Sutejo
Radar Madiun, 3 Mei 2001
Mendiknas, Yahya A. Muhaimin dalam “Temu Konsultasi dan Koordinasi Pembangunan Pendidikan Tahun 2001”, di Sawangan Bogor, 25/4/2001, mensinyalir parahnya kemampuan membaca siswa SD, yang menempati posisi terendah di antara negara-negara ASEAN. Hal itu didasarkan pada laporan hasil studi kemampuan membaca, yang dilakukan oleh organisasi Internasional Educational Achievement (IEA), Indonesia menduduki rangking ke-38 dari 39 peserta studi. Di samping itu, kemampuan Matematika juga berada di urutan ke-34 dari 38 negara, dan kemampuan IPA berada di urutan ke-32 dari 38 negara.
Mencemaskan? Luar biasa. Ada lagi yang lebih mencemaskan, yakni tentang peringkat SDM kita. Hasil studi yang menggambarkan daya saing SDM Indonesia ini, sebagaimana disinyalir Ali Khomsan (Kompas, 29/9/2000), yang mengutip laporan UNDP berkaitan dengan Human Development Index (HDI), yang menggambarkan daya saing SDM Indonesia, yang terus terpuruk dari tahun ke tahun. Pada tahun 2000 lalu, kita terjatuh pada rangking ke-109 dari 174 negara. Sebelumnya, tahun 1996 daya saing SDM kita menduduki peringkat ke-102, tahun 1997 dan 1998 di urutan ke-99, dan pada tahun 1999 menduduki peringkat ke-105.
Satu lagi laporan tentang dunia pendidikan kita yang juga tidak menyenangkan, meski sudah agak lama, namun menarik untuk didiskusikan berkaitan dengan dua hasil studi di atas. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Hans Jellen dari Universitas Hanover (Jerman), menyebutkan bahwa tingkat kreativitas anak-anak Indonesia (50 anak dari Jakarta) usia 10 tahun menduduki rangking terendah di antara 8 negara lainnya. Berturut-turut peringkat itu diduduki oleh Filipina, Amerika Serikat, Inggris, Jerman, India, RRC, Kamerun, Zulu, dan Indonesia. (lihat: Dr. Dedi Supriadi, Kreativitas, Kebudayaan, dan Perkembangan Iptek, 1994:84-5).
Fenomena di atas, mengingatkan “tidak berdayanya” dunia pendidikan kita. Sebuah mimpi buruk pendidikan di masa depan. Mengapa dapat terjadi? Banyak hal yang secara spekulatif dapat diajukan sebagai penyebabnya. Pertama, tidak kreatifnya para guru kita. Kalau DK. Simonton dalam Genius, Creativity, and Leadership (1984) menyindir bahwa great thinker tend to have great teacher, maka ungkapan demikian mengingatkan demikian pentingnya kreativitas guru terhadap perkembangan kreativitas anak didiknya. Semakin tidak kreatif para guru karenanya, akan semakin tidak kreatif pula siswa didiknya.
Hal ini masih diperparah dengan gejala keberhasilan pendidikan di kelas yang tidak ditandai oleh tingginya kreativitas, inovasi, dan keterampilan hidup siswa. Tetapi pada ketaatan, kesopanan, dan “kediaman” (keantengan?) siswa. Anak yang baik adalah anak yang astane ngapurancang (tangan tertib di atas meja), yang sendiko dhawuh (menerima perintah) atas instruksi guru. Kondisi demikian potret pendidikan yang feodalistik, untuk tidak menyebutnya militeristik.
Kedua, rendahnya penghargaan pemerintah dan masyarakat terhadap profesi guru. Jika di masa Orde Baru, sering disinggung pelaksanaan pendidikan yang menggunakan “pendekatan kemiskinan”, “pendekatan militeristik”, dan “pendekatan politis”, maka buah ketidakberdayaan dunia pendidikan itu kini kita petik. Paradigma demikianlah, kemudian yang mengingatkan pentingnya hakikat pendidikan yang bersifat antisipatoris. Pendidikan mampu memprediksi masa depan bangsanya, dan menyiapkan generasinya ke masa depan. Jika pemikiran ini ditarik dalam konteks pendidikan mutakhir yang digenggam daerah (didesentralisasi), maka pemerintah daerah harus memiliki visi-misi perubahan terhadap pola pendidikan lama. Meminjam istilah Prof. Dr. Winarno Surachmad, dunia pendidikan dalam konteks otonomi daerah harus mampu melakukan perubahan paradigma: pendidikan yang daerah yang bervisi kesejagadan.
Ketiga, tidak adanya semacam reading society (masyarakat membaca) di sekolah dan masyarakat kita. Tradisi dunia pendidikan kita ialah tradisi kelisanan. Tradisi ceramah yang membuat siswa tidak emoh sekolah. Sekolah idealnya, dapat menciptakan “masyarakat sekolah” menjadi “masyarakat membaca”. Sebaliknya, bukan “masyarakat ngrumpi”, “masyarakat kelisanan”, ataupun “masyarakat warung” yang hanya memiliki “ideology ngobrol”. Jika masyarakat sekolah telah berubah menjadi “masyarakat membaca”, maka dinamika informasi dan keilmuwan akan dengan mudah tertransformasi secara dinamis. Ideologi reading society and writing society harus menjadi filosofi bergerak sekolah yang memimpikan perubahan.
Jika kita menengok tradisi reading society Jepang, maka akan kita temukan bagaimana membaca adalah “makanan pokok” setiap hari yang harus dimasukkan ke dalam pikiran masyarakatnya.
Budaya membaca di sana sudah terkondisi sejak kecil di lingkungan informal. Bangun tidur, tulis Hamdan Dulay (Kedaulatan Rakyat, 4/10/1994), yang dilakukan pertama kali oleh orang Jepang adalah membaca koran. Mereka juga memiliki prinsip: tiada hari tanpa membaca.
Bahkan, masih dalam gendongan anak-anak sudah ditunjukkan pada gambar-gambar buku dan menceritakannya. Konon, ketika orang Jepang di bus misalnya, dipastikan mereka aktif membaca memburu informasi. Di masyarakat kita, siap diomeli orang: kaya biso maca-maca-a dhewe! (seperti bisa membaca sendiri). Dalam masyarakat kita, bangun tidur yang pertama dilakukan ngemil makanan kecil, kemudian kangkau (nongkrong).
Keempat, tidak adanya landasan “kecerdasan emosional” dalam praktek pendidikan di sekolah. Sebaliknya, pendidikan kita hanya mengideologikan kecerdasan kognitif (IQ) sebagai dasar pengemban kualitas produk didiknya. Padahal, sebagaimana laporan hasil studi terhadap mereka yang sukses berkarier (dunia kerja) seringkali ditentukan apa yang oleh Daniel Golemen (1995) disebutnya dengan “kecerdasan emosi” (EQ).
Kelima, dan ini yang paling memprihatinkan: rendahnya kepedulian pemerintah terhadap dunia pendidikan. Seorang kepala sekolah mengeluh kepada penulis, bahwa dia diminta untuk mengajukan anggaran DIK sebesar sepersembilan dari sebelumnya. Sungguh tidak rasional!
Ketika pendidikan dikendalikan pusat saja demikian tidak berdaya, apa jadinya nanti jika daerah pun masa bodoh, acuh, dan memandangnya dengan sebelah mata. Dalam sejarah anggaran pendidikan di Indonesia, belum pernah mencapai 10 persen dari APBN. Pada tahun 91/92 sekitar 8%; 92/93 sebesar 8,2%; 93/94 sebesar 8,5%; 94/95, 95/96, dan 96/97 berkisar 8%; 97/98 sebesar 8,2%; 98/99 sekitar 5%; 99/00 sebesar 6,7%; 00 sebesar 7,9%; serta 2001 hanya sekitar 4,4%. (Kompas, 1/5/2001). Dan ini jauh berbeda dengan misalnya Singapura dan Jepang yang sudah mengalokasikan anggarannya lebih dari 25 persen.
Keenam, munculnya budaya yang tidak kondusif dalam pendidikan kita. Seperti paternalistik, feodalistik, militeristik, yang sama sekali tidak memberikan iklim kondusif dalam pembelajaran siswa didiknya.
Politikisasi dunia pendidikan bahkan di era Orba, tampak sangat dominan sehingga siswa pun sering digiring untuk “ber-Golkar-ria”.
Jika fenomena demikian tidak direformasi oleh daerah si pemegang “kekuasaan pendidikan” di era desentralisasi maka kecil kemungkinan keberartian pendidikan akan berubah. Sebaliknya, akan terus terpuruk dan terarus ke limbah derita bangsa yang terperikan. Bagaimana Pak Bupati? Monggo sak kerso.
*) Sutedjo, Dosen STKIP PGRI Ponorogo, mahasiswa pascasarjana UNS Surakarta.
Judul yang sama: http://sastra-indonesia.com/2013/05/mimpi-buruk-pendidikan-kita/
Radar Madiun, 3 Mei 2001
Mendiknas, Yahya A. Muhaimin dalam “Temu Konsultasi dan Koordinasi Pembangunan Pendidikan Tahun 2001”, di Sawangan Bogor, 25/4/2001, mensinyalir parahnya kemampuan membaca siswa SD, yang menempati posisi terendah di antara negara-negara ASEAN. Hal itu didasarkan pada laporan hasil studi kemampuan membaca, yang dilakukan oleh organisasi Internasional Educational Achievement (IEA), Indonesia menduduki rangking ke-38 dari 39 peserta studi. Di samping itu, kemampuan Matematika juga berada di urutan ke-34 dari 38 negara, dan kemampuan IPA berada di urutan ke-32 dari 38 negara.
Mencemaskan? Luar biasa. Ada lagi yang lebih mencemaskan, yakni tentang peringkat SDM kita. Hasil studi yang menggambarkan daya saing SDM Indonesia ini, sebagaimana disinyalir Ali Khomsan (Kompas, 29/9/2000), yang mengutip laporan UNDP berkaitan dengan Human Development Index (HDI), yang menggambarkan daya saing SDM Indonesia, yang terus terpuruk dari tahun ke tahun. Pada tahun 2000 lalu, kita terjatuh pada rangking ke-109 dari 174 negara. Sebelumnya, tahun 1996 daya saing SDM kita menduduki peringkat ke-102, tahun 1997 dan 1998 di urutan ke-99, dan pada tahun 1999 menduduki peringkat ke-105.
Satu lagi laporan tentang dunia pendidikan kita yang juga tidak menyenangkan, meski sudah agak lama, namun menarik untuk didiskusikan berkaitan dengan dua hasil studi di atas. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Hans Jellen dari Universitas Hanover (Jerman), menyebutkan bahwa tingkat kreativitas anak-anak Indonesia (50 anak dari Jakarta) usia 10 tahun menduduki rangking terendah di antara 8 negara lainnya. Berturut-turut peringkat itu diduduki oleh Filipina, Amerika Serikat, Inggris, Jerman, India, RRC, Kamerun, Zulu, dan Indonesia. (lihat: Dr. Dedi Supriadi, Kreativitas, Kebudayaan, dan Perkembangan Iptek, 1994:84-5).
Fenomena di atas, mengingatkan “tidak berdayanya” dunia pendidikan kita. Sebuah mimpi buruk pendidikan di masa depan. Mengapa dapat terjadi? Banyak hal yang secara spekulatif dapat diajukan sebagai penyebabnya. Pertama, tidak kreatifnya para guru kita. Kalau DK. Simonton dalam Genius, Creativity, and Leadership (1984) menyindir bahwa great thinker tend to have great teacher, maka ungkapan demikian mengingatkan demikian pentingnya kreativitas guru terhadap perkembangan kreativitas anak didiknya. Semakin tidak kreatif para guru karenanya, akan semakin tidak kreatif pula siswa didiknya.
Hal ini masih diperparah dengan gejala keberhasilan pendidikan di kelas yang tidak ditandai oleh tingginya kreativitas, inovasi, dan keterampilan hidup siswa. Tetapi pada ketaatan, kesopanan, dan “kediaman” (keantengan?) siswa. Anak yang baik adalah anak yang astane ngapurancang (tangan tertib di atas meja), yang sendiko dhawuh (menerima perintah) atas instruksi guru. Kondisi demikian potret pendidikan yang feodalistik, untuk tidak menyebutnya militeristik.
Kedua, rendahnya penghargaan pemerintah dan masyarakat terhadap profesi guru. Jika di masa Orde Baru, sering disinggung pelaksanaan pendidikan yang menggunakan “pendekatan kemiskinan”, “pendekatan militeristik”, dan “pendekatan politis”, maka buah ketidakberdayaan dunia pendidikan itu kini kita petik. Paradigma demikianlah, kemudian yang mengingatkan pentingnya hakikat pendidikan yang bersifat antisipatoris. Pendidikan mampu memprediksi masa depan bangsanya, dan menyiapkan generasinya ke masa depan. Jika pemikiran ini ditarik dalam konteks pendidikan mutakhir yang digenggam daerah (didesentralisasi), maka pemerintah daerah harus memiliki visi-misi perubahan terhadap pola pendidikan lama. Meminjam istilah Prof. Dr. Winarno Surachmad, dunia pendidikan dalam konteks otonomi daerah harus mampu melakukan perubahan paradigma: pendidikan yang daerah yang bervisi kesejagadan.
Ketiga, tidak adanya semacam reading society (masyarakat membaca) di sekolah dan masyarakat kita. Tradisi dunia pendidikan kita ialah tradisi kelisanan. Tradisi ceramah yang membuat siswa tidak emoh sekolah. Sekolah idealnya, dapat menciptakan “masyarakat sekolah” menjadi “masyarakat membaca”. Sebaliknya, bukan “masyarakat ngrumpi”, “masyarakat kelisanan”, ataupun “masyarakat warung” yang hanya memiliki “ideology ngobrol”. Jika masyarakat sekolah telah berubah menjadi “masyarakat membaca”, maka dinamika informasi dan keilmuwan akan dengan mudah tertransformasi secara dinamis. Ideologi reading society and writing society harus menjadi filosofi bergerak sekolah yang memimpikan perubahan.
Jika kita menengok tradisi reading society Jepang, maka akan kita temukan bagaimana membaca adalah “makanan pokok” setiap hari yang harus dimasukkan ke dalam pikiran masyarakatnya.
Budaya membaca di sana sudah terkondisi sejak kecil di lingkungan informal. Bangun tidur, tulis Hamdan Dulay (Kedaulatan Rakyat, 4/10/1994), yang dilakukan pertama kali oleh orang Jepang adalah membaca koran. Mereka juga memiliki prinsip: tiada hari tanpa membaca.
Bahkan, masih dalam gendongan anak-anak sudah ditunjukkan pada gambar-gambar buku dan menceritakannya. Konon, ketika orang Jepang di bus misalnya, dipastikan mereka aktif membaca memburu informasi. Di masyarakat kita, siap diomeli orang: kaya biso maca-maca-a dhewe! (seperti bisa membaca sendiri). Dalam masyarakat kita, bangun tidur yang pertama dilakukan ngemil makanan kecil, kemudian kangkau (nongkrong).
Keempat, tidak adanya landasan “kecerdasan emosional” dalam praktek pendidikan di sekolah. Sebaliknya, pendidikan kita hanya mengideologikan kecerdasan kognitif (IQ) sebagai dasar pengemban kualitas produk didiknya. Padahal, sebagaimana laporan hasil studi terhadap mereka yang sukses berkarier (dunia kerja) seringkali ditentukan apa yang oleh Daniel Golemen (1995) disebutnya dengan “kecerdasan emosi” (EQ).
Kelima, dan ini yang paling memprihatinkan: rendahnya kepedulian pemerintah terhadap dunia pendidikan. Seorang kepala sekolah mengeluh kepada penulis, bahwa dia diminta untuk mengajukan anggaran DIK sebesar sepersembilan dari sebelumnya. Sungguh tidak rasional!
Ketika pendidikan dikendalikan pusat saja demikian tidak berdaya, apa jadinya nanti jika daerah pun masa bodoh, acuh, dan memandangnya dengan sebelah mata. Dalam sejarah anggaran pendidikan di Indonesia, belum pernah mencapai 10 persen dari APBN. Pada tahun 91/92 sekitar 8%; 92/93 sebesar 8,2%; 93/94 sebesar 8,5%; 94/95, 95/96, dan 96/97 berkisar 8%; 97/98 sebesar 8,2%; 98/99 sekitar 5%; 99/00 sebesar 6,7%; 00 sebesar 7,9%; serta 2001 hanya sekitar 4,4%. (Kompas, 1/5/2001). Dan ini jauh berbeda dengan misalnya Singapura dan Jepang yang sudah mengalokasikan anggarannya lebih dari 25 persen.
Keenam, munculnya budaya yang tidak kondusif dalam pendidikan kita. Seperti paternalistik, feodalistik, militeristik, yang sama sekali tidak memberikan iklim kondusif dalam pembelajaran siswa didiknya.
Politikisasi dunia pendidikan bahkan di era Orba, tampak sangat dominan sehingga siswa pun sering digiring untuk “ber-Golkar-ria”.
Jika fenomena demikian tidak direformasi oleh daerah si pemegang “kekuasaan pendidikan” di era desentralisasi maka kecil kemungkinan keberartian pendidikan akan berubah. Sebaliknya, akan terus terpuruk dan terarus ke limbah derita bangsa yang terperikan. Bagaimana Pak Bupati? Monggo sak kerso.
*) Sutedjo, Dosen STKIP PGRI Ponorogo, mahasiswa pascasarjana UNS Surakarta.
Judul yang sama: http://sastra-indonesia.com/2013/05/mimpi-buruk-pendidikan-kita/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar