Jawa Pos Radar Madiun, 24 Des 2019
Sutejo (paling kanan) mengulas karya Okky Madasari
Okky Madasari (tengah) saat memberikan materi di Wakoka Ponorogo.
Geneologi Sastra Indonesia: Kapitalisme, Islam, dan Sastra Perlawanan. Sejak kali pertama menerbitkan buku Sembilan tahun lalu, Okky Madasari akhirnya berhasil menerbitkan buku nonfiksi untuk pertama kalinya. Sabtu lalu dibedah di depan mahasiswa, akademisi, dan pegiat sastra.
Karya nonfiksi itu hasil tugas akhir Okky saat menyelesaikan pendidikan pascasarjana di Jurusan Sosiologi Universitas Indonesia (UI). Berisikan delapan bab. Diawali ulasan tentang kebebasan dan irosi kesusastraan. Dipungkasi masa depan perlawanan.
Penelitian yang diselesaikannya 2014 silam itu menyampaikan pergulatan pemikirannya yang menyodorkan satu alternatif cara pandang untuk didiskusikan secara meluas. Diterbitkan setelah dirinya menuliskan lima novel, satu kumpulan cerita, dan tiga novel untuk anak.
Dalam diskusi di Bumi Reyog akhir pekan lalu, karya ilmiahnya mengurai benang merah kepitalisme. Antara pergumulan sastra, Islam, dan perlawanan. Sastra yang bertemakan cinta misalnya. Banyak novel yang mengusung ide percintaan dari kaum menengah ke atas. Ceritanya hanya berkutat pada orang-orang yang kaya tapi fakir akan cinta. “Ilusi-ilusi kapitalisme pada novel-novel kita justru menghegemoni pasar buku sekarang,” ujar perempuan kelahiran 1984 tersebut.
Dia juga banyak menemukan novel Islami yang menghadirkan ilusi kepitalisme. Melalui cerita keberhasilan seseorang setelah kuliah atau bekerja di luar negeri. Itu seakan menjadi satu-satunya potret menjadi sosok muslim yang ideal. Okky membuktikan bahwa novel islami saat ini hanya berkutat perebutan cina dan keberhasilan hidup di luar negeri. “Ide cerita yang demikian justru sangat tidak islami,” ucap sastrawan yang novel ketiganya Maryam meraih Khatulistiwa Award 2012 itu.
Hegemoni cerita itu juga berlangsung dalam periode sastra sebelumnya. Seperti di era hegemoni Balai Pustaka. Seperti Pramoedaya Ananta Toer yang menelurkan karya-karya bernapas realisme sosial yang menawarkan sejarah di luar narasi Balai Pustaka. “Setiap periode sastra pasti terdapat kontestasi perlawanan. Sastra perlawanan sebagai narasi tanding, pasti ada,” tuturnya sembari menyebut counter discourse (narasi tandingan).
Rizal Ahmad Rizal Taufiki—salah seorang peserta—bertanya bagaimana cara tulisan-tulisan narasi tanding (sastra perlawanan) bisa menjadi bacaan dominan mahasiswa saat karya sastra didominasi karya yang mengusung ilusi kapitalisme. “Sejak masa penjajahan hingga sekarang, kita tidak lepas dari hegemoni penjajah. Sehingga apa yang kita lakukan masih menurut pandangan barat. Artinya itu sangat susah,”jawab penulis kelahiran Magetan itu.
Diskusi yang berlangsung tiga jam itu dipungkasi Sutejo, ketua STKIP PGRI Ponorogo. Sebagai pelaku sejarah sastra perlawanan, dia mencatatkan beberapa poin. Yang disesalkannya, sastra dianggap kurang penting di Indonesia. Padahal bangsa ini, lahir dari karya sastra berupa Sumpah Pemuda. Sumpah pemuda itu merupakan sebuah puisi. “Jika kita tidak peduli terhadap satra perlawanan, artinya kita berkhianat kepada ibu kandung sendiri,” ujar pegiat literasi nasional tersebut. *** (fin/cl)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar