Pos Kupang, 8 Juni 2017
Buku kumpulan cerita pendek (cerpen) yang diulas ini berjudul Usaha Membunuh Sepi (2016), karya sastrawan muda NTT, Felix K. Nesi. Diterbitkan oleh Penerbit Pelangi Sastra, Malang. Buku tipis 67 halaman dengan format kecil 13 x 20 cm ini berisi sembilan buah cerpen dan tiga gambar ilustrasi. Adapun judul masing-masing cerpen adalah: Ponakan, Sang Penulis, Sebelum Minggat, Usaha Membunuh Sepi, Pembual, Kenangan, Belis, Indra, dan Tokoh Utama.
Tentang penulis Felix K. Nesi sendiri tidak banyak diberi keterangan. Hanya tertulis di kover belakang buku, lahir di Nesam, NTT, tamat dari SMA Seminari Lalian, Atambua, tahun 2008. Karyanya pernah dipublikasikan dalam sejumlah surat kabar nasional dan dalam sejumlah buku antologi bersama penulis lain. Terpilih mengikuti Makasar International Writers Festival dan sebagai Emerging Writers. Menyukai puisi dan ketabahan orangtuanya.
Saya menerima buku ini pertengahan tahun 2016 lalu. Waktu menerima saya hanya perhatikan sepintas lalu saja. Di samping bukunya terlalu tipis, juga warna kovernya kurang menantang lensa mata. Akhirnya saya letakkan begitu saja di antara buku-buku lain yang menunggu giliran untuk dibaca. Setelah buku-buku lain habis terbaca, barulah buku ini mendapat giliran untuk dibaca.
Sewaktu membaca cerpen pertama dan kedua saya kaget. Ternyata cerpen yang ada di dalamnya bukanlah cerpen biasa, bukan cerpen murahan. Bobot isi cerpen ternyata tidak berbanding lurus dengan penampilan buku yang tipis dan kurang menarik. Cerpen-cerpen yang ada di dalamnya harus dibaca dengan konsentrasi yang cukup untuk bisa merekonstruksi jalan pikiran dan perilaku para tokoh cerpen. Dengan penuh penasaran, saya membaca tuntas sembilan cerpen dalam buku ini ditemani kopi flores yang sedikit pahit.
Kesan saya sewaktu membaca beberapa cerpen Felix Nesi ini hampir sama pada waktu tahun 1980-an, waktu mahasiswa, saya membaca cerpen-cerpen sastrawan Budi Darma terutama yang terhimpun dalam buku kumpulan cerpen Orang-Orang Bloomington (1980), cerpen-cerpen Iwan Simatupang yang terhimpun dalam buku Tegak Lurus dengan Langit (1983), dan cerpen-cerpen sastrawan Putu Wijaya. Tokoh-tokoh cerpen karya tiga sastrawan besar Indonesia ini memiliki pilihan yang bebas, dalam berpikir dan berperilaku. Cara berpikir dan berperilaku para tokohnya bebas, tidak terikat, kadang misterius, bergerak liar, mengejutkan, bahkan menakutkan untuk mencapai tujuan pribadi tokoh.
Pilihan bebas para tokoh dalam cerpen-cerpen itu dilatarbelakangi pemikiran bahwa pada dasarnya manusia itu adalah bebas, pilihan apapun yang dilakukannya mengandung berbagai risiko dan konsekuensi. Segala risiko dan konsekuensi itu tidak dapat ditimpakan kepada orang lain karena ia telah menjalankan kebebasannya dalam memilih. Cara berpikir dan berperilaku para tokoh pun misterius, bergerak liar, mengejutkan, bahkan menakutkan.
Tokoh-tokoh sebagian cerpen Felix Nesi dalam buku Usaha Membunuh Sepi ini menjalankan kebebasannya dalam memilih yang berakibat pada risiko dan konsekuensi aneh, misterius, mengejutkan, bahkan menakutkan. Cerpen pertama berjudul “Ponakan” dan cerpen kedua “Sang Penulis” memiliki hubungan alur cerita dan karakteristik tokoh utamanya. Begitu kuatnya pilihan bebas sang tokoh utama untuk mencapai tujuan pribadi, mengakibatkan risiko dan konsekuensi tragis bagi tokoh lain tatkala menjadi penghambat pilihan tokoh utama.
Cerpen “Ponakan” bercerita tentang Didi si tokoh utama yang datang khusus dari kota untuk berlibur di Pulau Timor guna merealisasikan cita-cita luhurnya menjadi seorang penulis hebat. Sayangnya, selama berlibur di pulau sabana dia tidak menghasilkan karya tulis apapun karena perilaku sang ponakan yang superaktif dan menjengkelkan, menjadi penghambat konsentrasi. Proses kreatif menulis yang ia ibarat seperti membuat gelembung sabun, tak pernah berhasil karena gangguan ponakan yang menjengkelkan. Suatu pagi Didi mengajak si ponakan ke padang gembalaan sapi untuk bermain sepuas-puasnya. Sewaktu pulang pada sore hari, tanpa pertimbangan yang jelas, leher ponakannya digantungnya dengan tali jerami buatan ponakan itu sendiri pada sebuah pohon. Sepertinya hanya main gantung-gantungan saja, namun akibatnya fatal dan menakutkan.
“Saya gantung ujung tali yang satunya pada dahan pohon lalu saya tarik kuat-kuat. Ponakan saya tersenyum senang, meski ia mulai susah bernapas. Saya tarik sekali lagi. Kakinya mulai terangkat dan tidak menginjak apa-apa. Ia tak tersenyum dan matanya mulai melotot. Saya tarik lebih kuat lagi dan saya ikatkan pada batang pohon. Ia tergantung. Matanya lebih melotot lagi dan lidahnya mulai terjulur keluar. Mulutnya mengeluarkan suara-suara aneh. Sore itu saya pulang sendiri. Takkan ada orang yang akan merusak gelembung sabun saya lagi” (halaman 6).
Cerita tentang calon penulis hebat pada cerpen pertama berlanjut pada cerpen kedua berjudul “Sang Penulis.” Diceritakan tentang seorang penulis hebat, namanya Agus. Ia tidak hanya terkenal di Indonesia tetapi juga di mancanegara. Lewat percakapan sambil jalan-jalan dari sebuah hotel antara sang penulis hebat Agus dan seorang wanita bernama Merry, kita akhirnya bisa menguak perilaku penulis hebat yang ternyata sungguh keji dan biadab. Ia pembunuh sadis berdarah dingin, guna mencapai pilihannya.
Sang penulis hebat ternyata telah membunuh sadis istrinya yang merupakan wanita karier. “Jika saja kepada perempuan ini (kepada Merry, YS), Agus bisa menceritakan dengan gamblang bagaimana ia menghantam gigi istrinya dengan palu lalu memotong jemarinya dengan gergaji. Bagaimana Agus menusukkan linggis ke dalam kemaluan perempuan itu dan mengoyak isi rahimnya, tapi lalu menangis saat menguburkan manusia yang belum sepenuhnya mati di taman belakang rumahnya” (halaman 13).
Tema pembunuhan misterius yang melibatkan sejumlah tokoh misterius pula diangkat dalam cerpen kelima berjudul “Pembual” dan cerpen kesembilan “Tokoh Utama.” Membaca kedua cerpen ini rasanya tidak seperti membaca cerpen horor atau detektif. Karena terjadi tegangan antara realitas faktual dengan realitas fiksi (imajinasi) dalam pikiran para tokoh utama cerpen. Pada akhir cerpen, kita sebagai pembaca tetap bertanya-tanya tentang akhir persoalannya. Kita dibuat penasaran oleh cara berpikir dan perilaku tokoh utama cerpen.
Tentu tidak semua cerpen dalam buku ini memiliki karakter seperti tokoh-tokoh pada cerpen-cerpen Budi Darma, Iwan Simatupang, dan Putu Wijaya yang cara berpikir dan berperilakunya misterius dan mengejutkan. Ada beberapa cerpen yang bergaya konvensional. Kalau boleh saya sarankan agar Felix Nesi tinggalkan gaya konvensional.
Ada satu cerpen, yakni cerpen keenam berjudul “Kenangan,” perlu mendapat perhatian. Cerpen ini mengangkat tema besar, pilihan panggung berkiprah masa kini, antara budaya asli (kampung di Timor) yang diwakili gadis bernama Ira dengan budaya kota/modern (kota Kupang) yang diwakili gadis Ita keturunan Rote. Tokoh utama cerpen Robertus Aldo terperangkap dalam dua pilihan sulit, budaya kampung atau kota, memilih Ira atau Ita. Mirip tema polemik kebudayaan tahun 1930-an. Di akhir cerpen tidak ada jawaban. Apakah cerpen ini sebagai embrio untuk sebuah novel?
***
*) Pengamat Sastra NTT dari Universitas Flores, Ende. http://sastra-indonesia.com/2021/08/usaha-membunuh-sepi-felix-k-nesi/
Buku kumpulan cerita pendek (cerpen) yang diulas ini berjudul Usaha Membunuh Sepi (2016), karya sastrawan muda NTT, Felix K. Nesi. Diterbitkan oleh Penerbit Pelangi Sastra, Malang. Buku tipis 67 halaman dengan format kecil 13 x 20 cm ini berisi sembilan buah cerpen dan tiga gambar ilustrasi. Adapun judul masing-masing cerpen adalah: Ponakan, Sang Penulis, Sebelum Minggat, Usaha Membunuh Sepi, Pembual, Kenangan, Belis, Indra, dan Tokoh Utama.
Tentang penulis Felix K. Nesi sendiri tidak banyak diberi keterangan. Hanya tertulis di kover belakang buku, lahir di Nesam, NTT, tamat dari SMA Seminari Lalian, Atambua, tahun 2008. Karyanya pernah dipublikasikan dalam sejumlah surat kabar nasional dan dalam sejumlah buku antologi bersama penulis lain. Terpilih mengikuti Makasar International Writers Festival dan sebagai Emerging Writers. Menyukai puisi dan ketabahan orangtuanya.
Saya menerima buku ini pertengahan tahun 2016 lalu. Waktu menerima saya hanya perhatikan sepintas lalu saja. Di samping bukunya terlalu tipis, juga warna kovernya kurang menantang lensa mata. Akhirnya saya letakkan begitu saja di antara buku-buku lain yang menunggu giliran untuk dibaca. Setelah buku-buku lain habis terbaca, barulah buku ini mendapat giliran untuk dibaca.
Sewaktu membaca cerpen pertama dan kedua saya kaget. Ternyata cerpen yang ada di dalamnya bukanlah cerpen biasa, bukan cerpen murahan. Bobot isi cerpen ternyata tidak berbanding lurus dengan penampilan buku yang tipis dan kurang menarik. Cerpen-cerpen yang ada di dalamnya harus dibaca dengan konsentrasi yang cukup untuk bisa merekonstruksi jalan pikiran dan perilaku para tokoh cerpen. Dengan penuh penasaran, saya membaca tuntas sembilan cerpen dalam buku ini ditemani kopi flores yang sedikit pahit.
Kesan saya sewaktu membaca beberapa cerpen Felix Nesi ini hampir sama pada waktu tahun 1980-an, waktu mahasiswa, saya membaca cerpen-cerpen sastrawan Budi Darma terutama yang terhimpun dalam buku kumpulan cerpen Orang-Orang Bloomington (1980), cerpen-cerpen Iwan Simatupang yang terhimpun dalam buku Tegak Lurus dengan Langit (1983), dan cerpen-cerpen sastrawan Putu Wijaya. Tokoh-tokoh cerpen karya tiga sastrawan besar Indonesia ini memiliki pilihan yang bebas, dalam berpikir dan berperilaku. Cara berpikir dan berperilaku para tokohnya bebas, tidak terikat, kadang misterius, bergerak liar, mengejutkan, bahkan menakutkan untuk mencapai tujuan pribadi tokoh.
Pilihan bebas para tokoh dalam cerpen-cerpen itu dilatarbelakangi pemikiran bahwa pada dasarnya manusia itu adalah bebas, pilihan apapun yang dilakukannya mengandung berbagai risiko dan konsekuensi. Segala risiko dan konsekuensi itu tidak dapat ditimpakan kepada orang lain karena ia telah menjalankan kebebasannya dalam memilih. Cara berpikir dan berperilaku para tokoh pun misterius, bergerak liar, mengejutkan, bahkan menakutkan.
Tokoh-tokoh sebagian cerpen Felix Nesi dalam buku Usaha Membunuh Sepi ini menjalankan kebebasannya dalam memilih yang berakibat pada risiko dan konsekuensi aneh, misterius, mengejutkan, bahkan menakutkan. Cerpen pertama berjudul “Ponakan” dan cerpen kedua “Sang Penulis” memiliki hubungan alur cerita dan karakteristik tokoh utamanya. Begitu kuatnya pilihan bebas sang tokoh utama untuk mencapai tujuan pribadi, mengakibatkan risiko dan konsekuensi tragis bagi tokoh lain tatkala menjadi penghambat pilihan tokoh utama.
Cerpen “Ponakan” bercerita tentang Didi si tokoh utama yang datang khusus dari kota untuk berlibur di Pulau Timor guna merealisasikan cita-cita luhurnya menjadi seorang penulis hebat. Sayangnya, selama berlibur di pulau sabana dia tidak menghasilkan karya tulis apapun karena perilaku sang ponakan yang superaktif dan menjengkelkan, menjadi penghambat konsentrasi. Proses kreatif menulis yang ia ibarat seperti membuat gelembung sabun, tak pernah berhasil karena gangguan ponakan yang menjengkelkan. Suatu pagi Didi mengajak si ponakan ke padang gembalaan sapi untuk bermain sepuas-puasnya. Sewaktu pulang pada sore hari, tanpa pertimbangan yang jelas, leher ponakannya digantungnya dengan tali jerami buatan ponakan itu sendiri pada sebuah pohon. Sepertinya hanya main gantung-gantungan saja, namun akibatnya fatal dan menakutkan.
“Saya gantung ujung tali yang satunya pada dahan pohon lalu saya tarik kuat-kuat. Ponakan saya tersenyum senang, meski ia mulai susah bernapas. Saya tarik sekali lagi. Kakinya mulai terangkat dan tidak menginjak apa-apa. Ia tak tersenyum dan matanya mulai melotot. Saya tarik lebih kuat lagi dan saya ikatkan pada batang pohon. Ia tergantung. Matanya lebih melotot lagi dan lidahnya mulai terjulur keluar. Mulutnya mengeluarkan suara-suara aneh. Sore itu saya pulang sendiri. Takkan ada orang yang akan merusak gelembung sabun saya lagi” (halaman 6).
Cerita tentang calon penulis hebat pada cerpen pertama berlanjut pada cerpen kedua berjudul “Sang Penulis.” Diceritakan tentang seorang penulis hebat, namanya Agus. Ia tidak hanya terkenal di Indonesia tetapi juga di mancanegara. Lewat percakapan sambil jalan-jalan dari sebuah hotel antara sang penulis hebat Agus dan seorang wanita bernama Merry, kita akhirnya bisa menguak perilaku penulis hebat yang ternyata sungguh keji dan biadab. Ia pembunuh sadis berdarah dingin, guna mencapai pilihannya.
Sang penulis hebat ternyata telah membunuh sadis istrinya yang merupakan wanita karier. “Jika saja kepada perempuan ini (kepada Merry, YS), Agus bisa menceritakan dengan gamblang bagaimana ia menghantam gigi istrinya dengan palu lalu memotong jemarinya dengan gergaji. Bagaimana Agus menusukkan linggis ke dalam kemaluan perempuan itu dan mengoyak isi rahimnya, tapi lalu menangis saat menguburkan manusia yang belum sepenuhnya mati di taman belakang rumahnya” (halaman 13).
Tema pembunuhan misterius yang melibatkan sejumlah tokoh misterius pula diangkat dalam cerpen kelima berjudul “Pembual” dan cerpen kesembilan “Tokoh Utama.” Membaca kedua cerpen ini rasanya tidak seperti membaca cerpen horor atau detektif. Karena terjadi tegangan antara realitas faktual dengan realitas fiksi (imajinasi) dalam pikiran para tokoh utama cerpen. Pada akhir cerpen, kita sebagai pembaca tetap bertanya-tanya tentang akhir persoalannya. Kita dibuat penasaran oleh cara berpikir dan perilaku tokoh utama cerpen.
Tentu tidak semua cerpen dalam buku ini memiliki karakter seperti tokoh-tokoh pada cerpen-cerpen Budi Darma, Iwan Simatupang, dan Putu Wijaya yang cara berpikir dan berperilakunya misterius dan mengejutkan. Ada beberapa cerpen yang bergaya konvensional. Kalau boleh saya sarankan agar Felix Nesi tinggalkan gaya konvensional.
Ada satu cerpen, yakni cerpen keenam berjudul “Kenangan,” perlu mendapat perhatian. Cerpen ini mengangkat tema besar, pilihan panggung berkiprah masa kini, antara budaya asli (kampung di Timor) yang diwakili gadis bernama Ira dengan budaya kota/modern (kota Kupang) yang diwakili gadis Ita keturunan Rote. Tokoh utama cerpen Robertus Aldo terperangkap dalam dua pilihan sulit, budaya kampung atau kota, memilih Ira atau Ita. Mirip tema polemik kebudayaan tahun 1930-an. Di akhir cerpen tidak ada jawaban. Apakah cerpen ini sebagai embrio untuk sebuah novel?
***
*) Pengamat Sastra NTT dari Universitas Flores, Ende. http://sastra-indonesia.com/2021/08/usaha-membunuh-sepi-felix-k-nesi/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar