Adhi Pandoyo
“Ketika saya melihat seni patung India, saya amat takjub dan kagum sebab hasil seninya langsung berkesan pada saya. Tapi bila saya melihat sesuatu hasil Eropa yang baik, kesan yang pertama saya terima ialah tehniknya. Ambillah sebagai contoh seni pahat Rodin. Kesan saya ialah betapa pintarnya ia, betapa reel dan naturalistisnya ia menguasai bentuk. Tapi bila semua hal-hal tersebut saya lupakan, barulah terlihat oleh saya isi seninya. Jadi untuk mengerti ketinggian nilai seni Rodin sangat lama makan waktu, sedang pada seni India, impresi itu demikian besarnya, hingga bagi saya tak ada waktu untuk melihat kepintaran dalam soal-soal bentuk atau hal-hal lain.” (Ceramah Affandi di Sorbonne, Perancis, 1953).
Dahulu, di tengah politik diplomasi, Indonesia menerapkan berbagai kebijakan beasiswa pengiriman para pelajar hingga residensi seniman ke berbagai belahan penjuru dunia. Memang politik masa pemerintahan Soekarno (1945-1965) menghasilkan berbagai pencapaian penting baik politik luar negeri dalam konstelasi global, maupun pembangunan kebudayaan nasional. Hal tersebut menjadi bagian dari cetak biru konsep negara-bangsa yang dipijahkan melalui imajinasi identitas kebangsaan dari para “elite” hingga upaya pembangunan stabilitas ekonomi-politik, maupun kinerja kebudayaan lewat pertukaran seni-budaya.
Menariknya, dalam hal pertukaran seni-budaya sebagai politik kebudayaan itu rupanya menjadi demikian strategis. Kala itu Soekarno selain berhasil mengirim seniman-seniman macam Affandi ke negara-negara Eropa, Trubus ke Cekoslovakia, Hariadi Sumadijaya ke Mexico dan berbagai seniman lain ke berbagai penjuru dunia; Sekaligus berhasil mengoleksi berbagai karya seniman dari berbagai belahan dunia seperti Konstantin Egorovick Makovsky hingga Diego Rivera. Pencapaian personal presiden sebagai upaya politis ini mau tak mau menjadi bagian dari politik kebudayaan dan pendidikan dalam level nasional itu sendiri. Terlebih, barter tersebut bersambut gayung dengan wacana anti-kolonialisme dan kritik terhadap kapitalisme global, atau yang kemudian Soekarno menyebutnya sebagai: Nekolim (Neo-Kolonialisme and Neo-Imperialisme).
Indonesia sebagai negara merdeka berkubang dalam pascakolonialitas yang terbilang muskil. Sehingga keberadaannya meniscayakan pula silang budaya dan bangsa sebagai warisan kolonial maupun kenyataan sejarah, dari sebuah emporium di sepanjang nusantara selaku kepulauan di tengah lalu lintas perdagangan dunia. Begitupun dalam jagad kesenian. Di masa modern khususnya setelah mengenyam kolonialisme, sejarah seni rupa di Indonesia mengenal keberadaan seniman-seniman macam Walter Spies, Rudolf Bonnet, Miguel Covarrubias, Arie Smit, dsb, sebagai bukti adanya keterhadiran hingga dialog kesenian lintas bangsa, atau bahkan kosmopolitanisme, kalau bukan sekedar eskapisme ekspatriat.
Dari sinilah, secara keseluruhan Indonesia memiliki pengalaman subjek-subjek interkultur dalam dunia seniman, yakni antara seniman yang pergi keluar, maupun seniman yang datang kemari. Lalu lintas kesenian inilah yang membuktikan sebuah persemaian perjumpaan, dalam proyek-proyek pameran hingga pasar kesenian yang membentuk barter pengetahuan, hal mana boleh jadi terus terjalin hingga medan seni rupa kontemporer.
“Mereka” Mengurai Realitas Keindonesiaan
“Sejak semula saya mendekati Indonesia dengan hati, bukan dengan pikiran petugas milisi. Saya pun melukis dengan perasaan, bukan dengan pikiran. Jika kamu percaya bahwa perasaan adalah genade (anugrah Tuhan), maka Tuhan tidak akan meminta balik anugerah itu, sampai waktu memutus hidupmu” (Arie Smit, Seniman Belanda yang menetap di Bali, Indonesia).
Jika wacana kolonial menempatkan “barat” sebagai penafsir, dan tafsirannya diajarkan pada “timur” sebagai cermin diri. Maka dewasa ini beberapa menyimpulkan bahwa “timur” telah membalik cermin buatan barat dengan mempermainkan persepsi “kami” dan “mereka”. Lantas, cukupkah? Katakanlah, berhasilkah orientalisme dibalas oksidentalisme? Sesederhana itukah persoalan identitas di tengah kemajemukan, maupun lalu lintas negara-bangsa yang di jaman kapitalisme-globalisasi dan trans/inter/multinasional ini demikian kompleks?
Menjawab pertanyaan rumit itu, perlu kembali menilik hasil-hasil kesenian yang berpijak pada perjumpaan, yang mana berhasrat melampaui oposisi “mereka” dengan “kami”. Adalah pameran bertajuk “Aduh Sudah: The International Expression of Arts”, yang agaknya mengkerangkai berbagai pengalaman “ekspatriat” selaku residensi darmasiswa seniman yang melazimi sebuah perjumpaan kebudayaan, maupun langkah awal menuju keberlanjutan pertukaran pengetahuan. Dalam pengalaman inilah, “mereka” mencerap realitas Indonesia ke dalam berbagai medium karya, sebagaimana realitas global, di tengah cengkeram kapitalisme, disusul sengkarut identitas dan pascakolonialitas.
Dalam karya berjudul: Summer Behind The Glass, Katia Sophia Ditzler (Jerman) seperti menangkap aura geopolitik yang diterjemahkan dalam media video dan tubuh yang menurutnya sengaja mempresentasikan konstelasi kekuasaan di antara kekuatan Soviet, dan narasi politik beserta simbol dunia Barat. Sedang dalam karya instalasi: Stepping in The Middle of Some Nowhere, yang memuat karya Annu Cutter (Jerman) dan Lannah Nguyen (Vietnam), tampak representasi-representasi terkait wanita dalam dunia prostitusi ngebong di Yogyakarta. Annu dalam videonya berusaha menampilkan footage tentang atmosfer dunia malam di lingkungan rel kereta api dengan citra-citra yang campur aduk antara gemerlap malam, kebisingan, keserbacepatan hingga kesunyian tersendiri. Realitas subjek porstitusi dalam dunia malam ini dihadapi dengan segala kompleksitas hidup merangkap istri dan juga ibu, hal yang menginspirasi dalam Lannah membuat patung perempuan. Karya bernafas realisme sosial tersebut tak ubahnya menepis kecenderungan klasik seniman ekspatriat di Indonesia yang meggandrungi mooi indie khas wacana kolonial, yang dahulu mewarnai presentasi dan resepsi seni akan realitas nusantara.
Cara mencerap realitas ke dalam medium seni tentu menghasilkan beragam perspektif. Prem Kumar Gupta (India) dalam karya: Dhokra Bowl mengakui adanya inspirasi pencapaian teknologi peralatan makan abad 19, dimana mengaitkan dirinya dengan ingatan masa kecil. Demikian pula ketika karya-karya Batik seperti Saul Tellez Tajeda (Mexico), Zarinka Soiko (Ukraina) dan Yumi Imamura (Jepang). Saul mencerap pengetahuan budaya Indonesia melalui sudut pandang pengalaman kebudayaan asalnya, sehingga diyakininya sanggup menggali nilai-nilai tradisional Indonesia yang dapat diterima dan dimaknai secara universal. Maka boleh jadi terpancar pula dalam apa yang membuat Yumi memilih batiknya sebagai medium berkisah tentang burung hantu di tengah padang rembulan malam. Hingga Zarinka dalam The Middle Sentence yang menunjukkan suatu sentrum-sentrum lingkar dalam mozaik motif yang sekilas bak labirin.
Karya-karya tersebut menjelma seperangkat upaya menggali warisan kebudayaan yang asing bagi dirinya, namun kemudian dinaturalisasi dalam karya kesenian dan latar belakang yang personal. Ihwal ini berulang pula dalam karya Eszter Magyar (Hungaria) yang menampilkan topengnya, demikian kentara menampakkan pengaruh dari tradisi Topeng di Jawa. Pencerapan pengetahuan yang melazimi penerjemahan hingga peracikan simbol-simbol kesenian dalam kebudayaan tertentu menjadi demikian wajar. Amin Tashaa (Afghanistan) misalnya, dalam karya di atas kertasnya, salah satunya menggambarkan rupa-rupa patung arca yang tenggelam dalam gurat-gurat syair berbahasa Persia. Sebuah simbolisme artefak hingga aksara yang sejatinya akrab ditemukan dalam kebudayaan Indonesia yang majemuk.
Kendati demikian, kebudayaan dalam hal ini jelas tanpa menutup adanya pencerapan atas realitas alam, sebagaimana memungkinkan karya Michael France (Cekoslovakia) yang menampilkan instalasi patung semut gunting di atas sarang tanahnya. Apapun latar belakang penciptaan berikut narasi visual yang hendak dibangun, baik Michael maupun kesepuluh seniman lainnya, jelas menghadapi relitas sekaligus meramu subjek-subjek hibrid pascakolonial. Taruhlah Fananantsoa Jean Eddy atau Eddy Bessa, yang mana di samping presentasi realisme figuratif dalam karya lukisnya; Latar belakang kelahiran Madagaskar, yang dipadu kehidupan selama di Indonesia lewat penempuhan pendidikan sarjana hingga pascasarjana, serta merta membentuk subjek hibrid.
Memang subjek hibrid di masa kini tidak sekedar sebagai konsekuensi pascakolonialitas, namun kapitalisme-globalisasi dan wacana trans/inter/multinasional yang menfasilitasi keberadaan subjek-subjek menyusun pengalaman pengetahuan lintas bangsa, pengalaman migrasi demi migrasi hingga percik-percik hasrat kosmopolitanisme tersendiri. Hal itu akhirnya mencita-citakan deteritorialisasi demi meruntuhkan sekat geopolitik yang kerap mengusung peliyanan hingga ketidakadilan. Namun sanggupkah perjumpaan berikut hasrat kosmopolitanismenya menjawab kebutuhan menanggulangi ketimpangan hemisfer? Sanggupkah ia memutar jarum atau bahkan memotong kompas? Saya tak berkapasitas terlampau jauh untuk menebak. Namun tampaknya ideologi pameran ini menginterpelasi seniman untuk berbagi pengalaman-pengetahuan, demi mencerap “kemajemukan dan kompleksitas identitas dan kenyataan”, melampaui perjumpaan lintas budaya maupun negara-bangsa. Semoga!
Sabdodadi, 19 Juli 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar