Selasa, 29 Januari 2019

Imaji Visual Sajak-sajak Afrizal Malna *

Acep Iwan Saidi **

Dalam perkembangan kesusastraan Indonesia, Afrizal Malna dapat ditandai sebagai sebuah noktah tersendiri, sebagaimana juga Amir Hamzah, Chairil Anwar, dan Soetardzi Calzoum Bachri pada zamannya masing-masing. Noktah itu adalah sebuah deviasi, sebuah titik yang membuat bingkai jadi retak, lalu ia keluar: menyimpang sendiri.

Afrizal memang takbisa keluar seluruhnya dari bingkai itu. Sayup-sayup suara penyajak sebelumnya seperti Amir Hamzah dan juga Chairil, paling tidak, masih tetap terdengar dalam sajak-sajaknya. Seseorang yang minggat dari rumah sekalipun, ia memang tidak akan pernah bisa menghapus seluruh jejak rumah yang ditinggalkannya. Inovasi selalu bersandar pada tradisi.

Sementara itu, orang yang meretakkan bingkai mula-mula selalu sulit dipahami. Terdapat dua faktor, setidaknya, yang menyebabkan hal itu. Pertama, “sang perusak” menjadi semacam alien yang memiliki tabiat berbeda dari lingkungannya—dengan eksplisit Chairil Anwar menegaskan kondisi ini pada dirinya dengan ungkapan termashur “aku ini binatang jalang/yang terbuang dari kelompoknya”. Kedua, pada tepi lain, pihak-pihak yang memiliki iman yang teguh pada bingkai biasanya akan mengambil jarak dari sang perusak. Alih-alih mau menyentuhnya, ia akan melihatnya dengan sebelah mata, bahkan jika bisa mengutuknya menjadi batu. Namun pun begitu, jika si alien mampu membangun bingkai baru yang unik, biasanya ia akan memiliki penggemar, bahkan mazabnya tersendiri.

Fenomena tersebut, saya pikir, terjadi juga pada Afrizal. Sepanjang pengamatan, saya tidak menemukan catatan (kritik) mengenai penyair ini dari seorang kritikus atau sastrawan senior—yang biasanya tulisannya sering menjadi acuan masyarakat. Dalam sebuah obrolan informal, Afrizal sempat mengabarkan tentang seorang kritikus ternama dari Yogyakarta yang bersedia memberi catatan mengenai sajaknya jika ia telah membaca seluruh puisi di dunia. “Saya tidak dipercayai pernah menulis sajak”, ungkap Afrizal. Sementara itu, almarhum Umar Kayam juga sempat mengatakan bahwa ajak-sajak Afrizal sangat sulit dipahami. Pendek kata, Afrizal tidak dilirik. Mungkin ia tidak melahirkan dirinya dengan hentakkan sebagaimana Soetarzdi Calzoum Bachri yang dengan kredonya menenung banyak kalangan.

Tapi, pada saat yang sama, media massa rupanya memberi ruang kepada Afrizal. Pada dekade 90-an tulisan-tulisannya, terutama esei, terbit di berbagai surat kabar. Sementara sajak-sajaknya, pada periode awal, ia terbitkan dalam bentuk stensilan. “Semula saya tidak tahu bahwa ada cara mempublikasikan puisi”, ujar penyair ini dalam diskusi di Redaksi Pikiran Rakyat (5/5/2010). Dengan cara seperti ini Afrizal hadir di ruang publik dan dengan cara ini pula ia seperti menyebarkan semacam virus kepada penulis-penulis lain, baik penulis seangkatan maupun sesudahnya. Dari situ, pada dekade 90-an sempat terlontar sebuah istilah “afrizalian” untuk mendefinisikan para efigon Afrizal. Istilah ini, meskipun tidak menjadi wacana yang memanjang, tetap bisa dicatat sebagai tanda dalam sejarah sastra Indonesia, sebuah noktah dari kehadiran seorang penyair bernama Afrizal Malna. Dan penyair ini tetap sendirian sebab tidak ada efigonnya yang berhasil “melahirkan” Afrizal yang lain.

Lantas, apa sebenarnya yang diusung Afrizal dalam sajak-sajaknya? Atau bagaimana sajak-sajak penyair yang baru menerbitkan seluruh sajaknya (dari lima kumpulan yang terbit sebelumnya) dalam sebuah kumpulan bertajuk pada bantal berasap ini? Seperti dibilang Kayam, sajak Afrizal memang sulit dipahami. Hal ini barangkali yang menyebabkan semua efigonnya gagal menulis puisi. Namun, sulit dipahami tidak sama dengan tidak bisa dipahami. Dalam tulisan pendek ini—yang tentu saja sangat tidak memadai—saya akan mencoba memberi tafsir atasnya.

Pergerakan Kata Yang Liar Pada Struktur Sintagmatik Yang Ketat

Barangsiapa membaca sajak Afrizal dengan frame konvensional: bahwa sajak harus mengandung makna, pesan, dan nilai tertentu, kiranya ia akan sangat kecewa. Soalnya, melalui sajak-sajaknya, Afrizal, hemat saya, tidak memiliki ambisi untuk mengedepankan makna, pesan, dan nilai konvensional tertentu yang biasanya secara parsial terbangun pada masing-masing sajak. Sajak-sajak Afrizal harus dilihat secara keseluruhan sebagai sebuah konstruksi gagasan besar yang terakumulasi dari kegelisahan penyair sepanjang proses keberkaryaannya. Bagi saya, kegelisahan yang dimaksud adalah kegelisahan mengenai bahasa—yang dengan demikian mengenai sajak itu sendiri. Melalui sajak-sajaknya Afrizal seperti hendak mengajak pembaca untuk mencari “jalan keluar bagi bahasa” yang sepanjang sejarah perjalanan bahasa itu sendiri memang selalu menjadi perdebatan.

Salah satu contoh kasus terkait topik tersebut, periksalah sajak berjudul Blax Box (hal. 26), misalnya. Melalui sajak ini Afrizal tampak meresepsi sekaligus mempertanyakan konsep linguistik Sausurian yang melihat hukum arbitrer (manasuka) dalam bahasa. Proses penamaan objek-objek (terbentuknya kata), baik yang abstrak maupun konkret dalam realitas dilihat Saussure sebagai proses yang terpisah dari realitas itu sendiri. Penamaan atas objek adalah pengambilan objek itu dari realitas dan kemudian menempatkannya dalam struktur (sistem) yang disepakati bersama sebagai konvensi. Di dalam struktur, kata-kata kemudian saling berelasi dan membentuk maknanya. Fonem, sebagai pembeda bunyi menjadi salah satu yang berperan penting dalam proses pembedaan itu. Kasir memiliki makna semata-mata karena ada kata lain yang berbunyi kasur, misalnya. Dengan demikian, dalam proses penciptaan makna, kata menjadi tidak penting, yang penting adalah relasinya dalam struktur. Walhasil, struktur menjadi yang utama.

Afrizal mengkonkretisasi konsep tersebut melalui bait pertama Black Box sebagai berikut: “nabi/kalau n diganti dengan b, dia menjadi babi/tidak nabi/ kalau b diganti dengan n, dia menjadi/nani/ tidak babi. black box. kalau b diganti dengan/p, dia menjadi napi/ tidak nani/ kalau n diganti/dengan r, dia menjadi rabi/ black box/ tidak napi/kalau b diganti dengan s, dia menjadi nasi/ kalau/s diganti dengan r, dia menjadi nari/ black box/tidak rabi atau nasi”.

Tapi, Afrizal tidak berhenti sampai di situ. Makna kata yang dibedakan karena perbedaan bunyi tersebut kemudian ia kritisi. Penyair ini agaknya tidak percaya dengan hukum tersebut sehingga pada bait berikutnya ia menulis, “tapi setiap kata/yang kita tanam. Jaraknya tak terukur/lebih jauh jarak dari musim semi dengan seekor/keong yang berjalan di atas lidah kita”. Lantas Afrizal menempatkan kata sebagai sesuatu yang memiliki kekuatan tersendiri, menempatkan bahasa sebagai ruh, sebagai realitas yang hidup, bukan sekedar permainan bunyi. Untuk itu, pada bait terakhir ia menulis, “aku tak tahu bagaimana kata-kata menciptakan/kembali manusia seperti speaker dalam kobaran/api/black box//.

Kasus lain dari tawaran “jalan bahasa” Afrizal adalah pengubahan paradigmatik atas bahasa. Merujuk pada semiotika Roland Barthes (yang juga rujukan awalnya dari Saussure) mengenai dikotomi sintagmatik-paradigmatik dalam bahasa, Afrizal lagi-lagi mengedepankan persepsi yang menarik. Pada poros sintagmatik Saussure, kata-kata dalam struktur baru-bisa berfungsi jika hukum strukturnya tidak dirusak, misalnya ia harus tersusun sebagai jajaran Subjek (P), Predikat (P), dan Objek (O). Kata-kata yang hadir (presence) pada struktur ini, dalam poros paradigmatik bisa saling bertukar dengan kata-kata lain yang tidak hadir (in absentia), dan hal ini hanya terjadi pada benak pembaca sebagai asosiasi. Saussure maupun Barthes tidak membatasi asosiasi ini; yang difokuskan dalam kajiannya (linguistik struktural Saussure dan semiotika structural Barthes) memang fungsi bahasa sebagai tanda pada struktur itu sendiri.

Dengan rujukan tersebut bisa dilihat bahwa sajak-sajak Afrizal, secara keseluruhan, bermain pada poros sintagmatik yang ketat di satu sisi dan di sisi lain sangat liar pada poros paradigmatik. Dengan kata lain, Afrizal konvensional secara sintagmatik, tetapi sangat inkonvensional secara paradigmatik. Perhatikan, misalnya, larik “kotak-kotak kardus sibuk berbenah, dari malam hingga pagi tiba”. Kata kotak-kotak kardus pada larik ini adalah kata yang dipilih secara ekstrem dari poros paradigmatik dan kemudian ditempatkan sebagai subjek pada poros sintagmatik. Kata itu sama sekali tidak mengganggu struktur. Kita bisa secara ekstrem pula mengganti kata kotak-kotak kardus itu dengan kata para pemulung, misalnya, sehingga lariknya menjadi “para pemulung sibuk berbenah, dari malam hingga pagi tiba”, sehingga larik ini menjadi sangat konvensional.

Cara menyeleksi dan mempertukarkan kata (proses membandingkan, metaforarisasi) yang ekstrem demikian kiranya yang menyebabkan sebagian pihak menilai sajak Afrizal sangat sukar dipahami. Kesukaran itu terjadi sebab cara kita melihat bahasa memang sangat konvensional, bahasa hanya dilihat sebagai alat untuk mendeskripsikan, bukan sebuah entitas tersendiri yang memiliki daya mengkonstruksi dunia hingga ke titik yang paling misterius.
***

*) Disampaikan dalam Diskusi di HU Pikiran Rakyat, 5 Mei 2010
**) Acep Iwan Saidi, Ketua Forum Studi Kebudayaan ITB.
http://masturbasikata.blogspot.com/2013/08/imaji-visual-sajak-sajak-afrizal-malna.htm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

20 Tahun Kebangkitan Sastra-Teater Lamongan A Jalal A. Anzieb A. Khoirul Anam A. Mustofa Bisri A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja Abdoel Moeis Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdullah Abubakar Batarfie Abdurrahman Wahid Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Acep Iwan Saidi Achdiat K. Mihardja Achiar M Permana Adek Alwi Adhi Pandoyo Adib Baroya Aditya Ardi N Adri Sandra Adu Pesona Sang Wakil Cawapres RI Afrizal Malna Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agus Buchori Agus Dermawan T. Agus Mulyadi Agus Prasmono Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahmad Farid Yahya Ahmad Hasan MS Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Saifullah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alawi Al-Bantani Alfatihatus Sholihatunnisa Alfian Dippahatang Ali Audah Alim Bakhtiar Amie Williams Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amril Taufik Gobel An. Ismanto Andhi Setyo Wibowo Andi Andrianto Andong Buku #3 AndongBuku #3 Andrea Hirata Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Antologi Sastra Lamongan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Arafat Nur Ardi Wina Saputra Ardy Suryantoko Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arman A.Z. Arsyad Indradi Asarpin Ashimuddin Musa Asrul Sani Astuti Ananta Toer Atafras Audifax Awalludin GD Mualif Ayu Nuzul Azizah Hefni B Kunto Wibisono Bahrul Amsal Bambang Kempling Beni Setia Benny Benke Beno Siang Pamungkas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bloomberg Bre Redana Budaya Budi Darma Buldanul Khuri Bustan Basir Maras Candra Adikara Irawan Candrakirana Cangaan Ujungpangkah Gresik Jawa Timur Capres Cawapres 2019 Catatan Ceramah Cerpen Chairil Anwar Chicilia Risca CNN Indonesia Coronavirus COVID-19 D. Zawawi Imron Damiri Mahmud Darju Prasetya Darman Moenir Deddy Arsya Denny JA Denny Mizhar Devy Kurnia Alamsyah Dhoni Zustiyantoro Dian Sukarno Didin Tulus Dien Makmur Din Saja Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Donny Anggoro Donny Darmawan Dr. Hilma Rosyida Ahmad Dwi Cipta Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Dyah Ayu Fitriana Ecep Heryadi Edy Suprayitno Eka Budianta Eka Kurniawan Elok Dyah Messwati Engkos Kosnadi Erdogan Erwin Setia Esai Esti Nuryani Kasam Evan Ys F. Budi Hardiman F. Rahardi Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Fahrur Rozi Faidil Akbar Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathul Qorib Fatkhul Anas Feby Indirani Felix K. Nesi Festival Teater Religi Festival Teater Religi Pelajar SLTA Se-kabupaten Lamongan Fira Basuki Forum Santri Nasional (FSN) Frischa Aswarini Fuad Mardhatillah UY Tiba Fuad Nawawi Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gde Artawan Geger Riyanto Geguritan Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Guenter Grass Gus Ahmad Syauqi Gus tf Gusti Eka Habib Bahar bin Smith Haiku Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Han Gagas Hary B Koriun Hasan Basri Hasnan Bachtiar Heri Ruslan Herman Hesse Hertha Mueller Heru Kurniawan Hestri Hurustyanti Holy Adib Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu I Made Prabaswara I Made Sujaya IAI TABAH (Institut Agama Islam Tarbiyatut Tholabah) Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Iksaka Banu Imam Jazuli Imam Nawawi Imammuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Mahadi Indra Tjahyadi Irfan Afifi Irine Rakhmawati Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS J.S. Badudu Jadid Al Farisy Jajang R Kawentar Jawa Timur Jean Marie Gustave le Clezio JJ. Kusni Jl Raya Simo Sungelebak Jo Batara Surya John H. McGlynn Jordaidan Rizsyah Jual Buku Paket Hemat Juara 3 Lomba Lompat Jauh DISPORA LAMONGAN Jurnalisme Sastrawi K.H. Ma'ruf Amin Kadek Suartaya Kaheesa Kirania Putri Ayu Kahfie Nazaruddin Kalis Mardiasih Kamaluddin Ramdhan Kanti W. Janis Karanggeneng Kardono Setyorakhmadi Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Pantura (KBP) KetemuBuku Jombang KH. M. Najib Muhammad KH. Muhammad Amin (1910-1949) Khairul Mufid Jr Khawas Auskarni Khoirul Abidin Khoshshol Fairuz Ki Ompong Sudarsono Kitab Arbain Nawawi Kodrat Setiawan Kompas TV Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA) Komunitas Sastra dan Teater Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Komunitas-komunitas Teater di Lamongan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Luar Biasa Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) Kopuisi Kostela Kritik Sastra Kumpulan Cerita Buntak Kurnia Effendi Kuswaidi Syafi’ie L Ridwan Muljosudarmo L.K. Ara Lamongan Lan Fang Lawi Ibung Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Literasi Liza Wahyuninto Lukas Luwarso Lukisan Lukman Lukman Santoso Az Lutfi Mardiansyah M Farid W Makkulau M. Faizi M.D. Atmaja Madrasah Aliyah Matholi'ul Anwar Madrasah Ibtida’iyah Thoriqotul Hidayah 1 Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S Mahayana Manado Manneke Budiman Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mario F. Lawi Marsel Robot Martin Aleida Marwanto Mashuri Massayu Masuki M. Astro Masyhudi Media Seputar Pendidikan Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Purnama di Kampung Halaman Mereka yang Menjerat Gus Dur MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mien Uno Moh. Dzunnurrain Moh. Jauhar al-Hakimi Mohammad Rafi Azzamy Mohammad Rokib Mohammad Yamin Muafiqul Khalid MD Much. Khoiri Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alfatih Suryadilaga Muhammad Antakusuma Muhammad Fikry Mauludy Muhammad Hafil Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad N. Hassan Muhammad Subarkah Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Muhyiddin Mukadi Mukani Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Musa Ismail Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang E S Nara Ahirullah Naskah Teater Nezar Patria Noor H. Dee Nunus Supardi Nur Haryanto Nur Wachid Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Okky Madasari Olivia Kristina Sinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pagelaran Musim Tandur Palupi Panca Astuti Pameran Lukisan Parimono V / 40 Plandi Jombang PC. Lesbumi NU Babat PDS HB Jassin Pelukis Dahlan Kong Pelukis Tarmuzie Penculikan Aktivis 1988 Pendidikan Pengajian Pengarang kelahiran Lamongan Pentigraf Pepaosan Perbincangan Peringatan Hari Pahlawan 10 November Pilang Tejoasri Laren Lamongan Jawa Timur Pipiet Senja Politik Pondok Pesantren Ali Bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Jokowi Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi (PMK) Puji Santosa Pustaka LaBRAK PUstaka puJAngga R. Ng. Ronggowarsito Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rasanrasan Boengaketji Raudlotul Immaroh Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Reuni dan Halal Bihalal Mts Putra-Putri Simo 1992 Ribut Wijoto Riki Antoni Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Robin Al Kautsar Rodli TL Roland Barthes Rosi Rosihan Anwar RR Miranda Rumah Budaya Pantura (RBP) S. Jai S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabrank Suparno Safitri Ningrum Sainul Hermawan Sajak Salman Aristo Sandiaga Uno Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Sastra Tasikmalaya (SST) Sarasehan dan Launching Buku Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Kuno Suku Sasak Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Satu Jam Sastra Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSAstra Boenga Ketjil Seni Gumira Ajidarma Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seputar Sastra Pendidikan Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sirdjanul Ghufron Siwi Dwi Saputro Slamet Rahardjo Rais Soediro Satoto Soekarno Soeparno S. Adhy Soesilo Toer Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Sri Handi Lestari Sri Wintala Achmad STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sujatmiko Sukarno Suminto A. Sayuti Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahrudin Attar Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari Sylvianita Widyawati Tangguh Pitoyo Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Ilat Teater nDrinDinG Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tias Tatanka Timur Sinar Suprabana Titi Aoska Tiyasa Jati Pramono Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Toni Masdiono Tri Broto Wibisono TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Tulus Wijanarko Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Jember Universitas Negeri Jember Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyu Aji Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Wiji Thukul Wildan Nugraha Wildana Wargadinata Yanusa Nugroho Yasraf Amir Piliang Yerusalem Ibu Kota Palestina Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhi Herwibowo Yuditeha Yusri Fajar Yuval Noah Harari Zainal Arifin Thoha Zainuddin Sugendal Zara Zettira ZR Zehan Zareez Zuhdi Swt