Prof. Dr. H. Soediro Satoto
sastra-indonesia.com
Saya mengenal penulis (Sutejo) sejak tahun 2000-an, ketika menjadi mahasiswa S2 di Universitas Sebelas Maret. Kala itu, ia (i) banyak menulis di media massa dengan ragam pemikiran kritis menyikapi persoalan aktual; (ii) memenangkan lomba kepenulisan tingkat nasional dan regional, dan (iii) mengisi seminar (workshop) untuk beberapa tema pelatihan. Lebih dekat ketika menjadi “mahasiswa bimbingan” saya saat menyelesaikan tesis studi di S2 UNS Program Studi Linguistik dengan konsentrasi Pembelajaran Bahasa.
Kemudian, pada bulan Mei 2005 saya diundangnya untuk menjadi pembicara seminar nasional di Ponorogo dengan peserta sekitar 1000 orang di gedung Sasana Praja bersama Prof. Dr. Leo Idra Ardiana. Sutejo menjadi moderator seminar mampu menghidupkan suasana dengan joke dan pembacaan puisi yang memikat. Terakhir, saat menjadi reviewer disertasinya sebagai tahapan untuk ujian tertutup program doktor di Unesa Surabaya sekaligus sebagai penguji ujian tertutup pada tanggal 31 Agustus 2012.
“Kenakalannya” tampak berseliweran dalam performansi komunikasi dan tulisan-tulisannya. Sebagai “orang pedalaman” (Ponorogo) pemikirannya tidak dapat dipandang sebelah mata. Ini dapat dicermati dalam buku terbaru, Senarai Pemikiran Sutejo, yang merupakan kumpulan tulisan tersebar di media massa (baik lokal, regional, maupun nasional), makalah presentasi, naskah pemenang lomba tingkat nasional, dan tugas studinya di Unesa Surabaya. Sebuah warna baru penyajian buku yang merupakan anyaman motivasi, refleksi pemikiran kritis, tulisan ilmiah, dan renungan hidup yang bermuara pada kekuatan spiritual.
Sutejo boleh dibilang “memelopori” penerbitan buku mandiri berikut pemasarannya, paling tidak sudah 14 judul buku yang dia tulis berkaitan dengan kejurnalistikan, kepenulisan, filsafat, dan kesastraan. Buku Senarai Pemikiran Sutejo ini terdiri dari lima bagian: (1) Senarai Motivasi, (2) Senarai Sastra, (3) Senarai Pendidikan, (4) Senarai Bidang Lain, dan (5) Senarai Budaya Pinggiran. Sebuah susunan yang unik dan berbeda dari kecenderungan buku-buku yang ada.
Sebagai seorang praktisi pendidikan, pengalaman dan pemikirannya tampak inspiratif bagi generasi muda yang dapat ditemukan pada bagian pertama buku ini. Inspirasi yang menggerakkan hidup, budaya, sosial kemasyarakatan, perubahan, dan kesuksesan. Untuk itu, jika pembaca mencermati bagian Senarai Motivasi ini akan terasa ringan tetapi inspiratif. Mudah diikuti dan menarik untuk dicermati.
Pada bagian kedua, Senarai Sastra berisi pengalaman Sutejo selama bergulat dengan dunia sastra, khususnya kritik sastra dan pembelajarannya. Beberapa tulisan yang ada di dalamnya merupakan esai pemenang tingkat nasional, tulisan di media massa, dan tugas-tugas mata kuliah ketika mengikuti program doktor di Unesa. Sebuah refleksi dan rekam pergulatan pengalaman dengan dunia sastra. Pemikiran solutif bertebaran di beberapa tulisan, untaian apresiasi-kaji terberai dalam esai-esai media massa, dan penggalian makna dalam gelombang samudera karya sastra.
Tulisan-tulisannya tentang sastra ini merupakan hasil impresi dan ekspresi kreatif dari pergulatan mengajar sastra, pengkajian dan penelitian sastra, serta mengulas karya sastra tingkat nasional. Kekuatan ulasan sastranya terletak pada kedalamannya di satu sisi dan pada sisi lain pada kedalaman wawasannya. Meskipun pada bagian Senarai Sastra terdapat beberapa pengulangan kajian (termasuk objeknya) namun hal itu tidaklah mengganggu pembaca. Itulah risiko dari kompilasi tulisan yang dioreantasikan untuk kepentingan yang berbeda.
Bagian Senarai Pendidikan berisi tentang pengalaman dan pemikiran kreatif terhadap dunia pendidikan. Sebagai pemikir dan praktisi ia mengungkapkan pikiran-pikiran alternatif untuk perubahan dunia pendidikan ke depan, baik untuk para guru, birokrat, dan stakeholder penyokongnya. Sebagai guru (dosen) misalnya, Sutejo dikenal bukan saja dinilai sebagai guru kreatif tetapi inspiratif bagi murid-murid dan mahasiswanya. Ini terbukti dengan komunitas Himpunan Mahasiswa Penulis dan para siswa yang dibinanya telah banyak berbicara di tingkat nasional maupun regional.
Bukan saja tulisan-tulisan seputar dunia pendidikan, Sutejo juga menulis berkaitan dengan bidang-bidang lainnya seperti politik, ekonomi, perbankan, budaya, demokrasi, korupsi, hipnosis, dan sebagainya. Hal ini tampak pada bagian Senarai Bidang Lain merupakan ungkapan kritis atas realita budaya Indonesia. Warna religius misalnya, tampak dalam tulisan Kajian Islam: Belajar dari Gus Dur (hal. 666-688), Menyisir Kepenulisan Profetik Abdul Hadi (hal. 127-143), Penggutan Mitos dan Fiqih Perempuan (hal. 67-100), dan Spiritualitas Guru dalam Trilogi Novel Syaikh Siti Jenar (hal. 205-243).
Untuk tulisan kritis berkaitan dengan politik, ekonomi, perbankan, budaya, demokrasi, korupsi banyak berupa resensi yang dimuat di media massa seperti Kompas, Merdeka, Surya, dan Gatra. Meskipun berupa resensi jika penulisnya tidak memiliki wawasan kritis dan refleksi yang cukup dipastikan tidak akan melahirkan pemikiran yang representatif.
Sedangkan bagian Senarai Budaya Pinggiran merupakan renungan dan refleksi atas realita sosial kemasyarakatan. Pengungkapan gaya kolom bersifat esais menarik untuk dicermati dengan santai karena di dalamnya terdapat pernik-pernik makna sosial yang dapat direnungkan ulang.
***
Peran Sutejo sebagai mahasiswa, dosen, warga masyarakat, praktisi dan pemikir pendidikan, pelaku sastra, motivator dan beberapa peran lain, melahirkan tulisan dengan karakter khas. Jika Anda mencermati tulisan-tulisannya yang terkumpul dalam buku ini maka boleh jadi, akan Anda temukan karakter yang khas: bersifat esai, sastrawi (puitik), empirik, motivatif (inspiratif), reflektif, dan spiritual. Sebuah pengungkapan tulisan yang mengarakter.
Karakter esai boleh jadi tampak menonjol pada bagian Senarai Sastra. Sebagaimana dipahami genre esai memiliki kecenderungan bergaya personal, mengalir lentur, detail, investigatif, argumentatif, dan estetik. Estetika pengucapan esais ini pernah menjadi problem saat yang bersangkutan menyelesaikan program magister yang diuji oleh seorang linguis. Karena saya mengerti karakter berbahasa Sutejo, mau tidak mau, bersikap “pro” pada saat ujian berlangsung di ruang ujian yang menegangkan karena salah seorang penguji walk out tetapi kemudian kembali dengan mengusulkan sebuah bab tambahan dalam tesisnya.
Seorang penulis awal tentunya akan mengalami kesulitan ketika memasuki tulisan esai sebab genre esai menuntut keluasan wawasan, ketajaman, kelenturan, dan berpikir lateral (melompat-lompat kecil) seperti kupu-kupu. Jika Anda membaca buku ini dijamin akan merasa nikmat dan santai. Itulah memang salah satu efek karakter tulisan bergaya esai.
Jika dalam jurnalisme mutakhir dikenal dengan jurnalisme sastrawi maka karakter lain dari tulisan Sutejo adalah bergaya sastrawi sehingga aroma puitik dan bahasa asosiatif-metaforik sering berseliweran di sana sini. Tempo sebagai pelopor jurnalisme sastrawi menginspirasi pembaca dengan investigasi yang mendalam berikut pengungkapan yang bergaya sastrawi. Ternyata, Sutejo mengoleksi majalah ini sejak tahun 1990-an sehingga tidak heran jika tulisan-tulisannya juga terpengaruh dengan gaya jurnalisme sastrawi demikian.
Kebiasaan penulis buku ini yang bergaul lintas komunitas dengan warga pergulatan yang khas tampaknya yang melahirkan tulisan-tulisannya terasa empirik. Impresinya tampak menonjol yang diikuti gagasan kritis terhadap fakta-fakta empirik. Karakter ini tampak menonjol pada hampir semua tulisan, khususnya tulisan-tulisan yang dimuat di media massa. Bagian Senarai Budaya Pinggiran boleh jadi merupakan puncak dari karakter empirik ini.
Kegiatan pribadi penulis yang menyukai motivasi, tampaknya yang memberikan warna motivasi kuat pada karakter tulisannya. Bagian paling menonjol yang berkarakter demikian adalah Senarai Motivasi sehingga Anda membacanya ‘dipastikan’ tergelitik untuk ‘manggut-manggut’ untuk mengakui logika motivatifnya, yang seringkali sederhana tetapi filosofis dan mengena. Sebuah warna yang unik dan inspiratif khususnya jika dinikmati oleh pembaca pemula untuk melipatgandakan motivasi diri dalam memasuki kehidupan dengan pernik bidang yang beragam.
Beberapa tulisan lain yang motivatif dan inspiratif tampak diantaranya adalah (i) Jadilah Guru yang Inspiratif (hal. 374-388), (ii) Hipnosis Pendidikan (hal. 573-576), (iii) Hipnoeducation untuk Optimalisasi Pembelajaran (hal. 577-587), (iv) Strategi Pembangunan Kota Berbasis KLH untuk Menciptakan Kota yang Indah dan Hijau (hal. 689-708), dan (v) Menggagas Guru Multidimensional untuk Masa Depan (hal. 593-600). Jika kita membacanya akan menemukan inspirasi gerak yang mendorong “sperma persalinan” perubahan.
Karakter lain yang tak kalah menonjol adalah karakter reflektif sehingga tulisan-tulisannya cenderung berbasis refleksi pikiran dan jiwa untuk direfleksikan ulang oleh pembacanya. Hampir semua tulisan yang dimuat media massa dalam buku ini menggambarkan karakter yang reflektif. Gaya reflektif ini yang menonjol tampak pada tulisan-tulisan macam Memahami Protes Guru Lewat Puisi (hal. 309-312), Menghindarkan Keterasingan Sastra di Sekolah (hal. 317-320), Mengatasi Korupsi di Sekolah (hal. 513-516), Daerah Tak Peduli Dewan Sekolah? (hal. 520-522), Daerah Perlu Mengawal Peredaran Buku (hal. 517-519), Membangun Citra Guru, Mulai dari Mana? (hal. 530-533), Banyak Pejabat Merusak Bahasa Indoensia (hal. 544-548), dan Agar Guru Tidak Indoktrinatif (hal. 661-665).
Gagasan-gagasan kritis yang merupakan refleksi sosial menarik dibaca dan begitu menggelitik. Kadang ringan, kadang setengah kelakar, dan kadang harus serius dengan memicingkan mata. Karakter reflektif yang ringan tampak pada bagian Senarai Budaya Pinggiran (hal. 762-902). Meskipun tampak ringan ketika dibaca tetapi balutan makna hidup menjadi warna dominan di dalamnya. Untuk itu, jika pembaca ingin menyisir makna kehidupan dalam budaya pinggiran masyarakat kita, membacanya seperti kita temukan pergulatan kecil yang inspiratif dan maknawi.
Karakter spiritual adalah ungkapan spiritual yang dipresentasikan ke dalam tulisan-tulisan berbasis realitas, baik yang sederhana maupun kompleks. Puncak dari segala kegiatan kehidupan hakikatnya memang spiritualitas. Artinya, dalam bahasa Sutejo segala perbuatan yang terjadi dalam kehidupan ini merupakan perwujudan tauhid af’al, sifat, asma, dan dzat Tuhan. Karakter ini akan mudah tampak pada dua bagian yakni, (i) Senarai Motivasi dan (ii) Senarai Budaya Pinggiran. Sebuah rumah jiwa yang dapat dihuni oleh setiap orang.
Esai pendidikan berjudul Membangun Kultur Sekolah Berbasis “Energi Waktu” (hal. 601-620) dan Membaca itu Wajib, Guru! (hal. 621-628) misalnya, merupakan internalisasi spiritualitas yang menarik untuk direfleksikan ulang oleh pembaca. Karakter spiritualitas budaya Islam yang telah mengubah peradaban dunia dalam awal-awal peradaban tampak dalam tulisan yang berjudul Berguru pada Sejarah, Memetik Hikmah Berubah (hal. 563-572).
Warna spiritual dalam esai sastra diantaranya tampak dalam tulisan macam Tamasya Kematian dalam Puisi-Puisi Hamid Jabbar (hal. 101-126), Menyisir Kepenulisan Profetik Abdul Hadi (hal. 127-143), Penggugatan Mitos dan Fiqih Perempuan (hal. 67-100), dan Spiritualitas Guru dalam Trilogi Novel Syaikh Siti Jenar (hal. 205-243). Warna spiritual secara implisit juga tampak dalam banyak tulisan yang lainnya.
Akhirnya, karakter tulisan-tulisan Sutejo seringkali bersifat filosofis pada beberapa bagian sementara pada bagian lain tidak saja filosofis tetapi spiritual. Sebuah ‘pergulatan puncak’ barangkali. Bukankah dalam teologi falsafi hakikat realitas akan menempuh perjalanan kembali? Filsafat dengan demikian akan menjadi ‘tempat berangkat’ dan ‘pemberhentian’ dari sebuah perjalanan pengalaman, pengetahuan, dan keilmuan itu sendiri.
Sebagai contoh adalah tulisan Sutejo yang berjudul Jadilah Guru Inspiratif (hal. 374-388), yang merupakan pidato orasi ilmiahnya untuk menitipkan pesan filosofis kepada para mahasiswanya. Kutipan berikut menggambarkannya, “Belajarlah pada kepompong yang menjadikannya kupu-kupu tetapi bukan kepada ular yang dalam proses menjadinya ia tetap menjadi ular. Guru yang baik seperti kupu-kupu karena dalam proses pertapaan belajarnya telah mengubahnya menjadi sesuatu yang indah di depan anak didiknya. Ia akan hinggap pada sesuatu yang bermanfaat dan yang ditinggalkannya pun bermanfaat. Guru itu seperti pohon kelapa: akar, batang, daun, tangkai, kelapa, bunga, dan semua yang ada padanya bermanfaat bagi tunas didiknya. Di sinilah maka, di Bali pohon kelapa disucikan, dan dalam cerita sufi kupu-kupu adalah metamorfosa perjalanan seorang penempuh jalan kesufian.” (hal. 379).
Warna filosofis nyaris menjadi karakter dari semua tulisannya. Paling tidak ungkapan filosofisnya menjadi tali pengikat pemikiran dan pengalamannya. Untuk itu jika membaca buku ini di bagian yang satu seperti menapaki pendakian ke gunung hakikat, kemudian pindah ke lembah makrifat, lalu singgah di batu permenungan, sebelum akhirnya beristirahat di rumah hati dan makna yang merupakan hakikat dari tulisan-tulisannya.
***
Jika pembaca ingin berubah dan mencapai kesuksesan (apapun profesinya) maka perlu membaca bagian pertama buku ini, Senarai Motivasi. Salah satu ungkapan yang dituliskannya begini, “Jangan percaya pada mitos bakat. Sukses hidup, kata Einstein, adalah 99 persen kerja keras, bakat berperan hanya 1 persen untuk keberhasilan Anda. Oke, jika Anda ingin sukses, sesungguhnya dibutuhkan kerja keras, kerja cerdas, kerja ikhlas! Bukan bakat. Salam fantastik dan luar biasa buat Anda.”
Pembaca bisa belajar dari resep produktivitas Sutejo, sebagaimana kutipan tulisan motivasinya berikut. “… Orang berhasil adalah orang yang tak pernah menyerah. Meskipun berapa kali Anda terjatuh, bangkitlah! Orang bermental juara adalah mereka selalu bangun ketika terjatuh. Mereka menambahkan sekali dari jumlah dia terjatuh. Sebab, jika Anda tidak bangun, berarti kalah. Pemenang sejati dengan sendirinya adalah mereka mampu bangun kembali.
Seorang teman penulis menceritakan kisah suksesnya menembus media massa setelah ratusan kali gagal. Saya sendiri menulis di Kompas, setelah gagal 24 kali. Jangan menyerah. Ini adalah pesan spiritual dari para pemenang. Thomas Edison adalah contoh pemenang yang bangun setelah ribuan kali terjatuh dan gagal dari penelitiannya. Tetapi keyakinannya, mental pemenangnya, menjadi pembeda dari rata-rata ilmuwan sebelumnya.
Dia menyediakan waktu berlatih 12-14 jam/hari untuk melakukan riset. Sekarang anak cucunya, kaya raya menikmati royalti dari hak patent yang jumlahnya ribuan. Untuk inilah, jika Anda ingin menjadi pemenang dalam kehidupan, maka jangan menyerah. Bangkit, dan bangkit lagi!”
Sutejo ternyata menulis hingga dimuat di Kompas setelah mengirimkannya selama 24 kali. Sebuah inspirasi keuletan. Buku yang ada di tangan pembaca ini adalah sebuah pergulatan kepenulisan yang telah ditekuninya selama 23 tahun. Tidak mengherankan jika Anda membaca buku ini seperti tamasya ke taman-taman pemikiran dengan aneka bunga pikiran yang menarik untuk dinikmati harum pemikirannya.
Sebagai sebuah buku kumpulan tulisan lepas maka salah satu kelemahan adalah terdapatnya beberapa pengulangan pemikiran pada beberapa tulisan. Meskipun demikian, kontekstualisasi pengungkapannya memiliki keragaman yang tidak menjemukan.
***
*) Guru Besar Emeritus Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Dijumput dari: http://sastra-indonesia.com/2013/06/untaian-pemikiran-inspiratif-penulis-pedalaman/
sastra-indonesia.com
Saya mengenal penulis (Sutejo) sejak tahun 2000-an, ketika menjadi mahasiswa S2 di Universitas Sebelas Maret. Kala itu, ia (i) banyak menulis di media massa dengan ragam pemikiran kritis menyikapi persoalan aktual; (ii) memenangkan lomba kepenulisan tingkat nasional dan regional, dan (iii) mengisi seminar (workshop) untuk beberapa tema pelatihan. Lebih dekat ketika menjadi “mahasiswa bimbingan” saya saat menyelesaikan tesis studi di S2 UNS Program Studi Linguistik dengan konsentrasi Pembelajaran Bahasa.
Kemudian, pada bulan Mei 2005 saya diundangnya untuk menjadi pembicara seminar nasional di Ponorogo dengan peserta sekitar 1000 orang di gedung Sasana Praja bersama Prof. Dr. Leo Idra Ardiana. Sutejo menjadi moderator seminar mampu menghidupkan suasana dengan joke dan pembacaan puisi yang memikat. Terakhir, saat menjadi reviewer disertasinya sebagai tahapan untuk ujian tertutup program doktor di Unesa Surabaya sekaligus sebagai penguji ujian tertutup pada tanggal 31 Agustus 2012.
“Kenakalannya” tampak berseliweran dalam performansi komunikasi dan tulisan-tulisannya. Sebagai “orang pedalaman” (Ponorogo) pemikirannya tidak dapat dipandang sebelah mata. Ini dapat dicermati dalam buku terbaru, Senarai Pemikiran Sutejo, yang merupakan kumpulan tulisan tersebar di media massa (baik lokal, regional, maupun nasional), makalah presentasi, naskah pemenang lomba tingkat nasional, dan tugas studinya di Unesa Surabaya. Sebuah warna baru penyajian buku yang merupakan anyaman motivasi, refleksi pemikiran kritis, tulisan ilmiah, dan renungan hidup yang bermuara pada kekuatan spiritual.
Sutejo boleh dibilang “memelopori” penerbitan buku mandiri berikut pemasarannya, paling tidak sudah 14 judul buku yang dia tulis berkaitan dengan kejurnalistikan, kepenulisan, filsafat, dan kesastraan. Buku Senarai Pemikiran Sutejo ini terdiri dari lima bagian: (1) Senarai Motivasi, (2) Senarai Sastra, (3) Senarai Pendidikan, (4) Senarai Bidang Lain, dan (5) Senarai Budaya Pinggiran. Sebuah susunan yang unik dan berbeda dari kecenderungan buku-buku yang ada.
Sebagai seorang praktisi pendidikan, pengalaman dan pemikirannya tampak inspiratif bagi generasi muda yang dapat ditemukan pada bagian pertama buku ini. Inspirasi yang menggerakkan hidup, budaya, sosial kemasyarakatan, perubahan, dan kesuksesan. Untuk itu, jika pembaca mencermati bagian Senarai Motivasi ini akan terasa ringan tetapi inspiratif. Mudah diikuti dan menarik untuk dicermati.
Pada bagian kedua, Senarai Sastra berisi pengalaman Sutejo selama bergulat dengan dunia sastra, khususnya kritik sastra dan pembelajarannya. Beberapa tulisan yang ada di dalamnya merupakan esai pemenang tingkat nasional, tulisan di media massa, dan tugas-tugas mata kuliah ketika mengikuti program doktor di Unesa. Sebuah refleksi dan rekam pergulatan pengalaman dengan dunia sastra. Pemikiran solutif bertebaran di beberapa tulisan, untaian apresiasi-kaji terberai dalam esai-esai media massa, dan penggalian makna dalam gelombang samudera karya sastra.
Tulisan-tulisannya tentang sastra ini merupakan hasil impresi dan ekspresi kreatif dari pergulatan mengajar sastra, pengkajian dan penelitian sastra, serta mengulas karya sastra tingkat nasional. Kekuatan ulasan sastranya terletak pada kedalamannya di satu sisi dan pada sisi lain pada kedalaman wawasannya. Meskipun pada bagian Senarai Sastra terdapat beberapa pengulangan kajian (termasuk objeknya) namun hal itu tidaklah mengganggu pembaca. Itulah risiko dari kompilasi tulisan yang dioreantasikan untuk kepentingan yang berbeda.
Bagian Senarai Pendidikan berisi tentang pengalaman dan pemikiran kreatif terhadap dunia pendidikan. Sebagai pemikir dan praktisi ia mengungkapkan pikiran-pikiran alternatif untuk perubahan dunia pendidikan ke depan, baik untuk para guru, birokrat, dan stakeholder penyokongnya. Sebagai guru (dosen) misalnya, Sutejo dikenal bukan saja dinilai sebagai guru kreatif tetapi inspiratif bagi murid-murid dan mahasiswanya. Ini terbukti dengan komunitas Himpunan Mahasiswa Penulis dan para siswa yang dibinanya telah banyak berbicara di tingkat nasional maupun regional.
Bukan saja tulisan-tulisan seputar dunia pendidikan, Sutejo juga menulis berkaitan dengan bidang-bidang lainnya seperti politik, ekonomi, perbankan, budaya, demokrasi, korupsi, hipnosis, dan sebagainya. Hal ini tampak pada bagian Senarai Bidang Lain merupakan ungkapan kritis atas realita budaya Indonesia. Warna religius misalnya, tampak dalam tulisan Kajian Islam: Belajar dari Gus Dur (hal. 666-688), Menyisir Kepenulisan Profetik Abdul Hadi (hal. 127-143), Penggutan Mitos dan Fiqih Perempuan (hal. 67-100), dan Spiritualitas Guru dalam Trilogi Novel Syaikh Siti Jenar (hal. 205-243).
Untuk tulisan kritis berkaitan dengan politik, ekonomi, perbankan, budaya, demokrasi, korupsi banyak berupa resensi yang dimuat di media massa seperti Kompas, Merdeka, Surya, dan Gatra. Meskipun berupa resensi jika penulisnya tidak memiliki wawasan kritis dan refleksi yang cukup dipastikan tidak akan melahirkan pemikiran yang representatif.
Sedangkan bagian Senarai Budaya Pinggiran merupakan renungan dan refleksi atas realita sosial kemasyarakatan. Pengungkapan gaya kolom bersifat esais menarik untuk dicermati dengan santai karena di dalamnya terdapat pernik-pernik makna sosial yang dapat direnungkan ulang.
***
Peran Sutejo sebagai mahasiswa, dosen, warga masyarakat, praktisi dan pemikir pendidikan, pelaku sastra, motivator dan beberapa peran lain, melahirkan tulisan dengan karakter khas. Jika Anda mencermati tulisan-tulisannya yang terkumpul dalam buku ini maka boleh jadi, akan Anda temukan karakter yang khas: bersifat esai, sastrawi (puitik), empirik, motivatif (inspiratif), reflektif, dan spiritual. Sebuah pengungkapan tulisan yang mengarakter.
Karakter esai boleh jadi tampak menonjol pada bagian Senarai Sastra. Sebagaimana dipahami genre esai memiliki kecenderungan bergaya personal, mengalir lentur, detail, investigatif, argumentatif, dan estetik. Estetika pengucapan esais ini pernah menjadi problem saat yang bersangkutan menyelesaikan program magister yang diuji oleh seorang linguis. Karena saya mengerti karakter berbahasa Sutejo, mau tidak mau, bersikap “pro” pada saat ujian berlangsung di ruang ujian yang menegangkan karena salah seorang penguji walk out tetapi kemudian kembali dengan mengusulkan sebuah bab tambahan dalam tesisnya.
Seorang penulis awal tentunya akan mengalami kesulitan ketika memasuki tulisan esai sebab genre esai menuntut keluasan wawasan, ketajaman, kelenturan, dan berpikir lateral (melompat-lompat kecil) seperti kupu-kupu. Jika Anda membaca buku ini dijamin akan merasa nikmat dan santai. Itulah memang salah satu efek karakter tulisan bergaya esai.
Jika dalam jurnalisme mutakhir dikenal dengan jurnalisme sastrawi maka karakter lain dari tulisan Sutejo adalah bergaya sastrawi sehingga aroma puitik dan bahasa asosiatif-metaforik sering berseliweran di sana sini. Tempo sebagai pelopor jurnalisme sastrawi menginspirasi pembaca dengan investigasi yang mendalam berikut pengungkapan yang bergaya sastrawi. Ternyata, Sutejo mengoleksi majalah ini sejak tahun 1990-an sehingga tidak heran jika tulisan-tulisannya juga terpengaruh dengan gaya jurnalisme sastrawi demikian.
Kebiasaan penulis buku ini yang bergaul lintas komunitas dengan warga pergulatan yang khas tampaknya yang melahirkan tulisan-tulisannya terasa empirik. Impresinya tampak menonjol yang diikuti gagasan kritis terhadap fakta-fakta empirik. Karakter ini tampak menonjol pada hampir semua tulisan, khususnya tulisan-tulisan yang dimuat di media massa. Bagian Senarai Budaya Pinggiran boleh jadi merupakan puncak dari karakter empirik ini.
Kegiatan pribadi penulis yang menyukai motivasi, tampaknya yang memberikan warna motivasi kuat pada karakter tulisannya. Bagian paling menonjol yang berkarakter demikian adalah Senarai Motivasi sehingga Anda membacanya ‘dipastikan’ tergelitik untuk ‘manggut-manggut’ untuk mengakui logika motivatifnya, yang seringkali sederhana tetapi filosofis dan mengena. Sebuah warna yang unik dan inspiratif khususnya jika dinikmati oleh pembaca pemula untuk melipatgandakan motivasi diri dalam memasuki kehidupan dengan pernik bidang yang beragam.
Beberapa tulisan lain yang motivatif dan inspiratif tampak diantaranya adalah (i) Jadilah Guru yang Inspiratif (hal. 374-388), (ii) Hipnosis Pendidikan (hal. 573-576), (iii) Hipnoeducation untuk Optimalisasi Pembelajaran (hal. 577-587), (iv) Strategi Pembangunan Kota Berbasis KLH untuk Menciptakan Kota yang Indah dan Hijau (hal. 689-708), dan (v) Menggagas Guru Multidimensional untuk Masa Depan (hal. 593-600). Jika kita membacanya akan menemukan inspirasi gerak yang mendorong “sperma persalinan” perubahan.
Karakter lain yang tak kalah menonjol adalah karakter reflektif sehingga tulisan-tulisannya cenderung berbasis refleksi pikiran dan jiwa untuk direfleksikan ulang oleh pembacanya. Hampir semua tulisan yang dimuat media massa dalam buku ini menggambarkan karakter yang reflektif. Gaya reflektif ini yang menonjol tampak pada tulisan-tulisan macam Memahami Protes Guru Lewat Puisi (hal. 309-312), Menghindarkan Keterasingan Sastra di Sekolah (hal. 317-320), Mengatasi Korupsi di Sekolah (hal. 513-516), Daerah Tak Peduli Dewan Sekolah? (hal. 520-522), Daerah Perlu Mengawal Peredaran Buku (hal. 517-519), Membangun Citra Guru, Mulai dari Mana? (hal. 530-533), Banyak Pejabat Merusak Bahasa Indoensia (hal. 544-548), dan Agar Guru Tidak Indoktrinatif (hal. 661-665).
Gagasan-gagasan kritis yang merupakan refleksi sosial menarik dibaca dan begitu menggelitik. Kadang ringan, kadang setengah kelakar, dan kadang harus serius dengan memicingkan mata. Karakter reflektif yang ringan tampak pada bagian Senarai Budaya Pinggiran (hal. 762-902). Meskipun tampak ringan ketika dibaca tetapi balutan makna hidup menjadi warna dominan di dalamnya. Untuk itu, jika pembaca ingin menyisir makna kehidupan dalam budaya pinggiran masyarakat kita, membacanya seperti kita temukan pergulatan kecil yang inspiratif dan maknawi.
Karakter spiritual adalah ungkapan spiritual yang dipresentasikan ke dalam tulisan-tulisan berbasis realitas, baik yang sederhana maupun kompleks. Puncak dari segala kegiatan kehidupan hakikatnya memang spiritualitas. Artinya, dalam bahasa Sutejo segala perbuatan yang terjadi dalam kehidupan ini merupakan perwujudan tauhid af’al, sifat, asma, dan dzat Tuhan. Karakter ini akan mudah tampak pada dua bagian yakni, (i) Senarai Motivasi dan (ii) Senarai Budaya Pinggiran. Sebuah rumah jiwa yang dapat dihuni oleh setiap orang.
Esai pendidikan berjudul Membangun Kultur Sekolah Berbasis “Energi Waktu” (hal. 601-620) dan Membaca itu Wajib, Guru! (hal. 621-628) misalnya, merupakan internalisasi spiritualitas yang menarik untuk direfleksikan ulang oleh pembaca. Karakter spiritualitas budaya Islam yang telah mengubah peradaban dunia dalam awal-awal peradaban tampak dalam tulisan yang berjudul Berguru pada Sejarah, Memetik Hikmah Berubah (hal. 563-572).
Warna spiritual dalam esai sastra diantaranya tampak dalam tulisan macam Tamasya Kematian dalam Puisi-Puisi Hamid Jabbar (hal. 101-126), Menyisir Kepenulisan Profetik Abdul Hadi (hal. 127-143), Penggugatan Mitos dan Fiqih Perempuan (hal. 67-100), dan Spiritualitas Guru dalam Trilogi Novel Syaikh Siti Jenar (hal. 205-243). Warna spiritual secara implisit juga tampak dalam banyak tulisan yang lainnya.
Akhirnya, karakter tulisan-tulisan Sutejo seringkali bersifat filosofis pada beberapa bagian sementara pada bagian lain tidak saja filosofis tetapi spiritual. Sebuah ‘pergulatan puncak’ barangkali. Bukankah dalam teologi falsafi hakikat realitas akan menempuh perjalanan kembali? Filsafat dengan demikian akan menjadi ‘tempat berangkat’ dan ‘pemberhentian’ dari sebuah perjalanan pengalaman, pengetahuan, dan keilmuan itu sendiri.
Sebagai contoh adalah tulisan Sutejo yang berjudul Jadilah Guru Inspiratif (hal. 374-388), yang merupakan pidato orasi ilmiahnya untuk menitipkan pesan filosofis kepada para mahasiswanya. Kutipan berikut menggambarkannya, “Belajarlah pada kepompong yang menjadikannya kupu-kupu tetapi bukan kepada ular yang dalam proses menjadinya ia tetap menjadi ular. Guru yang baik seperti kupu-kupu karena dalam proses pertapaan belajarnya telah mengubahnya menjadi sesuatu yang indah di depan anak didiknya. Ia akan hinggap pada sesuatu yang bermanfaat dan yang ditinggalkannya pun bermanfaat. Guru itu seperti pohon kelapa: akar, batang, daun, tangkai, kelapa, bunga, dan semua yang ada padanya bermanfaat bagi tunas didiknya. Di sinilah maka, di Bali pohon kelapa disucikan, dan dalam cerita sufi kupu-kupu adalah metamorfosa perjalanan seorang penempuh jalan kesufian.” (hal. 379).
Warna filosofis nyaris menjadi karakter dari semua tulisannya. Paling tidak ungkapan filosofisnya menjadi tali pengikat pemikiran dan pengalamannya. Untuk itu jika membaca buku ini di bagian yang satu seperti menapaki pendakian ke gunung hakikat, kemudian pindah ke lembah makrifat, lalu singgah di batu permenungan, sebelum akhirnya beristirahat di rumah hati dan makna yang merupakan hakikat dari tulisan-tulisannya.
***
Jika pembaca ingin berubah dan mencapai kesuksesan (apapun profesinya) maka perlu membaca bagian pertama buku ini, Senarai Motivasi. Salah satu ungkapan yang dituliskannya begini, “Jangan percaya pada mitos bakat. Sukses hidup, kata Einstein, adalah 99 persen kerja keras, bakat berperan hanya 1 persen untuk keberhasilan Anda. Oke, jika Anda ingin sukses, sesungguhnya dibutuhkan kerja keras, kerja cerdas, kerja ikhlas! Bukan bakat. Salam fantastik dan luar biasa buat Anda.”
Pembaca bisa belajar dari resep produktivitas Sutejo, sebagaimana kutipan tulisan motivasinya berikut. “… Orang berhasil adalah orang yang tak pernah menyerah. Meskipun berapa kali Anda terjatuh, bangkitlah! Orang bermental juara adalah mereka selalu bangun ketika terjatuh. Mereka menambahkan sekali dari jumlah dia terjatuh. Sebab, jika Anda tidak bangun, berarti kalah. Pemenang sejati dengan sendirinya adalah mereka mampu bangun kembali.
Seorang teman penulis menceritakan kisah suksesnya menembus media massa setelah ratusan kali gagal. Saya sendiri menulis di Kompas, setelah gagal 24 kali. Jangan menyerah. Ini adalah pesan spiritual dari para pemenang. Thomas Edison adalah contoh pemenang yang bangun setelah ribuan kali terjatuh dan gagal dari penelitiannya. Tetapi keyakinannya, mental pemenangnya, menjadi pembeda dari rata-rata ilmuwan sebelumnya.
Dia menyediakan waktu berlatih 12-14 jam/hari untuk melakukan riset. Sekarang anak cucunya, kaya raya menikmati royalti dari hak patent yang jumlahnya ribuan. Untuk inilah, jika Anda ingin menjadi pemenang dalam kehidupan, maka jangan menyerah. Bangkit, dan bangkit lagi!”
Sutejo ternyata menulis hingga dimuat di Kompas setelah mengirimkannya selama 24 kali. Sebuah inspirasi keuletan. Buku yang ada di tangan pembaca ini adalah sebuah pergulatan kepenulisan yang telah ditekuninya selama 23 tahun. Tidak mengherankan jika Anda membaca buku ini seperti tamasya ke taman-taman pemikiran dengan aneka bunga pikiran yang menarik untuk dinikmati harum pemikirannya.
Sebagai sebuah buku kumpulan tulisan lepas maka salah satu kelemahan adalah terdapatnya beberapa pengulangan pemikiran pada beberapa tulisan. Meskipun demikian, kontekstualisasi pengungkapannya memiliki keragaman yang tidak menjemukan.
***
*) Guru Besar Emeritus Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Dijumput dari: http://sastra-indonesia.com/2013/06/untaian-pemikiran-inspiratif-penulis-pedalaman/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar