Candra Adikara Irawan
“Jurnalisme Diam Sastra Bicara” (Seno Gumira Ajidarma)
Sehabis magrib, lampu padam. Ublik-ublik kecil menyala di atas meja-meja, membingkai lukisan-lukisan yang terpampang di dinding, hingga kami menikmati menunggu dengan saling bercakap di keremangan. Tak berapa lama, lampu menyala dan Mas Andhi Setyo Wibowo berkabar bahwa Pak Lik Rakhmat Giryadi sudah datang. Dimulailah, Selasastra #5 di Boenga Ketjil, membahas tentang kumpulan cerpen Pak Lik Giryadi yang berjudul “Mengenang Kota yang Hilang”.
Dan yang bertugas sebagai pembandingnya adalah ahli kodikologi, Mas Agus Sulton. Pak Cucuk SP membuka sesi pertemuan itu dengan membacakan sekilas cuplikan cerpen berjudul “Panu Pak Lurah”, yang lantas disambut uraian kritik dari Mas Agus Sulton. Secara singkat, Mas Agus mengkritisi tentang logika penulisan cerpen yang cenderung melompat-lompat dan teknik penulisan (berkaitan dengan konvensi bahasa,khususnya tanda baca). Pembahasan mulai mengeruh ketika Pak Binhad, Pak Robin, dan yang lainnya mulai menyinggung tentang idealisme dalam berproses kreatif ala Pak Lik Giryadi.
Maka munculah pertanyaan; bagaimana Pak Lik Giryadi mempertahankan idealismenya untuk menulis cerpen dengan gaya penulisan yang cenderung dramatik? Apakah ada misi tertentu ketika memasukan jurnalisme dalam karya sastra, seperti kata SGA “Jurnalisme diam, sastra bicara”?
Jika disederhanakan kira-kira, seperti ini jawabannya; sebagai seorang sarjana seni rupa yang bergelut dengan seni teater, maka kecenderungan untuk menciptakan sebuah cerpen yang dramatik mengalir begitu saja. Bahkan ketika Pak Binhad dan Pak Cucuk menyinggung tentang sastra filosofis, Pak Lik justru tertawa. Terkait dengan jurnalisme sastra, Pak Lik justru melempar balik pertanyaan,dengan ungkapan yang mempertanyakan pernyataan SGA tersebut. Seperti ini kira-kira; apakah fakta yang dijadikan sebagai karya fiksi bisa dianggap sebagai fakta atau fiksi? Bukankah fakta dan fiksi itu sendiri saling membaur?
Tidak ada jawaban yang jelas. Tapi diskusi berlanjut pada pernyataan Mas Sulton yang menyinggung tentang teknik penulisan, yang kemudian melebar pada pembahasan berbagai teori sastra sampai kritikus sastra; Pentingkah pengetahuan teori (postmodernisme, dll) dalam proses kreatif menulis cerpen? Bagaimana peranan kritikus sastra di mata sastrawan?
Lagi-lagi tak ada jawaban yang disepakati. Mas Agus sebagai seorang kritikus mengatakan bahwa teori dalam penulisan sastra itu penting. Sedangkan, di sisi lain Pak Lik, Pak Binhad, dan Pak Cucuk meyakini yang sebaliknya; Bagi sastrawan menulis adalah menulis. Tidak tahu teori sastra berarti kelebihan karena bisa menulis tanpa beban.Sampai kemudian muncul pernyataan dari Pak Binhad; Teori muncul dari karya sastra, harusnya semakin aneh wujudnya maka akan melahirkan teori baru.
Perdebatan tentang teknik penulisan masih berlanjut, ketika tiba-tiba muncul dalam ingatan saya tentang salah satu persyaratan tangkai penulisan cerpen Peksimida IX Jatim, di UB, yang salah satu dewan jurinya adalah Pak Lik Giryadi; Penulisan naskah harus sesuai dengan EYD. Bukankah itu tentang teknik? Lalu apakah saat melakukan penjurian, teknis itu tidak terlalu penting?
“Yang terpenting adalah cerita itu sendiri. Masalah EYD adalah formalitas yang harus tetap disampaikan walaupun tidak menjadi acuan utama,” begitu kira-kira jawaban Pak Lik yang, konon, merasa kepepet dengan pertanyaan itu.
Kekeruhan sebenarnya belum menemui titik konvensi. Ah, tapi malam yang semakin larut merayu untuk menyudahi perbincangan. Moderator tak kuasa menyimpulkan, hanya berujar; semoga perbincangan ini bermanfaat. Semua orang tertawa. Diam-diam rasanya saya memutuskan sendiri dalam hati; sastrawan dan kritikus begitu dekat tapi bisa jadi mereka tak saling merasa dekat karena persoalan idealisme masing-masing.Tapi yang jelas mereka dekat.
Sastrawan tanpa kritikus, tak akan berkembang. Kritikus tanpa sastrawan, mau apa? Ah, pikiran ini rasanya keruh. Tapi, bukankah begitu yang seharusnya? Entahlah, yang jelas konon katanya pertanyaan yang baik selalu melahirkan jawaban dan pertanyaan baru. Kami pulang, membawa jawaban dan pertanyaan yang jawabannya mungkin ada di tempat lain. Nun jauh di sana. Malam yang keruh, malam yang riuh.
Mojosongo, 25 Mei 2016
https://selasastrain.blogspot.co.id/2018/02/antara-sastrawan-dan-kritikus-sastra.html
“Jurnalisme Diam Sastra Bicara” (Seno Gumira Ajidarma)
Sehabis magrib, lampu padam. Ublik-ublik kecil menyala di atas meja-meja, membingkai lukisan-lukisan yang terpampang di dinding, hingga kami menikmati menunggu dengan saling bercakap di keremangan. Tak berapa lama, lampu menyala dan Mas Andhi Setyo Wibowo berkabar bahwa Pak Lik Rakhmat Giryadi sudah datang. Dimulailah, Selasastra #5 di Boenga Ketjil, membahas tentang kumpulan cerpen Pak Lik Giryadi yang berjudul “Mengenang Kota yang Hilang”.
Dan yang bertugas sebagai pembandingnya adalah ahli kodikologi, Mas Agus Sulton. Pak Cucuk SP membuka sesi pertemuan itu dengan membacakan sekilas cuplikan cerpen berjudul “Panu Pak Lurah”, yang lantas disambut uraian kritik dari Mas Agus Sulton. Secara singkat, Mas Agus mengkritisi tentang logika penulisan cerpen yang cenderung melompat-lompat dan teknik penulisan (berkaitan dengan konvensi bahasa,khususnya tanda baca). Pembahasan mulai mengeruh ketika Pak Binhad, Pak Robin, dan yang lainnya mulai menyinggung tentang idealisme dalam berproses kreatif ala Pak Lik Giryadi.
Maka munculah pertanyaan; bagaimana Pak Lik Giryadi mempertahankan idealismenya untuk menulis cerpen dengan gaya penulisan yang cenderung dramatik? Apakah ada misi tertentu ketika memasukan jurnalisme dalam karya sastra, seperti kata SGA “Jurnalisme diam, sastra bicara”?
Jika disederhanakan kira-kira, seperti ini jawabannya; sebagai seorang sarjana seni rupa yang bergelut dengan seni teater, maka kecenderungan untuk menciptakan sebuah cerpen yang dramatik mengalir begitu saja. Bahkan ketika Pak Binhad dan Pak Cucuk menyinggung tentang sastra filosofis, Pak Lik justru tertawa. Terkait dengan jurnalisme sastra, Pak Lik justru melempar balik pertanyaan,dengan ungkapan yang mempertanyakan pernyataan SGA tersebut. Seperti ini kira-kira; apakah fakta yang dijadikan sebagai karya fiksi bisa dianggap sebagai fakta atau fiksi? Bukankah fakta dan fiksi itu sendiri saling membaur?
Tidak ada jawaban yang jelas. Tapi diskusi berlanjut pada pernyataan Mas Sulton yang menyinggung tentang teknik penulisan, yang kemudian melebar pada pembahasan berbagai teori sastra sampai kritikus sastra; Pentingkah pengetahuan teori (postmodernisme, dll) dalam proses kreatif menulis cerpen? Bagaimana peranan kritikus sastra di mata sastrawan?
Lagi-lagi tak ada jawaban yang disepakati. Mas Agus sebagai seorang kritikus mengatakan bahwa teori dalam penulisan sastra itu penting. Sedangkan, di sisi lain Pak Lik, Pak Binhad, dan Pak Cucuk meyakini yang sebaliknya; Bagi sastrawan menulis adalah menulis. Tidak tahu teori sastra berarti kelebihan karena bisa menulis tanpa beban.Sampai kemudian muncul pernyataan dari Pak Binhad; Teori muncul dari karya sastra, harusnya semakin aneh wujudnya maka akan melahirkan teori baru.
Perdebatan tentang teknik penulisan masih berlanjut, ketika tiba-tiba muncul dalam ingatan saya tentang salah satu persyaratan tangkai penulisan cerpen Peksimida IX Jatim, di UB, yang salah satu dewan jurinya adalah Pak Lik Giryadi; Penulisan naskah harus sesuai dengan EYD. Bukankah itu tentang teknik? Lalu apakah saat melakukan penjurian, teknis itu tidak terlalu penting?
“Yang terpenting adalah cerita itu sendiri. Masalah EYD adalah formalitas yang harus tetap disampaikan walaupun tidak menjadi acuan utama,” begitu kira-kira jawaban Pak Lik yang, konon, merasa kepepet dengan pertanyaan itu.
Kekeruhan sebenarnya belum menemui titik konvensi. Ah, tapi malam yang semakin larut merayu untuk menyudahi perbincangan. Moderator tak kuasa menyimpulkan, hanya berujar; semoga perbincangan ini bermanfaat. Semua orang tertawa. Diam-diam rasanya saya memutuskan sendiri dalam hati; sastrawan dan kritikus begitu dekat tapi bisa jadi mereka tak saling merasa dekat karena persoalan idealisme masing-masing.Tapi yang jelas mereka dekat.
Sastrawan tanpa kritikus, tak akan berkembang. Kritikus tanpa sastrawan, mau apa? Ah, pikiran ini rasanya keruh. Tapi, bukankah begitu yang seharusnya? Entahlah, yang jelas konon katanya pertanyaan yang baik selalu melahirkan jawaban dan pertanyaan baru. Kami pulang, membawa jawaban dan pertanyaan yang jawabannya mungkin ada di tempat lain. Nun jauh di sana. Malam yang keruh, malam yang riuh.
Mojosongo, 25 Mei 2016
https://selasastrain.blogspot.co.id/2018/02/antara-sastrawan-dan-kritikus-sastra.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar