Sekilas Info: MD, Uighur, WSJ

Muhammad Antakusuma

Selasa malam lalu saya membuka koran Republika yang tergeletak di serambi sebuah masjid. Dan menemukan berita tentang tuntutan Muhammadiyah terhadap Wall Street Journal (WSJ). Setelah membaca koran Republika, saya kemudian membaca WSJ versi online dan juga Republika versi online.

Saya adalah orang yang mendampingi si penulis WSJ beberapa bulan lalu di Jakarta saat menemui tiga narasumber (satu dari Muhammadiyah, satu dari PBNU, dan satu orang jurnalis senior yang turut ke Uighur). Yang dari Majelis Ulama Indonesia, saya mempersilakan penulis berhubungan langsung degannya karena waktu dan pekerjaan saya telah selesai. Pekerjaan saya biasa disebut dengan "fixer". Bahasa mudahnya: jembatan. Saya menjembatani sang wartawan untuk melakukan wawancara dengan narsumber yang telah saya hubungi sebelumnya. Saat itu kami bersepekat agar saya dibayar $175 per hari untuk rencana tiga hari kerja dengan tiga narasumber. Di Jakarta, tiga narasumber tercapai dalam waktu dua hari. Agak berbeda saat dulu saya mempertemukan si penulis dengan sekjen FUI, kali ini saya lebih banyak memilih diam dan mendengarkan pembicaraan si penulis dengan narasumber dalam Bahasa Indonesia. Pekerjaan selesai meski ada sedikit ketegangan kecil di akhir anta saya dengan sang jurnalis (bukan terkait tulisannya).

Terkait tulisannya di bawah ini, saya ingin sedikit mengomentari. Saya tentu saja tidak terlibat saat si penulis menuliskan karyanya. Itu adalah kemerdekaan penuh dia (dan juga editornya). Seperti tukang becak di malioboro, saya hanya mengantarkan penumpang ke tempat bakpia. Apa jenis bakpia yang konsumen pilih dan berapa kotak yang dibeli adalah terserah sang konsumen. Namun, setelah itu dibagi-bagikan ke masyarakat, tentu semua orang yang kebagian (termasuk saya) berhak mengomentari rasanya:

Jika Anda membaca keseluruhan artikel WSJ (saya tidak begitu memperhatikan apakah ada bagian yang sudah diganti atau belum) tampak si penulis sudah meletakkan posisi pemikirannya pada sebuah isu berdasarkan data yang mungkin telah ia dapatkan sebelumnya dari organisasi kemanusiaan dunia. Secara umum ini tidak masalah. Yang kemudian menjadi masalah adalah ketika posisi itu memenuhi hampir keseluruhan latar tulisan jurnalistik yang bergaya semi analisis/opini ini. Akibatnya: pembaca secara tidak langsung akan turut digiring pada posisi si penulis, bukan pada pembuktian-pembuktian "diamnya" organisasi-organisasi Islam di Indonesia yang itu tertulis pada judul. Selain itu, bagaimana cara membuktikan "bujukan" Cina yang tertulis pada judul? Iya, di dalam artikel ditulis adanya undangan dan ajakan tour, tapi untuk sebuah tulisan jurnalistik itu sah dijadikan dasar adanya "bujukan"? Saya tidak yakin jawabannya iya, kecuali WSJ mempunyai maksud di balik itu. Di balik dinding media, hanya "masyarakat media" yang tahu akan kerja-kerja itu. Masyarakat biasa? Silakan Anda duduk nikmati sebuah "produk jurnalistik" yang diniatkan untuk kepentingan publik tanpa perlu banyak bertanya!

https://www.republika.co.id/berita/q2mwnt415/soal-berita-uighur-muhammadiyah-desak-emwsjem-minta-maaf
https://www.wsj.com/articles/how-china-persuaded-one-muslim-nation-to-keep-silent-on-xinjiang-camps-11576090976