Imammuddin SA
“Seperti gerimis membasah kering tanah setelah bersetubuh dengan kemarau laga”. Itulah yang pas kiranya untuk menyambut hadirnya kumpulan puisi “Persinggahan Bayang-Bayang” karya Bambang Kempling. Setelah sekian lama kancah persajakan di belantara kesusastraan Lamongan sempat mengering, kini semua itu telah terhapus sudah dengan kehadiran “Persinggahan Bayang-Bayang”. Keberadaannya sebagai pengobat rindu yang mengendap-mengeram di dada para pecinta sastra khususnya puisi.
Bambang Kempling tergolong sebagai salah satu dari sekian banyak sastrawan senior Lamongan yang sangat produktif, di samping ada Herry Lamongan, Pringgo HR, Nurel Javissyarqi, Javed Paul Syata, A. Syauqi Sumbawi, dll. Keproduktifannya terlihat setelah sempat menerbitkan antologi puisi tunggalnya yang pertama “Kata Sebuah Sajak”, kini ia berhasil menerbitkan antologi tunggal yang kedua. Meski di usia yang terbilang tidak muda lagi, ia masih getol dan intens dalam menggurat sajak. Semangat bersastra yang membara seperti inilah yang seharusnya diteladani oleh sastrawan muda Indonesia saat ini, termasuk saya pribadi. Jujur saja, saya iri dan kagum dengannya.
Saya tidak banyak cuap-cuap. Langsung saja pada “Persinggahan Bayang-Bayang”. Berangkat dari covernya, saya teringat dengan mitos “Dewi Sri dan Dewa Sadana”. Sebenarnya cerita ini cukup banyak versi. Mereka berdua pada dasarnya adalah bersaudara. Karena suatu hal, oleh ayahnya, Raja Medang Kamulan, mereka berdua dikutuk. Dewi Sri dikutuk menjadi ular sawah sedangkan Sadana dikutuk menjadi burung sriti.
Karena kesabaran dan budi baiknya saat dalam masa kutukan, dewa yang ada di kahyangan memiliki rasa simpati yang lebih sehingga mereka berdua akhirnya diangkat menjadi seorang dewa dan dewi. Mereka berhak mendiyami kahyangan dan kedudukannya sederajat dengan dewa-dewa yang lain. Begitu juga dengan wujudnya, mereka berdua terbebas dari kutukan dan berwujud seperti semula, yaitu manusia.
Melihat sikap mereka berdua yang sangat baik terhadap sesama, sang penghulu dewa memberikan tugas yang sangat berat dan mulia. Dewi Sri dan Dewa Sadana ditugaskan untuk memberikan kesejahteraan bagi manusia di bumi melalui pangan. Mereka diturunkan di bumi secara terpisah. Dewi Sri diturunkan di darat sebagai Dewi Kesuburan tanah (di jawa simbolnya padi). Dewa Sadana diturunkan di laut dalam bentuk ikan. Dewa berkata bahwa mereka berdua yang bersaudara itu akan bisa bertemu dan bersatu di “sepanjang” (sebuah tempat makan yang panjang dan agung).
Berangkat dari mitos itulah saya mungupas kulit luar “Persinggahan Bayang-Bayang”. Buku kumpulan puisi ini merupakan buku yang sarat dengan nilai-nilai kemuliaan hidup yang tidak akan ada habisnya sebagaimana keberadaan ikan-ikan. Meskipun setiap detik, menit, jam, hari, minggu, bulan, dan tahun diambil oleh manusia, ikan-ikan itu tidak akan ada habisnya. Ia akan selalu ada untuk memenuhi kebutuhan dan kemuliaan manusia.
Tengok saja sajak yang berjudul “Persinggahan Bayang-Bayang”. Puisi mencakup etape yang pertama yaitu mencari hakikat dan eksistensi diri sendiri. Kata “bayang-bayang” pada judul tersebut bermuara pada jati diri manusia. Keberadaan manusia di bumi ini ibarat sebuah bayang-bayang. Keberadaannya hanyalah bersifat semu.
Saya juga teringat dengan falsafah Jawa yang berbunyi “urip iku bebasan mampir ngombe”. Hidup di dunia itu diibaratkan hanya sebatas singgah untuk minum. Orang yang “singgah” itu pastilah tidak akan lama bahkan tidak mungkin akan menetap untuk selama-lamanya. Ia pasti akan pergi lagi untuk melanjutkan perjalanan.
Tujuan persinggahan di dunia tidak laian hanya untuk sekedar mencicipi kenikmatan dunia yang sedikit dan sementara. Kenikmatan itu hendaknya dirasakan secukupnya saja biar tidak membawa dampak negatif bagi diri sendiri. Kenikmatan yang sementara itu tidak perlu kita genggam erat karena itu hanya sebatas lewatan belaka.
Bagi Bambang Kempling, dunia ini tampak seperti koridor. Yaitu sebuah lorong kecil memanjang yang menghubungkan daerah terkurung. Kata “lorong kecil” merupakan suatu yang bersifat terbatas. Hal ini diperkuat kembali dengan kata “terkurung” yang berkonotasi pada ketidaksanggupan dalam melakukan sesuatu yang lebih bebas.
Kata ganti yang digunakan penyair dalam sajak ini adalah “mu”. Ini bisa merujuk pada pembaca yang diajak ngomong atau bahkan justru dia yang berdialog dengan diri sendiri. Ketika menyadari hal demikian, maka penyair berharap pada “mu” agar ada satu perenungan tentang persinggahannya yang sejenak ini. Yaitu tentang tujuan akhir perjalanan hidup dan kehidupannya sendiri.
“sebuah koridor // memanjang di lubuk malam // membawamu terdiam // berhitung dalam detik hentinya // :sendiri” (Persinggahan Bayang-Bayang, bait 1, hal: 29)
Patut dijadikan catatan bahwa setiap manusia adalah pemimpin yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban untuk diri sendiri. Dalam persinggahan hidup yang sejenak ini, apakah ia mampu memimpin diri sendiri atau justru malah menjerumuskannya dalam kehidupan yang kelam?
Dalam perjalanan tersebut, penyair menjelaskan bahwa kehidup sehari-hari yang “mu” lalui membuatnya enggan menunggu untuk sampai di muara waktu. “Mu” tidak mau menunggu akhir hayatnya dalam keadaan yang kelam sebab pengaruh perhiasan keduniawian serta hubungan horisontal sesama manusia. Di batas muara perjalanan, dua hal itu akan memberikan kesaksian yang sesungguhnya atas keragu-raguan yang selama ini mengendap dalam diri “mu”. Kesaksian itu berupa hakikat segala sesuatu yang ada dalam persinggahan sementara ini adalah semu, ada batasnya, dan pasti berakhir.
“hari-hari yang tergambar // menyajikan keengganan untuk menunggu // malam di persinggahan // antara pilar-pilar // cengkrama bayang-bayang // memberi kesaksian abadi atas sangsi” (Persinggahan Bayang-Bayang, bait 2, hal: 29)
Hal itupun terjawab sudah bahwa persinggahan ini pun telah berakhir. Segala sesuatu yang ada dalam kefanaan ini pasti pergi, berpisah, dan lepas seperti angin. Yang ada hanya berkas jejak yang ditinggalkannya, namun wujudnya hampa. Dan saat itu, dalam koridor fana ini, para penghuninya riuh, tak mampu menciptakan keheningan jiwa. Padahal, yang telah tiada dan berakhir telah berada dalam hening waktu.
“kini, pesta telah usai // lepas bagaikan seketsa angin // dan sebuah koridor itu // tak mampu mengisahkan keheningan” (Persinggahan Bayang-Bayang, bait 3, hal: 29).
Menyoal masalah jiwa yang hening, terdapat dua hal yang berbanding terbalik dalam realitas kehidupan. Ini terlukis dalam fenomena kelahiran dan kematian. Dalam kelahiran, semua orang menyambutnya dengan suka cita, sedangkan bayi yang lahir menangis dengan kencangnya. Sebaliknya, ketika seseorang meninggal dunia, orang-orang yang ada di sekeliling pasti menitikkan air mata, sedangkan yang meninggal khusyuk dalam keheningan.
Dalam tasawuf, bayi menangis saat terlahir ke dunia itu merupakan suatu isyarat atas adanya permasalahan yang berhubungan dengan tanggung jawabnya sebagai khalifah di bumi. Tangisan itu merupakan wujud dari ketakutan-ketakutan. Ketakutan yang dialami berorientasi pada dua hal. Pertama, jiwa/roh merasa jauh dengan Tuhan karena terpisah oleh dinding-dinding kemanusiaan. Kedua, takut apabila tidak sanggup mengemban amanat dari Tuhan sebagai khalifah yang membawa rahmatan lil’alamin.
Sedangkan seseorang yang meninggal itu terlihat tenang sebab roh telah keluar dari belenggu dinding-dinding kemanusiaan dan keduniawian. Roh merasa tenang sebab merasa dekat kembali dengan Tuhan. Namun masalah roh bisa kembali dekat dengan Tuhan itu tergantung amaliah selama berada di persinggahan jasadi dan duniawi. Apabila semasa dalam alam kebendaan ini roh bisa mengendalikan sifat kemanusiaan dengan ketenangan dan keheningan, maka ia akan dengan mudah kembali di sisi Tuhan. “Wahai jiwa-jiwa yang tenang, kembalilah kamu di sisi Tuhanmu dengan ridlo yang saling meridloi”.
Inilah kekuatan sajak Bambang Kempling, semakin digali lebih dalam, nilai kemuliaan akan semakin bermekaran. Inilah yang harus dimakan dan ditelan sebagai nutrisi hidup dan kehidupan agar kita tak salah melangkah. Intip saja lagi dari sajak yang berjudul “Kelopak Kembang Pilar Dekat Rumah”. Sajak ini tampaknya berbicara masalah keyakinan dan keimanan. Meskipun pada dasarnya judul sajak ini bisa jadi diambil saat penyair melihat sebuah tanaman hias (bunga) yang dijadikan pilar pagar sebuah rumah, tetap saja memiliki kandungan yang dahsyat jika digali isi sajaknya.
Kelopak merupakan suatu bagian tipis yang berfungsi sebagai tabir. Bunga dapat diartikan sebagai kebahagiaan atau cinta. Pilar adalah penyanggah, penyokong, atau penguat. Teras merupakan bagian depan dari sebuah rumah. Rumah dapat dimetaforkan sebagai hati. Jika dilebur jadi satu maka maksud judul itu yaitu keimanan yang ada di dalam hati itu memiliki tabir penyangga yang disebut cinta.
Tabir cinta itu telah mekar dalam kehidupan yang kotor ini. Tabir cinta itu menangkap sebuah petunjuk dari sebuah kabar tentang hakikat nama yang diagungkan. Dalam tradisi Jawa diistilahkan dengan “jenenge urip”, yaitu nama bagi hidup. Setiap hidup atau yang hidup pasti memiliki nama bahkan Tuhan juga punya nama yang termaktub dalam 99 asma’ul husnah. Nabi Muhammad juga memiliki 99 nama yang termaktub dalam kitab “Dala’ilul Khoiror”. Nabi Adam juga diajarkan oleh Allah nama-nama yang agung yang dirahasiakan sebagai bekal misi kemanusiaan dan untuk mematahkan kesombongan bangsa jin serta keragu-raguan malaikat. Nama-nama itulah sebagai bentuk penguat keimanan manusia agar menjadi makhluk yang unggul, kuat, dan mulia dibandingkan dengan makhluk-makhluk yang lain.
merekah di antara // daun-daun berdebu // ia menangkap bulir-bulir cahaya // dari secarik kabar // tentang rahasia untuk nama-nama // yang telah diagungkan (Kelopak Kembang Pilar Teras Rumah, bait 1, hal 49).
Dalam hal ini penyair juga mengajak dialog pembaca. Ia menanyakan langsung kepada pembaca, apakah pembaca mendengar kabar tersebut dari Tuhan? Saat mengetahui kabar rahasia nama-nama itu, dengan seketika hati penyair tersentuh hingga menembus sukma.
“kau dengar siulan itu?” katanya // Angin lembut kemudian menjentik-jentik sukma (Kelopak Kembang Pilar Teras Rumah, bait 2 dan 3, hal 49).
Penyair kembali bertanya kepada pembaca, tetapi tentang mimpi, harapan, dan cita-cita. apakah pembaca merasakan mimpi-mimpi itu? Mimpi itu berupa fenomena jalan kembali kepada Tuhan yang sangat bercabang-cabang. Mimpi tentang sarana atau kendaraan yang digunakan untuk sampai di sisi Tuhan. Mimpi tentang berbagai bentuk fenomena kehidupan yang harus ditinggalkan dengan keheningan dan ketenangan demi bersatu kembali dengan Tuhan sebagai kekasihnya. Semua itu terus bermekaran dalam keimanan seorang manusia yang tercerahkan hingga berakhir pada batu nisan.
adakah kau telah menikmati // mimpi yang telah kau curi darinya // :mimpinya tentang jalan berayun // buat kereta pada taburnya // mimpinya tentang helai-helai warna // yang terbang saat hening (Kelopak Kembang Pilar Teras Rumah, bait 4 , hal 49). ia merambat sampai setapak jalan berbatu (Kelopak Kembang Pilar Teras Rumah, bait 5, hal 49).
Mimpi tidak hanya berorientasi pada harapan dan cita-cita. mimpi juga dapat berkonotasi pada suatu bentuk pengetahuan dan kesadaran. Sebab pada dasarnya Tuhan kerap memberikan petunjuk atau pengetahuan kepada manusia melalui mimpi-mimpi. Mimpi yang berupa petunjuk atau pengetahuan itu merupakan suatu hidayah yang luar biasa. Dapat dikatakan mimpi tersebut merupakan suatu pengetahuan yang diambil sebelum suatu peristiwa terjadi dalam realitas. Mimpi ini diberikan tanpa sepengatahuan orang lain. Hanya Tuhan dan orang yang diberi hidayah, petunjuk, dan pengetahuan melalui mimpi itu sendiri.
Sebuah isyarat juga disampaikan Bambang Kempling dalam sajak “Setangkai Daun Buat Kawan”. Kali ini ia mengambil hujjah pada kehidupan anak-anak. Dalam sajak ini, anak-anak digambarkan sedang menunggu penyair dan kawannya, bisa jadi pembaca juga. Ada satu hal yang dilakukan oleh para anak itu, yaitu merencanakan masa tuanya yang mulia dengan kepolosan dan kesucian. Dengan polos ia ia merencanakan masa depannya dengan sederhana dan tidak neko-neko. Sementara itu, sang penyair dilukiskan sebagai sosok manusia yang tak pasti dan selalu diliputi dengan kesalahan dan kekhilafan. Manusia adalah tempat salah dan lupa.
anak-anak menunggu kita di jalanan // sembari melukis senja di ujung kubah // sedang kita hanya sebatas bayang // yang luput di persinggahan (Setangkai Daun Buat Kawan, bait 1, hal 30).
Bagi penyair, kehidupannya yang telah terlewati terasa sepi dan sangat sepi. Ia merindukan satu kehidupan yang sama persis dengan kehidupan yang dirindukan kawannya. Kehidupan yang dicita-citakan penyair beserta kawannya yaitu mampu menikmati keindahan hidup di usia tua. Saat usia itu tiba, mereka tidak ingin lagi disibukkan dengan hal-hal keduniawian yang menjerat-mengikat pada keresahan. Mereka hanya ingin menikmati kedamaian dan ketenangan jiwa dalam menyongsong datangnya ajalnya.
gerimis kemarin malam // terasa sepi // amatlah sepi (Setangkai Daun Buat Kawan, bait 2, hal 30). setangkai daun yang kau rindui // kurindui juga // tapi // bagaimana kita bisa menikmati // segores senja itu? (Setangkai Daun Buat Kawan, bait 3, hal 30).
Dari fenomena anak kecil yang telah ditangkap penyair, ada satu hal besar dan luar biasa yang memberkas di relung hatinya. Ia menangkap bahwa dalam jiwa anak-anak selalu bermekaran bunga kebahagiaan meskipun dirinya tergulung dalam keterpurukan dan luka. Kehidupan yang semacam inilah yang ingin dipersembahkan penyair untuk diri sendiri dan sahabatnya. Kehidupan tanpa kesedihan. Kehidupan tanpa keluhan.
sapuan yang tersisa // :ada pada senyum yang mengembang // dari luka anak-anak kita (Setangkai Daun Buat Kawan, bait 4, hal 30).
Fenomena yang terlukis di atas adalah sebagian kecil dari kandunga sajak-sajak Bambang Kempling. Orientasi utama isinya adalah untuk mengangkat derajat manusian dalam kemuliaan hidup sebagai khalifah fil ardli. Ini adalah catata kesementaraan untuk kehidupan yang abadi dan selamanya, ketika manusia menjalankan tanggung jawabnya dalam kurungan kefanaan.
7 Juli 2014, Lamongan, Jawa Timur.
http://sastra-indonesia.com/2014/09/catatan-sementara-untuk-selamanya-sebuah-hakikat-hidup-yang-fana/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
20 Tahun Kebangkitan Sastra-Teater Lamongan
A Jalal
A. Anzieb
A. Khoirul Anam
A. Mustofa Bisri
A. Rodhi Murtadho
A. Syauqi Sumbawi
A.P. Edi Atmaja
Abdoel Moeis
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdullah Abubakar Batarfie
Abdurrahman Wahid
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Acep Iwan Saidi
Achdiat K. Mihardja
Achiar M Permana
Adek Alwi
Adhi Pandoyo
Adib Baroya
Aditya Ardi N
Adri Sandra
Adu Pesona Sang Wakil Cawapres RI
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan MN
Agus Buchori
Agus Dermawan T.
Agus Mulyadi
Agus Prasmono
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunyoto
AH J Khuzaini
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Hasan MS
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Saifullah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alawi Al-Bantani
Alfatihatus Sholihatunnisa
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Alim Bakhtiar
Amie Williams
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amril Taufik Gobel
An. Ismanto
Andhi Setyo Wibowo
Andi Andrianto
Andong Buku #3
AndongBuku #3
Andrea Hirata
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Antologi Sastra Lamongan
Anton Wahyudi
Anugrah Gio Pratama
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia
Arafat Nur
Ardi Wina Saputra
Ardy Suryantoko
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Saifudin Yudistira
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Asarpin
Ashimuddin Musa
Asrul Sani
Astuti Ananta Toer
Atafras
Audifax
Awalludin GD Mualif
Ayu Nuzul
Azizah Hefni
B Kunto Wibisono
Bahrul Amsal
Bambang Kempling
Beni Setia
Benny Benke
Beno Siang Pamungkas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Bernando J. Sujibto
Binhad Nurrohmat
Bloomberg
Bre Redana
Budaya
Budi Darma
Buldanul Khuri
Bustan Basir Maras
Candra Adikara Irawan
Candrakirana
Cangaan Ujungpangkah Gresik Jawa Timur
Capres Cawapres 2019
Catatan
Ceramah
Cerpen
Chairil Anwar
Chicilia Risca
CNN Indonesia
Coronavirus
COVID-19
D. Zawawi Imron
Damiri Mahmud
Darju Prasetya
Darman Moenir
Deddy Arsya
Denny JA
Denny Mizhar
Devy Kurnia Alamsyah
Dhoni Zustiyantoro
Dian Sukarno
Didin Tulus
Dien Makmur
Din Saja
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Donny Anggoro
Donny Darmawan
Dr. Hilma Rosyida Ahmad
Dwi Cipta
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Dyah Ayu Fitriana
Ecep Heryadi
Edy Suprayitno
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Elok Dyah Messwati
Engkos Kosnadi
Erdogan
Erwin Setia
Esai
Esti Nuryani Kasam
Evan Ys
F. Budi Hardiman
F. Rahardi
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Fahrur Rozi
Faidil Akbar
Farah Noersativa
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathul Qorib
Fatkhul Anas
Feby Indirani
Felix K. Nesi
Festival Teater Religi
Festival Teater Religi Pelajar SLTA Se-kabupaten Lamongan
Fira Basuki
Forum Santri Nasional (FSN)
Frischa Aswarini
Fuad Mardhatillah UY Tiba
Fuad Nawawi
Galuh Tulus Utama
Gampang Prawoto
Gde Artawan
Geger Riyanto
Geguritan
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Guenter Grass
Gus Ahmad Syauqi
Gus tf
Gusti Eka
Habib Bahar bin Smith
Haiku
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hamka
Han Gagas
Hary B Koriun
Hasan Basri
Hasnan Bachtiar
Heri Ruslan
Herman Hesse
Hertha Mueller
Heru Kurniawan
Hestri Hurustyanti
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hujuala Rika Ayu
I Made Prabaswara
I Made Sujaya
IAI TABAH (Institut Agama Islam Tarbiyatut Tholabah)
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idrus
Ignas Kleden
Iksaka Banu
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imammuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra Intisa
Indra Mahadi
Indra Tjahyadi
Irfan Afifi
Irine Rakhmawati
Irwan Kelana
Isbedy Stiawan ZS
J.S. Badudu
Jadid Al Farisy
Jajang R Kawentar
Jawa Timur
Jean Marie Gustave le Clezio
JJ. Kusni
Jl Raya Simo Sungelebak
Jo Batara Surya
John H. McGlynn
Jordaidan Rizsyah
Jual Buku Paket Hemat
Juara 3 Lomba Lompat Jauh DISPORA LAMONGAN
Jurnalisme Sastrawi
K.H. Ma'ruf Amin
Kadek Suartaya
Kaheesa Kirania Putri Ayu
Kahfie Nazaruddin
Kalis Mardiasih
Kamaluddin Ramdhan
Kanti W. Janis
Karanggeneng
Kardono Setyorakhmadi
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Kemah Budaya Pantura (KBP)
KetemuBuku Jombang
KH. M. Najib Muhammad
KH. Muhammad Amin (1910-1949)
Khairul Mufid Jr
Khawas Auskarni
Khoirul Abidin
Khoshshol Fairuz
Ki Ompong Sudarsono
Kitab Arbain Nawawi
Kodrat Setiawan
Kompas TV
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA)
Komunitas Sastra dan Teater Lamongan
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Komunitas-komunitas Teater di Lamongan
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Luar Biasa Organisasi Kerja Sama Islam (OKI)
Kopuisi
Kostela
Kritik Sastra
Kumpulan Cerita Buntak
Kurnia Effendi
Kuswaidi Syafi’ie
L Ridwan Muljosudarmo
L.K. Ara
Lamongan
Lan Fang
Lawi Ibung
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M)
Literasi
Liza Wahyuninto
Lukas Luwarso
Lukisan
Lukman
Lukman Santoso Az
Lutfi Mardiansyah
M Farid W Makkulau
M. Faizi
M.D. Atmaja
Madrasah Aliyah Matholi'ul Anwar
Madrasah Ibtida’iyah Thoriqotul Hidayah 1
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Maman S Mahayana
Manado
Manneke Budiman
Maratushsholihah
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Magdalena Bhoernomo
Mario F. Lawi
Marsel Robot
Martin Aleida
Marwanto
Mashuri
Massayu
Masuki M. Astro
Masyhudi
Media Seputar Pendidikan
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Memoar Purnama di Kampung Halaman
Mereka yang Menjerat Gus Dur
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mien Uno
Moh. Dzunnurrain
Moh. Jauhar al-Hakimi
Mohammad Rafi Azzamy
Mohammad Rokib
Mohammad Yamin
Muafiqul Khalid MD
Much. Khoiri
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Alfatih Suryadilaga
Muhammad Antakusuma
Muhammad Fikry Mauludy
Muhammad Hafil
Muhammad Marzuki
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad N. Hassan
Muhammad Subarkah
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhidin M. Dahlan
Muhyiddin
Mukadi
Mukani
Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur
Musa Ismail
Mutia Sukma
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nanang E S
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nezar Patria
Noor H. Dee
Nunus Supardi
Nur Haryanto
Nur Wachid
Nurel Javissyarqi
Nurul Komariyah
Okky Madasari
Olivia Kristina Sinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pagelaran Musim Tandur
Palupi Panca Astuti
Pameran Lukisan
Parimono V / 40 Plandi Jombang
PC. Lesbumi NU Babat
PDS HB Jassin
Pelukis Dahlan Kong
Pelukis Tarmuzie
Penculikan Aktivis 1988
Pendidikan
Pengajian
Pengarang kelahiran Lamongan
Pentigraf
Pepaosan
Perbincangan
Peringatan Hari Pahlawan 10 November
Pilang Tejoasri Laren Lamongan Jawa Timur
Pipiet Senja
Politik
Pondok Pesantren Ali Bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan
Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang
Pramoedya Ananta Toer
Presiden Jokowi
Prosa
Puisi
Puisi Menolak Korupsi (PMK)
Puji Santosa
Pustaka LaBRAK
PUstaka puJAngga
R. Ng. Ronggowarsito
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rasanrasan Boengaketji
Raudlotul Immaroh
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Reuni dan Halal Bihalal Mts Putra-Putri Simo 1992
Ribut Wijoto
Riki Antoni
Riki Dhamparan Putra
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Roland Barthes
Rosi
Rosihan Anwar
RR Miranda
Rumah Budaya Pantura (RBP)
S. Jai
S.W. Teofani
Sabiq Carebesth
Sabrank Suparno
Safitri Ningrum
Sainul Hermawan
Sajak
Salman Aristo
Sandiaga Uno
Sanggar Lukis Alam
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang
Sanggar Sastra Tasikmalaya (SST)
Sarasehan dan Launching Buku
Sartika Sari
Sasti Gotama
Sastra Kuno Suku Sasak
Sastri Bakry
Satmoko Budi Santoso
Satu Jam Sastra
Satyagraha Hoerip
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSAstra Boenga Ketjil
Seni Gumira Ajidarma
Seni Rupa
Seno Gumira Ajidarma
Seputar Sastra Pendidikan
Sergi Sutanto
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sirdjanul Ghufron
Siwi Dwi Saputro
Slamet Rahardjo Rais
Soediro Satoto
Soekarno
Soeparno S. Adhy
Soesilo Toer
Soetanto Soepiadhy
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sosiawan Leak
Sri Handi Lestari
Sri Wintala Achmad
STKIP PGRI Ponorogo
Subagio Sastrowardoyo
Sudarmoko
Sujatmiko
Sukarno
Suminto A. Sayuti
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syahrudin Attar
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili
Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari
Sylvianita Widyawati
Tangguh Pitoyo
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater Ilat
Teater nDrinDinG
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Tias Tatanka
Timur Sinar Suprabana
Titi Aoska
Tiyasa Jati Pramono
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga
Toni Masdiono
Tri Broto Wibisono
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Tulus Wijanarko
Umar Fauzi
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Jember
Universitas Negeri Jember
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W.S. Rendra
Wage Daksinarga
Wahyu Aji
Warung Boengaketjil
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wiji Thukul
Wildan Nugraha
Wildana Wargadinata
Yanusa Nugroho
Yasraf Amir Piliang
Yerusalem Ibu Kota Palestina
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhi Herwibowo
Yuditeha
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Zainal Arifin Thoha
Zainuddin Sugendal
Zara Zettira ZR
Zehan Zareez
Zuhdi Swt
Tidak ada komentar:
Posting Komentar