(Tri Broto Wibisono, Jo Batara Surya, Ki Ompong Sudarsono)
Jo Batara Surya *
Rumah Budaya Pantura (RBP) sebagai penggagas acara Kemah Budaya Pantura, bertempat
sekitar lingkungan Makam Syech Maulana Ishaq (Ayah dari Sunan Giri), Desa Kemantren,
Paciran, merupakan salah satu wadah baru bagi para pelaku, pecinta, dan pemerhati
seni-budaya di Jawa Timur. Sebuah wadah yang sejak lama dibutuhkan kaum seniman-budayawan
JaTim ini, akhirnya menetas dalam jangka waktu cukup lama, dengan segala
kendala yang dihadapi, mulai keuangan, sumberdaya manusia, dll, tidak membuat
surut tekad pemuda-pemudi di Pantai Utara Lamongan terhenti. Namun, atas
ikhtiar perjuangan bersama, semua beban terasa indah teratasi dengan bisa
menyelenggarakan KBP, yang melibatkan banyak seniman juga budayawan besar turut
andil dalam perhelatan akbarnya, tidak tanggung-tanggung beberapa kegiatan mendasar
dilaksanakan, seperti workshop teater, seni tari, batik, wayang hingga sastra.
Sepertinya, RBP memahami betul yang dibutuhkan generasi milenial dalam mengisi
masa-masa digital era 4.0., yang tengah membunyikan lonceng peringatan bagi pelaku
seni untuk segera singsingkan lengan menyiapkan diri beserta tatanannya di
dalam menghadapi tuntutan zaman; bagaimana para seniman bisa memberi sumbangsih
besar di dalam menata peradaban bangsa melalui kebudayaan, sehingga pada
gilasan percepatan waktu, manusianya tidak masuk jebakan digitalisasi, karena hakikatnya
para insan bukanlah robot ataupun perangkat lunak dari peradaban industri.
Budaya sebagai Identitas Bangsa
Bangsa Indonesia sudah memiliki peradaban agung sejak lama, dimana para
leluhurnya telah menciptakan kesadaran tertinggi atas kehidupan insan di setiap
zamannya. Kejayaan tersebut bisa dilihat di berbagai masa yang menyimpan nilai-nilai
esensi pada setiap peninggalannya, Candi Borobudur pula percandian di seluruh pelosok
Nusantara menjadi bukti nyata, begitu juga kekayaan tari-tarian, bahasa, pusaka,
serta busana di setiap daerah, laksana kitab alam terbuka yang harus dibaca
semua insan yang sadar pentingnya jati diri (kebangsaan). Berjalan seiringnya
waktu, seni-budaya mengalami perubahan signifikan di pelbagai hal, dan panggung
teater di Indonesia kian hari berkembang menjelma laboratorium kesadaran yang kerap
dibincangkan banyak kalangan, begitu pula ilmu kesusastraan.
Inilah penanda jelas jati diri bangsa memerlukan formula dalam menyanggupi
setiap periodenya, karena jati diri inipun nantinya menentukan arah perjalanan bangsa.
Miris, jika sebuah bangsa besar melupakan seni-budayanya, sedang perihal itu nilai
besar dimana bangsa-bangsa lain cemburu atas kekayaaan budaya kita. Bagi saya
pribadi, ada hal mendasar membuat bangsa melupakan seni-budaya sebagai sumber
kesadaran diri, salah satunya manusia kekinian banyak terjebak oleh faham-faham
materialisme yang telah menjauhkan pada kesadaran tertingginya sebagai mahluk
spiritual, padahal dengan bekal intelektual dapat membuat peradaban bangsanya
berada pada persamaan, bahkan lebih unggul dari yang lain, sebab sejatinya
peradaban dunia bersumber dari bangsa tercinta kita juga.
Empat Hari Kemah Budaya di Rumah Budaya Pantura
Dalam perhelatan KBP yang dilaksanakan tanggal 22 sampai 25 Desember 2019, terlihatlah
suatu gaya atau nuansa seni-budaya yang mempunyai warnanya tersendiri, yaitu cara
generasi milenial menjemput kesadarannya. Kegiatan KBP ini, diikuti peserta
yang hampir keseluruhan datang dari kalangan milenial, mulai dari panitia,
peserta, hingga para pematerinya yang juga mumpuni. Dalam bidang teater ada saudara
asal Madura yakni Mahendra, akrab disapa Eeng, yang sudah lama berkecimpung di teater,
ada Galuh Tulus Utama, seniman yang menduduki komite teater di Dewan Kesenian
Jawa Timur, ada pula senior dari Surabaya, Dody Yan Masfa turut berbagi pengalamannya
dalam berkesenian, hal ini memberikan energi baik bagi seniman-budayawan Lamongan
dan Gresik khususnya, selain itu ada seniman Jawa Tengah, Ki Ompong Sudarsono yang
notabene ki dalang wayang sekaligus berteater, juga Tohir Jokasmo, Sholihul
Huda, dan saya sendiri coba berbagi pengalaman dengan harapan akan banyak lagi
para pelaku seni budaya diera milenial; tidak canggung berkarya di masa
kekinian demi kemajuan bangsa.
Hari Pertama, semua peserta mendapat arahan dalam mempersiapkan mental, fisik,
dan lainnya, sedangkan panitia memberi pandangan umum tujuan digelarnya KBP.
Pada Jam 1 siang setelah pembagian kelompok, peserta diberi materi dasar
teater, dilanjutkan seni tari diasuh maestro tari tradisional Tri Broto Wibisono,
workshop seni tari berjalan lancar diikuti sekitar 150 peserta, dan semuanya antusias
mengikuti arahan pelatih, inilah bukti generasi milenial sangat membutuhkan ruang
ekspresi, seperti tarian sebagai jalan pencarian jati diri.
Malam harinya, peserta workshop disuguhkan pertunjukan dari para pemuda
Cangaan-Gresik yang menampilkan musik etnik bernuansa Jawa lewat tembang Lir Ilir,
dan beberapa lagunya Sujiwo Tejo yang diaransemen ulang, sehingga punya warna
tersendiri. Dilanjutkan tampilan Sangbala Children Theatre diasuh Rodli TL,
membawai naskah “Kaum Klepto,” dimana para pemainnya mayoritas anak-anak begitu
ceria dan terampil melakoni perannya masing-masing, menjelmalah pertunjukan yang
solid.
Hari Kedua, peserta peroleh pelatihan membatik secara langsung dari narasumber
yang sudah ahlinya, lantas malam harinya mendapat suguhan dari Meimura yang berkolaborasi
dengan Tri Broto Wibisono yang mengetengahkan ludruk tradisi. Ini menambah
wawasan baru bagi semua peserta kemah mengenal ragam kesenian, terlebih dunia
pertunjukan. Disusul pertunjukan tari tradisional yang dibawakan siswi dari MA
Mazroatul Ulum Lamongan.
Hari Ketiga, peserta diberikan wawasan baru dunia wayang yang langsung
diasuh ki dalang dari Temanggung, Ki Ompong Sudarsono. Pada pelaksanaannya, ki
dalang melibatkan peserta dalam memahami perihal dunia pewayangan; interaktif peserta
dengan pemateri terlihat saat peserta diajak memainkan wayang sekaligus. Di malam
harinya, peserta diajak mempraktekan semua ilmu yang diperoleh, diawali pertunjukan
monolog oleh Pandu dengan naskahnya “Tentang Tanah.”
Hari Keempat, peserta menyiapkan semua materi serta perlengkapannya untuk diaplikasikan
di panggung pertunjukan, dari mental juga fisik diuji di atas penempaan selama
mengikuti kegiatan. Penampilan pertama Kelompok Satu dibimbing Galuh Tulus
Utama atas konsep teater tubuhnya begitu menghipnosis penonton berjudul “Yang
Menyentuh Hidup,” berseting bebatuan kapur, para aktor berhasil mengolahnya menjelma
pertunjukan yang mengagumkan. Tampilan kedua Kelompok WS Rendra yang saya
bimbing, membawakan tema kebangsaan relijius bertitel “Negri Para Pecinta,”
menampilkan pertunjukan yang apik, walau para aktornya mayoritas pemula dalam
seni pertunjukan, ini seakan membangkitkan gairah semangat peserta untuk
senantiasa optimis berkarya dalam setiap kondisi apapun nantinya.
Kelompok Tiga dibina Mahendra, menampilkan pertunjukan yang banyak mengeksplor
tubuh dengan properti; bangku, meja, sarung, serta lainnya, lewat judul “Sebuah
bangku dan kenangan yang berlesatan pulang dan pergi.” Pementasan ini mencuri
perhatian penonton, pasalnya begitu ketat penemuan gerak tubuh terus mengalir
memainkan tempo yang mengundang tanya seolah tidak memberi jeda menghela nafas,
lantaran ketatnya aktor mengolah panggung. Penampilan Keempat digarap Sholihul
Huda, seniman yang sudah lama tinggal di Jogjakarta ini melayarkan naskahnya “Kick-Kock,” dengan konsep pertunjukan grouping aktor yang
membuat penonton berdecak kagum sedikit lucu menghibur, ketika para pemain
melakoni perannya penuh daya alir tanpa beban seibarat air.
Tampilan Kelima dibidani Ki Ompong Sudarsono dengan naskahnya “Ya Gitu
Deh.” Sebuah pementasan lewat bahasa-bahasa simbol pewayangan yang cukup
menarik penonton ke dalam nuansa sublim walau dengan ritme sedikit pelan, tapi
tetap terasa spontan mengalir. Penampilan Keenam dibina oleh sesepuh Teater
Tobong, Dody Yan Masfa dengan naskah berjudul “Orang Angan.” Penampilannya
membawa penonton kian dalam lagi memahami gerak aktor, karena sebelumnya sudah
disuguhkan pertunjukan yang banyak memakai konsep teater tubuh, maka perpaduan
tubuh beserta dialog kian menusuk dalam ke alam bawah sadar yang menceritakan perihal
kehidupan.
Setelah pementasan dari Enam Kelompok yang diikuti para peserta kemah
budaya, diakhiri sarasehan atau evaluasi dari hasil workshop yang sudah
dilangsungkan. Secara keseluruhan, memandang perhelatan KBP pertama kali ini
saya berani berkata sudah berhasil! Maka kepada semua pelaku, pecinta, pemerhati
seni-budaya di Lamongan dan Gresik khususnya, pula Jawa Timur pada umumnya. Saya
ucapkan selamat! Semoga spirit ini tetap terjaga demi membangun kesadaran
budaya bangsa.
***
*) Senimal asal Bandung, penggagas Teater Vanderwijck Syuro Indonesia,
bermukim di Desa Payaman, Solokuro, Lamongan, JaTim.
http://sastra-indonesia.com/2019/12/kemah-budaya-pantura-kbp-se-jawa-timur/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar