Pendahuluan
Pembacaan terhadap semesta sastra
Mojokerto merupakan sebuah pembacaan yang tidak bisa diceraikan begitu saja
dari perjalanan sejarah bangsa ini dan perkembangan sastra Indonesia dari
generasi ke generasi. Mengingat, karya apa, siapa yang berkarya, serta siapa
pembacanya merupakan lingkaran tanpa putus identitas sastra itu sendiri.
pendekatan reseptif sastra (rezeptiongeschichate)
memberikan penandasan adanya lingkaran ini dengan meletakkan karya sastra dalam
keterlibatannya dengan karya lain maupun kedirian pengarangnya, berdasarkan
horizon harapan pembaca (Jabrohim, 2015:109).
Menelisik eksistensi Mojokerto dalam
peta sastra Indonesia umumnya, dan peta sastra Jawa Timur khususnya, pada
awalnya seakan memberikan penebalan pada fenomena dikotomi sastra kota besar
dan sastra pedalaman. Menilik letak geografisnya, tentu semesta sastra
Mojokerto eksis berada dalam lingkaran sastra pedalaman. Padahal jika dicermati
lebih mendalam lagi, tanpa perlu memicingkan dahi, sejatinya banyak
sastrawan-sastrawan yang lahir dan atau berproses kreatif di Mojokerto yang
karya-karyanya menembus peta sastra Indonesia, bahkan masuk dalam catatan
jurnal-jurnal sastra internasional.
Nama-nama empu (sastra) di era
Majapahit, Iesmanieasieta, Hardjono WS, Max Arifin, Chamim Kohari, Suyitno
Ethex, Dadang Ari Murtono, Moch. Asrori, Mufa Rizal, Niken Haidar, Iwan
Abdillah, Moh. Saroni, dll merupakan barisan panjang para sastrawan Mojokerto
yang memberi warna pada perkembangan semesta sastra di Kota Onde-Onde ini.
Tentang warna apa yang ditorehkan, serta sejauh mana tarikan garisnya dalam
menorehkan warna tersebut, ada baiknya mencermatinya dari paparan berikut ini.
Era
Majapahit
Widarmanto (2013:93) mengatakan bahwa
kemustahilan tradisi sastra muncul begitu saja, pasti ada tradisi yang telah
terbentuk bertahun-tahun lamanya sebelumnya. Artinya, menjamurnya kelahiran
karya sastra dan terbentuknya massa penikmat karya sastra di sebuah masa
merupakan sebuah keniscayaan dari tradisi yang telah terbentuk sebelumnya.
Artinya pula, semesta sastra yang dapat dinikmati dari Mojokerto saat ini
merupakan salah satu bentuk metamorfosa dari tradisi yang telah berkembang di
era-era sebelumnya. Salah satunya, tentu saja, era Kerajaan Majapahit.
Tradisi sastra di era Majapahit
merupakan tradisi mapan di kalangan istana dan menjadi salah satu piranti
pengendali massa dan menempatkan penguasa sebagai karakter setengah dewa yang untouchable dan dosa besar jika
dikudeta. Dua karya sastra yang menjadi masterpiece
di era keemasan Kerajaan Majapahit, Negarakertagama
karya Mpu Prapanca dan Sutasoma
karya Mpu Tantular menasbihkan pandangan ini.
Judul Negarakertagama sendiri yang secara harfiah bermakna ‘negara dengan
tradisi (agama) yang suci (Slamet Muljana, dkk, 1953:03) membawa pesan bahwa
kerajaan Majapahit merupakan sebuah negara (kerajaan) yang bersendi tradisi
(agama) yang mengikat raja dan rakyatnya. Raja Hayam Wuruk yang banyak dikisahkan
dalam karya sastra berbentuk kakawin ini
digambarkan sebagai pribadi yang arif dan bijaksana, manusia setengah dewa, dan
kebijakan-kebijakan pemerintahannya merupakan perpanjangan tangah kehendak dewa
yang menjadi sesembahan rakyat pada masa itu.
Di tahun 2008, UNESCO menetapkan Negarakertagama sebagai salah satu karya
memori dunia (kompas.com). Penetapan ini tentu telah melewati
sekian tahapan kuratorial dan motif yang menempatkan karya sastra yang lahir
dari jantung bumi Mojopahit ini layak menjadi rujukan dalam membangun peradaban
untuk generasi di masa mendatang.
Sedangkan karya sastra lainnya, Sutasoma, membawa spirit toleransi yang
menjadi arah politik pemerintahan kerajaan Majapahit baik ke dalam maupun ke
luar. Penobatan frasa bhineka tunggal ika
sebagai semboyan NKRI yang dinukil dari kakawin
karya Mpu Tantular ini bukan tanpa latar belakang. Selain menjadikan
toleransi sebagai spirit yang direaktualisasi, menjadikan karya sastra sebagai
media arah kebijakan pemerintahan sendiri pun dinapaktilasi oleh para founding fathers negara ini. Ternyata
tidak hanya sejarah yang menjadi milik penguasa, karya sastra pun bisa menjadi
‘milik penguasa’, keberadaan Sutasoma menjadi petandanya.
Mojokerto di era Kerajaan Majapahit
telah meletakkan pondasi tradisi sastra yang kuat. Selain ditandai dengan dua
karya sastra di atas, sekian banyak karya sastra (baik lisan maupun tulisan)
pun berkembang pesat di era ini. Folklor Ken
Arok-Ken Dedes, Panji, maupun Calon Arang berkembang pesat di era
Majapahit. Meski tidak dapat dipungkiri bahwa kisah-kisah folklor itu
bersetting Kerajaan Singasari dan Kerajaan Kediri, namun menemukan pesatnya
persebaran justru di era Kerajaan Majapahit (Indriati, 1998:53). Sedangkan
karya sastra yang berbentuk tulisan pun tercatat ada beberapa lagi selain di
atas, di antaranya adalah Arjunawijaya,
Kunjarakarna,Parthayajna, Pararaton, Sudayana, Sorandakan, Ranggalawe, Panji
Wijayakrama, Usana Jawa, Tantu
Panggelaran, Korawasrama, dll. (Darusuprapta,
1986:02).
Greget
Gregah
Sesirnanya Kerajaan Majapahit dari
percaturan sejarah diikuti pula dengan surut (bahkan raibnya) progresivitas
semesta sastra di bumi Mojokerto. Seiring dengan masuk dan perkembangan agama
Islam dan lahir-kembangnya Kerajaan Demak beserta pesisir utara Laut Jawa, bumi
Mojokerto pun mengalami kesunyian dari
hiruk-pikuk semesta sastra. Bahkan, hingga datangnya kolonialis Belanda dan
imperialisme Jepang, tidak ditemukan tanda-tanda berarti geliat semesta sastra
di kota ini. Lain lagi, jika di lain waktu ditemukan informasi yang memberikan
informasi dan keakuratan data pendukung yang memberikan fakta lain.
Hingga kemudian terbetiklah sebuah nama yaitu
Iesmaniesieta
(1933-2000), perempuan kelahiran Terusan, Gedeg, Mojokerto bernama lengkap Sulistyo
Utami Djojowisastro ini menjadi pembangkit gregah-nya
semesta sastra di Mojokerto dengan melahirkan karya-karya luar biasa. Dengan
mempergunakan Bahasa Jawa sebagai media penyampaiannya, tak kurang dari 500
judul puisi, 100 judul cerpen, dan 10 cerita bersambung menghiasi media-media
berbahasa Jawa yang terbit dengan lingkup nasional, di antaranya adalah Jayabaya, Panjebar Semangat, Djaka Lodhang,
Mekarsari, Tjrita Tjekak, Tjandrakiranan, Mekarsari, dan Waspada (Suwondo, 2004:15).
Proses kreatif kepenulisan seorang Iesmaniesieta yang
mewarnai semesta sastra Mojokerto diawali dari usia kemerdekaan Indonesia yang
masih seumur jagung, di sekitar tahun 1950-an. Beberapa buku karyanya adalah Kidung Wengi Ing Gunung Gamping (1958), Kringet Saka Tangan Prakosa (1974), Kalimput Ing Pedhut (1976), Mawar-Mawar Ketiga (1975), dll. Peraih
penghargaan Rancage di tahun 1999,
ini namanya sebelumnya tercatat di Dictionary
of Orienthal Literature (George Allen and Unwinn Ltd., London, 1974) dan Javanesse Literature Since Independen (J.J.
Raas, 1976) (sastra-indonesia.com).
Gregah-nya
sosok perempuan penyair dan cerpenis ini pun bak gayung bersambut dengan
migrasinya beberapa nama sastrawan ke bumi Mojokerto. Meskipun di wilayah
sebelumnya, beberapa nama berikut telah menunjukkan kegenialan dalam proses
kreatif kesusastraannya, namun dalam perikehidupan selajutnya di Mojokerto,
justru kegenialan tersebut semakin menjadi dan tidaklah berhenti. Beberapa nama
sastrawan tersebut adalah Aming Aminoedhin, Harjono WS, dan Max Arifin. Semesta
sastra Mojokerto pun kian menemukan denyut kehidupannya setelah sekian abad
mati suri.
Syahdan Aming Aminoedhin adalah penyair
kelahiran Ngawi, 22 Desember 1957. Pria yang bernama asli Mohammad Amir Tohar
ini mengawali jejak kesusastraannya dari tanah kelahirannya, lanjut ke Surabaya,
dan di awal tahun 2000 terdampat di bumi Mojokerto. Eks anggota Teater Persada
Ngawi, pengurus Dewan Kesenian Surabaya (DKS), Ketua Paguyuban Pengarang Sastra
Jawa Surabaya (PPJS), dan penggagas Forum Sastra Mojokerto (Forasamo) ini telah
menelurkan ratusan karya puisi dan dibacakan di beberapa kota di Indonesia.
Karya-karyanya tersebar di media-media massa nasional seperti Republika, Sriwijaya Post, Banjarmasin Post,
Horizon, Jawa Pos, dll serta beberapa media yang diterbitkan oleh lembaga
kesenian dan kebudayaan di Jawa Timur. Kumpulan puisinya bersama rekan penyair
lain; Husst, Nyenyet, Wajah Bertiga,
Reportase Sunyi, Pagelaran, Malsasa; Surabaya
Kotaku, Memo Putih, Tanah Kapur, Tanah Rengkah, Semangat Tanjung Perak, Kabar
Saka Bendulmrisi, Drona Gugat, dll. Sedangkan buku puisi tunggal pria yang
dijuluki sebagai ‘Presiden Penyair Jawa Timur’ oleh (alm) Prof. Suripan Sadi Hutomo ini adalah; Berjamaah Di Plaza,
Mataku Mata Ikan, Sajak Kunang-Kunang Dan Kupu-Kupu, Embong Malang, Tanpa Mripat, Kereta Puisi, dan Sketsa Malam (amingaminoedhin.blogspot.com).
Lain Aming Aminoedhin, lain pula Max
Arifin (1938-2007). Pria kelahiran Sumbawa Besar, 18 Agustus 1938 ini lebih
dikenal sebagai seorang teaterawan ketimbang sastrawan. Meskipun dari tangannya
banyak lahir karya-karya naskah drama dan buku-buku tentang teori perteateran,
baik karya sendiri maupun terjemahan. Di antaranya adalah Teater,
sebuah Pengantar (1990), Putri
Mandalika (naskah drama) 1988-1990, Matinya
Demung Sandubaya, Badai Sepanjang
Malam (1988), Teknik Baca Puisi,
sebuah Pengantar (1990), Balada Sahdi
Sahdia (naskah drama) (1992), Tumbal
Kemerdekaan (naskah drama) (1987), dll. Sedangkan, beberapa buku terjemahan
karyanya adalah Pemberontak oleh
Albert Camus (2000), Seratus Tahun Kesunyian
oleh Gabriel Garcia Marquez (2003), The
Shifting Point, Teater,Film dan Opera
oleh Peter Brook (2002), Menuju Teater
Miskin oleh Jerzy Grotowsky (2002), Seribu
Burung Bangau oleh Yasunari Kawabata (1978), maupun Orang Aneh oleh Albert Camus (1980), dan masih banyak lagi lainnya
yang belum diterbitkan (www.majapahitan2.blogspot.com). Seniman yang memiliki
nama asli Mohammad Arifin ini berdomisili di Perumahan Japan Raya, Kecamatan
Sooko, Kabupaten Mojokerto hingga tutup usia di usia 71 tahun.
Sedangkan Harjono WS (11 Maret 1945 – 23
Januari 2013) tidak kalah menariknya. Teaterawan kelahiran Bondowoso ini
dikenal dunia seni peran Indonesia sebagai salah satu pencetus madzab “teater
anak (pelajar) adalah teater bermain”. Madzab ini sadar atau tidak banyak
dijadikan landasan kelahiran dan proses kreatif komunitas-komunitas teater
pelajar di tanah air. Pribadi bersahaja yang menjadi penjabat pertama Dewan
Kesenian Kabupaten Mojokerto ini hingga akhir hayatnya mengabdikan diri pada
dunia seni dengan Padepokan Seni di Desa Jatidukuh, Kecamatan Gondang,
Kabupaten Mojokerto. Selain sebagai seniman teater, ternyata seorang Hardjono
WS juga seorang sastrawan dan perupa yang produktif. Karya-karya puisi dan
esainya menempati laman sastra media-media lokal hingga nasional. Sedangkan
beberapa karyanya yang dibukukan adalah Yuk
Bermain Teater, Celoteh Para Tikus dan Merpati (1995), dan beberapa
lainnya.
Sekedar menambahkan, sederet prestasi
beliau memang layak menginspirasi, di antaranya adalah Juara cipta puisi Jawa
Timur versi Dewan Kesenian Surabaya. Tiga naskah teater anak-anak juara Jawa
Timur versi Dewan Kesenian Surabaya. Tiga naskah teater anak-anak juara
nasional versi Dewan Kesenian Jakarta dan Pengembangan Kesenian di Jakarta. Dua
naskah teater dewasa juara nasional masing-masing versi Pengembangan Kesenian
dan Kebudayaan dan PGI di Jakarta.Naskah televisi juara nasional versi TVRI
Surabaya. Juara puisi nasional versi sebuah harian di Jakarta. Naskah teater
anak anak dan remaja juara Jawa Timur versi Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Jawa Timur di Surabaya. Dua naskah cerita pendek juara Jawa Timur
versi Dewan Kesenian Surabaya. Naskah Dongeng juara Indonesia versi BP7 Pusat
Jakarta. Naskah novel (cerita bersambung) Titik
Akhir juara indonesia versi harian Suara Pembaruan di Jakarta. Dua naskah
drama menjadi pemenang dalam Lomba Penulisan Naskah Drama Remaja oleh Taman
Budaya Jawa Timur, masing-masing Nimok
Aku Cinta Kamu dan Srikandi Edan.
Award khusus Teater dari Lembaga Indonesia Amerika. Naskah drama anak Layang-layang diterbitkan UNESCO Together In Dramaland bersama empat
belas pengarang Asia Pasifik mewakili penulis teater anak di Indonesia (henrinurcahyo.wordpress.com).
Tiga nama di atas memang merupakan
sebagian dari sastrawan-sastrawan yang bermigrasi ke Mojoketo dan meramaikan
semesta sastranya. Selain mereka juga ada nama Mohammad Asrori. Lahir di
Surabaya, , 24 Juni 1981. Guru SMN 2 Kota Mojokerto ini menulis cerpen, puisi,
dan esai. Puisi keroyokannya terhimpun dalam Festival Bulan
Purnama Majapahit (DKKM, 2010), Gugat (IKA Unesa, 2011), Berdoa Bersama (Tadarus Puisi DKKM, 2014), Memo
untuk Presiden (FSS, 2014), Menebar
Asa di Enam Musim (Pena House, 2014), Sang
Peneroka (Gambang, 2014), Merangkai
Damai (Nitramaya, 2015), Luka-Luka
Bangsa (PMU, 2015), Ensiklopegila
Koruptor (FSS, 2015), Kata Cookies
Pada Musim (Satu Kata, 2015), Kalimantan,
Rinduku yang Abadi (Pustaka Senja, 2015),
Memo Anti Terorisme (FSS,
2016), Gebyar Kasusastra, Antologi
Geguritan (Balai Bahasa Jatim, 2016), Makta
(FSS, 2017), dan Sang Perawi Laut (2018).
Buku kumpulan puisi tunggalnya Tiga
Postur Kota (Sarbi, 2015).
Ada juga nama Akhmad
Fatoni,
penerbit, peneliti, penulis, dan editor yang juga penyair ini memiliki
perhatian terhadap teater, musik, fotografi, dan film. Ia juga penggiat KAJ
(Komunitas Arek Japan). Selain itu, juga aktif di beberapa komunitas, di
antaranya Forseda (Forum Sebrang Dalan), grup musik STL (Sampan Tanpa Lautan),
dan Teater Lirih. Ia juga terlibat aktif dalam beberapa organisasi seperti di Lesbumi
cabang Mojokerto sebagai wakil ketua (2013-2018), Lesbumi Jatim sebagai
biro sastra (2013-2018) dan Dewan Kesenian Kabupaten Mojokerto (DKKM)
sebagai sekretaris bidang program (2014-2019). Lulusan S-2 Unair Surabaya
ini juga mendirikan Rumah Budaya Akhmad Fatoni (RBAF) untuk
pengabdiannya pada dunia literasi, kesusastraan, seni, dan budaya. Karyanya
pernah dimuat di buletin Tinta, majalah Tera, majalah
Ekspresi, Majalah Sarbi Kita, Majalah As-Syarif, Majalah Widyaswara,
Jurnal Rabo Sore, Jurnal KAJ, Jurnal Pena Indonesia, Radar Mojokerto,
Surabaya Post, Jawa Pos, Santri News, Pos Bali, dan Denpasar Post. Beberapa
puisinya juga bisa dibaca di antologi bersama, di antaranya Duka Muara
(KRS, 2008), Pesta Penyair Jawa Timur, (Dewan Kesenian Jawa Timur,
2009), Si Pencari Dongeng (Dewan Kesenian Surabaya, 2010), Tabir
Hujan, (Pustaka Ilalang, 2010). Antologi Puisi Festival Bulan
Purnama Majapahit, (Dewan Kesenian Kabupaten Mojokerto, 2010), Antologi
Puisi Penyair Mojokerto, (Wahyu Pustaka, 2011), Pedhut Lirang, (KKL,
2012), Piknik Becak Cinta, (KKL, 2013), Tasbih Hijau Bumi (Lesbumi
Jatim, 2014), Ojek Payung dan Puisi Kami (KKL, 2015). Kalau cerpennya
dalam antologi bersama bisa dibaca pada, Tentang Kami Para Penghuni Sorter,
(KKL, 2011) dan Pada Suatu Senja yang Mesrah (KKL, 2015). Sedangkan buku
puisinya yang telah terbit yaitu Lengan Lirang (KKL, 2012) dan Tembang
Dolanan (Oksana Publising, 2015). Buku esai tunggalnya Kredo Mimpi
(Griya Pustaka, 2014). Sementara, buku antologi cerpennya adalah Meja Nomor
8 (MNC, 2016).
Sebenarnya masih banyak nama sastrawan
muda lainnya yang mengharu biru semesta sastra Mojokerto dengan aksi-aksi tak
putus dalam Komunitas Arek Japan (KAJ),
Forasamo, Forseda, LISSTRA, maupun lainnya, serta dalam agenda periodik Terminal Sastra. Di antaranya adalah
Syaiful Bachri, Nasrullah Habibi, Suyitno Ethex, Ira Suyitno, Chamim Kohari,
Mufa Rizal, Aris Rahman Yusuf, Alvi N Dyna, Bagoes Sambudi, Bagus Mahayasa,
Pungki Wardhani, serta lainnya. Akan tetapi, terbatasnya ruang ini tak dapat
dipungkiri membelenggu hasrat untuk menghadirkan keseluruhan wajah semesta
sastra Mojokerto di hari ini.
Namun menjadi tak lengkap jika membaca
semesta Mojokerto dengan melewatkan sebuah nama yaitu Dadang Ari Murtono.
Cerpenis, Novelis, dan penyair flamboyan kelahiran Sajen, Pacet, Mojokerto, 28
Maret 1984 ini hampir setiap bulan ada saja karyanya berulang kali menembus
media massa nasional. Lelaki yang baru saja mengakhiri petualangan
kelajangannya ini juga baru saja mengikuti program Residensi Penulis Indonesia 2018 yang diselenggarakan Komite Buku
Nasional dan Beasiswa Unggulan Kemendikbud. Beberapa karyanya Wisata Buang Cinta
(2013), Adakah Bagian dari Cinta yang
Belum Pernah Menyakitimu (2015), Ludruk
Kedua (2016), Samaran (2017). Saat
ini bekerja penuh waktu sebagai penulis dan bermigrasi ke Surabaya.
Puber
Kedua
Ada gejala yang menarik dua tahun ini di
semesta sastra Mojokerto, yaitu merebaknya gejala puber kedua. Gejala ini
secara kasat mata terlihat dari meruahnya buku-buku karya sastrawan baru dalam
semesta sastra Mojokerto, namun kebaruan wajah ini berbanding terbalik dengan
jumlah usia masing-masing dari mereka. Mereka tak muda lagi, mereka bukan
generasi milenial yang mengagumi quote-quote
Tere Liye. Mereka adalah Mohammad Saroni, Annis M Tarom, Agus Pramono, Niken
Haidar, Lilik MH, Sri Wahyuni Utami, Supriyadi Bro, Nur Chasanah, Damanhuri,
Siti Rohmah Wahyuni, dll.
Berangkat dari kegelisahan masing-masing
yang kemudian diwadahi dalam sebuah agenda workshop kepenulisan yang diampu
Dadang Ari Murtono di tahun 2017, para ibu-ibu dan bapak-bapak, ini seakan
menemukan oase berupa kebersamaan dalam pergesekan proses kreatif kesusastraan.
Adalah sebuah fenomena unik bahwa di usia yang tak lagi muda ternyata hasrat
untuk menulis cerpen maupun puisi ternyata masih meruap-meluap. Namun, latar
belakang status profesi berikut atribut sosial kemasyarakatan terkadang
mengurangi keliaran tumbuh-kembang imajinasi kreatif. Baru, ketika merasa bahwa
‘mereka tak sendiri’ imajinasi itu mampu dilahirkan dalam karya-karya yang
menawan hati pembacanya.
Dalam kurun waktu yang relatif singkat,
kurang dari dua tahun terakhir ini, belasan buku karya bersama dan atau tunggal
lahir dari pribadi-pribadi yang menemukan cintanya kembali dalam fase usia
puber kedua. Beberapa buku yang merupakan karya bersama di antaranya adalah Cerita-Cerita Dari Empunala (2017), Sehimpun Cerita Vania dan Velita (2017),
Lelaki Kupu-Kupu dan Sahabat Sania (2017),
Jurnal Cinta (2017), Bupati Roller Coaster dan Sandal Jepit Ayu
(2017), Sang Perawi Laut (2018), Sepasang Merpati dari Bukit Tsur (2018), Melipat Waktu (2018), Cerita-Cerita Dari
Kranggan (2018), dll. Sedangkan,
beberapa karya tunggal di antaranya adalah Mohammad Saroni Surat Cinta Untuk Aimel (2017), Kata-Kata
Lelaki (2017).
Adalah satu yang patut disayangkan bahwa
semesta sastra Mojokerto hanya bisa dinikmati selayang pandang. Mungkin jika
tak ada aral yang melintang, semesta itu akan hadir dalam sebuah wacana yang
lebih utuh (lagi).
***
Trowulan-Mojokerto,
Agustus 2018
*)
Penulis, Founder Lingkar Studi Sastra Setrawulan (LISSTRA).
Daftar
Pustaka:
Darusuprapta.
1986. “Periodisasi Sastra Jawa Berdasarkan
Sejarah sastra Jawa”, makalah pada Seminar Bulan Bahasa 23 Oktober 1986 di
Balai Penelitian Bahasa Yogyakarta
Indriati,
Made Sri. 1998. “Keterkaitan Penyebaran Cerita
Panji dengan Migrasi Penduduk Jawa”, dalam Jurnal Aneka Widya, STKIP
Singaraja, No. 2 Tahun XXXI, April.
http://amingaminoedhin.blogspot.com/2008/06/profil-saya.html
(diakses
pada tanggal 02 Agustus 2017)
https://henrinurcahyo.wordpress.com/2013/01/28/hardjonoisme-hardjono-ws/
(diakses pada tanggl 14 September 2016)
http://majapahitan2.blogspot.com/2006/05/biodata-max-arifin.html
(diakses
pada tanggal 04 Maret 2017)
https://nasional.kompas.com/read/2008/05/24/08444424/negarakertagama.diakui.sebagai.memori.dunia (diakses pada tanggal 16/09/2013)
http://sastra-indonesia.com/2009/04/mengenang-st-iesmaniasita-mutiara-yang-terlupakan-dari-mojokerto/
(diakses
pada tanggal 22 Juli 2016)
Jabrohim,
dkk. 2015. Teor Penelitian Sastra. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Muljana,
Slamet, dkk,. 1953. Prapantja: Nagarakretagama. Jakarta: Balai Pustaka.
Suwondo,
Tirto, dkk. 2004. Antologi Biografi
Pengarang Sastra Jawa Modern. Yogyakarta: Balai Bahasa Yogyakarta.
Widarmanto,
Tjahjono. 2013. Masa Depan Sastra: Mosaik
Telaah dan Pengajaran Sastra. Sidoarjo: Satu Kata Books.
Catatan
Tambahan:
1. Tulisan
ini pernah dimuat di Majalah KIDUNG - Dewan Kesenian Jawa Timur (DKJT) edisi 40
Desember 2018.
2. Dadang
Ari Murtono sekarang mukim di Yogyakarta per akhir 2019.
http://sastra-indonesia.com/2020/02/selayang-pandang-semesta-sastra-mojokerto/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar