Sabtu, 25 Januari 2020

Catatan Sementara untuk Selamanya: Sebuah Hakikat Hidup yang Fana

Imammuddin SA

“Seperti gerimis membasah kering tanah setelah bersetubuh dengan kemarau laga”. Itulah yang pas kiranya untuk menyambut hadirnya kumpulan puisi “Persinggahan Bayang-Bayang” karya Bambang Kempling. Setelah sekian lama kancah persajakan di belantara kesusastraan Lamongan sempat mengering, kini semua itu telah terhapus sudah dengan kehadiran “Persinggahan Bayang-Bayang”. Keberadaannya sebagai pengobat rindu yang mengendap-mengeram di dada para pecinta sastra khususnya puisi.

Bambang Kempling tergolong sebagai salah satu dari sekian banyak sastrawan senior Lamongan yang sangat produktif, di samping ada Herry Lamongan, Pringgo HR, Nurel Javissyarqi, Javed Paul Syata, A. Syauqi Sumbawi, dll. Keproduktifannya terlihat setelah sempat menerbitkan antologi puisi tunggalnya yang pertama “Kata Sebuah Sajak”, kini ia berhasil menerbitkan antologi tunggal yang kedua. Meski di usia yang terbilang tidak muda lagi, ia masih getol dan intens dalam menggurat sajak. Semangat bersastra yang membara seperti inilah yang seharusnya diteladani oleh sastrawan muda Indonesia saat ini, termasuk saya pribadi. Jujur saja, saya iri dan kagum dengannya.

Saya tidak banyak cuap-cuap. Langsung saja pada “Persinggahan Bayang-Bayang”. Berangkat dari covernya, saya teringat dengan mitos “Dewi Sri dan Dewa Sadana”. Sebenarnya cerita ini cukup banyak versi. Mereka berdua pada dasarnya adalah bersaudara. Karena suatu hal, oleh ayahnya, Raja Medang Kamulan, mereka berdua dikutuk. Dewi Sri dikutuk menjadi ular sawah sedangkan Sadana dikutuk menjadi burung sriti.

Karena kesabaran dan budi baiknya saat dalam masa kutukan, dewa yang ada di kahyangan memiliki rasa simpati yang lebih sehingga mereka berdua akhirnya diangkat menjadi seorang dewa dan dewi. Mereka berhak mendiyami kahyangan dan kedudukannya sederajat dengan dewa-dewa yang lain. Begitu juga dengan wujudnya, mereka berdua terbebas dari kutukan dan berwujud seperti semula, yaitu manusia.

Melihat sikap mereka berdua yang sangat baik terhadap sesama, sang penghulu dewa memberikan tugas yang sangat berat dan mulia. Dewi Sri dan Dewa Sadana ditugaskan untuk memberikan kesejahteraan bagi manusia di bumi melalui pangan. Mereka diturunkan di bumi secara terpisah. Dewi Sri diturunkan di darat sebagai Dewi Kesuburan tanah (di jawa simbolnya padi). Dewa Sadana diturunkan di laut dalam bentuk ikan. Dewa berkata bahwa mereka berdua yang bersaudara itu akan bisa bertemu dan bersatu di “sepanjang” (sebuah tempat makan yang panjang dan agung).

Berangkat dari mitos itulah saya mungupas kulit luar “Persinggahan Bayang-Bayang”. Buku kumpulan puisi ini merupakan buku yang sarat dengan nilai-nilai kemuliaan hidup yang tidak akan ada habisnya sebagaimana keberadaan ikan-ikan. Meskipun setiap detik, menit, jam, hari, minggu, bulan, dan tahun diambil oleh manusia, ikan-ikan itu tidak akan ada habisnya. Ia akan selalu ada untuk memenuhi kebutuhan dan kemuliaan manusia.

Tengok saja sajak yang berjudul “Persinggahan Bayang-Bayang”. Puisi mencakup etape yang pertama yaitu mencari hakikat dan eksistensi diri sendiri. Kata “bayang-bayang” pada judul tersebut bermuara pada jati diri manusia. Keberadaan manusia di bumi ini ibarat sebuah bayang-bayang. Keberadaannya hanyalah bersifat semu.

Saya juga teringat dengan falsafah Jawa yang berbunyi “urip iku bebasan mampir ngombe”. Hidup di dunia itu diibaratkan hanya sebatas singgah untuk minum. Orang yang “singgah” itu pastilah tidak akan lama bahkan tidak mungkin akan menetap untuk selama-lamanya. Ia pasti akan pergi lagi untuk melanjutkan perjalanan.

Tujuan persinggahan di dunia tidak laian hanya untuk sekedar mencicipi kenikmatan dunia yang sedikit dan sementara. Kenikmatan itu hendaknya dirasakan secukupnya saja biar tidak membawa dampak negatif bagi diri sendiri. Kenikmatan yang sementara itu tidak perlu kita genggam erat karena itu hanya sebatas lewatan belaka.

Bagi Bambang Kempling, dunia ini tampak seperti koridor. Yaitu sebuah lorong kecil memanjang yang menghubungkan daerah terkurung. Kata “lorong kecil” merupakan suatu yang bersifat terbatas. Hal ini diperkuat kembali dengan kata “terkurung” yang berkonotasi pada ketidaksanggupan dalam melakukan sesuatu yang lebih bebas.

Kata ganti yang digunakan penyair dalam sajak ini adalah “mu”. Ini bisa merujuk pada pembaca yang diajak ngomong atau bahkan justru dia yang berdialog dengan diri sendiri. Ketika menyadari hal demikian, maka penyair berharap pada “mu” agar ada satu perenungan tentang persinggahannya yang sejenak ini. Yaitu tentang tujuan akhir perjalanan hidup dan kehidupannya sendiri.

“sebuah koridor // memanjang di lubuk malam // membawamu terdiam // berhitung dalam detik hentinya // :sendiri” (Persinggahan Bayang-Bayang, bait 1, hal: 29)

Patut dijadikan catatan bahwa setiap manusia adalah pemimpin yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban untuk diri sendiri. Dalam persinggahan hidup yang sejenak ini, apakah ia mampu memimpin diri sendiri atau justru malah menjerumuskannya dalam kehidupan yang kelam?

Dalam perjalanan tersebut, penyair menjelaskan bahwa kehidup sehari-hari yang “mu” lalui membuatnya enggan menunggu untuk sampai di muara waktu. “Mu” tidak mau menunggu akhir hayatnya dalam keadaan yang kelam sebab pengaruh perhiasan keduniawian serta hubungan horisontal sesama manusia. Di batas muara perjalanan, dua hal itu akan memberikan kesaksian yang sesungguhnya atas keragu-raguan yang selama ini mengendap dalam diri “mu”. Kesaksian itu berupa hakikat segala sesuatu yang ada dalam persinggahan sementara ini adalah semu, ada batasnya, dan pasti berakhir.

“hari-hari yang tergambar // menyajikan keengganan untuk menunggu // malam di persinggahan // antara pilar-pilar // cengkrama bayang-bayang // memberi kesaksian abadi atas sangsi” (Persinggahan Bayang-Bayang, bait 2, hal: 29)

Hal itupun terjawab sudah bahwa persinggahan ini pun telah berakhir. Segala sesuatu yang ada dalam kefanaan ini pasti pergi, berpisah, dan lepas seperti angin. Yang ada hanya berkas jejak yang ditinggalkannya, namun wujudnya hampa. Dan saat itu, dalam koridor fana ini, para penghuninya riuh, tak mampu menciptakan keheningan jiwa. Padahal, yang telah tiada dan berakhir telah berada dalam hening waktu.

“kini, pesta telah usai // lepas bagaikan seketsa angin // dan sebuah koridor itu // tak mampu mengisahkan keheningan” (Persinggahan Bayang-Bayang, bait 3, hal: 29).

Menyoal masalah jiwa yang hening, terdapat dua hal yang berbanding terbalik dalam realitas kehidupan. Ini terlukis dalam fenomena kelahiran dan kematian. Dalam kelahiran, semua orang menyambutnya dengan suka cita, sedangkan bayi yang lahir menangis dengan kencangnya. Sebaliknya, ketika seseorang meninggal dunia, orang-orang yang ada di sekeliling pasti menitikkan air mata, sedangkan yang meninggal khusyuk dalam keheningan.

Dalam tasawuf, bayi menangis saat terlahir ke dunia itu merupakan suatu isyarat atas adanya permasalahan yang berhubungan dengan tanggung jawabnya sebagai khalifah di bumi. Tangisan itu merupakan wujud dari ketakutan-ketakutan. Ketakutan yang dialami berorientasi pada dua hal. Pertama, jiwa/roh merasa jauh dengan Tuhan karena terpisah oleh dinding-dinding kemanusiaan. Kedua, takut apabila tidak sanggup mengemban amanat dari Tuhan sebagai khalifah yang membawa rahmatan lil’alamin.

Sedangkan seseorang yang meninggal itu terlihat tenang sebab roh telah keluar dari belenggu dinding-dinding kemanusiaan dan keduniawian. Roh merasa tenang sebab merasa dekat kembali dengan Tuhan. Namun masalah roh bisa kembali dekat dengan Tuhan itu tergantung amaliah selama berada di persinggahan jasadi dan duniawi. Apabila semasa dalam alam kebendaan ini roh bisa mengendalikan sifat kemanusiaan dengan ketenangan dan keheningan, maka ia akan dengan mudah kembali di sisi Tuhan. “Wahai jiwa-jiwa yang tenang, kembalilah kamu di sisi Tuhanmu dengan ridlo yang saling meridloi”.

Inilah kekuatan sajak Bambang Kempling, semakin digali lebih dalam, nilai kemuliaan akan semakin bermekaran. Inilah yang harus dimakan dan ditelan sebagai nutrisi hidup dan kehidupan agar kita tak salah melangkah. Intip saja lagi dari sajak yang berjudul “Kelopak Kembang Pilar Dekat Rumah”. Sajak ini tampaknya berbicara masalah keyakinan dan keimanan. Meskipun pada dasarnya judul sajak ini bisa jadi diambil saat penyair melihat sebuah tanaman hias (bunga) yang dijadikan pilar pagar sebuah rumah, tetap saja memiliki kandungan yang dahsyat jika digali isi sajaknya.

Kelopak merupakan suatu bagian tipis yang berfungsi sebagai tabir. Bunga dapat diartikan sebagai kebahagiaan atau cinta. Pilar adalah penyanggah, penyokong, atau penguat. Teras merupakan bagian depan dari sebuah rumah. Rumah dapat dimetaforkan sebagai hati. Jika dilebur jadi satu maka maksud judul itu yaitu keimanan yang ada di dalam hati itu memiliki tabir penyangga yang disebut cinta.

Tabir cinta itu telah mekar dalam kehidupan yang kotor ini. Tabir cinta itu menangkap sebuah petunjuk dari sebuah kabar tentang hakikat nama yang diagungkan. Dalam tradisi Jawa diistilahkan dengan “jenenge urip”, yaitu nama bagi hidup. Setiap hidup atau yang hidup pasti memiliki nama bahkan Tuhan juga punya nama yang termaktub dalam 99 asma’ul husnah. Nabi Muhammad juga memiliki 99 nama yang termaktub dalam kitab “Dala’ilul Khoiror”. Nabi Adam juga diajarkan oleh Allah nama-nama yang agung yang dirahasiakan sebagai bekal misi kemanusiaan dan untuk mematahkan kesombongan bangsa jin serta keragu-raguan malaikat. Nama-nama itulah sebagai bentuk penguat keimanan manusia agar menjadi makhluk yang unggul, kuat, dan mulia dibandingkan dengan makhluk-makhluk yang lain.

merekah di antara // daun-daun berdebu // ia menangkap bulir-bulir cahaya // dari secarik kabar // tentang rahasia untuk nama-nama // yang telah diagungkan (Kelopak Kembang Pilar Teras Rumah, bait 1, hal 49).

Dalam hal ini penyair juga mengajak dialog pembaca. Ia menanyakan langsung kepada pembaca, apakah pembaca mendengar kabar tersebut dari Tuhan? Saat mengetahui kabar rahasia nama-nama itu, dengan seketika hati penyair tersentuh hingga menembus sukma.

“kau dengar siulan itu?” katanya // Angin lembut kemudian menjentik-jentik sukma (Kelopak Kembang Pilar Teras Rumah, bait 2 dan 3, hal 49).

Penyair kembali bertanya kepada pembaca, tetapi tentang mimpi, harapan, dan cita-cita. apakah pembaca merasakan mimpi-mimpi itu? Mimpi itu berupa fenomena jalan kembali kepada Tuhan yang sangat bercabang-cabang. Mimpi tentang sarana atau kendaraan yang digunakan untuk sampai di sisi Tuhan. Mimpi tentang berbagai bentuk fenomena kehidupan yang harus ditinggalkan dengan keheningan dan ketenangan demi bersatu kembali dengan Tuhan sebagai kekasihnya. Semua itu terus bermekaran dalam keimanan seorang manusia yang tercerahkan hingga berakhir pada batu nisan.

adakah kau telah menikmati // mimpi yang telah kau curi darinya // :mimpinya tentang jalan berayun // buat kereta pada taburnya // mimpinya tentang helai-helai warna // yang terbang saat hening (Kelopak Kembang Pilar Teras Rumah, bait 4 , hal 49). ia merambat sampai setapak jalan berbatu (Kelopak Kembang Pilar Teras Rumah, bait 5, hal 49).

Mimpi tidak hanya berorientasi pada harapan dan cita-cita. mimpi juga dapat berkonotasi pada suatu bentuk pengetahuan dan kesadaran. Sebab pada dasarnya Tuhan kerap memberikan petunjuk atau pengetahuan kepada manusia melalui mimpi-mimpi. Mimpi yang berupa petunjuk atau pengetahuan itu merupakan suatu hidayah yang luar biasa. Dapat dikatakan mimpi tersebut merupakan suatu pengetahuan yang diambil sebelum suatu peristiwa terjadi dalam realitas. Mimpi ini diberikan tanpa sepengatahuan orang lain. Hanya Tuhan dan orang yang diberi hidayah, petunjuk, dan pengetahuan melalui mimpi itu sendiri.

Sebuah isyarat juga disampaikan Bambang Kempling dalam sajak “Setangkai Daun Buat Kawan”. Kali ini ia mengambil hujjah pada kehidupan anak-anak. Dalam sajak ini, anak-anak digambarkan sedang menunggu penyair dan kawannya, bisa jadi pembaca juga. Ada satu hal yang dilakukan oleh para anak itu, yaitu merencanakan masa tuanya yang mulia dengan kepolosan dan kesucian. Dengan polos ia ia merencanakan masa depannya dengan sederhana dan tidak neko-neko. Sementara itu, sang penyair dilukiskan sebagai sosok manusia yang tak pasti dan selalu diliputi dengan kesalahan dan kekhilafan. Manusia adalah tempat salah dan lupa.

anak-anak menunggu kita di jalanan // sembari melukis senja di ujung kubah // sedang kita hanya sebatas bayang // yang luput di persinggahan (Setangkai Daun Buat Kawan, bait 1, hal 30).

Bagi penyair, kehidupannya yang telah terlewati terasa sepi dan sangat sepi. Ia merindukan satu kehidupan yang sama persis dengan kehidupan yang dirindukan kawannya. Kehidupan yang dicita-citakan penyair beserta kawannya yaitu mampu menikmati keindahan hidup di usia tua. Saat usia itu tiba, mereka tidak ingin lagi disibukkan dengan hal-hal keduniawian yang menjerat-mengikat pada keresahan. Mereka hanya ingin menikmati kedamaian dan ketenangan jiwa dalam menyongsong datangnya ajalnya.

gerimis kemarin malam // terasa sepi // amatlah sepi (Setangkai Daun Buat Kawan, bait 2, hal 30). setangkai daun yang kau rindui // kurindui juga // tapi // bagaimana kita bisa menikmati // segores senja itu? (Setangkai Daun Buat Kawan, bait 3, hal 30).

Dari fenomena anak kecil yang telah ditangkap penyair, ada satu hal besar dan luar biasa yang memberkas di relung hatinya. Ia menangkap bahwa dalam jiwa anak-anak selalu bermekaran bunga kebahagiaan meskipun dirinya tergulung dalam keterpurukan dan luka. Kehidupan yang semacam inilah yang ingin dipersembahkan penyair untuk diri sendiri dan sahabatnya. Kehidupan tanpa kesedihan. Kehidupan tanpa keluhan.

sapuan yang tersisa // :ada pada senyum yang mengembang // dari luka anak-anak kita (Setangkai Daun Buat Kawan, bait 4, hal 30).

Fenomena yang terlukis di atas adalah sebagian kecil dari kandunga sajak-sajak Bambang Kempling. Orientasi utama isinya adalah untuk mengangkat derajat manusian dalam kemuliaan hidup sebagai khalifah fil ardli. Ini adalah catata kesementaraan untuk kehidupan yang abadi dan selamanya, ketika manusia menjalankan tanggung jawabnya dalam kurungan kefanaan.

7 Juli 2014, Lamongan, Jawa Timur.
http://sastra-indonesia.com/2014/09/catatan-sementara-untuk-selamanya-sebuah-hakikat-hidup-yang-fana/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

20 Tahun Kebangkitan Sastra-Teater Lamongan A Jalal A. Anzieb A. Khoirul Anam A. Mustofa Bisri A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja Abdoel Moeis Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdullah Abubakar Batarfie Abdurrahman Wahid Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Acep Iwan Saidi Achdiat K. Mihardja Achiar M Permana Adek Alwi Adhi Pandoyo Adib Baroya Aditya Ardi N Adri Sandra Adu Pesona Sang Wakil Cawapres RI Afrizal Malna Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agus Buchori Agus Dermawan T. Agus Mulyadi Agus Prasmono Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahmad Farid Yahya Ahmad Hasan MS Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Saifullah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alawi Al-Bantani Alfatihatus Sholihatunnisa Alfian Dippahatang Ali Audah Alim Bakhtiar Amie Williams Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amril Taufik Gobel An. Ismanto Andhi Setyo Wibowo Andi Andrianto Andong Buku #3 AndongBuku #3 Andrea Hirata Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Antologi Sastra Lamongan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Arafat Nur Ardi Wina Saputra Ardy Suryantoko Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arman A.Z. Arsyad Indradi Asarpin Ashimuddin Musa Asrul Sani Astuti Ananta Toer Atafras Audifax Awalludin GD Mualif Ayu Nuzul Azizah Hefni B Kunto Wibisono Bahrul Amsal Bambang Kempling Beni Setia Benny Benke Beno Siang Pamungkas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bloomberg Bre Redana Budaya Budi Darma Buldanul Khuri Bustan Basir Maras Candra Adikara Irawan Candrakirana Cangaan Ujungpangkah Gresik Jawa Timur Capres Cawapres 2019 Catatan Ceramah Cerpen Chairil Anwar Chicilia Risca CNN Indonesia Coronavirus COVID-19 D. Zawawi Imron Damiri Mahmud Darju Prasetya Darman Moenir Deddy Arsya Denny JA Denny Mizhar Devy Kurnia Alamsyah Dhoni Zustiyantoro Dian Sukarno Didin Tulus Dien Makmur Din Saja Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Donny Anggoro Donny Darmawan Dr. Hilma Rosyida Ahmad Dwi Cipta Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Dyah Ayu Fitriana Ecep Heryadi Edy Suprayitno Eka Budianta Eka Kurniawan Elok Dyah Messwati Engkos Kosnadi Erdogan Erwin Setia Esai Esti Nuryani Kasam Evan Ys F. Budi Hardiman F. Rahardi Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Fahrur Rozi Faidil Akbar Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathul Qorib Fatkhul Anas Feby Indirani Felix K. Nesi Festival Teater Religi Festival Teater Religi Pelajar SLTA Se-kabupaten Lamongan Fira Basuki Forum Santri Nasional (FSN) Frischa Aswarini Fuad Mardhatillah UY Tiba Fuad Nawawi Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gde Artawan Geger Riyanto Geguritan Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Guenter Grass Gus Ahmad Syauqi Gus tf Gusti Eka Habib Bahar bin Smith Haiku Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Han Gagas Hary B Koriun Hasan Basri Hasnan Bachtiar Heri Ruslan Herman Hesse Hertha Mueller Heru Kurniawan Hestri Hurustyanti Holy Adib Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu I Made Prabaswara I Made Sujaya IAI TABAH (Institut Agama Islam Tarbiyatut Tholabah) Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Iksaka Banu Imam Jazuli Imam Nawawi Imammuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Mahadi Indra Tjahyadi Irfan Afifi Irine Rakhmawati Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS J.S. Badudu Jadid Al Farisy Jajang R Kawentar Jawa Timur Jean Marie Gustave le Clezio JJ. Kusni Jl Raya Simo Sungelebak Jo Batara Surya John H. McGlynn Jordaidan Rizsyah Jual Buku Paket Hemat Juara 3 Lomba Lompat Jauh DISPORA LAMONGAN Jurnalisme Sastrawi K.H. Ma'ruf Amin Kadek Suartaya Kaheesa Kirania Putri Ayu Kahfie Nazaruddin Kalis Mardiasih Kamaluddin Ramdhan Kanti W. Janis Karanggeneng Kardono Setyorakhmadi Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Pantura (KBP) KetemuBuku Jombang KH. M. Najib Muhammad KH. Muhammad Amin (1910-1949) Khairul Mufid Jr Khawas Auskarni Khoirul Abidin Khoshshol Fairuz Ki Ompong Sudarsono Kitab Arbain Nawawi Kodrat Setiawan Kompas TV Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA) Komunitas Sastra dan Teater Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Komunitas-komunitas Teater di Lamongan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Luar Biasa Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) Kopuisi Kostela Kritik Sastra Kumpulan Cerita Buntak Kurnia Effendi Kuswaidi Syafi’ie L Ridwan Muljosudarmo L.K. Ara Lamongan Lan Fang Lawi Ibung Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Literasi Liza Wahyuninto Lukas Luwarso Lukisan Lukman Lukman Santoso Az Lutfi Mardiansyah M Farid W Makkulau M. Faizi M.D. Atmaja Madrasah Aliyah Matholi'ul Anwar Madrasah Ibtida’iyah Thoriqotul Hidayah 1 Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S Mahayana Manado Manneke Budiman Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mario F. Lawi Marsel Robot Martin Aleida Marwanto Mashuri Massayu Masuki M. Astro Masyhudi Media Seputar Pendidikan Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Purnama di Kampung Halaman Mereka yang Menjerat Gus Dur MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mien Uno Moh. Dzunnurrain Moh. Jauhar al-Hakimi Mohammad Rafi Azzamy Mohammad Rokib Mohammad Yamin Muafiqul Khalid MD Much. Khoiri Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alfatih Suryadilaga Muhammad Antakusuma Muhammad Fikry Mauludy Muhammad Hafil Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad N. Hassan Muhammad Subarkah Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Muhyiddin Mukadi Mukani Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Musa Ismail Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang E S Nara Ahirullah Naskah Teater Nezar Patria Noor H. Dee Nunus Supardi Nur Haryanto Nur Wachid Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Okky Madasari Olivia Kristina Sinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pagelaran Musim Tandur Palupi Panca Astuti Pameran Lukisan Parimono V / 40 Plandi Jombang PC. Lesbumi NU Babat PDS HB Jassin Pelukis Dahlan Kong Pelukis Tarmuzie Penculikan Aktivis 1988 Pendidikan Pengajian Pengarang kelahiran Lamongan Pentigraf Pepaosan Perbincangan Peringatan Hari Pahlawan 10 November Pilang Tejoasri Laren Lamongan Jawa Timur Pipiet Senja Politik Pondok Pesantren Ali Bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Jokowi Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi (PMK) Puji Santosa Pustaka LaBRAK PUstaka puJAngga R. Ng. Ronggowarsito Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rasanrasan Boengaketji Raudlotul Immaroh Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Reuni dan Halal Bihalal Mts Putra-Putri Simo 1992 Ribut Wijoto Riki Antoni Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Robin Al Kautsar Rodli TL Roland Barthes Rosi Rosihan Anwar RR Miranda Rumah Budaya Pantura (RBP) S. Jai S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabrank Suparno Safitri Ningrum Sainul Hermawan Sajak Salman Aristo Sandiaga Uno Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Sastra Tasikmalaya (SST) Sarasehan dan Launching Buku Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Kuno Suku Sasak Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Satu Jam Sastra Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSAstra Boenga Ketjil Seni Gumira Ajidarma Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seputar Sastra Pendidikan Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sirdjanul Ghufron Siwi Dwi Saputro Slamet Rahardjo Rais Soediro Satoto Soekarno Soeparno S. Adhy Soesilo Toer Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Sri Handi Lestari Sri Wintala Achmad STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sujatmiko Sukarno Suminto A. Sayuti Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahrudin Attar Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari Sylvianita Widyawati Tangguh Pitoyo Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Ilat Teater nDrinDinG Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tias Tatanka Timur Sinar Suprabana Titi Aoska Tiyasa Jati Pramono Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Toni Masdiono Tri Broto Wibisono TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Tulus Wijanarko Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Jember Universitas Negeri Jember Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyu Aji Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Wiji Thukul Wildan Nugraha Wildana Wargadinata Yanusa Nugroho Yasraf Amir Piliang Yerusalem Ibu Kota Palestina Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhi Herwibowo Yuditeha Yusri Fajar Yuval Noah Harari Zainal Arifin Thoha Zainuddin Sugendal Zara Zettira ZR Zehan Zareez Zuhdi Swt