Dalam perkembangan kesusastraan Indonesia, Afrizal Malna dapat ditandai
sebagai sebuah noktah tersendiri, sebagaimana juga Amir Hamzah, Chairil Anwar,
dan Soetardzi Calzoum Bachri pada zamannya masing-masing. Noktah itu adalah
sebuah deviasi, sebuah titik yang membuat bingkai jadi retak, lalu ia keluar:
menyimpang sendiri.
Afrizal memang takbisa keluar seluruhnya dari bingkai itu. Sayup-sayup suara penyajak sebelumnya seperti Amir Hamzah dan juga Chairil, paling tidak, masih tetap terdengar dalam sajak-sajaknya. Seseorang yang minggat dari rumah sekalipun, ia memang tidak akan pernah bisa menghapus seluruh jejak rumah yang ditinggalkannya. Inovasi selalu bersandar pada tradisi.
Sementara itu, orang yang meretakkan bingkai mula-mula selalu sulit dipahami. Terdapat dua faktor, setidaknya, yang menyebabkan hal itu. Pertama, “sang perusak” menjadi semacam alien yang memiliki tabiat berbeda dari lingkungannya—dengan eksplisit Chairil Anwar menegaskan kondisi ini pada dirinya dengan ungkapan termashur “aku ini binatang jalang/yang terbuang dari kelompoknya”. Kedua, pada tepi lain, pihak-pihak yang memiliki iman yang teguh pada bingkai biasanya akan mengambil jarak dari sang perusak. Alih-alih mau menyentuhnya, ia akan melihatnya dengan sebelah mata, bahkan jika bisa mengutuknya menjadi batu. Namun pun begitu, jika si alien mampu membangun bingkai baru yang unik, biasanya ia akan memiliki penggemar, bahkan mazabnya tersendiri.
Fenomena tersebut, saya pikir, terjadi juga pada Afrizal. Sepanjang pengamatan, saya tidak menemukan catatan (kritik) mengenai penyair ini dari seorang kritikus atau sastrawan senior—yang biasanya tulisannya sering menjadi acuan masyarakat. Dalam sebuah obrolan informal, Afrizal sempat mengabarkan tentang seorang kritikus ternama dari Yogyakarta yang bersedia memberi catatan mengenai sajaknya jika ia telah membaca seluruh puisi di dunia. “Saya tidak dipercayai pernah menulis sajak”, ungkap Afrizal. Sementara itu, almarhum Umar Kayam juga sempat mengatakan bahwa ajak-sajak Afrizal sangat sulit dipahami. Pendek kata, Afrizal tidak dilirik. Mungkin ia tidak melahirkan dirinya dengan hentakkan sebagaimana Soetarzdi Calzoum Bachri yang dengan kredonya menenung banyak kalangan.
Tapi, pada saat yang sama, media massa rupanya memberi ruang kepada Afrizal. Pada dekade 90-an tulisan-tulisannya, terutama esei, terbit di berbagai surat kabar. Sementara sajak-sajaknya, pada periode awal, ia terbitkan dalam bentuk stensilan. “Semula saya tidak tahu bahwa ada cara mempublikasikan puisi”, ujar penyair ini dalam diskusi di Redaksi Pikiran Rakyat (5/5/2010). Dengan cara seperti ini Afrizal hadir di ruang publik dan dengan cara ini pula ia seperti menyebarkan semacam virus kepada penulis-penulis lain, baik penulis seangkatan maupun sesudahnya. Dari situ, pada dekade 90-an sempat terlontar sebuah istilah “afrizalian” untuk mendefinisikan para efigon Afrizal. Istilah ini, meskipun tidak menjadi wacana yang memanjang, tetap bisa dicatat sebagai tanda dalam sejarah sastra Indonesia, sebuah noktah dari kehadiran seorang penyair bernama Afrizal Malna. Dan penyair ini tetap sendirian sebab tidak ada efigonnya yang berhasil “melahirkan” Afrizal yang lain.
Lantas, apa sebenarnya yang diusung Afrizal dalam sajak-sajaknya? Atau bagaimana sajak-sajak penyair yang baru menerbitkan seluruh sajaknya (dari lima kumpulan yang terbit sebelumnya) dalam sebuah kumpulan bertajuk pada bantal berasap ini? Seperti dibilang Kayam, sajak Afrizal memang sulit dipahami. Hal ini barangkali yang menyebabkan semua efigonnya gagal menulis puisi. Namun, sulit dipahami tidak sama dengan tidak bisa dipahami. Dalam tulisan pendek ini—yang tentu saja sangat tidak memadai—saya akan mencoba memberi tafsir atasnya.
Pergerakan Kata Yang Liar Pada Struktur Sintagmatik Yang Ketat
Barangsiapa membaca sajak Afrizal dengan frame konvensional: bahwa sajak harus mengandung makna, pesan, dan nilai tertentu, kiranya ia akan sangat kecewa. Soalnya, melalui sajak-sajaknya, Afrizal, hemat saya, tidak memiliki ambisi untuk mengedepankan makna, pesan, dan nilai konvensional tertentu yang biasanya secara parsial terbangun pada masing-masing sajak. Sajak-sajak Afrizal harus dilihat secara keseluruhan sebagai sebuah konstruksi gagasan besar yang terakumulasi dari kegelisahan penyair sepanjang proses keberkaryaannya. Bagi saya, kegelisahan yang dimaksud adalah kegelisahan mengenai bahasa—yang dengan demikian mengenai sajak itu sendiri. Melalui sajak-sajaknya Afrizal seperti hendak mengajak pembaca untuk mencari “jalan keluar bagi bahasa” yang sepanjang sejarah perjalanan bahasa itu sendiri memang selalu menjadi perdebatan.
Salah satu contoh kasus terkait topik tersebut, periksalah sajak berjudul Blax Box (hal. 26), misalnya. Melalui sajak ini Afrizal tampak meresepsi sekaligus mempertanyakan konsep linguistik Sausurian yang melihat hukum arbitrer (manasuka) dalam bahasa. Proses penamaan objek-objek (terbentuknya kata), baik yang abstrak maupun konkret dalam realitas dilihat Saussure sebagai proses yang terpisah dari realitas itu sendiri. Penamaan atas objek adalah pengambilan objek itu dari realitas dan kemudian menempatkannya dalam struktur (sistem) yang disepakati bersama sebagai konvensi. Di dalam struktur, kata-kata kemudian saling berelasi dan membentuk maknanya. Fonem, sebagai pembeda bunyi menjadi salah satu yang berperan penting dalam proses pembedaan itu. Kasir memiliki makna semata-mata karena ada kata lain yang berbunyi kasur, misalnya. Dengan demikian, dalam proses penciptaan makna, kata menjadi tidak penting, yang penting adalah relasinya dalam struktur. Walhasil, struktur menjadi yang utama.
Afrizal mengkonkretisasi konsep tersebut melalui bait pertama Black Box sebagai berikut: “nabi/kalau n diganti dengan b, dia menjadi babi/tidak nabi/ kalau b diganti dengan n, dia menjadi/nani/ tidak babi. black box. kalau b diganti dengan/p, dia menjadi napi/ tidak nani/ kalau n diganti/dengan r, dia menjadi rabi/ black box/ tidak napi/kalau b diganti dengan s, dia menjadi nasi/ kalau/s diganti dengan r, dia menjadi nari/ black box/tidak rabi atau nasi”.
Tapi, Afrizal tidak berhenti sampai di situ. Makna kata yang dibedakan karena perbedaan bunyi tersebut kemudian ia kritisi. Penyair ini agaknya tidak percaya dengan hukum tersebut sehingga pada bait berikutnya ia menulis, “tapi setiap kata/yang kita tanam. Jaraknya tak terukur/lebih jauh jarak dari musim semi dengan seekor/keong yang berjalan di atas lidah kita”. Lantas Afrizal menempatkan kata sebagai sesuatu yang memiliki kekuatan tersendiri, menempatkan bahasa sebagai ruh, sebagai realitas yang hidup, bukan sekedar permainan bunyi. Untuk itu, pada bait terakhir ia menulis, “aku tak tahu bagaimana kata-kata menciptakan/kembali manusia seperti speaker dalam kobaran/api/black box//.
Kasus lain dari tawaran “jalan bahasa” Afrizal adalah pengubahan paradigmatik atas bahasa. Merujuk pada semiotika Roland Barthes (yang juga rujukan awalnya dari Saussure) mengenai dikotomi sintagmatik-paradigmatik dalam bahasa, Afrizal lagi-lagi mengedepankan persepsi yang menarik. Pada poros sintagmatik Saussure, kata-kata dalam struktur baru-bisa berfungsi jika hukum strukturnya tidak dirusak, misalnya ia harus tersusun sebagai jajaran Subjek (P), Predikat (P), dan Objek (O). Kata-kata yang hadir (presence) pada struktur ini, dalam poros paradigmatik bisa saling bertukar dengan kata-kata lain yang tidak hadir (in absentia), dan hal ini hanya terjadi pada benak pembaca sebagai asosiasi. Saussure maupun Barthes tidak membatasi asosiasi ini; yang difokuskan dalam kajiannya (linguistik struktural Saussure dan semiotika structural Barthes) memang fungsi bahasa sebagai tanda pada struktur itu sendiri.
Dengan rujukan tersebut bisa dilihat bahwa sajak-sajak Afrizal, secara keseluruhan, bermain pada poros sintagmatik yang ketat di satu sisi dan di sisi lain sangat liar pada poros paradigmatik. Dengan kata lain, Afrizal konvensional secara sintagmatik, tetapi sangat inkonvensional secara paradigmatik. Perhatikan, misalnya, larik “kotak-kotak kardus sibuk berbenah, dari malam hingga pagi tiba”. Kata kotak-kotak kardus pada larik ini adalah kata yang dipilih secara ekstrem dari poros paradigmatik dan kemudian ditempatkan sebagai subjek pada poros sintagmatik. Kata itu sama sekali tidak mengganggu struktur. Kita bisa secara ekstrem pula mengganti kata kotak-kotak kardus itu dengan kata para pemulung, misalnya, sehingga lariknya menjadi “para pemulung sibuk berbenah, dari malam hingga pagi tiba”, sehingga larik ini menjadi sangat konvensional.
Cara menyeleksi dan mempertukarkan kata (proses membandingkan, metaforarisasi) yang ekstrem demikian kiranya yang menyebabkan sebagian pihak menilai sajak Afrizal sangat sukar dipahami. Kesukaran itu terjadi sebab cara kita melihat bahasa memang sangat konvensional, bahasa hanya dilihat sebagai alat untuk mendeskripsikan, bukan sebuah entitas tersendiri yang memiliki daya mengkonstruksi dunia hingga ke titik yang paling misterius.
Afrizal memang takbisa keluar seluruhnya dari bingkai itu. Sayup-sayup suara penyajak sebelumnya seperti Amir Hamzah dan juga Chairil, paling tidak, masih tetap terdengar dalam sajak-sajaknya. Seseorang yang minggat dari rumah sekalipun, ia memang tidak akan pernah bisa menghapus seluruh jejak rumah yang ditinggalkannya. Inovasi selalu bersandar pada tradisi.
Sementara itu, orang yang meretakkan bingkai mula-mula selalu sulit dipahami. Terdapat dua faktor, setidaknya, yang menyebabkan hal itu. Pertama, “sang perusak” menjadi semacam alien yang memiliki tabiat berbeda dari lingkungannya—dengan eksplisit Chairil Anwar menegaskan kondisi ini pada dirinya dengan ungkapan termashur “aku ini binatang jalang/yang terbuang dari kelompoknya”. Kedua, pada tepi lain, pihak-pihak yang memiliki iman yang teguh pada bingkai biasanya akan mengambil jarak dari sang perusak. Alih-alih mau menyentuhnya, ia akan melihatnya dengan sebelah mata, bahkan jika bisa mengutuknya menjadi batu. Namun pun begitu, jika si alien mampu membangun bingkai baru yang unik, biasanya ia akan memiliki penggemar, bahkan mazabnya tersendiri.
Fenomena tersebut, saya pikir, terjadi juga pada Afrizal. Sepanjang pengamatan, saya tidak menemukan catatan (kritik) mengenai penyair ini dari seorang kritikus atau sastrawan senior—yang biasanya tulisannya sering menjadi acuan masyarakat. Dalam sebuah obrolan informal, Afrizal sempat mengabarkan tentang seorang kritikus ternama dari Yogyakarta yang bersedia memberi catatan mengenai sajaknya jika ia telah membaca seluruh puisi di dunia. “Saya tidak dipercayai pernah menulis sajak”, ungkap Afrizal. Sementara itu, almarhum Umar Kayam juga sempat mengatakan bahwa ajak-sajak Afrizal sangat sulit dipahami. Pendek kata, Afrizal tidak dilirik. Mungkin ia tidak melahirkan dirinya dengan hentakkan sebagaimana Soetarzdi Calzoum Bachri yang dengan kredonya menenung banyak kalangan.
Tapi, pada saat yang sama, media massa rupanya memberi ruang kepada Afrizal. Pada dekade 90-an tulisan-tulisannya, terutama esei, terbit di berbagai surat kabar. Sementara sajak-sajaknya, pada periode awal, ia terbitkan dalam bentuk stensilan. “Semula saya tidak tahu bahwa ada cara mempublikasikan puisi”, ujar penyair ini dalam diskusi di Redaksi Pikiran Rakyat (5/5/2010). Dengan cara seperti ini Afrizal hadir di ruang publik dan dengan cara ini pula ia seperti menyebarkan semacam virus kepada penulis-penulis lain, baik penulis seangkatan maupun sesudahnya. Dari situ, pada dekade 90-an sempat terlontar sebuah istilah “afrizalian” untuk mendefinisikan para efigon Afrizal. Istilah ini, meskipun tidak menjadi wacana yang memanjang, tetap bisa dicatat sebagai tanda dalam sejarah sastra Indonesia, sebuah noktah dari kehadiran seorang penyair bernama Afrizal Malna. Dan penyair ini tetap sendirian sebab tidak ada efigonnya yang berhasil “melahirkan” Afrizal yang lain.
Lantas, apa sebenarnya yang diusung Afrizal dalam sajak-sajaknya? Atau bagaimana sajak-sajak penyair yang baru menerbitkan seluruh sajaknya (dari lima kumpulan yang terbit sebelumnya) dalam sebuah kumpulan bertajuk pada bantal berasap ini? Seperti dibilang Kayam, sajak Afrizal memang sulit dipahami. Hal ini barangkali yang menyebabkan semua efigonnya gagal menulis puisi. Namun, sulit dipahami tidak sama dengan tidak bisa dipahami. Dalam tulisan pendek ini—yang tentu saja sangat tidak memadai—saya akan mencoba memberi tafsir atasnya.
Pergerakan Kata Yang Liar Pada Struktur Sintagmatik Yang Ketat
Barangsiapa membaca sajak Afrizal dengan frame konvensional: bahwa sajak harus mengandung makna, pesan, dan nilai tertentu, kiranya ia akan sangat kecewa. Soalnya, melalui sajak-sajaknya, Afrizal, hemat saya, tidak memiliki ambisi untuk mengedepankan makna, pesan, dan nilai konvensional tertentu yang biasanya secara parsial terbangun pada masing-masing sajak. Sajak-sajak Afrizal harus dilihat secara keseluruhan sebagai sebuah konstruksi gagasan besar yang terakumulasi dari kegelisahan penyair sepanjang proses keberkaryaannya. Bagi saya, kegelisahan yang dimaksud adalah kegelisahan mengenai bahasa—yang dengan demikian mengenai sajak itu sendiri. Melalui sajak-sajaknya Afrizal seperti hendak mengajak pembaca untuk mencari “jalan keluar bagi bahasa” yang sepanjang sejarah perjalanan bahasa itu sendiri memang selalu menjadi perdebatan.
Salah satu contoh kasus terkait topik tersebut, periksalah sajak berjudul Blax Box (hal. 26), misalnya. Melalui sajak ini Afrizal tampak meresepsi sekaligus mempertanyakan konsep linguistik Sausurian yang melihat hukum arbitrer (manasuka) dalam bahasa. Proses penamaan objek-objek (terbentuknya kata), baik yang abstrak maupun konkret dalam realitas dilihat Saussure sebagai proses yang terpisah dari realitas itu sendiri. Penamaan atas objek adalah pengambilan objek itu dari realitas dan kemudian menempatkannya dalam struktur (sistem) yang disepakati bersama sebagai konvensi. Di dalam struktur, kata-kata kemudian saling berelasi dan membentuk maknanya. Fonem, sebagai pembeda bunyi menjadi salah satu yang berperan penting dalam proses pembedaan itu. Kasir memiliki makna semata-mata karena ada kata lain yang berbunyi kasur, misalnya. Dengan demikian, dalam proses penciptaan makna, kata menjadi tidak penting, yang penting adalah relasinya dalam struktur. Walhasil, struktur menjadi yang utama.
Afrizal mengkonkretisasi konsep tersebut melalui bait pertama Black Box sebagai berikut: “nabi/kalau n diganti dengan b, dia menjadi babi/tidak nabi/ kalau b diganti dengan n, dia menjadi/nani/ tidak babi. black box. kalau b diganti dengan/p, dia menjadi napi/ tidak nani/ kalau n diganti/dengan r, dia menjadi rabi/ black box/ tidak napi/kalau b diganti dengan s, dia menjadi nasi/ kalau/s diganti dengan r, dia menjadi nari/ black box/tidak rabi atau nasi”.
Tapi, Afrizal tidak berhenti sampai di situ. Makna kata yang dibedakan karena perbedaan bunyi tersebut kemudian ia kritisi. Penyair ini agaknya tidak percaya dengan hukum tersebut sehingga pada bait berikutnya ia menulis, “tapi setiap kata/yang kita tanam. Jaraknya tak terukur/lebih jauh jarak dari musim semi dengan seekor/keong yang berjalan di atas lidah kita”. Lantas Afrizal menempatkan kata sebagai sesuatu yang memiliki kekuatan tersendiri, menempatkan bahasa sebagai ruh, sebagai realitas yang hidup, bukan sekedar permainan bunyi. Untuk itu, pada bait terakhir ia menulis, “aku tak tahu bagaimana kata-kata menciptakan/kembali manusia seperti speaker dalam kobaran/api/black box//.
Kasus lain dari tawaran “jalan bahasa” Afrizal adalah pengubahan paradigmatik atas bahasa. Merujuk pada semiotika Roland Barthes (yang juga rujukan awalnya dari Saussure) mengenai dikotomi sintagmatik-paradigmatik dalam bahasa, Afrizal lagi-lagi mengedepankan persepsi yang menarik. Pada poros sintagmatik Saussure, kata-kata dalam struktur baru-bisa berfungsi jika hukum strukturnya tidak dirusak, misalnya ia harus tersusun sebagai jajaran Subjek (P), Predikat (P), dan Objek (O). Kata-kata yang hadir (presence) pada struktur ini, dalam poros paradigmatik bisa saling bertukar dengan kata-kata lain yang tidak hadir (in absentia), dan hal ini hanya terjadi pada benak pembaca sebagai asosiasi. Saussure maupun Barthes tidak membatasi asosiasi ini; yang difokuskan dalam kajiannya (linguistik struktural Saussure dan semiotika structural Barthes) memang fungsi bahasa sebagai tanda pada struktur itu sendiri.
Dengan rujukan tersebut bisa dilihat bahwa sajak-sajak Afrizal, secara keseluruhan, bermain pada poros sintagmatik yang ketat di satu sisi dan di sisi lain sangat liar pada poros paradigmatik. Dengan kata lain, Afrizal konvensional secara sintagmatik, tetapi sangat inkonvensional secara paradigmatik. Perhatikan, misalnya, larik “kotak-kotak kardus sibuk berbenah, dari malam hingga pagi tiba”. Kata kotak-kotak kardus pada larik ini adalah kata yang dipilih secara ekstrem dari poros paradigmatik dan kemudian ditempatkan sebagai subjek pada poros sintagmatik. Kata itu sama sekali tidak mengganggu struktur. Kita bisa secara ekstrem pula mengganti kata kotak-kotak kardus itu dengan kata para pemulung, misalnya, sehingga lariknya menjadi “para pemulung sibuk berbenah, dari malam hingga pagi tiba”, sehingga larik ini menjadi sangat konvensional.
Cara menyeleksi dan mempertukarkan kata (proses membandingkan, metaforarisasi) yang ekstrem demikian kiranya yang menyebabkan sebagian pihak menilai sajak Afrizal sangat sukar dipahami. Kesukaran itu terjadi sebab cara kita melihat bahasa memang sangat konvensional, bahasa hanya dilihat sebagai alat untuk mendeskripsikan, bukan sebuah entitas tersendiri yang memiliki daya mengkonstruksi dunia hingga ke titik yang paling misterius.
***
*) Disampaikan dalam Diskusi di HU Pikiran Rakyat, 5 Mei 2010
**) Acep Iwan Saidi, Ketua Forum Studi Kebudayaan ITB.
http://masturbasikata.blogspot.com/2013/08/imaji-visual-sajak-sajak-afrizal-malna.htm
*) Disampaikan dalam Diskusi di HU Pikiran Rakyat, 5 Mei 2010
**) Acep Iwan Saidi, Ketua Forum Studi Kebudayaan ITB.
http://masturbasikata.blogspot.com/2013/08/imaji-visual-sajak-sajak-afrizal-malna.htm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar