Rabu, 07 Maret 2018

RE-DEFINISI JAWA TIMUR, PUISI BISA APA?

Khoshshol Fairuz

DKJT melalui komite sastranya mengadakan sayembara dengan tema karya “Re-definisi Jawa Timur”. Memang secara histori dalam perkembangan sastra Indonesia di Jawa Timur masih didominasi puisi. Jawa Timur masih merupakan provinsi penghasil puisi ketimbang provinsi penghasil prosa. Apakah dengan demikian puisi berhak memiliki porsi untuk me-re-definisi-kan Jawa Timur. Ini pula yang menggugah hati CEO Boenga Ketjil, Andhi Setyo Wibowo, lewat kajian SelaSastra mengundang para pegiat sastra Jatim untuk merumuskan atau lebih tepatnya berdiskusi soal lokalitas, dan tentu saja puisi.

Penyair Binhad Nurrohmat berpendapat jika lokalitas hanya dilihat dari aspek batas atau yang membatasi, tentu kita telah melupakan sesuatu yang justru adalah pusat masalah. Menurutnya lokalitas yang harus dipahami adalah ketika itu diposisikan sebagai perspektif, sebuah cara pandang untuk menemukan nilai. Misalnya Aditya Ardi atau Dadang Ari M yang tidak hanya berbicara idiom dan semangat kultur saja, akan tetapi lebih kepada mengangkat khazanah lokal yang berlatar kebudayaan. Orang Madura berbicara kemaduraannya, orang arek berbicara warna urban, Mojokerto berbicara soal lokalnya yang kental, dan pembaca berhak menafsirkan kelokalan itu.Seperti sebuah narasi yang mempengaruhi kehidupan saat ini, lokalitas menurutnya adalah sesuatu yang dinamis, tidak melulu didominasi pada masa lampau.

Masih menurut Binhad, lokalitas selain bisa dipahami secara sosiologis, juga dapat didekati dengan cara normatif. Sosiologis lokal Jatim hari ini tidak bisa disamakan dengan masa lalu. Kondisi sosio-kultural pegiat sastra sekarang tidak bisa menjadikan Surabaya sebagai pusat, daerah-daerah lain hari ini bisa eksis berkarya dan tidak lagi terkungkung kepada birokrasi. Singgungan langsung yang sedemikian hebat itu membawa kita ke tahap normative, bagaimana lokalitas tidak hanya berbicara budaya, akan tetapi memiliki khazanah ekspresi ucap. Menurutnya Jatim tidak memiliki sikap tegas untuk membangun cara pandang tertentu yang jika orang melihat, ia akan mengatakan Jatim. Cara pandang yang dimaksud adalah tentang keberbedaan Jatim sebagai ciri khas, identitasnya kabur seiring jarangnya penyair yang mengangkat khazanah tersebut. Sebagai referensi yang ditunjuk, “Kitab Syair Jancuk Jaran” memiliki potensi untuk itu, akan tetapi Binhad kembali menanyakan apakah jancuk itu benar-benar Jawa Timur dan representasi dari keseluruhan Jawa Timur?

Berbicara lokalitas, Yusri Fajar ( penyair dan dosen ) memiliki pendapat sendiri. Menurutnya lokalitas itu sebagian termaktub dalam buku “Kartograf” kumpulan puisi penyair Jawa Timur. Kontribusi penyair muda  di dalamnya memang bertujuan untuk melihat potensi lokalitas yang belum tergali secara komprehensif, mereka dalam fase pencarian jati diri. Menurutnya itu penting, sebab pasca 28 Oktober 1928 atau jauh setelah Indonesia selesai diproklamirkan, para penyair kita khususnya berlomba-lomba untuk menampilkan kekayaan local. Ini mungkin bisa dianggap sebagai penguatan identitas bangsa, akan tetapi tanpa disadari justru Barat melihat itu sebuah hal yang eksotis, indah dan memiliki daya tarik yang tinggi. Sikap Barat ini diartikan Yusri bermuatan politis seperti apa yang Belanda lakukan selama lebih dari tiga abad.

Hadir juga dan memberikan kuliah malam adalah Tengsoe Tjahjono. Dia secara personal menarik tema diskusi menjadi lebih intern lagi. Menggali nalar kritis dengan mengawali pendapatnya melalui pertanyaan: sebenarnya Indonesia itu apa? Dia berharap sebagai bangsa yang memproklamirkan diri memiliki nama, juga harus mengerti apa itu Indonesia. Baginya Indonesia bukan benar-benar Indonesia yang dikenal dari pengertian di buku-buku sejarah. Orang asing yang tertarik tarian misalnya, mereka datang ke Indonesia namun justru yang ditemukan adalah tari kecak di Bali. Mereka ingin mempelajari gamelan atau wayang, yang mereka temui ya Jawa, bukan Indonesia. Pertanyaan ini kemudian mendapatkan anggukan kepala dari Yusri Fajar yang mendeskripsikan Indonesia sebagai “sesuatu” saja. Bukan bangsa, bukan kebudayaan, bukan nama.

Pertanyaan berikutnya yang dihadirkan oleh Tengsoe Tjahjono, dan tak kalah dalam, adalah apakah kita benar-benar Jawa Timur ? Dia juga menaruh rasa curiga bahwa kasus Jawa Timur senada dengan diskursus nasional tersebut.Yakni bahwa jangan-jangan Jawa Timur juga tidak ada dan hanya diposisikan sebagai “sesuatu”. Memang secara administratif ada, akan tetapi tinjauan yang diangkat adalah local sosio-kultural, lalu term apa yang bisa menjadi jawaban dari itu semua. Tengsoe membuat analogi sederhana dari negeri ginseng Korea Selatan. Dia menyampaikan  bahwa Korea sebagai satu identitas yang dilatarbelakangi oleh agama Budha, saat ini secara fisik sudah kabur. Pakaiannya, operasi plastiknya, gaya hidup dan budaya hedonisnya tidak mencerminkan ajaran leluhur. Budha tidak hadir dari sisi fisik akan tetapi di atas itu semua Tengsoe berpendapat bahwa lokalitas adalah berbicara spirit, bukan tampilan empiriknya. Sekali lagi, perubahan adalah keniscayaan.

Ketika terjadi kebimbangan suatu masyarakat dengan identitas dirinya, Tengsoe melakukan pendekatan intropeksi dengan istilah bahwa manusia selalu berada dalam ‘Ruang Antara’. Jika mendefinisikan diri saja sudah tidak bisa, maka akan sulit untuk mendebatkan siapa yang akan bertanggungjawab membuat suatu identitas. Dia menambahkan sedikit tentang Jawa dan pakaiannya yang tidak akan pernah sinkron dan akan terus berubah. Menurutnya identitas itu bukan pertanyaan “Siapa kamu ?”, akan tetapi identitas adalah pernyataan “Bagaimana kamu menjadi kamu”.   

Berkaitan dengan “rasa Jawa” ini,  Yusri Fajar menceritakan tentang sepasang bule yang naik kereta api uap. Di depan sepasang bule itu duduk sepasang orang Jawa. Saat si wanita bule merasa kepanasan, buru-buru lelakinya mengambil kipas untuk kemudian ngipasi supaya tidak gerah. Melihat adegan itu, selanjutnya salah satu dari orang Jawa itu berkomentar,  “Mas, Mas … sampean kok njawani”. Istilah perhatian kepada pasangannya, bisa disebut njawani . Seolah-olah menjadi atau melakukan sesuatu dipandang sebagai, meskipun orang yang mengatakan njawani adalah orang Jawa, dan orang yang diberi label njawani adalah seorang bule.Yusri seperti ingin menunjukkan bahwa ada semacam teori rekonstruksi lokalitas pada setiap era dimana perubahan dianggap wajar.

Robin Al-Kautsar, seorang pengamat dan kritikus sastra turut menyuguhkan pendapatnya tentang re-definisi . Ia juga mempertanyakan tujuan dari perumusan re-definisi itu apa dan bagaimana. Menurutnya dalam diskursus sastra akan selalu menemui disiplin ilmu lain seperti terminology, universalitas, dan globalisasi yang justru subur di dunia prosa, bukan di dalam puisi. Karena dalam perkembangannya,  dunia sastra pasti memiliki dua sayap, yakni substansi dan sayap label. Aspek label ini lebih bersifat arbitrer tanpa sedikitpun menyentuh ranah substansi. Menurutnya jika hanya label, siapa saja bisa melabeli hal ini, terutama otoritas tertinggi yang berpengaruh. Dan jika ini terus dipertahankan maka kemungkinan besar akan mengalami pengaburan makna.Dia menambahkan mesti ada asumsi yang diandaikan dengan garis tegas; mau dibawa kemana.

Di bagian lain Binhad Nurrohmat mengatakan bahwa sebuah lokalitas akan dikenali ketika dia berada bukan dalam lingkungannya. Seperti orang Jombang yang merantau ke Jakarta memakai sarung, ciri kota santri menjadi trade mark tersendiri. Namun juga definisi wilayah masih rancu ketika dihadapkan dengan budaya. Menurutnya ini menjadi pekerjaan rumah bagi pegiat literasi dan para kaum un-literasi. Baginya meski dengan berbagai macam metode yang akan digunakan tetapi kalau tidak bisa memberi rumusan pasti, hanya akan membuang waktu sia-sia. Dalam keyakinannya, Binhad mengatakan definisi yang berhasil dirumuskan oleh kaum un-literasi adalah definisi yang dilakukan oleh para antropolog . Definisi inilah yang ,mungkin, memiliki porsi lebih untuk me-re-definisi Jatim. Dirinya berasumsi jika definisi diibaratkan sebagai kerangkeng, sementara Jatim adalah sesuatu yang dinamis dan terus berubah-ubah, maka Jatim tidak akan menemukan ciri awal yang mengindikasikan bahwa itu adalah Jawa Timur dalam pengertian yang sebenarnya.

Tanggapan dan perhatian yang demikian besar dari komite sastra DKJT kepada para penyair menggelitik Tengsoe Tjahjono. Dirinya kembali mempertanyakan mengapa puisi ? Padahal untuk menciptakan identitas, sastra semestinya berperan menjadi data sekunder. Bisa apa puisi ? Puisi yang kita kenal sekarang adalah puisi dengan muatan local yang sulit dimengerti. Puisi juga adalah sebuah karya sastra dengan nilai subyektivitas yang sangat tinggi. Sementara penerimaan public terhadap karya semodel puisi sangat rendah karena karakteristiknya tadi.
***

https://selasastrain.blogspot.co.id/2018/03/re-definisi-jawa-timur-puisi-bisa-apa.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

20 Tahun Kebangkitan Sastra-Teater Lamongan A Jalal A. Anzieb A. Khoirul Anam A. Mustofa Bisri A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja Abdoel Moeis Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdullah Abubakar Batarfie Abdurrahman Wahid Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Acep Iwan Saidi Achdiat K. Mihardja Achiar M Permana Adek Alwi Adhi Pandoyo Adib Baroya Aditya Ardi N Adri Sandra Adu Pesona Sang Wakil Cawapres RI Afrizal Malna Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agus Buchori Agus Dermawan T. Agus Mulyadi Agus Prasmono Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahmad Farid Yahya Ahmad Hasan MS Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Saifullah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alawi Al-Bantani Alfatihatus Sholihatunnisa Alfian Dippahatang Ali Audah Alim Bakhtiar Amie Williams Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amril Taufik Gobel An. Ismanto Andhi Setyo Wibowo Andi Andrianto Andong Buku #3 AndongBuku #3 Andrea Hirata Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Antologi Sastra Lamongan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Arafat Nur Ardi Wina Saputra Ardy Suryantoko Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arman A.Z. Arsyad Indradi Asarpin Ashimuddin Musa Asrul Sani Astuti Ananta Toer Atafras Audifax Awalludin GD Mualif Ayu Nuzul Azizah Hefni B Kunto Wibisono Bahrul Amsal Bambang Kempling Beni Setia Benny Benke Beno Siang Pamungkas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bloomberg Bre Redana Budaya Budi Darma Buldanul Khuri Bustan Basir Maras Candra Adikara Irawan Candrakirana Cangaan Ujungpangkah Gresik Jawa Timur Capres Cawapres 2019 Catatan Ceramah Cerpen Chairil Anwar Chicilia Risca CNN Indonesia Coronavirus COVID-19 D. Zawawi Imron Damiri Mahmud Darju Prasetya Darman Moenir Deddy Arsya Denny JA Denny Mizhar Devy Kurnia Alamsyah Dhoni Zustiyantoro Dian Sukarno Didin Tulus Dien Makmur Din Saja Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Donny Anggoro Donny Darmawan Dr. Hilma Rosyida Ahmad Dwi Cipta Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Dyah Ayu Fitriana Ecep Heryadi Edy Suprayitno Eka Budianta Eka Kurniawan Elok Dyah Messwati Engkos Kosnadi Erdogan Erwin Setia Esai Esti Nuryani Kasam Evan Ys F. Budi Hardiman F. Rahardi Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Fahrur Rozi Faidil Akbar Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathul Qorib Fatkhul Anas Feby Indirani Felix K. Nesi Festival Teater Religi Festival Teater Religi Pelajar SLTA Se-kabupaten Lamongan Fira Basuki Forum Santri Nasional (FSN) Frischa Aswarini Fuad Mardhatillah UY Tiba Fuad Nawawi Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gde Artawan Geger Riyanto Geguritan Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Guenter Grass Gus Ahmad Syauqi Gus tf Gusti Eka Habib Bahar bin Smith Haiku Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Han Gagas Hary B Koriun Hasan Basri Hasnan Bachtiar Heri Ruslan Herman Hesse Hertha Mueller Heru Kurniawan Hestri Hurustyanti Holy Adib Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu I Made Prabaswara I Made Sujaya IAI TABAH (Institut Agama Islam Tarbiyatut Tholabah) Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Iksaka Banu Imam Jazuli Imam Nawawi Imammuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Mahadi Indra Tjahyadi Irfan Afifi Irine Rakhmawati Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS J.S. Badudu Jadid Al Farisy Jajang R Kawentar Jawa Timur Jean Marie Gustave le Clezio JJ. Kusni Jl Raya Simo Sungelebak Jo Batara Surya John H. McGlynn Jordaidan Rizsyah Jual Buku Paket Hemat Juara 3 Lomba Lompat Jauh DISPORA LAMONGAN Jurnalisme Sastrawi K.H. Ma'ruf Amin Kadek Suartaya Kaheesa Kirania Putri Ayu Kahfie Nazaruddin Kalis Mardiasih Kamaluddin Ramdhan Kanti W. Janis Karanggeneng Kardono Setyorakhmadi Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Pantura (KBP) KetemuBuku Jombang KH. M. Najib Muhammad KH. Muhammad Amin (1910-1949) Khairul Mufid Jr Khawas Auskarni Khoirul Abidin Khoshshol Fairuz Ki Ompong Sudarsono Kitab Arbain Nawawi Kodrat Setiawan Kompas TV Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA) Komunitas Sastra dan Teater Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Komunitas-komunitas Teater di Lamongan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Luar Biasa Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) Kopuisi Kostela Kritik Sastra Kumpulan Cerita Buntak Kurnia Effendi Kuswaidi Syafi’ie L Ridwan Muljosudarmo L.K. Ara Lamongan Lan Fang Lawi Ibung Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Literasi Liza Wahyuninto Lukas Luwarso Lukisan Lukman Lukman Santoso Az Lutfi Mardiansyah M Farid W Makkulau M. Faizi M.D. Atmaja Madrasah Aliyah Matholi'ul Anwar Madrasah Ibtida’iyah Thoriqotul Hidayah 1 Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S Mahayana Manado Manneke Budiman Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mario F. Lawi Marsel Robot Martin Aleida Marwanto Mashuri Massayu Masuki M. Astro Masyhudi Media Seputar Pendidikan Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Purnama di Kampung Halaman Mereka yang Menjerat Gus Dur MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mien Uno Moh. Dzunnurrain Moh. Jauhar al-Hakimi Mohammad Rafi Azzamy Mohammad Rokib Mohammad Yamin Muafiqul Khalid MD Much. Khoiri Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alfatih Suryadilaga Muhammad Antakusuma Muhammad Fikry Mauludy Muhammad Hafil Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad N. Hassan Muhammad Subarkah Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Muhyiddin Mukadi Mukani Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Musa Ismail Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang E S Nara Ahirullah Naskah Teater Nezar Patria Noor H. Dee Nunus Supardi Nur Haryanto Nur Wachid Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Okky Madasari Olivia Kristina Sinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pagelaran Musim Tandur Palupi Panca Astuti Pameran Lukisan Parimono V / 40 Plandi Jombang PC. Lesbumi NU Babat PDS HB Jassin Pelukis Dahlan Kong Pelukis Tarmuzie Penculikan Aktivis 1988 Pendidikan Pengajian Pengarang kelahiran Lamongan Pentigraf Pepaosan Perbincangan Peringatan Hari Pahlawan 10 November Pilang Tejoasri Laren Lamongan Jawa Timur Pipiet Senja Politik Pondok Pesantren Ali Bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Jokowi Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi (PMK) Puji Santosa Pustaka LaBRAK PUstaka puJAngga R. Ng. Ronggowarsito Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rasanrasan Boengaketji Raudlotul Immaroh Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Reuni dan Halal Bihalal Mts Putra-Putri Simo 1992 Ribut Wijoto Riki Antoni Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Robin Al Kautsar Rodli TL Roland Barthes Rosi Rosihan Anwar RR Miranda Rumah Budaya Pantura (RBP) S. Jai S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabrank Suparno Safitri Ningrum Sainul Hermawan Sajak Salman Aristo Sandiaga Uno Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Sastra Tasikmalaya (SST) Sarasehan dan Launching Buku Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Kuno Suku Sasak Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Satu Jam Sastra Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSAstra Boenga Ketjil Seni Gumira Ajidarma Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seputar Sastra Pendidikan Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sirdjanul Ghufron Siwi Dwi Saputro Slamet Rahardjo Rais Soediro Satoto Soekarno Soeparno S. Adhy Soesilo Toer Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Sri Handi Lestari Sri Wintala Achmad STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sujatmiko Sukarno Suminto A. Sayuti Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahrudin Attar Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari Sylvianita Widyawati Tangguh Pitoyo Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Ilat Teater nDrinDinG Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tias Tatanka Timur Sinar Suprabana Titi Aoska Tiyasa Jati Pramono Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Toni Masdiono Tri Broto Wibisono TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Tulus Wijanarko Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Jember Universitas Negeri Jember Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyu Aji Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Wiji Thukul Wildan Nugraha Wildana Wargadinata Yanusa Nugroho Yasraf Amir Piliang Yerusalem Ibu Kota Palestina Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhi Herwibowo Yuditeha Yusri Fajar Yuval Noah Harari Zainal Arifin Thoha Zainuddin Sugendal Zara Zettira ZR Zehan Zareez Zuhdi Swt