Setelah mendengar kabar berpulangnya Mas Janus A. Satya, Inna lillahi wa inna ilayhi raji’un. Mendadak saya teringat catatan lama, atau sengaja kini di-re-post sebagai pengingat, kalau saya pernah mengupas meski sebatas kulit ari, atas karyanya. Selamat jalan menuju surga, sahabatku...
***
Adalah Janus A. Setya, lelaki kelahiran Kota Malang, 28 Februari, anak dari pasangan Prof. Drs. H. Sofyan Aman. SH (alm), dan Hj. Uswah Sacheh (alm), yang tinggal di Jakarta bersama istri tercintanya, Fien A. Satya.
Lelaki berkacamata, yang gemar dengan dunia tulis-menulis khususnya puisi, ini merupakan sosok lelaki periang. Perihal ini bisa dilihat dari bagaimana cara dia berkomunikasi dengan teman-temannya lewat Facebook, yang menggunakan bahasa candaan segar khas “kera-kera ngalam” (baca; bahasa keseharian orang Malang yang dibalik).
Dia juga lelaki agamis, untuk kesimpulan ini setidaknya saya ketahui dari betapa dirinya sangat menyukai sosok Gus Dur, selain dapat dilihat dari beberapa karya-karyanya, yang kebanyakan bernuansa religi. Sebut saja; JABAL RAHMAH (19 Mei 2010), MEMBURU MALAM (23 Agustus 2010), LEBARAN (27 Agustus 2010), TUNGGU AKU DI LANGGAR ITU (26 Mei 2010), dan LELAKI ANAK PURNAMA (7 Mei 2013).
Namun, bukan ‘seabreg’ karya tersebut yang hendak saya coba bahas. Terakhir di sebuah komunitas sastra tepatnya “Grup Puisi 2,7”, -sebuah grup yang di dalamnya ada semacam gerakan sastra pembaharuan, yang digawangi oleh Imron Tohari, kemudian diperkuat Cunong Nunuk Suraja, Hayat Abi Cikal, Mulyana Syarif, Qiu Blangkon, dan ada beberapa teman lain yang tak dapat saya sebutkan di sini- saya menemukan karya teranyar Janus A. Setya yang bertitel Mengejamu (21 Juli 2013).
***
Mengutip dari apa yang sudah diucapkan H.B. Jassin mengenai Puisi; “Puisi merupakan pengucapan dengan perasaan yang di dalamnya mengandung pikiran-pikiran dan tanggapan.” Dan menjumput kutipan dari apa yang ditulis sastrawan Jambi, Dimas Arika Miharja di dalam Manifesto: Proses Kreatif Penciptaan Puisi; “Puisi ialah gelegak riak jiwa, kesan-kesan perseptual, rekaman rangsang puitik yang tumbuh memutik di antara kelopak bunga kata. Sajak selalu bergerak serupa riak menjadi ombak, lalu bergulung serupa gelombang rasa dengan irama nada sebagai hasil olah pikir, dzikir, dan menafsirkan hidup dan kehidupan.”
Sepertinya, apa yang telah ditulis JAS (Jayus A. Setya) dalam puisinya “Mengejamu,” sudah dapat mewakili sebutan puisi yang oleh H. B. Jassin, dan Dimas Arika Miharja maksudkan. Berikut lengkap puisinya:
MENGEJAMU
alifku tak sampai
pada ha’ aku kapai-kapai
J A S / 2013
***
Sebetulnya, pesan apakah yang hendak disampaikan dalam puisi ini? Kemudian situasi serupa bagaimana yang tengah melandai hati dan pikirannya? Sebab dalam puisi tersebut, ada beberapa citraan mengeja; alif, ha.’ Selain itu, ada citraan gerak seperti kapai-kapai.
Membaca puisi dengan pemilihan judul “Mengejamu,” yang pada larik pertamanya ada huruf hijaiah “alif,” setelahnya di larik kedua ada huruf hijaiyah “ha.” Saya jadi teringat akan sebuah riwayat, kala Nabi Muhammad Saw., didatangi seorang lelaki Yahudi yang menanyakan makna dari huruf-huruf hijaiah, yang waktu itu kebetulan tengah bersama Amirul Mukminin Ali. Maka, lantas Nabi Muhammad memerintahkan kepada Ali untuk menjawabnya. “Setiap huruf hijaiah adalah nama-nama Allah;” kata Ali. Kemudian disambung menyebutkan satu-persatu arti dari “alif” hingga “ya.” Dalam riwayat ini juga dijelaskan, seorang Yahudi tersebut memeluk Islam setelah mendengar penjelasan dari Imam Ali bin Abi Thalib.
Namun, apa korelasi antara sifat-sifat Allah yang dijelaskan dalam riwayat tersebut, di setiap huruf hijaiah dengan puisi di atas?
Kalau ada di antara pembaca berpendapat atau merasakan kebingungan menelaah puisi 2,7, pun saya merasakan hal yang sama. Sebab puisi model ini, selain rumit dalam proses penciptaannya juga rumit ditelaah. Bagaimana tidak, puisi yang hanya dua larik, tetapi mengandung berlarik-larik pesan, pemikiran juga pembahasan. Karenanya, tidak bosan-bosannya saya berdecak kagum kepada pengkarya puisi “Mengejamu,” Janus A. Setya, dan pencetus Puisi 2,7; Imron Tohari.
Setelah melewati beberapa waktu perenungan mengenai isi puisi tersebut, sampailah saya pada kesimpulan dari beberapa tafsir yang ada mengenai makna huruf-huruf hijaiyah. Dan sepertinya, penyair menganalogikan kesatuan huruf hijaiyah, sebagai anak tangga dalam mengenal Allah Swt.
Lalu mengapa pada puisinya, penyair mengatakan; “Alifku tak sampai?” Bisa jadi sang penyair berpijak pada, “Man ‘Arafa Nafsahu Faqad ‘Arafa Rabbahu,” yang artinya; “Siapa yang kenal dirinya, akan mengenal Allah.” Alifku tak sampai, maksud tak sampai di sini, barangkali tidak sampainya mengenal Allah, hingga pada makna yang terdapat dalam huruf “ya.” Atau penyair merasa belum mengenal utuh diri pribadinya. Ini dijelaskan di larik kedua; “pada ha’ aku kapai-kapai.”
***
Benarkah ada manusia yang tidak mengenal dirinya sendiri? Jawabannya banyak. Kalau hanya mengenal siapa nama kita, siapa orang tua kita, dari kecil sudah mengetahui. Tentu saja bukan itu yang dimaksud. Diri yang dimaksud adalah diri sebenar diri, yang mendiami dalam raga (jasmani), ia ialah jiwa (rohani), yang ini erat kaitannya dengan tebal-tipisnya keimanan kita. Akhir kata, ini puisi renungan bernas!
Sukabumi, 20, Juli, 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar