Khoshshol Fairuz
DKJT melalui komite sastranya mengadakan sayembara dengan tema karya “Re-definisi Jawa Timur”. Memang secara histori dalam perkembangan sastra Indonesia di Jawa Timur masih didominasi puisi. Jawa Timur masih merupakan provinsi penghasil puisi ketimbang provinsi penghasil prosa. Apakah dengan demikian puisi berhak memiliki porsi untuk me-re-definisi-kan Jawa Timur. Ini pula yang menggugah hati CEO Boenga Ketjil, Andhi Setyo Wibowo, lewat kajian SelaSastra mengundang para pegiat sastra Jatim untuk merumuskan atau lebih tepatnya berdiskusi soal lokalitas, dan tentu saja puisi.
Penyair Binhad Nurrohmat berpendapat jika lokalitas hanya dilihat dari aspek batas atau yang membatasi, tentu kita telah melupakan sesuatu yang justru adalah pusat masalah. Menurutnya lokalitas yang harus dipahami adalah ketika itu diposisikan sebagai perspektif, sebuah cara pandang untuk menemukan nilai. Misalnya Aditya Ardi atau Dadang Ari M yang tidak hanya berbicara idiom dan semangat kultur saja, akan tetapi lebih kepada mengangkat khazanah lokal yang berlatar kebudayaan. Orang Madura berbicara kemaduraannya, orang arek berbicara warna urban, Mojokerto berbicara soal lokalnya yang kental, dan pembaca berhak menafsirkan kelokalan itu.Seperti sebuah narasi yang mempengaruhi kehidupan saat ini, lokalitas menurutnya adalah sesuatu yang dinamis, tidak melulu didominasi pada masa lampau.
Masih menurut Binhad, lokalitas selain bisa dipahami secara sosiologis, juga dapat didekati dengan cara normatif. Sosiologis lokal Jatim hari ini tidak bisa disamakan dengan masa lalu. Kondisi sosio-kultural pegiat sastra sekarang tidak bisa menjadikan Surabaya sebagai pusat, daerah-daerah lain hari ini bisa eksis berkarya dan tidak lagi terkungkung kepada birokrasi. Singgungan langsung yang sedemikian hebat itu membawa kita ke tahap normative, bagaimana lokalitas tidak hanya berbicara budaya, akan tetapi memiliki khazanah ekspresi ucap. Menurutnya Jatim tidak memiliki sikap tegas untuk membangun cara pandang tertentu yang jika orang melihat, ia akan mengatakan Jatim. Cara pandang yang dimaksud adalah tentang keberbedaan Jatim sebagai ciri khas, identitasnya kabur seiring jarangnya penyair yang mengangkat khazanah tersebut. Sebagai referensi yang ditunjuk, “Kitab Syair Jancuk Jaran” memiliki potensi untuk itu, akan tetapi Binhad kembali menanyakan apakah jancuk itu benar-benar Jawa Timur dan representasi dari keseluruhan Jawa Timur?
Berbicara lokalitas, Yusri Fajar ( penyair dan dosen ) memiliki pendapat sendiri. Menurutnya lokalitas itu sebagian termaktub dalam buku “Kartograf” kumpulan puisi penyair Jawa Timur. Kontribusi penyair muda di dalamnya memang bertujuan untuk melihat potensi lokalitas yang belum tergali secara komprehensif, mereka dalam fase pencarian jati diri. Menurutnya itu penting, sebab pasca 28 Oktober 1928 atau jauh setelah Indonesia selesai diproklamirkan, para penyair kita khususnya berlomba-lomba untuk menampilkan kekayaan local. Ini mungkin bisa dianggap sebagai penguatan identitas bangsa, akan tetapi tanpa disadari justru Barat melihat itu sebuah hal yang eksotis, indah dan memiliki daya tarik yang tinggi. Sikap Barat ini diartikan Yusri bermuatan politis seperti apa yang Belanda lakukan selama lebih dari tiga abad.
Hadir juga dan memberikan kuliah malam adalah Tengsoe Tjahjono. Dia secara personal menarik tema diskusi menjadi lebih intern lagi. Menggali nalar kritis dengan mengawali pendapatnya melalui pertanyaan: sebenarnya Indonesia itu apa? Dia berharap sebagai bangsa yang memproklamirkan diri memiliki nama, juga harus mengerti apa itu Indonesia. Baginya Indonesia bukan benar-benar Indonesia yang dikenal dari pengertian di buku-buku sejarah. Orang asing yang tertarik tarian misalnya, mereka datang ke Indonesia namun justru yang ditemukan adalah tari kecak di Bali. Mereka ingin mempelajari gamelan atau wayang, yang mereka temui ya Jawa, bukan Indonesia. Pertanyaan ini kemudian mendapatkan anggukan kepala dari Yusri Fajar yang mendeskripsikan Indonesia sebagai “sesuatu” saja. Bukan bangsa, bukan kebudayaan, bukan nama.
Pertanyaan berikutnya yang dihadirkan oleh Tengsoe Tjahjono, dan tak kalah dalam, adalah apakah kita benar-benar Jawa Timur ? Dia juga menaruh rasa curiga bahwa kasus Jawa Timur senada dengan diskursus nasional tersebut.Yakni bahwa jangan-jangan Jawa Timur juga tidak ada dan hanya diposisikan sebagai “sesuatu”. Memang secara administratif ada, akan tetapi tinjauan yang diangkat adalah local sosio-kultural, lalu term apa yang bisa menjadi jawaban dari itu semua. Tengsoe membuat analogi sederhana dari negeri ginseng Korea Selatan. Dia menyampaikan bahwa Korea sebagai satu identitas yang dilatarbelakangi oleh agama Budha, saat ini secara fisik sudah kabur. Pakaiannya, operasi plastiknya, gaya hidup dan budaya hedonisnya tidak mencerminkan ajaran leluhur. Budha tidak hadir dari sisi fisik akan tetapi di atas itu semua Tengsoe berpendapat bahwa lokalitas adalah berbicara spirit, bukan tampilan empiriknya. Sekali lagi, perubahan adalah keniscayaan.
Ketika terjadi kebimbangan suatu masyarakat dengan identitas dirinya, Tengsoe melakukan pendekatan intropeksi dengan istilah bahwa manusia selalu berada dalam ‘Ruang Antara’. Jika mendefinisikan diri saja sudah tidak bisa, maka akan sulit untuk mendebatkan siapa yang akan bertanggungjawab membuat suatu identitas. Dia menambahkan sedikit tentang Jawa dan pakaiannya yang tidak akan pernah sinkron dan akan terus berubah. Menurutnya identitas itu bukan pertanyaan “Siapa kamu ?”, akan tetapi identitas adalah pernyataan “Bagaimana kamu menjadi kamu”.
Berkaitan dengan “rasa Jawa” ini, Yusri Fajar menceritakan tentang sepasang bule yang naik kereta api uap. Di depan sepasang bule itu duduk sepasang orang Jawa. Saat si wanita bule merasa kepanasan, buru-buru lelakinya mengambil kipas untuk kemudian ngipasi supaya tidak gerah. Melihat adegan itu, selanjutnya salah satu dari orang Jawa itu berkomentar, “Mas, Mas … sampean kok njawani”. Istilah perhatian kepada pasangannya, bisa disebut njawani . Seolah-olah menjadi atau melakukan sesuatu dipandang sebagai, meskipun orang yang mengatakan njawani adalah orang Jawa, dan orang yang diberi label njawani adalah seorang bule.Yusri seperti ingin menunjukkan bahwa ada semacam teori rekonstruksi lokalitas pada setiap era dimana perubahan dianggap wajar.
Robin Al-Kautsar, seorang pengamat dan kritikus sastra turut menyuguhkan pendapatnya tentang re-definisi . Ia juga mempertanyakan tujuan dari perumusan re-definisi itu apa dan bagaimana. Menurutnya dalam diskursus sastra akan selalu menemui disiplin ilmu lain seperti terminology, universalitas, dan globalisasi yang justru subur di dunia prosa, bukan di dalam puisi. Karena dalam perkembangannya, dunia sastra pasti memiliki dua sayap, yakni substansi dan sayap label. Aspek label ini lebih bersifat arbitrer tanpa sedikitpun menyentuh ranah substansi. Menurutnya jika hanya label, siapa saja bisa melabeli hal ini, terutama otoritas tertinggi yang berpengaruh. Dan jika ini terus dipertahankan maka kemungkinan besar akan mengalami pengaburan makna.Dia menambahkan mesti ada asumsi yang diandaikan dengan garis tegas; mau dibawa kemana.
Di bagian lain Binhad Nurrohmat mengatakan bahwa sebuah lokalitas akan dikenali ketika dia berada bukan dalam lingkungannya. Seperti orang Jombang yang merantau ke Jakarta memakai sarung, ciri kota santri menjadi trade mark tersendiri. Namun juga definisi wilayah masih rancu ketika dihadapkan dengan budaya. Menurutnya ini menjadi pekerjaan rumah bagi pegiat literasi dan para kaum un-literasi. Baginya meski dengan berbagai macam metode yang akan digunakan tetapi kalau tidak bisa memberi rumusan pasti, hanya akan membuang waktu sia-sia. Dalam keyakinannya, Binhad mengatakan definisi yang berhasil dirumuskan oleh kaum un-literasi adalah definisi yang dilakukan oleh para antropolog . Definisi inilah yang ,mungkin, memiliki porsi lebih untuk me-re-definisi Jatim. Dirinya berasumsi jika definisi diibaratkan sebagai kerangkeng, sementara Jatim adalah sesuatu yang dinamis dan terus berubah-ubah, maka Jatim tidak akan menemukan ciri awal yang mengindikasikan bahwa itu adalah Jawa Timur dalam pengertian yang sebenarnya.
Tanggapan dan perhatian yang demikian besar dari komite sastra DKJT kepada para penyair menggelitik Tengsoe Tjahjono. Dirinya kembali mempertanyakan mengapa puisi ? Padahal untuk menciptakan identitas, sastra semestinya berperan menjadi data sekunder. Bisa apa puisi ? Puisi yang kita kenal sekarang adalah puisi dengan muatan local yang sulit dimengerti. Puisi juga adalah sebuah karya sastra dengan nilai subyektivitas yang sangat tinggi. Sementara penerimaan public terhadap karya semodel puisi sangat rendah karena karakteristiknya tadi.
***
https://selasastrain.blogspot.co.id/2018/03/re-definisi-jawa-timur-puisi-bisa-apa.html
DKJT melalui komite sastranya mengadakan sayembara dengan tema karya “Re-definisi Jawa Timur”. Memang secara histori dalam perkembangan sastra Indonesia di Jawa Timur masih didominasi puisi. Jawa Timur masih merupakan provinsi penghasil puisi ketimbang provinsi penghasil prosa. Apakah dengan demikian puisi berhak memiliki porsi untuk me-re-definisi-kan Jawa Timur. Ini pula yang menggugah hati CEO Boenga Ketjil, Andhi Setyo Wibowo, lewat kajian SelaSastra mengundang para pegiat sastra Jatim untuk merumuskan atau lebih tepatnya berdiskusi soal lokalitas, dan tentu saja puisi.
Penyair Binhad Nurrohmat berpendapat jika lokalitas hanya dilihat dari aspek batas atau yang membatasi, tentu kita telah melupakan sesuatu yang justru adalah pusat masalah. Menurutnya lokalitas yang harus dipahami adalah ketika itu diposisikan sebagai perspektif, sebuah cara pandang untuk menemukan nilai. Misalnya Aditya Ardi atau Dadang Ari M yang tidak hanya berbicara idiom dan semangat kultur saja, akan tetapi lebih kepada mengangkat khazanah lokal yang berlatar kebudayaan. Orang Madura berbicara kemaduraannya, orang arek berbicara warna urban, Mojokerto berbicara soal lokalnya yang kental, dan pembaca berhak menafsirkan kelokalan itu.Seperti sebuah narasi yang mempengaruhi kehidupan saat ini, lokalitas menurutnya adalah sesuatu yang dinamis, tidak melulu didominasi pada masa lampau.
Masih menurut Binhad, lokalitas selain bisa dipahami secara sosiologis, juga dapat didekati dengan cara normatif. Sosiologis lokal Jatim hari ini tidak bisa disamakan dengan masa lalu. Kondisi sosio-kultural pegiat sastra sekarang tidak bisa menjadikan Surabaya sebagai pusat, daerah-daerah lain hari ini bisa eksis berkarya dan tidak lagi terkungkung kepada birokrasi. Singgungan langsung yang sedemikian hebat itu membawa kita ke tahap normative, bagaimana lokalitas tidak hanya berbicara budaya, akan tetapi memiliki khazanah ekspresi ucap. Menurutnya Jatim tidak memiliki sikap tegas untuk membangun cara pandang tertentu yang jika orang melihat, ia akan mengatakan Jatim. Cara pandang yang dimaksud adalah tentang keberbedaan Jatim sebagai ciri khas, identitasnya kabur seiring jarangnya penyair yang mengangkat khazanah tersebut. Sebagai referensi yang ditunjuk, “Kitab Syair Jancuk Jaran” memiliki potensi untuk itu, akan tetapi Binhad kembali menanyakan apakah jancuk itu benar-benar Jawa Timur dan representasi dari keseluruhan Jawa Timur?
Berbicara lokalitas, Yusri Fajar ( penyair dan dosen ) memiliki pendapat sendiri. Menurutnya lokalitas itu sebagian termaktub dalam buku “Kartograf” kumpulan puisi penyair Jawa Timur. Kontribusi penyair muda di dalamnya memang bertujuan untuk melihat potensi lokalitas yang belum tergali secara komprehensif, mereka dalam fase pencarian jati diri. Menurutnya itu penting, sebab pasca 28 Oktober 1928 atau jauh setelah Indonesia selesai diproklamirkan, para penyair kita khususnya berlomba-lomba untuk menampilkan kekayaan local. Ini mungkin bisa dianggap sebagai penguatan identitas bangsa, akan tetapi tanpa disadari justru Barat melihat itu sebuah hal yang eksotis, indah dan memiliki daya tarik yang tinggi. Sikap Barat ini diartikan Yusri bermuatan politis seperti apa yang Belanda lakukan selama lebih dari tiga abad.
Hadir juga dan memberikan kuliah malam adalah Tengsoe Tjahjono. Dia secara personal menarik tema diskusi menjadi lebih intern lagi. Menggali nalar kritis dengan mengawali pendapatnya melalui pertanyaan: sebenarnya Indonesia itu apa? Dia berharap sebagai bangsa yang memproklamirkan diri memiliki nama, juga harus mengerti apa itu Indonesia. Baginya Indonesia bukan benar-benar Indonesia yang dikenal dari pengertian di buku-buku sejarah. Orang asing yang tertarik tarian misalnya, mereka datang ke Indonesia namun justru yang ditemukan adalah tari kecak di Bali. Mereka ingin mempelajari gamelan atau wayang, yang mereka temui ya Jawa, bukan Indonesia. Pertanyaan ini kemudian mendapatkan anggukan kepala dari Yusri Fajar yang mendeskripsikan Indonesia sebagai “sesuatu” saja. Bukan bangsa, bukan kebudayaan, bukan nama.
Pertanyaan berikutnya yang dihadirkan oleh Tengsoe Tjahjono, dan tak kalah dalam, adalah apakah kita benar-benar Jawa Timur ? Dia juga menaruh rasa curiga bahwa kasus Jawa Timur senada dengan diskursus nasional tersebut.Yakni bahwa jangan-jangan Jawa Timur juga tidak ada dan hanya diposisikan sebagai “sesuatu”. Memang secara administratif ada, akan tetapi tinjauan yang diangkat adalah local sosio-kultural, lalu term apa yang bisa menjadi jawaban dari itu semua. Tengsoe membuat analogi sederhana dari negeri ginseng Korea Selatan. Dia menyampaikan bahwa Korea sebagai satu identitas yang dilatarbelakangi oleh agama Budha, saat ini secara fisik sudah kabur. Pakaiannya, operasi plastiknya, gaya hidup dan budaya hedonisnya tidak mencerminkan ajaran leluhur. Budha tidak hadir dari sisi fisik akan tetapi di atas itu semua Tengsoe berpendapat bahwa lokalitas adalah berbicara spirit, bukan tampilan empiriknya. Sekali lagi, perubahan adalah keniscayaan.
Ketika terjadi kebimbangan suatu masyarakat dengan identitas dirinya, Tengsoe melakukan pendekatan intropeksi dengan istilah bahwa manusia selalu berada dalam ‘Ruang Antara’. Jika mendefinisikan diri saja sudah tidak bisa, maka akan sulit untuk mendebatkan siapa yang akan bertanggungjawab membuat suatu identitas. Dia menambahkan sedikit tentang Jawa dan pakaiannya yang tidak akan pernah sinkron dan akan terus berubah. Menurutnya identitas itu bukan pertanyaan “Siapa kamu ?”, akan tetapi identitas adalah pernyataan “Bagaimana kamu menjadi kamu”.
Berkaitan dengan “rasa Jawa” ini, Yusri Fajar menceritakan tentang sepasang bule yang naik kereta api uap. Di depan sepasang bule itu duduk sepasang orang Jawa. Saat si wanita bule merasa kepanasan, buru-buru lelakinya mengambil kipas untuk kemudian ngipasi supaya tidak gerah. Melihat adegan itu, selanjutnya salah satu dari orang Jawa itu berkomentar, “Mas, Mas … sampean kok njawani”. Istilah perhatian kepada pasangannya, bisa disebut njawani . Seolah-olah menjadi atau melakukan sesuatu dipandang sebagai, meskipun orang yang mengatakan njawani adalah orang Jawa, dan orang yang diberi label njawani adalah seorang bule.Yusri seperti ingin menunjukkan bahwa ada semacam teori rekonstruksi lokalitas pada setiap era dimana perubahan dianggap wajar.
Robin Al-Kautsar, seorang pengamat dan kritikus sastra turut menyuguhkan pendapatnya tentang re-definisi . Ia juga mempertanyakan tujuan dari perumusan re-definisi itu apa dan bagaimana. Menurutnya dalam diskursus sastra akan selalu menemui disiplin ilmu lain seperti terminology, universalitas, dan globalisasi yang justru subur di dunia prosa, bukan di dalam puisi. Karena dalam perkembangannya, dunia sastra pasti memiliki dua sayap, yakni substansi dan sayap label. Aspek label ini lebih bersifat arbitrer tanpa sedikitpun menyentuh ranah substansi. Menurutnya jika hanya label, siapa saja bisa melabeli hal ini, terutama otoritas tertinggi yang berpengaruh. Dan jika ini terus dipertahankan maka kemungkinan besar akan mengalami pengaburan makna.Dia menambahkan mesti ada asumsi yang diandaikan dengan garis tegas; mau dibawa kemana.
Di bagian lain Binhad Nurrohmat mengatakan bahwa sebuah lokalitas akan dikenali ketika dia berada bukan dalam lingkungannya. Seperti orang Jombang yang merantau ke Jakarta memakai sarung, ciri kota santri menjadi trade mark tersendiri. Namun juga definisi wilayah masih rancu ketika dihadapkan dengan budaya. Menurutnya ini menjadi pekerjaan rumah bagi pegiat literasi dan para kaum un-literasi. Baginya meski dengan berbagai macam metode yang akan digunakan tetapi kalau tidak bisa memberi rumusan pasti, hanya akan membuang waktu sia-sia. Dalam keyakinannya, Binhad mengatakan definisi yang berhasil dirumuskan oleh kaum un-literasi adalah definisi yang dilakukan oleh para antropolog . Definisi inilah yang ,mungkin, memiliki porsi lebih untuk me-re-definisi Jatim. Dirinya berasumsi jika definisi diibaratkan sebagai kerangkeng, sementara Jatim adalah sesuatu yang dinamis dan terus berubah-ubah, maka Jatim tidak akan menemukan ciri awal yang mengindikasikan bahwa itu adalah Jawa Timur dalam pengertian yang sebenarnya.
Tanggapan dan perhatian yang demikian besar dari komite sastra DKJT kepada para penyair menggelitik Tengsoe Tjahjono. Dirinya kembali mempertanyakan mengapa puisi ? Padahal untuk menciptakan identitas, sastra semestinya berperan menjadi data sekunder. Bisa apa puisi ? Puisi yang kita kenal sekarang adalah puisi dengan muatan local yang sulit dimengerti. Puisi juga adalah sebuah karya sastra dengan nilai subyektivitas yang sangat tinggi. Sementara penerimaan public terhadap karya semodel puisi sangat rendah karena karakteristiknya tadi.
***
https://selasastrain.blogspot.co.id/2018/03/re-definisi-jawa-timur-puisi-bisa-apa.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar