincahan
kombinasi pembahasan antara pemikiran Marx dan Baudrillard
bab selanjutnya adalah soal diskursus dalam posmodernisme. seperti bisa dilihat dari judul babnya, mungkin pembaca bisa menebak bahwa porsi Michel Foucault cukup banyak di bab ini. tebakan itu tidaklah salah. Foucault memang cukup mendominasi bahasan di bab ini. YAP masuk melalui Lyotard, lalu membawa pembaca melewati pembahasan diskursus foucaldian, untuk kemudian berbelok pada persimpangan the death of the author, sebuah pemikiran yang mempertemukan antara pemikiran Foucault dan Barthes. lewat persimpangan ini, YAP bisa masuk pada pemikiran Kristeva tentang intertekstualitas, melanjutkan pada dekonstruksi Derrida, dan kembali memungkasi bab dengan pemikiran Baudrillard yang dikombinasikan dengan Eco
tampaknya bab mengenai diskursus merupakan jembatan juga untuk masuk ke bab berikutnya yang membahas konsumerisme dan skizofrenia. bab ini tak terlalu panjang, dan seperti judulnya, pembaca bisa menebak bahwa ada pemikiran Deleuze dan Guattari di sana. YAP mengombinasikan pemikiran Deleuze dan Guattari, dengan Hegel, Marx, dan melalui dua pemikir terakhir, membawa pada pemikiran Baudrillard
bab selanjutnya adalah wawasan semiotika dan posmodernisme. YAP membuka dengan pemikiran semiotika klasik Saussure, lalu membawa pembahasan melalui Baudrillard, Eco, Barthes dan Williamson. bab ini membahas tentang tanda, kode dan bagaimana semua itu membuat realitas yang ilusif atau simulatif. seni dan ideologi yang sedikit dibahas di sini, menjadi batu loncatan untuk masuk ke bab berikutnya: Gaya, Estetika dan Posmodernisme. kajian budaya nampak kental di bab ini
pembahasan mengenai budaya masih berlanjut di bab berikutnya: dari konsep-konsep posmodernisme menuju estetika posmodernisme. di sini, para peminat cultural studies, diperkenalkan pada sejumlah konsep seperti: pastiche, parodi, kitsch, camp dan skizofrenia. di bab inilah barangkali, yang membuat buku Hipersemiotika ini memiliki kelebihan untuk dijadikan buku pegangan dalam perkuliahan. meski masih diperlukan membaca literatur lain jika ingin mendalami, namun pengenalan istilah-istilah tersebut membantu mahasiswa untuk masuk ke dalam posmodernisme
dua bab terakhir banyak diisi pembahasan mengenai seni. sejumlah contoh karya seni, tabel dan bagan, membuat dua bab terakhir ini terkesan cukup praktis dan mudah dipahami. pada bab penutup, YAP menunjukkan oposisi biner dalam semiotika (strukturalisme) dan apa yang melampaui oposisi biner tersebut. secara umum, komposisi materi pembahasan dalam Hipersemiotika, cukup untuk mengukuhkan buku ini sebagai sebuah buku penting karya penulis Indonesia, yang membahas posmodernisme secara komprehensif
bab selanjutnya adalah soal diskursus dalam posmodernisme. seperti bisa dilihat dari judul babnya, mungkin pembaca bisa menebak bahwa porsi Michel Foucault cukup banyak di bab ini. tebakan itu tidaklah salah. Foucault memang cukup mendominasi bahasan di bab ini. YAP masuk melalui Lyotard, lalu membawa pembaca melewati pembahasan diskursus foucaldian, untuk kemudian berbelok pada persimpangan the death of the author, sebuah pemikiran yang mempertemukan antara pemikiran Foucault dan Barthes. lewat persimpangan ini, YAP bisa masuk pada pemikiran Kristeva tentang intertekstualitas, melanjutkan pada dekonstruksi Derrida, dan kembali memungkasi bab dengan pemikiran Baudrillard yang dikombinasikan dengan Eco
tampaknya bab mengenai diskursus merupakan jembatan juga untuk masuk ke bab berikutnya yang membahas konsumerisme dan skizofrenia. bab ini tak terlalu panjang, dan seperti judulnya, pembaca bisa menebak bahwa ada pemikiran Deleuze dan Guattari di sana. YAP mengombinasikan pemikiran Deleuze dan Guattari, dengan Hegel, Marx, dan melalui dua pemikir terakhir, membawa pada pemikiran Baudrillard
bab selanjutnya adalah wawasan semiotika dan posmodernisme. YAP membuka dengan pemikiran semiotika klasik Saussure, lalu membawa pembahasan melalui Baudrillard, Eco, Barthes dan Williamson. bab ini membahas tentang tanda, kode dan bagaimana semua itu membuat realitas yang ilusif atau simulatif. seni dan ideologi yang sedikit dibahas di sini, menjadi batu loncatan untuk masuk ke bab berikutnya: Gaya, Estetika dan Posmodernisme. kajian budaya nampak kental di bab ini
pembahasan mengenai budaya masih berlanjut di bab berikutnya: dari konsep-konsep posmodernisme menuju estetika posmodernisme. di sini, para peminat cultural studies, diperkenalkan pada sejumlah konsep seperti: pastiche, parodi, kitsch, camp dan skizofrenia. di bab inilah barangkali, yang membuat buku Hipersemiotika ini memiliki kelebihan untuk dijadikan buku pegangan dalam perkuliahan. meski masih diperlukan membaca literatur lain jika ingin mendalami, namun pengenalan istilah-istilah tersebut membantu mahasiswa untuk masuk ke dalam posmodernisme
dua bab terakhir banyak diisi pembahasan mengenai seni. sejumlah contoh karya seni, tabel dan bagan, membuat dua bab terakhir ini terkesan cukup praktis dan mudah dipahami. pada bab penutup, YAP menunjukkan oposisi biner dalam semiotika (strukturalisme) dan apa yang melampaui oposisi biner tersebut. secara umum, komposisi materi pembahasan dalam Hipersemiotika, cukup untuk mengukuhkan buku ini sebagai sebuah buku penting karya penulis Indonesia, yang membahas posmodernisme secara komprehensif
*) Direktur Operasional Rumah Buku – YAP Institute. http://sastra-indonesia.com/2017/11/tanda-dan-melampaui-tanda/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar