Beni Setia *
Lampung Post, 28 April 2013
AKHIRNYA, di Bukittinggi, Minggu (24/3/2013), Wakil Menteri Pendikan dan Kebudayaan, Wiendu Nuryarti resmi menatapkan 3 Juli sebagai Hari Sastra Indonesia –dengan berpatokan ke hari kelahiran Abdoel Moeis. Jadi tak heran kalau momentum pengumuman resmi itu dilakukan di kompleks SMAN 2 Kota Bukittinggi, yang dulu pernah jadi tempat sastrawan Abdoel Moes bersekolah. Sesuatu yang rasanya terlalu dicari-cari–agar acara itu dilakukan di Bukittinggi–, dengan melupakan fakta Abdoel Moeis itu tidak tamat Stovia. Kenapa tak di Bandung yang lama jadi tempat Abdoel Moeis bermukim, bergaul, dan berproses kreatif?
Jawabannya mungkin faktor Taufiq Ismail yang menjadi sponsor penetapan itu–sehingga Maklumat Hari Sastra pun dibaca Upita Agustine. Di luar isu provinsial nan menggelikan, sesungguhnya penetapan itu bisa diperdebatkan–ini terlepas dari fakta salah karya Abdoel Moes, Salah Asuhan, merupakan novel fenomenal, karena berani bersiterang mempertanyakan keabsahan pendidikan Barat bagi orang Minang, dalam menjaga harmoni budaya dan adab Timur yang selalu bersendi agama dan menghargai orang tua. Setidaknya lingkaran Jurnal Boemi Poetra menganggap pemilihan 3 Juli itu tidak tepat karena Abdoel Moes dianggapnya bukan sastrawan Indonesia yang diakui secara internasional.
Karena itu, lewat release di TBJT Solo belum lama ini, mereka lebih memilih 6 Februari sebagai Hari Sastra Indonesia. Tanggal 6 Februari ini dipilih dengan merujuk hari kelahiran Pramudya Ananta Toer, seorang sastrawan yang dianggap sangat tegas memihak rakyat dengan menggarisbawahi keserakahan kolonialisme Belanda dan ide oprtunisme penguasa lokal yang selalu memilih laku asal senang sendiri dengan terus menjaga status quo sebagai penguasa di antara pemerintahan kolonial dengan rakyat pribumi, dengan menggarisbawahi pederitaan rakyat yang dieksploitasi kolonialisme Belanda dan separuh dikorbankan penguasa feodalistik Jawa, dan dengan memilih dan menggarisbawahi tokoh lokal non-priyayi yang tegar melawan Belanda meski selalu kalah. Spririt nasionalisme tragis Pram itu dianggap bisa menggugah, serta dikuatkan fakta karya-karyanya diakui secara internasional–jadi tidak terlalu memalukan kalau Hari Sastra Indonesia jatuh pada 6 Februari.
Kita tak tahu persis, kenapa Pemerintah lebih memilih 3 Juli, dan bukan merujuk ke 22 April, hari kematian Chairil Anwar, yang di selama ini selalu dijadikan pijakan banyak komunitas sastra, sebagai momen buat melakukan kenduri sastra, dengan titik tekan pada puisi dan eksplorasi Chairil Anwar dalam mencari pengucapan puitik yang amat personal–karenanya telah diangankan sebagai Hari Puisi Indonesia. Mungkin di belakang itu semua ada lobi, dan lobi Taufiq Ismail mungkin sangat jitu, sedangkan si yang ingin menjadikan hari kelahiran Pram sebagai Hari Sastra Indonesia secara resmi tak ada yang berani. Terlalu riskan membawa ide itu ke Pemerintah–setelah di selama ini kita dikondisikan untuk selalu curiga kepada segala sesuatu yang bersipat ideologi kiri, dan terlebih menyangkut orang-orang komunis yang tergabung dalam PKI.
Tapi, apa sesungguhnya peranan Hari Sastra Indonesia, bagi sastra dan sastrawan Indonesia, kalau itu baru akan dilaksanakan pertama kalinya di tiga bulan mendatang? Itu pertanyaan paling utamanya. Jadi, di luar itu semua, saya bisa menerima bila 3 Juli ditetapkan sebagai Hari Sastra Indonesia–saya tidak ada diundang ke penetapannya di Bukittinggi, yang katanya diawali oleh pembacaan Maklumat Hari Sastra Indonesia–, karena alasan praktis pragmatik. Mau atau tidak mau, Pemerintah cq Kementrian dan dilaksanakan oleh Dindikbud nasional dan yang di bawahnya mempunyai agenda buat merayakan Hari Sastra pada setiap tahunnya, dan karenanya akan terpaksa mengingat nasib sastra dan sastrawan Indonesia. Setidaknya setelah seorang Wiendu Nuryati itu menggoyahkan kesuntukan kreatif penciptaan sastrawan Indonesia, yang personal itu, dengan ide sertifikasi sastrawan.
Kini, ada yang bisa dilakukan dengan aplikasi ide sertifikasi sastrawan, dengan keberadaan dana tahunan yang dicadangkan di pos perayaan Hari Sastra Indonesia itu. Panggillah, sebagian kecil dari dana itu siapa tahu dipakai untuk memperhatikan nasib sastrawan Indonesia yang sudah tak punya etos mencipta secara kreatif. Suatu tali asih sekali seumur hidup. Selain peruntukan tunjangan kreatif, berupa dana buat residensi, atau penulisan kreatif, bagi sastrawan muda, dengan melihat potensi kreatif mreka via pengusulan kurator terpilih, atau pengajuan proposal si yang bersangkutan. Selain bea siswa bagi mahasiswa level magister dan doktoral, yang mau mendalami kritik sastra (Indonesia) di PT terpilih. Dan di atas semua itu, ada upaya penggalakan sastra lewat menunjang penerbitan buku sdan penyebarannya ke perpustakaan daerah dan sekolah lewat proyek pembelian buku-buku sastra Indonesia mutakhir.
Di titik itu, Hari Sastra Indonesia itu ditetapkan pada tanggal berapa serta bulan apa, yang dirujukkan pada hari kelahiran atau kematian–bahkan itu perkawinan atau perceraian–sastrawan apa dan yang menulis karya dengan level macam apa sudah tak penting lagi. Yang pokok itu niat baik Pemertintah untuk memsiperhatikan dinamika penciptaan kreatif sastra Indonesia di satu sisi, serta upaya untuk menunjang stamina penjelejahan kreatip si sastrawan potensial Indonesia di sisi lain yang paling penting. Jadi kesepahaman saya itu tidak sekadar fakta kalau Abdoel Moeis itu lama tinggal di Bandung, dan bahkan meninggal di Bandung, 1959–sama seperi Marah Roesli, yang selain menulis novel Sitti Nurbaya juga membanggakan orang Bandung karena punya cucu musisi fenomenal Harry Roesli. Bahkan Abdoel Moeis itu aktif memperkenalkan khazanah sastra Sunda ke khazanah sastra Indonesia, dengan mensiterjemahkan novel Pangeran Kornel, karya R. Memed Sastrahadiprawira.
Masalahnya, siapa tahu mereka itu cuma berkebun tebu di bibir, mencadangkan dana yang pencairannya bisa dilakukan untuk keperluan lain dengan alasan yang amat lain-lain. Bila sudah sampai di titik ini, semua sastrawan Indonesia harus bersisepakat menulis dengan satu tema tunggal: kongklikong dan korupsi. Atau justru itulah tema antoloji puisi, prosa, dan esei kajian karya fiksi sastra bertema korupsi yang telah ada untuk penanda Hari Sastra Indonesia yang pertama? Atau ada atau tak ada Hari Sastra Indonesia sastra dan sastrawan Indonesia memang harus memprioritaskan karya yang bersemangat antikorupsi. Kitu!
*) Beni Setia, pengarang
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2013/04/abdoel-moeis-dan-hari-sastra.html
Lampung Post, 28 April 2013
AKHIRNYA, di Bukittinggi, Minggu (24/3/2013), Wakil Menteri Pendikan dan Kebudayaan, Wiendu Nuryarti resmi menatapkan 3 Juli sebagai Hari Sastra Indonesia –dengan berpatokan ke hari kelahiran Abdoel Moeis. Jadi tak heran kalau momentum pengumuman resmi itu dilakukan di kompleks SMAN 2 Kota Bukittinggi, yang dulu pernah jadi tempat sastrawan Abdoel Moes bersekolah. Sesuatu yang rasanya terlalu dicari-cari–agar acara itu dilakukan di Bukittinggi–, dengan melupakan fakta Abdoel Moeis itu tidak tamat Stovia. Kenapa tak di Bandung yang lama jadi tempat Abdoel Moeis bermukim, bergaul, dan berproses kreatif?
Jawabannya mungkin faktor Taufiq Ismail yang menjadi sponsor penetapan itu–sehingga Maklumat Hari Sastra pun dibaca Upita Agustine. Di luar isu provinsial nan menggelikan, sesungguhnya penetapan itu bisa diperdebatkan–ini terlepas dari fakta salah karya Abdoel Moes, Salah Asuhan, merupakan novel fenomenal, karena berani bersiterang mempertanyakan keabsahan pendidikan Barat bagi orang Minang, dalam menjaga harmoni budaya dan adab Timur yang selalu bersendi agama dan menghargai orang tua. Setidaknya lingkaran Jurnal Boemi Poetra menganggap pemilihan 3 Juli itu tidak tepat karena Abdoel Moes dianggapnya bukan sastrawan Indonesia yang diakui secara internasional.
Karena itu, lewat release di TBJT Solo belum lama ini, mereka lebih memilih 6 Februari sebagai Hari Sastra Indonesia. Tanggal 6 Februari ini dipilih dengan merujuk hari kelahiran Pramudya Ananta Toer, seorang sastrawan yang dianggap sangat tegas memihak rakyat dengan menggarisbawahi keserakahan kolonialisme Belanda dan ide oprtunisme penguasa lokal yang selalu memilih laku asal senang sendiri dengan terus menjaga status quo sebagai penguasa di antara pemerintahan kolonial dengan rakyat pribumi, dengan menggarisbawahi pederitaan rakyat yang dieksploitasi kolonialisme Belanda dan separuh dikorbankan penguasa feodalistik Jawa, dan dengan memilih dan menggarisbawahi tokoh lokal non-priyayi yang tegar melawan Belanda meski selalu kalah. Spririt nasionalisme tragis Pram itu dianggap bisa menggugah, serta dikuatkan fakta karya-karyanya diakui secara internasional–jadi tidak terlalu memalukan kalau Hari Sastra Indonesia jatuh pada 6 Februari.
Kita tak tahu persis, kenapa Pemerintah lebih memilih 3 Juli, dan bukan merujuk ke 22 April, hari kematian Chairil Anwar, yang di selama ini selalu dijadikan pijakan banyak komunitas sastra, sebagai momen buat melakukan kenduri sastra, dengan titik tekan pada puisi dan eksplorasi Chairil Anwar dalam mencari pengucapan puitik yang amat personal–karenanya telah diangankan sebagai Hari Puisi Indonesia. Mungkin di belakang itu semua ada lobi, dan lobi Taufiq Ismail mungkin sangat jitu, sedangkan si yang ingin menjadikan hari kelahiran Pram sebagai Hari Sastra Indonesia secara resmi tak ada yang berani. Terlalu riskan membawa ide itu ke Pemerintah–setelah di selama ini kita dikondisikan untuk selalu curiga kepada segala sesuatu yang bersipat ideologi kiri, dan terlebih menyangkut orang-orang komunis yang tergabung dalam PKI.
Tapi, apa sesungguhnya peranan Hari Sastra Indonesia, bagi sastra dan sastrawan Indonesia, kalau itu baru akan dilaksanakan pertama kalinya di tiga bulan mendatang? Itu pertanyaan paling utamanya. Jadi, di luar itu semua, saya bisa menerima bila 3 Juli ditetapkan sebagai Hari Sastra Indonesia–saya tidak ada diundang ke penetapannya di Bukittinggi, yang katanya diawali oleh pembacaan Maklumat Hari Sastra Indonesia–, karena alasan praktis pragmatik. Mau atau tidak mau, Pemerintah cq Kementrian dan dilaksanakan oleh Dindikbud nasional dan yang di bawahnya mempunyai agenda buat merayakan Hari Sastra pada setiap tahunnya, dan karenanya akan terpaksa mengingat nasib sastra dan sastrawan Indonesia. Setidaknya setelah seorang Wiendu Nuryati itu menggoyahkan kesuntukan kreatif penciptaan sastrawan Indonesia, yang personal itu, dengan ide sertifikasi sastrawan.
Kini, ada yang bisa dilakukan dengan aplikasi ide sertifikasi sastrawan, dengan keberadaan dana tahunan yang dicadangkan di pos perayaan Hari Sastra Indonesia itu. Panggillah, sebagian kecil dari dana itu siapa tahu dipakai untuk memperhatikan nasib sastrawan Indonesia yang sudah tak punya etos mencipta secara kreatif. Suatu tali asih sekali seumur hidup. Selain peruntukan tunjangan kreatif, berupa dana buat residensi, atau penulisan kreatif, bagi sastrawan muda, dengan melihat potensi kreatif mreka via pengusulan kurator terpilih, atau pengajuan proposal si yang bersangkutan. Selain bea siswa bagi mahasiswa level magister dan doktoral, yang mau mendalami kritik sastra (Indonesia) di PT terpilih. Dan di atas semua itu, ada upaya penggalakan sastra lewat menunjang penerbitan buku sdan penyebarannya ke perpustakaan daerah dan sekolah lewat proyek pembelian buku-buku sastra Indonesia mutakhir.
Di titik itu, Hari Sastra Indonesia itu ditetapkan pada tanggal berapa serta bulan apa, yang dirujukkan pada hari kelahiran atau kematian–bahkan itu perkawinan atau perceraian–sastrawan apa dan yang menulis karya dengan level macam apa sudah tak penting lagi. Yang pokok itu niat baik Pemertintah untuk memsiperhatikan dinamika penciptaan kreatif sastra Indonesia di satu sisi, serta upaya untuk menunjang stamina penjelejahan kreatip si sastrawan potensial Indonesia di sisi lain yang paling penting. Jadi kesepahaman saya itu tidak sekadar fakta kalau Abdoel Moeis itu lama tinggal di Bandung, dan bahkan meninggal di Bandung, 1959–sama seperi Marah Roesli, yang selain menulis novel Sitti Nurbaya juga membanggakan orang Bandung karena punya cucu musisi fenomenal Harry Roesli. Bahkan Abdoel Moeis itu aktif memperkenalkan khazanah sastra Sunda ke khazanah sastra Indonesia, dengan mensiterjemahkan novel Pangeran Kornel, karya R. Memed Sastrahadiprawira.
Masalahnya, siapa tahu mereka itu cuma berkebun tebu di bibir, mencadangkan dana yang pencairannya bisa dilakukan untuk keperluan lain dengan alasan yang amat lain-lain. Bila sudah sampai di titik ini, semua sastrawan Indonesia harus bersisepakat menulis dengan satu tema tunggal: kongklikong dan korupsi. Atau justru itulah tema antoloji puisi, prosa, dan esei kajian karya fiksi sastra bertema korupsi yang telah ada untuk penanda Hari Sastra Indonesia yang pertama? Atau ada atau tak ada Hari Sastra Indonesia sastra dan sastrawan Indonesia memang harus memprioritaskan karya yang bersemangat antikorupsi. Kitu!
*) Beni Setia, pengarang
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2013/04/abdoel-moeis-dan-hari-sastra.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar