Sabtu, 09 Maret 2019

Merayakan Ruang Perjumpaan

Adhi Pandoyo

“Ketika saya melihat seni patung India, saya amat takjub dan kagum sebab hasil seninya langsung berkesan pada saya. Tapi bila saya melihat sesuatu hasil Eropa yang baik, kesan yang pertama saya terima ialah tehniknya. Ambillah sebagai contoh seni pahat Rodin. Kesan saya ialah betapa pintarnya ia, betapa reel dan naturalistisnya ia menguasai bentuk. Tapi bila semua hal-hal tersebut saya lupakan, barulah terlihat oleh saya isi seninya. Jadi untuk mengerti ketinggian nilai seni Rodin sangat lama makan waktu, sedang pada seni India, impresi itu demikian besarnya, hingga bagi saya tak ada waktu untuk melihat kepintaran dalam soal-soal bentuk atau hal-hal lain.” (Ceramah Affandi di Sorbonne, Perancis, 1953).

Dahulu, di tengah politik diplomasi, Indonesia menerapkan berbagai kebijakan beasiswa pengiriman para pelajar hingga residensi seniman ke berbagai belahan penjuru dunia. Memang politik masa pemerintahan Soekarno (1945-1965) menghasilkan berbagai pencapaian penting baik politik luar negeri dalam konstelasi global, maupun pembangunan kebudayaan nasional. Hal tersebut menjadi bagian dari cetak biru konsep negara-bangsa yang dipijahkan melalui imajinasi identitas kebangsaan dari para “elite” hingga upaya pembangunan stabilitas ekonomi-politik, maupun kinerja kebudayaan lewat pertukaran seni-budaya.

Menariknya, dalam hal pertukaran seni-budaya sebagai politik kebudayaan itu rupanya menjadi demikian strategis. Kala itu Soekarno selain berhasil mengirim seniman-seniman macam Affandi ke negara-negara Eropa, Trubus ke Cekoslovakia, Hariadi Sumadijaya ke Mexico dan berbagai seniman lain ke berbagai penjuru dunia; Sekaligus berhasil mengoleksi berbagai karya seniman dari berbagai belahan dunia seperti Konstantin Egorovick Makovsky hingga Diego Rivera. Pencapaian personal presiden sebagai upaya politis ini mau tak mau menjadi bagian dari politik kebudayaan dan pendidikan dalam level nasional itu sendiri. Terlebih, barter tersebut bersambut gayung dengan wacana anti-kolonialisme dan kritik terhadap kapitalisme global, atau yang kemudian Soekarno menyebutnya sebagai: Nekolim (Neo-Kolonialisme and Neo-Imperialisme).

Indonesia sebagai negara merdeka berkubang dalam pascakolonialitas yang terbilang muskil. Sehingga keberadaannya meniscayakan pula silang budaya dan bangsa sebagai warisan kolonial maupun kenyataan sejarah, dari sebuah emporium di sepanjang nusantara selaku kepulauan di tengah lalu lintas perdagangan dunia. Begitupun dalam jagad kesenian. Di masa modern khususnya setelah mengenyam kolonialisme, sejarah seni rupa di Indonesia mengenal keberadaan seniman-seniman macam Walter Spies, Rudolf Bonnet, Miguel Covarrubias, Arie Smit, dsb, sebagai bukti adanya keterhadiran hingga dialog kesenian lintas bangsa, atau bahkan kosmopolitanisme, kalau bukan sekedar eskapisme ekspatriat.

Dari sinilah, secara keseluruhan Indonesia memiliki pengalaman subjek-subjek interkultur dalam dunia seniman, yakni antara seniman yang pergi keluar, maupun seniman yang datang kemari. Lalu lintas kesenian inilah yang membuktikan sebuah persemaian perjumpaan, dalam proyek-proyek pameran hingga pasar kesenian yang membentuk barter pengetahuan, hal mana boleh jadi terus terjalin hingga medan seni rupa kontemporer.

“Mereka” Mengurai Realitas Keindonesiaan

“Sejak semula saya mendekati Indonesia dengan hati, bukan dengan pikiran petugas milisi. Saya pun melukis dengan perasaan, bukan dengan pikiran. Jika kamu percaya bahwa perasaan adalah genade (anugrah Tuhan), maka Tuhan tidak akan meminta balik anugerah itu, sampai waktu memutus hidupmu” (Arie Smit, Seniman Belanda yang menetap di Bali, Indonesia).

Jika wacana kolonial menempatkan “barat” sebagai penafsir, dan tafsirannya diajarkan pada “timur” sebagai cermin diri. Maka dewasa ini beberapa menyimpulkan bahwa “timur” telah membalik cermin buatan barat dengan mempermainkan persepsi “kami” dan “mereka”. Lantas, cukupkah? Katakanlah, berhasilkah orientalisme dibalas oksidentalisme? Sesederhana itukah persoalan identitas di tengah kemajemukan, maupun lalu lintas negara-bangsa yang di jaman kapitalisme-globalisasi dan trans/inter/multinasional ini demikian kompleks?

Menjawab pertanyaan rumit itu, perlu kembali menilik hasil-hasil kesenian yang berpijak pada perjumpaan, yang mana berhasrat melampaui oposisi “mereka” dengan “kami”. Adalah pameran bertajuk “Aduh Sudah: The International Expression of Arts”, yang agaknya mengkerangkai berbagai pengalaman “ekspatriat” selaku residensi darmasiswa seniman yang melazimi sebuah perjumpaan kebudayaan, maupun langkah awal menuju keberlanjutan pertukaran pengetahuan. Dalam pengalaman inilah, “mereka” mencerap realitas Indonesia ke dalam berbagai medium karya, sebagaimana realitas global, di tengah cengkeram kapitalisme, disusul sengkarut identitas dan pascakolonialitas.

Dalam karya berjudul: Summer Behind The GlassKatia Sophia Ditzler (Jerman) seperti menangkap aura geopolitik yang diterjemahkan dalam media video dan tubuh yang menurutnya sengaja mempresentasikan konstelasi kekuasaan di antara kekuatan Soviet, dan narasi politik beserta simbol dunia Barat. Sedang dalam karya instalasi: Stepping in The Middle of Some Nowhere, yang memuat karya Annu Cutter (Jerman) dan Lannah Nguyen (Vietnam), tampak representasi-representasi terkait wanita dalam dunia prostitusi ngebong di Yogyakarta. Annu dalam videonya berusaha menampilkan footage tentang atmosfer dunia malam di lingkungan rel kereta api dengan citra-citra yang campur aduk antara gemerlap malam, kebisingan, keserbacepatan hingga kesunyian tersendiri. Realitas subjek porstitusi dalam dunia malam ini dihadapi dengan segala kompleksitas hidup merangkap istri dan juga ibu, hal yang menginspirasi dalam Lannah membuat patung perempuan. Karya bernafas realisme sosial tersebut tak ubahnya menepis kecenderungan klasik seniman ekspatriat di Indonesia yang meggandrungi mooi indie khas wacana kolonial, yang dahulu mewarnai presentasi dan resepsi seni akan realitas nusantara.

Cara mencerap realitas ke dalam medium seni tentu menghasilkan beragam perspektif. Prem Kumar Gupta (India) dalam karya: Dhokra Bowl mengakui adanya inspirasi pencapaian teknologi peralatan makan abad 19, dimana mengaitkan dirinya dengan ingatan masa kecil. Demikian pula ketika karya-karya Batik seperti Saul Tellez Tajeda (Mexico), Zarinka Soiko (Ukraina) dan Yumi Imamura (Jepang). Saul mencerap pengetahuan budaya Indonesia melalui sudut pandang pengalaman kebudayaan asalnya, sehingga diyakininya sanggup menggali nilai-nilai tradisional Indonesia yang dapat diterima dan dimaknai secara universal. Maka boleh jadi terpancar pula dalam apa yang membuat Yumi memilih batiknya sebagai medium berkisah tentang burung hantu di tengah padang rembulan malam. Hingga Zarinka dalam The Middle Sentence yang menunjukkan suatu sentrum-sentrum lingkar dalam mozaik motif yang sekilas bak labirin.

Karya-karya tersebut menjelma seperangkat upaya menggali warisan kebudayaan yang asing bagi dirinya, namun kemudian dinaturalisasi dalam karya kesenian dan latar belakang yang personal. Ihwal ini berulang pula dalam karya Eszter Magyar (Hungaria) yang menampilkan topengnya, demikian kentara menampakkan pengaruh dari tradisi Topeng di Jawa. Pencerapan pengetahuan yang melazimi penerjemahan hingga peracikan simbol-simbol kesenian dalam kebudayaan tertentu menjadi demikian wajar. Amin Tashaa (Afghanistan) misalnya, dalam karya di atas kertasnya, salah satunya menggambarkan rupa-rupa patung arca yang tenggelam dalam gurat-gurat syair berbahasa Persia. Sebuah simbolisme artefak hingga aksara yang sejatinya akrab ditemukan dalam kebudayaan Indonesia yang majemuk.

Kendati demikian, kebudayaan dalam hal ini jelas tanpa menutup adanya pencerapan atas realitas alam, sebagaimana memungkinkan karya Michael France (Cekoslovakia) yang menampilkan instalasi patung semut gunting di atas sarang tanahnya. Apapun latar belakang penciptaan berikut narasi visual yang hendak dibangun, baik Michael maupun kesepuluh seniman lainnya, jelas menghadapi relitas sekaligus meramu subjek-subjek hibrid pascakolonial. Taruhlah Fananantsoa Jean Eddy atau Eddy Bessa, yang mana di samping presentasi realisme figuratif dalam karya lukisnya; Latar belakang kelahiran Madagaskar, yang dipadu kehidupan selama di Indonesia lewat penempuhan pendidikan sarjana hingga pascasarjana, serta merta membentuk subjek hibrid.

Memang subjek hibrid di masa kini tidak sekedar sebagai konsekuensi pascakolonialitas, namun kapitalisme-globalisasi dan wacana trans/inter/multinasional yang menfasilitasi keberadaan subjek-subjek menyusun pengalaman pengetahuan lintas bangsa, pengalaman migrasi demi migrasi hingga percik-percik hasrat kosmopolitanisme tersendiri. Hal itu akhirnya mencita-citakan deteritorialisasi demi meruntuhkan sekat geopolitik yang kerap mengusung peliyanan hingga ketidakadilan. Namun sanggupkah perjumpaan berikut hasrat kosmopolitanismenya menjawab kebutuhan menanggulangi ketimpangan hemisfer? Sanggupkah ia memutar jarum atau bahkan memotong kompas? Saya tak berkapasitas terlampau jauh untuk menebak. Namun tampaknya ideologi pameran ini menginterpelasi seniman untuk berbagi pengalaman-pengetahuan, demi mencerap “kemajemukan dan kompleksitas identitas dan kenyataan”, melampaui perjumpaan lintas budaya maupun negara-bangsa. Semoga!

Sabdodadi, 19 Juli 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

20 Tahun Kebangkitan Sastra-Teater Lamongan A Jalal A. Anzieb A. Khoirul Anam A. Mustofa Bisri A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja Abdoel Moeis Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdullah Abubakar Batarfie Abdurrahman Wahid Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Acep Iwan Saidi Achdiat K. Mihardja Achiar M Permana Adek Alwi Adhi Pandoyo Adib Baroya Aditya Ardi N Adri Sandra Adu Pesona Sang Wakil Cawapres RI Afrizal Malna Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agus Buchori Agus Dermawan T. Agus Mulyadi Agus Prasmono Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahmad Farid Yahya Ahmad Hasan MS Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Saifullah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alawi Al-Bantani Alfatihatus Sholihatunnisa Alfian Dippahatang Ali Audah Alim Bakhtiar Amie Williams Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amril Taufik Gobel An. Ismanto Andhi Setyo Wibowo Andi Andrianto Andong Buku #3 AndongBuku #3 Andrea Hirata Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Antologi Sastra Lamongan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Arafat Nur Ardi Wina Saputra Ardy Suryantoko Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arman A.Z. Arsyad Indradi Asarpin Ashimuddin Musa Asrul Sani Astuti Ananta Toer Atafras Audifax Awalludin GD Mualif Ayu Nuzul Azizah Hefni B Kunto Wibisono Bahrul Amsal Bambang Kempling Beni Setia Benny Benke Beno Siang Pamungkas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bloomberg Bre Redana Budaya Budi Darma Buldanul Khuri Bustan Basir Maras Candra Adikara Irawan Candrakirana Cangaan Ujungpangkah Gresik Jawa Timur Capres Cawapres 2019 Catatan Ceramah Cerpen Chairil Anwar Chicilia Risca CNN Indonesia Coronavirus COVID-19 D. Zawawi Imron Damiri Mahmud Darju Prasetya Darman Moenir Deddy Arsya Denny JA Denny Mizhar Devy Kurnia Alamsyah Dhoni Zustiyantoro Dian Sukarno Didin Tulus Dien Makmur Din Saja Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Donny Anggoro Donny Darmawan Dr. Hilma Rosyida Ahmad Dwi Cipta Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Dyah Ayu Fitriana Ecep Heryadi Edy Suprayitno Eka Budianta Eka Kurniawan Elok Dyah Messwati Engkos Kosnadi Erdogan Erwin Setia Esai Esti Nuryani Kasam Evan Ys F. Budi Hardiman F. Rahardi Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Fahrur Rozi Faidil Akbar Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathul Qorib Fatkhul Anas Feby Indirani Felix K. Nesi Festival Teater Religi Festival Teater Religi Pelajar SLTA Se-kabupaten Lamongan Fira Basuki Forum Santri Nasional (FSN) Frischa Aswarini Fuad Mardhatillah UY Tiba Fuad Nawawi Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gde Artawan Geger Riyanto Geguritan Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Guenter Grass Gus Ahmad Syauqi Gus tf Gusti Eka Habib Bahar bin Smith Haiku Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Han Gagas Hary B Koriun Hasan Basri Hasnan Bachtiar Heri Ruslan Herman Hesse Hertha Mueller Heru Kurniawan Hestri Hurustyanti Holy Adib Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu I Made Prabaswara I Made Sujaya IAI TABAH (Institut Agama Islam Tarbiyatut Tholabah) Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Iksaka Banu Imam Jazuli Imam Nawawi Imammuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Mahadi Indra Tjahyadi Irfan Afifi Irine Rakhmawati Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS J.S. Badudu Jadid Al Farisy Jajang R Kawentar Jawa Timur Jean Marie Gustave le Clezio JJ. Kusni Jl Raya Simo Sungelebak Jo Batara Surya John H. McGlynn Jordaidan Rizsyah Jual Buku Paket Hemat Juara 3 Lomba Lompat Jauh DISPORA LAMONGAN Jurnalisme Sastrawi K.H. Ma'ruf Amin Kadek Suartaya Kaheesa Kirania Putri Ayu Kahfie Nazaruddin Kalis Mardiasih Kamaluddin Ramdhan Kanti W. Janis Karanggeneng Kardono Setyorakhmadi Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Pantura (KBP) KetemuBuku Jombang KH. M. Najib Muhammad KH. Muhammad Amin (1910-1949) Khairul Mufid Jr Khawas Auskarni Khoirul Abidin Khoshshol Fairuz Ki Ompong Sudarsono Kitab Arbain Nawawi Kodrat Setiawan Kompas TV Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA) Komunitas Sastra dan Teater Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Komunitas-komunitas Teater di Lamongan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Luar Biasa Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) Kopuisi Kostela Kritik Sastra Kumpulan Cerita Buntak Kurnia Effendi Kuswaidi Syafi’ie L Ridwan Muljosudarmo L.K. Ara Lamongan Lan Fang Lawi Ibung Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Literasi Liza Wahyuninto Lukas Luwarso Lukisan Lukman Lukman Santoso Az Lutfi Mardiansyah M Farid W Makkulau M. Faizi M.D. Atmaja Madrasah Aliyah Matholi'ul Anwar Madrasah Ibtida’iyah Thoriqotul Hidayah 1 Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S Mahayana Manado Manneke Budiman Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mario F. Lawi Marsel Robot Martin Aleida Marwanto Mashuri Massayu Masuki M. Astro Masyhudi Media Seputar Pendidikan Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Purnama di Kampung Halaman Mereka yang Menjerat Gus Dur MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mien Uno Moh. Dzunnurrain Moh. Jauhar al-Hakimi Mohammad Rafi Azzamy Mohammad Rokib Mohammad Yamin Muafiqul Khalid MD Much. Khoiri Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alfatih Suryadilaga Muhammad Antakusuma Muhammad Fikry Mauludy Muhammad Hafil Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad N. Hassan Muhammad Subarkah Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Muhyiddin Mukadi Mukani Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Musa Ismail Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang E S Nara Ahirullah Naskah Teater Nezar Patria Noor H. Dee Nunus Supardi Nur Haryanto Nur Wachid Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Okky Madasari Olivia Kristina Sinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pagelaran Musim Tandur Palupi Panca Astuti Pameran Lukisan Parimono V / 40 Plandi Jombang PC. Lesbumi NU Babat PDS HB Jassin Pelukis Dahlan Kong Pelukis Tarmuzie Penculikan Aktivis 1988 Pendidikan Pengajian Pengarang kelahiran Lamongan Pentigraf Pepaosan Perbincangan Peringatan Hari Pahlawan 10 November Pilang Tejoasri Laren Lamongan Jawa Timur Pipiet Senja Politik Pondok Pesantren Ali Bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Jokowi Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi (PMK) Puji Santosa Pustaka LaBRAK PUstaka puJAngga R. Ng. Ronggowarsito Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rasanrasan Boengaketji Raudlotul Immaroh Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Reuni dan Halal Bihalal Mts Putra-Putri Simo 1992 Ribut Wijoto Riki Antoni Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Robin Al Kautsar Rodli TL Roland Barthes Rosi Rosihan Anwar RR Miranda Rumah Budaya Pantura (RBP) S. Jai S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabrank Suparno Safitri Ningrum Sainul Hermawan Sajak Salman Aristo Sandiaga Uno Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Sastra Tasikmalaya (SST) Sarasehan dan Launching Buku Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Kuno Suku Sasak Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Satu Jam Sastra Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSAstra Boenga Ketjil Seni Gumira Ajidarma Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seputar Sastra Pendidikan Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sirdjanul Ghufron Siwi Dwi Saputro Slamet Rahardjo Rais Soediro Satoto Soekarno Soeparno S. Adhy Soesilo Toer Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Sri Handi Lestari Sri Wintala Achmad STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sujatmiko Sukarno Suminto A. Sayuti Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahrudin Attar Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari Sylvianita Widyawati Tangguh Pitoyo Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Ilat Teater nDrinDinG Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tias Tatanka Timur Sinar Suprabana Titi Aoska Tiyasa Jati Pramono Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Toni Masdiono Tri Broto Wibisono TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Tulus Wijanarko Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Jember Universitas Negeri Jember Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyu Aji Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Wiji Thukul Wildan Nugraha Wildana Wargadinata Yanusa Nugroho Yasraf Amir Piliang Yerusalem Ibu Kota Palestina Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhi Herwibowo Yuditeha Yusri Fajar Yuval Noah Harari Zainal Arifin Thoha Zainuddin Sugendal Zara Zettira ZR Zehan Zareez Zuhdi Swt