Muhammad Subhan
hariansinggalang.co.id 23 April 2013
Sejumlah karya besar mereka baik dalam bentuk puisi maupun prosa menjadi perbincangan dan rujukan banyak orang. Di sekolah tingkat rendah hingga perguruan tinggi, buku-buku sastrawan Minang menjadi bacaan wajib dan masuk dalam kurikulum pelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Sumatra Barat pun menjadi kiblat sastra Tanah Air.
Sederetan nama besar satrawan Minang itu, di antaranya Abdoel Moeis, Asrul Sani, Rivai Apin, Marah Rusli, Hamka, Sutan Takdir Alisyahbana, Selasih, dan beberapa nama lainnya. Campur tangan Penerbit Balai Pustaka yang juga didominasi oleh orang-orang Minang di dalamnya menjadikan karya-karya para sastrawan Minang semakin mendapat tem pat dan meluas penyebarannya ke berbagai daerah.
Namun seiring pergantian masa dan pertukaran waktu, setelah kejayaan itu mengekalkan citra Sumatra Barat sebagai gudangnya penulis dan sastrawan, kini semakin meredup kalau tidak dikatakan hilang sama sekali. Bahkan yang lebih ironis sebagian besar sekolah-sekolah di Indonesia, baik tingkat SMP maupun SMA tidak lagi merujuk bacaan siswa mereka pada karya-karya sastrawan Minang layaknya di masa-masa sebelumnya. Apa gerangan yang terjadi terhadap eksistensi kesusastraan Minang di masa sekarang?
Dalam suatu kesempatan, saya berbincang-bincang dengan penyair Taufiq Ismail, yang kata beliau, di era 1970-an dan tahun-tahun sebelumnya, karya sastrawan-sastrawan Minang memang mengambil peran besar terhadap kemajuan kesusastraan Indonesia, bahkan gaungnya menyebar hingga keluar Nusantara.
Namun memasuki era 1980-an hingga 1990-an gaung itu semakin meredup, apalagi di era 2000-an hingga kini. Tetapi menurut Taufiq Ismail, hal itu wajar, sebab penduduk Indonesia semakin bertambah. Di samping itu pengajaran bahasa Melayu yang menjadi cikal bakal bahasa Indonesia sudah semakin meluas diajarkan di sekolah-sekolah.
Dampak meluasnya pengajaran bahasa melayu itu, paparnya, tidak lepas dari kiprah Kweek School (Sekolah Guru) di Bukittinggi (SMA Negeri 2 Birugo sekarang) dan di Yogyakarta.
Kedua sekolah inilah yang melahirkan banyak guru yang mengembangkan bahasa Melayu yang kemudian menumbuhkan minat sastrawan-satsrawan baru di berbagai daerah di Tanah Air untuk berkarya dan berkompetisi dengan sastrawan-sastrawan di daerah lainnya.
“Kalau ada sastrawan yang muncul di Jawa, Bali, Sulawesi, Kalimantan bahkan Irian Jaya, itu sangat wajar sebab bahasa Indonesia sudah semakin berkembang seiring bertambahnya jumlah penduduk,” kata Taufiq Ismail.
Membandingkan Minangkabau (Sumatra Barat) dengan Jawa, menurut Taufiq Ismail, bukanlah sebuah ukuran yang tepat untuk menilai maju-mundurnya sastrawan Minang hari ini. Meski nama-nama besar sebelumnya telah banyak yang meninggal dunia, tentu di Sumatra Barat ada melahirkan sastrawan-sastrawan baru walau karya mereka belum terlalu menonjol dibanding sastrawan-sastrawan angkatan sebelumnya.
Sebenarnya menurut Taufiq Ismail bukan faktor turunnya jumlah sastrawan Minang yang mewarnai khazanah kesusastraan Indonesia modern, namun kepentingan yang lebih besar dari itu adalah turunnya minat membaca dan menulis di kalangan generasi muda. Tidak hanya di Sumatera Barat namun meluas ke seluruh Tanah Air. Dampak dari turunnya minat membaca dan menulis menyebabkan minusnya karya sastra berbobot yang lahir di Tanah Air.
Wujud keprihatinan itulah Taufiq Ismail dan istrinya Ati Ismail berinisiatif membangun Rumah Puisi yang berlokasi di Nagari Aie Angek, Kabupaten Tanah Datar. Rumah Puisi diharapkannya kelak menjadi wadah yang dapat menyebarkan kembali semangat membaca dan menulis khususnya di kalangan generasi muda.
Dia memaparkan, Rumah Puisi tumbuh dari pengalaman kolektif Taufiq Ismail bersama tim redaktur Horison dan sastrawan se Indonesia dalam 10 Program Gerakan membawa sastra ke sekolah sejak 1998 hingga 2008.
Nama Rumah Puisi, jelasnya, tidak bermakna bahwa kegiatannya semata-mata berkaitan dengan persajakan saja. Dia merangkum seluruh aktivitas yang bersangkutan dengan literatur dan literasi, karya sastra, pembacaan dan latihan penulisannya, dengan warna keindahan puitik sebagai intinya. Sesungguhnya seluruh karya sastra, yaitu sajak, cerita pendek, novel, drama, dan esai, semuanya pasti memiliki keindahan puitiknya masing-masing yang khas. Demikianlah istilah puisi menjadi kata sifat bersama dan payung dari seluruh karya sastra.
Guru Bahasa dan Sastra Indonesia SMA se Sumatera Barat adalah awal pelatihan yang diprogram Rumah Puisi, mengingat strategisnya peran mereka dalam mendidik generasi muda yang akan beranjak ke jenjang perguruan tinggi.
Guru-guru yang dilatih itu nantinya diharapkan dapat memberikan warna baru tentang pengajaran sastra di ruang kelas mereka. Pengajaran sastra yang selama ini mungkin saja dianggap siswa sebagai pelajaran yang membosankan, maka setelah guru mengikuti pelatihan di Rumah Puisi pandangan itu akan dapat diubah. Pengajaran sastra menjadi sesuatu yang asyik, menyenangkan, dan selalu dinanti-nanti para siswa.
Sastra ke sekolah
Kenapa membawa sastra ke sekolah? Apakah sastra tidak hidup dan berkembang di sekolah? Kenyataan memang begitu. Gairah bersastra belum berurat-berakar di sekolah. Siswa baru sekadar mengenal ilmu sastra, tetapi belum sepenuhnya menekuni sastra sebab masih direcoki oleh pelajaran eksakta yang memang menjadi anak emas di sekolah.
Maka, program membawa kembali sastra ke sekolah dan melibatkan guru-guru untuk mengikuti pelatihan sastra seperti yang dilakukan Majalah Sastra Horison atau pun Rumah Puisi, sepatutnya ditiru oleh berbagai pihak yang peduli terhadap pendidikan karakter anak bangsa.
Pemerintah daerah hendaknya merangkul seniman dan sastrawan di daerah masing-masing untuk masuk ke sekolah, melampaui batas birokrasi, dengan tujuan memberi memotivasi kepada siswa dan guru untuk menulis karya sastra. Bila tidak demikian, maka sastra akan menjadi anak tiri dan sepi dengan kesendiriannya.
Masuknya para sastrawan ke sekolah, setidaknya siswa mengenal lebih dekat sosok sastrawan dan karya sastra yang ditulisnya. Efek yang lebih utama, akan membentuk karakter positif anak didik untuk mencintai membaca buku dan menulis karangan yang akhir-akhir ini semakin berkurang. Atau seperti yang dikatakan Taufiq Ismail, generasi sekarang rabun membaca pincang menulis. Namun hal itu tidak akan terjadi bilamana pemerintah daerah lewat dinas pendidikan dan sekolah memerhatikan permasalahan ini secara serius.
Bila dicermati, kemampuan siswa menulis karya sas tra bukan kegiatan yang angin lalu atau sekadar memenuhi tugas belajar di kelas.
Dijumput dari: http://hariansinggalang.co.id/membawa-sastra-ke-sekolah/
hariansinggalang.co.id 23 April 2013
Sejumlah karya besar mereka baik dalam bentuk puisi maupun prosa menjadi perbincangan dan rujukan banyak orang. Di sekolah tingkat rendah hingga perguruan tinggi, buku-buku sastrawan Minang menjadi bacaan wajib dan masuk dalam kurikulum pelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Sumatra Barat pun menjadi kiblat sastra Tanah Air.
Sederetan nama besar satrawan Minang itu, di antaranya Abdoel Moeis, Asrul Sani, Rivai Apin, Marah Rusli, Hamka, Sutan Takdir Alisyahbana, Selasih, dan beberapa nama lainnya. Campur tangan Penerbit Balai Pustaka yang juga didominasi oleh orang-orang Minang di dalamnya menjadikan karya-karya para sastrawan Minang semakin mendapat tem pat dan meluas penyebarannya ke berbagai daerah.
Namun seiring pergantian masa dan pertukaran waktu, setelah kejayaan itu mengekalkan citra Sumatra Barat sebagai gudangnya penulis dan sastrawan, kini semakin meredup kalau tidak dikatakan hilang sama sekali. Bahkan yang lebih ironis sebagian besar sekolah-sekolah di Indonesia, baik tingkat SMP maupun SMA tidak lagi merujuk bacaan siswa mereka pada karya-karya sastrawan Minang layaknya di masa-masa sebelumnya. Apa gerangan yang terjadi terhadap eksistensi kesusastraan Minang di masa sekarang?
Dalam suatu kesempatan, saya berbincang-bincang dengan penyair Taufiq Ismail, yang kata beliau, di era 1970-an dan tahun-tahun sebelumnya, karya sastrawan-sastrawan Minang memang mengambil peran besar terhadap kemajuan kesusastraan Indonesia, bahkan gaungnya menyebar hingga keluar Nusantara.
Namun memasuki era 1980-an hingga 1990-an gaung itu semakin meredup, apalagi di era 2000-an hingga kini. Tetapi menurut Taufiq Ismail, hal itu wajar, sebab penduduk Indonesia semakin bertambah. Di samping itu pengajaran bahasa Melayu yang menjadi cikal bakal bahasa Indonesia sudah semakin meluas diajarkan di sekolah-sekolah.
Dampak meluasnya pengajaran bahasa melayu itu, paparnya, tidak lepas dari kiprah Kweek School (Sekolah Guru) di Bukittinggi (SMA Negeri 2 Birugo sekarang) dan di Yogyakarta.
Kedua sekolah inilah yang melahirkan banyak guru yang mengembangkan bahasa Melayu yang kemudian menumbuhkan minat sastrawan-satsrawan baru di berbagai daerah di Tanah Air untuk berkarya dan berkompetisi dengan sastrawan-sastrawan di daerah lainnya.
“Kalau ada sastrawan yang muncul di Jawa, Bali, Sulawesi, Kalimantan bahkan Irian Jaya, itu sangat wajar sebab bahasa Indonesia sudah semakin berkembang seiring bertambahnya jumlah penduduk,” kata Taufiq Ismail.
Membandingkan Minangkabau (Sumatra Barat) dengan Jawa, menurut Taufiq Ismail, bukanlah sebuah ukuran yang tepat untuk menilai maju-mundurnya sastrawan Minang hari ini. Meski nama-nama besar sebelumnya telah banyak yang meninggal dunia, tentu di Sumatra Barat ada melahirkan sastrawan-sastrawan baru walau karya mereka belum terlalu menonjol dibanding sastrawan-sastrawan angkatan sebelumnya.
Sebenarnya menurut Taufiq Ismail bukan faktor turunnya jumlah sastrawan Minang yang mewarnai khazanah kesusastraan Indonesia modern, namun kepentingan yang lebih besar dari itu adalah turunnya minat membaca dan menulis di kalangan generasi muda. Tidak hanya di Sumatera Barat namun meluas ke seluruh Tanah Air. Dampak dari turunnya minat membaca dan menulis menyebabkan minusnya karya sastra berbobot yang lahir di Tanah Air.
Wujud keprihatinan itulah Taufiq Ismail dan istrinya Ati Ismail berinisiatif membangun Rumah Puisi yang berlokasi di Nagari Aie Angek, Kabupaten Tanah Datar. Rumah Puisi diharapkannya kelak menjadi wadah yang dapat menyebarkan kembali semangat membaca dan menulis khususnya di kalangan generasi muda.
Dia memaparkan, Rumah Puisi tumbuh dari pengalaman kolektif Taufiq Ismail bersama tim redaktur Horison dan sastrawan se Indonesia dalam 10 Program Gerakan membawa sastra ke sekolah sejak 1998 hingga 2008.
Nama Rumah Puisi, jelasnya, tidak bermakna bahwa kegiatannya semata-mata berkaitan dengan persajakan saja. Dia merangkum seluruh aktivitas yang bersangkutan dengan literatur dan literasi, karya sastra, pembacaan dan latihan penulisannya, dengan warna keindahan puitik sebagai intinya. Sesungguhnya seluruh karya sastra, yaitu sajak, cerita pendek, novel, drama, dan esai, semuanya pasti memiliki keindahan puitiknya masing-masing yang khas. Demikianlah istilah puisi menjadi kata sifat bersama dan payung dari seluruh karya sastra.
Guru Bahasa dan Sastra Indonesia SMA se Sumatera Barat adalah awal pelatihan yang diprogram Rumah Puisi, mengingat strategisnya peran mereka dalam mendidik generasi muda yang akan beranjak ke jenjang perguruan tinggi.
Guru-guru yang dilatih itu nantinya diharapkan dapat memberikan warna baru tentang pengajaran sastra di ruang kelas mereka. Pengajaran sastra yang selama ini mungkin saja dianggap siswa sebagai pelajaran yang membosankan, maka setelah guru mengikuti pelatihan di Rumah Puisi pandangan itu akan dapat diubah. Pengajaran sastra menjadi sesuatu yang asyik, menyenangkan, dan selalu dinanti-nanti para siswa.
Sastra ke sekolah
Kenapa membawa sastra ke sekolah? Apakah sastra tidak hidup dan berkembang di sekolah? Kenyataan memang begitu. Gairah bersastra belum berurat-berakar di sekolah. Siswa baru sekadar mengenal ilmu sastra, tetapi belum sepenuhnya menekuni sastra sebab masih direcoki oleh pelajaran eksakta yang memang menjadi anak emas di sekolah.
Maka, program membawa kembali sastra ke sekolah dan melibatkan guru-guru untuk mengikuti pelatihan sastra seperti yang dilakukan Majalah Sastra Horison atau pun Rumah Puisi, sepatutnya ditiru oleh berbagai pihak yang peduli terhadap pendidikan karakter anak bangsa.
Pemerintah daerah hendaknya merangkul seniman dan sastrawan di daerah masing-masing untuk masuk ke sekolah, melampaui batas birokrasi, dengan tujuan memberi memotivasi kepada siswa dan guru untuk menulis karya sastra. Bila tidak demikian, maka sastra akan menjadi anak tiri dan sepi dengan kesendiriannya.
Masuknya para sastrawan ke sekolah, setidaknya siswa mengenal lebih dekat sosok sastrawan dan karya sastra yang ditulisnya. Efek yang lebih utama, akan membentuk karakter positif anak didik untuk mencintai membaca buku dan menulis karangan yang akhir-akhir ini semakin berkurang. Atau seperti yang dikatakan Taufiq Ismail, generasi sekarang rabun membaca pincang menulis. Namun hal itu tidak akan terjadi bilamana pemerintah daerah lewat dinas pendidikan dan sekolah memerhatikan permasalahan ini secara serius.
Bila dicermati, kemampuan siswa menulis karya sas tra bukan kegiatan yang angin lalu atau sekadar memenuhi tugas belajar di kelas.
Dijumput dari: http://hariansinggalang.co.id/membawa-sastra-ke-sekolah/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar