Rinto Andriono *
Bulu-bulunya menegang saat Laksmi menggamit Pongo untuk kembali menghutan. Pongo yang masih kecil, enggan mengikuti ibunya. Ia masih sibuk menghisap daging ubi yang manis, ransum dari taman nasional. Namun, hati Laksmi sudah terpanggil ke sisi lain hutan.
"Waktunya hadir!" tukas Laksmi.
Laksmi dan Pongo adalah orang utan di Taman Nasional Sebangau. Saat kemarau seperti ini hutan penuh asap, banyak pohon terbakar. Mereka kesulitan memperoleh makanan. Laksmi dan Pongo sering hanya mengandalkan sedikit ubi dan pisang dari Taman Nasional, sekedar untuk ganjal perut. Makanan sedang susah didapat.
Pongo dan kawan-kawan sudah bosan menyantap umbut sawit di luar Taman. Mereka rindu akan pucuk daun dan buah yang manis. Makanan yang tidak menyisakan bilur pegal dan ruam panas di badan, bekas siksaan para mandor. Orang-orang utan sudah berkumpul di Pohon Agung di penjuru Taman. Para orang utan Barian sudah memimpin “litani”, mereka menyerahkan jiwa dan tubuh yang sedang kelaparan ini pada Sang Roh yang kali ini mewujud sebagai Pohon Agung.
Pohon Agung adalah pohon berbuah buni dan berbiji lezat yang disukai orang utan, tupai dan burung-burung. Batangnya besar, dahannya kekar, kulit batangnya obat yang mujarab, kanopinya yang rimbun merupakan rumah buat aneka satwa dan termasuk orangutan. Akarnya kuat dan menancap dalam untuk menahan posturnya yang tinggi besar. Pohon Werkodara demikian Kasih dan Miranti menyebutnya.
Para Barian mulai kesurupan, mereka berayun, melolong, meraung dan terus menerus mencoba meraih dahan, daun dan ranting pohon. Ini pohon bukan sembarang pohon, ini adalah “Pohon Tempat Memohon”. Mereka memberikan ruang seluas-luasnya bagi roh untuk menguasai tubuh para orang utan. Meskipun mereka seolah kesurupan, tetapi pada hati mereka hanya ada ketulusan. Begitulah hati para satwa, mereka memakan umbut sawit hanya karena lapar belaka. Mereka lakukan itu semata-mata untuk bertahan hidup, tetapi mandor yang tertekan melihat ini dengan cara yang berbeda. Mandor kebun melihat ini sebagai pencurian, sebagai sebuah konspirasi para orangutan untuk membuat mereka sengsara.
Orang-orang utan itu selalu tanpa pretensi pada setiap hal yang mereka lakukan. Mereka mungkin mencuri, merebut dan merampas, tetapi itu hanya karena lapar semata. Titik. Tidak pernah sekali pun terlintas dalam benak mereka untuk menimbun, serakah bahkan mengerjai para mandor yang sudah kelebihan beban kerja. Bila sudah makan kenyang, cukup untuk hidup, mereka akan berhenti. Begitulah, itu terjadi secara alamiah belaka. Mereka tidak pernah risau dengan hari esok. Mereka begitu yakin dengan besok.
“Roh pasti akan memelihara kita.” kata Barian tertua “Dia hadir di mana-mana, sebagai yang baik dan yang buruk.”
“Dia yang kita takuti, tapi sekaligus yang kita rindukan,” lanjut orang utan Barian perempuan.
“Dia yang menubuh dalam bentuk mandor sawit yang kejam atau Dokter Miranti yang mengobati bilur dan ruam,” bisik Laksmi pada Pongo, agar orang utan kecil itu lebih waspada.
Litani para orang utan segera selesai sudah. Mereka bukan sedang menggugat Sang Roh atas kebakaran dan kelaparan yang berkepanjangan ini. Mereka tak pernah menggugat. Mereka tidak pula sedang memohon azab bagi para mandor yang kejam atau para cukong sawit yang serakah. Mereka bukan pendendam. Mereka hanya menyerahkan diri mereka pada keseimbangan alam.
****
Miranti terbangun dari tidurnya, dia berpeluh di tengah malam yang dingin. Nafasnya tersengal-sengal. Di dalam kepala Miranti masih menggema bisikan Lukman.
“Mir, pergilah ke Pohon Tempat Memohon! Bawa serta Kasih bersamamu.” Kata-kata Lukman begitu bening mengiang dalam tidurnya.
Dia sudah tidak bisa lagi memicingkan mata. Malam terlalu rusuh dan hatinya sudah terlalu resah. Baru-baru ini dia sering bermimpi tentang Lukman, suaminya yang menghilang di tengah rimba raya sejak tiga tahun yang lalu. Berpuluh tim pencari sudah menghutan untuk mencari suaminya, namun sampai kehabisan perbekalan, hasilnya selalu nihil.
Dokter Miranti bekerja dengan WWF untuk Taman Nasional, sebagai perawat kesehatan orang-orang utan. Kedukaan mendalam karena kehilangan kekasihnya membuat Miranti enggan kembali ke Bogor, kota kelahirannya, tempat Miranti menyelesaikan kuliahnya. Pengetahuannya tentang siloka yang diwarisi dari para Karuhun membuat Miranti meyakini bahwa kekasihnya masih hidup di suatu tempat di hutan raya Kalimantan ini, dia sedang mempersiapkan sesuatu untuk masa depan Miranti dan anaknya, kehidupan yang pernah mereka impikan. Hidup menyatu dengan hutan. Untuk itu, dia dan anaknya hanya perlu menunggu waktunya tiba.
“Lukman, aku tahu kau akan datang untuk kami, tapi kapan? Aku sudah lelah,” ratap Miranti sambil mendekap Kasih, putri kecilnnya, yang lelap di sebelahnya.
Hutan raya seolah bertingkat-tingkat. Pada pesisirnya terdapat selapis hutan bakau, akar-akar nafasnya begitu kokoh menghujam muka laut yang dangkal. Kepiting, udang, ikan dan ular hidup makmur berlimpah ruah makanan di bawah akarnya. Semuanya saling tergantung, saling menjaga dan saling melindungi. Hutan bakau adalah rumah bagi bekantan, sepupu orang utan, monyet berhidung besar merah muda yang lebih banyak mendiami pesisir. Lengannya yang panjang dan kokoh menjadikannya mudah hidup di hutan bakau yang padat.
Bila kita menghulu lagi, akan kita temukan hutan primer, tempat tinggal para orang utan. Tanahnya legam menghitam kaya akan asam dari daun-daunan yang telah membusuk. Akar-akar tunggang menghujam vertikal, didukung oleh akar-akar kekar yang menjalar horizontal seolah saling berangkulan. Akar-akar itu seakan membentuk jaringan hidup yang aktif. Bila satu bagian disakiti maka akan ada reaksi dan kompensasi di bagian yang lain. Mereka seolah bernyawa dan berkomunikasi satu pohon dengan pohon lainnya.
Bila satu pohon ditebang, maka timbullah satu titik mati di antara sekian banyak jaringan neuron yang riuh berkomunikasi. Bila satu bidang terbakar maka akan terasa sakitlah semuanya. Jaringan akar yang sehat akan menebal dan berusaha membuat perlindungan. Namun, bila banyak bidang yang telah terbabat, maka akan rusaklah jaringan neuron yang lebih besar. Akibatnya hutan menjadi kebingungan dalam merespon pesan. Hutan yang bingung akan kehilangan daya adaptasinya pada lingkungan. Tiap-tiap pohon-pohon seolah bersenandung sendiri-sendiri, tak berirama. Mereka tidak bisa lagi menyanyikan syair merdu pemujaan kepada Sang Roh. Mereka menjadi hutan yang bersuara sumbang.
Hutan yang bernyanyi dengan parau inilah yang didengar oleh para orang utan yang tadi berkumpul melakukan litani. Hal ini tidak bisa didengar oleh manusia yang terlalu banyak pretensi dan praduga. Hanya mahluk yang tanpa pretensilah yang bisa mendengarkan nyanyian hutan dan riuhnya komunikasi di dalam jaringan "neuro"n akar-akar pohon. Hanya merekalah yang bisa mendengar suara bariton pohon mahoni tua, suara sopran pohon ulin yang kokoh atau suara tenor pohon meranti yang tinggi langsing. Pada hutan yang sehat, suara-suara itu menjadi sebuah choir yang merdu.
****
Kasih bak burung kedasih kecil yang riang gembira, anak itu pengunjung setia Taman Nasional, dia tinggal di dekat Taman Nasional bersama ibunya yang menjadi dokter hewan di sana. Semenjak di dalam kandungan ibunya, ia telah ditinggalkan oleh bapaknya secara misterius. Namun Kasih tak pernah merasa kesepian, meskipun dia lahir yatim dan ia lebih banyak bergaul dengan orang-orang dewasa kawan kerja ibunya serta para orangutan tentunya. Kasih tumbuh alamiah dan riang.
“Aku akan pergi sebentar. Jaga baik-baik anak kita, ya,” suatu hari Lukman berkata kepada Miranti.
“Apakah kau tidak bisa menunda kepergianmu?” sergah Miranti.
“Tidak, aku hanya hendak memenuhi bhaktiku.”
“Tetapi terlalu berbahaya, mereka sedang mencarimu.”
“Sang Roh adalah segala cahaya, aku hanyalah pantulan cahaya-Nya.”
“Ya, tetapi situasi Taman Nasional sedang genting,” cegah Miranti atas niat Lukman.
“Cahaya yang membimbingku ke sana segera.”
“Mereka sedang memperluas kebun sawitnya hingga ke dalam wilayah taman, Roh memang sudah membimbingmu tapi bisakah kau melakukannya nanti?”
“Tidak bisa, Sayang, mungkin dharmaku sedang dibutuhkan hutan ini sekarang, percayalah!”
“Ya, tetapi waktunya itu lho, yang tidak tepat!”
Lukman tidak menggubris argumen Miranti. Kemudian hening melingkupi keduanya, mereka terdiam menahan amarah masing-masing, tetapi sayup-sayup terdengar chorus yang makin lama makin lirih namun parau. Itu adalah nyanyian hutan yang sedang sekarat. Orang-orang utan yang tanpa pretensi paham benar dengan suara itu. Para Barian mereka kemudian kembali memimpin litani.
Itu adalah perdebatan terakhir Lukman dengan Miranti. Beberapa orang kawan-kawan pegiat lingkungan menduga Lukman telah dilenyapkan di tengah prahara yang melanda hutan. Sebagai bentuk balas dendam dari para mandor kebun karena Lukman telah giat menggalang perlindungan bagi orang utan. Beberapa orang mempercayai bahwa Lukman sebagai pelaku sabotase terhadap perluasan kebun sawit yang jauh menjorok ke Taman Nasional. Namun tidak ada yang bisa membuktikan kebenarannya.
Namun, semua kisah sedih di atas tidaklah mempengaruhi masa kecil Kasih. Sebagai anak yang selalu ingin tahu, Kasih sering mengikuti perjalanan para jagawana memberikan ransum pada orangutan. Kasih begitu menyukai rutinitas itu. Bahkan dia sering tidak menghabiskan makanan bekal makan siangnya. Dia sangat suka menyisakan bekal untuk Pongo. Mereka adalah dua mahluk berlainan spesies, tetapi mereka nampak seperti telah lama saling kenal. Mereka sering saling mengulurkan tangan, bertukar ubi dengan roti. Kadang mereka kedapatan sedang bermain bersama. Sementara Laksmi dan Miranti sama-sama hanya mengawasi dari kejauhan.
Laksmi adalah orang utan betina dewasa, sudah hampir dua dekade hidup di Taman Nasional Sebangau. Di balik bulunya, tubuh Laksmi penuh dengan carut bekas luka, yang dia peroleh dari para mandor, semenjak maraknya perkebunan sawit di situ. Berangkat dari pengalaman itulah, Laksmi menjadi orang utan yang selalu waspada. Nyawanya pernah hampir meregang bila tidak diselamatkan oleh para jagawana, akibat siksaan mandor yang kejam. Dokter Mirantilah yang memberinya nama Laksmi. Dia adalah salah satu induk orang utan di Taman dan sekaligus penyintas yang ulet.
****
Kebakaran hutan tahun ini sungguh hebat. Kebakaran terjadi bersamaan dengan pembangunan ibu kota yang baru. Ibu kota yang lama telah terlampau banyak beban. Pemerintah meniatkan membangun ibu kota yang baru dengan konsep baku sanding antara manusia dengan alam, namun sepertinya, operasionalisasi konsep baku sanding tersebut banyak kecolongan dalam realisasi. Konsep itu berhadapan dengan mahluk super pretensius bernama manusia. Manusia adalah mahluk yang sangat penuh dalih, kepura-puraan dan niat tersembunyi. Kebakaran adalah cara yang paling ekonomis untuk membuka hutan.
Taman Nasional Sebangau pun ikut terbakar hebat. Bara api begitu dalam dan luas membakar jaringan neuron akar. Hutan bernyanyi semakin lirih dan parau. Hutan semakin sekarat. Orang-orang mengungsi keluar kota atau bersembunyi di dalam rumah. Bagi yang tidak memiliki kemewahan bermigrasi, mereka bersembunyi saja di dalam rumah. Celah-celah jendela dan pintu, lubang-lubang angin dan semua peluang bagi pertukaran udara pun diisolasi. Manusia melindungi oksigen yang sangat berharga tetap di dalam ruangan. Mereka tidak mengijinkan sedikit pun pertukaran dengan karbondioksida. Penghasil oksigen tutup, dia sedang sekarat.
Miranti sangat berat hati untuk mengungsi. Perasaannya akan kehadiran Lukman justru semakin menguat di saat genting ini. Namun demi kesehatan Kasih, Miranti pun terpaksa memesan tiket pesawat dengan masygul. Menghadapi kenyataan seperti ini, hati Miranti seperti hendak terbelah ke dua sisi yang berbeda. Intuisinya mengajaknya tetap di sini untuk tetap dekat dengan Lukman namun rasionya berkata lain. Penampakan Lukman semakin nyata di dalam mimpi dan lamunannya. Dia semakin mengejawantah dalam keseharian Miranti. Seolah dia menemani.
Seolah lebih dekat dengan intuisi ibunya, Kasih pun nampak bergeming untuk pergi dari Taman Nasional Sebangau. Kasih selalu mengkhawatirkan nasib Pongo.
“Ayo, kita ke tempat pemberian ransum!” rengek Kasih.
Beberapa hari ini, karena kelangkaan pasokan bahan baku, Manajer Taman menghentikan pemberian ransum sementara.
“Tapi tidak ada jagawana yang memberikan ransum di sana,” kata Miranti.
“Aku ingin Pongo.”
“Para jagawana sedang sibuk, mereka membantu manggala agni untuk memadamkan api.”
“Ya…kita saja yang ke sana.”
Akhirnya Miranti pun menyerah. Namun dia membuat semacam penawaran pada Kasih.
“Tapi setelah itu, Kasih mau ikut ya. Kita pergi ke Bogor.”
Kepala Kasih mengangguk, tapi hatinya tidak mengiyakan ibunya. Ia seolah melihat jalan keselamatan yang lain, yang tidak bisa ia ceritakan pada ibunya, paling tidak untuk saat ini.
Miranti memasangkan masker penyaring udara menutupi hidung dan mulut Kasih. Tempat pemberian ransum hanya jarak yang dekat saja, jarak jalan kaki. Namun kali ini terasa sangat jauh. Miranti sangat merasa tidak aman. Dia membawa beberapa tabung oksigen kecil di dalam ranselnya, bersama air dan sedikit kudapan berenergi. Taman Nasional gelap dan sangat berasap. Udara amat panas, mereka berpeluh. Langit pun jingga, seolah turut terbakar.
Sebentar kemudian mereka sudah tiba di tempat pemberian ransum. Tempat yang biasanya ramai, kini sepi dan kelabu. Tidak ada reriungan para orangutan seperti biasanya.
“Pongo, sini dong.” celoteh Kasih dengan riang. Ibunya masygul membisu. Angin bertiup membawa asap yang semakin tebal. Dua sosok nampak tertatih datang dari kejauhan. Pongo dan Laksmi nampak datang menghampiri.
“Kamu lapar, Pongo?”
Kasih mengeluarkan bekal kudapan mereka. Rasio ibunya hendak melarang Kasih, tetapi sepertinya rasio itu sudah bertekuk lutut pada intuisinya. Miranti mencium bau Lukman. Bau yang dahulu pernah tercium dengan hidung dan kini hanya terekam dalam kenangan.
“Baumu sekarang dapat kurasakan kembali dengan hidung,” gumam Miranti.
Langit semakin jingga. Udara semakin panas. Mereka semakin berpeluh. Gerah rusuh suasana hati Miranti. Miranti pingsan. Laksmi tampak membimbing tangan Pongo dan Kasih, mereka pergi menjauh.
Lukman nampak segar bugar, dia menggendong Kasih yang memanggilnya Pongo.
“Biarkan ibumu menyelesaikan moksanya,” kata Lukman sambil mencubit hidung Kasih.
Kasih melirik ibunya, Miranti sedang terbaring dengan landasan akar besar “Pohon Tempat Memohon”. Langit jingga telah menjadi merah.
_____________
*) Rinto Andriono adalah seorang konsultan UNDP untuk Indonesia, dulu ia adalah seorang aktivis anti korupsi yang militan di GeRAK Indonesia. Pasca terserang stroke, ia kemudian mengambil keputusan untuk belajar menulis sastra di Akademi Menulis-Dunia Sastra Kita.
http://sastra-indonesia.com/2020/02/pohon-pongo/
Bulu-bulunya menegang saat Laksmi menggamit Pongo untuk kembali menghutan. Pongo yang masih kecil, enggan mengikuti ibunya. Ia masih sibuk menghisap daging ubi yang manis, ransum dari taman nasional. Namun, hati Laksmi sudah terpanggil ke sisi lain hutan.
"Waktunya hadir!" tukas Laksmi.
Laksmi dan Pongo adalah orang utan di Taman Nasional Sebangau. Saat kemarau seperti ini hutan penuh asap, banyak pohon terbakar. Mereka kesulitan memperoleh makanan. Laksmi dan Pongo sering hanya mengandalkan sedikit ubi dan pisang dari Taman Nasional, sekedar untuk ganjal perut. Makanan sedang susah didapat.
Pongo dan kawan-kawan sudah bosan menyantap umbut sawit di luar Taman. Mereka rindu akan pucuk daun dan buah yang manis. Makanan yang tidak menyisakan bilur pegal dan ruam panas di badan, bekas siksaan para mandor. Orang-orang utan sudah berkumpul di Pohon Agung di penjuru Taman. Para orang utan Barian sudah memimpin “litani”, mereka menyerahkan jiwa dan tubuh yang sedang kelaparan ini pada Sang Roh yang kali ini mewujud sebagai Pohon Agung.
Pohon Agung adalah pohon berbuah buni dan berbiji lezat yang disukai orang utan, tupai dan burung-burung. Batangnya besar, dahannya kekar, kulit batangnya obat yang mujarab, kanopinya yang rimbun merupakan rumah buat aneka satwa dan termasuk orangutan. Akarnya kuat dan menancap dalam untuk menahan posturnya yang tinggi besar. Pohon Werkodara demikian Kasih dan Miranti menyebutnya.
Para Barian mulai kesurupan, mereka berayun, melolong, meraung dan terus menerus mencoba meraih dahan, daun dan ranting pohon. Ini pohon bukan sembarang pohon, ini adalah “Pohon Tempat Memohon”. Mereka memberikan ruang seluas-luasnya bagi roh untuk menguasai tubuh para orang utan. Meskipun mereka seolah kesurupan, tetapi pada hati mereka hanya ada ketulusan. Begitulah hati para satwa, mereka memakan umbut sawit hanya karena lapar belaka. Mereka lakukan itu semata-mata untuk bertahan hidup, tetapi mandor yang tertekan melihat ini dengan cara yang berbeda. Mandor kebun melihat ini sebagai pencurian, sebagai sebuah konspirasi para orangutan untuk membuat mereka sengsara.
Orang-orang utan itu selalu tanpa pretensi pada setiap hal yang mereka lakukan. Mereka mungkin mencuri, merebut dan merampas, tetapi itu hanya karena lapar semata. Titik. Tidak pernah sekali pun terlintas dalam benak mereka untuk menimbun, serakah bahkan mengerjai para mandor yang sudah kelebihan beban kerja. Bila sudah makan kenyang, cukup untuk hidup, mereka akan berhenti. Begitulah, itu terjadi secara alamiah belaka. Mereka tidak pernah risau dengan hari esok. Mereka begitu yakin dengan besok.
“Roh pasti akan memelihara kita.” kata Barian tertua “Dia hadir di mana-mana, sebagai yang baik dan yang buruk.”
“Dia yang kita takuti, tapi sekaligus yang kita rindukan,” lanjut orang utan Barian perempuan.
“Dia yang menubuh dalam bentuk mandor sawit yang kejam atau Dokter Miranti yang mengobati bilur dan ruam,” bisik Laksmi pada Pongo, agar orang utan kecil itu lebih waspada.
Litani para orang utan segera selesai sudah. Mereka bukan sedang menggugat Sang Roh atas kebakaran dan kelaparan yang berkepanjangan ini. Mereka tak pernah menggugat. Mereka tidak pula sedang memohon azab bagi para mandor yang kejam atau para cukong sawit yang serakah. Mereka bukan pendendam. Mereka hanya menyerahkan diri mereka pada keseimbangan alam.
****
Miranti terbangun dari tidurnya, dia berpeluh di tengah malam yang dingin. Nafasnya tersengal-sengal. Di dalam kepala Miranti masih menggema bisikan Lukman.
“Mir, pergilah ke Pohon Tempat Memohon! Bawa serta Kasih bersamamu.” Kata-kata Lukman begitu bening mengiang dalam tidurnya.
Dia sudah tidak bisa lagi memicingkan mata. Malam terlalu rusuh dan hatinya sudah terlalu resah. Baru-baru ini dia sering bermimpi tentang Lukman, suaminya yang menghilang di tengah rimba raya sejak tiga tahun yang lalu. Berpuluh tim pencari sudah menghutan untuk mencari suaminya, namun sampai kehabisan perbekalan, hasilnya selalu nihil.
Dokter Miranti bekerja dengan WWF untuk Taman Nasional, sebagai perawat kesehatan orang-orang utan. Kedukaan mendalam karena kehilangan kekasihnya membuat Miranti enggan kembali ke Bogor, kota kelahirannya, tempat Miranti menyelesaikan kuliahnya. Pengetahuannya tentang siloka yang diwarisi dari para Karuhun membuat Miranti meyakini bahwa kekasihnya masih hidup di suatu tempat di hutan raya Kalimantan ini, dia sedang mempersiapkan sesuatu untuk masa depan Miranti dan anaknya, kehidupan yang pernah mereka impikan. Hidup menyatu dengan hutan. Untuk itu, dia dan anaknya hanya perlu menunggu waktunya tiba.
“Lukman, aku tahu kau akan datang untuk kami, tapi kapan? Aku sudah lelah,” ratap Miranti sambil mendekap Kasih, putri kecilnnya, yang lelap di sebelahnya.
Hutan raya seolah bertingkat-tingkat. Pada pesisirnya terdapat selapis hutan bakau, akar-akar nafasnya begitu kokoh menghujam muka laut yang dangkal. Kepiting, udang, ikan dan ular hidup makmur berlimpah ruah makanan di bawah akarnya. Semuanya saling tergantung, saling menjaga dan saling melindungi. Hutan bakau adalah rumah bagi bekantan, sepupu orang utan, monyet berhidung besar merah muda yang lebih banyak mendiami pesisir. Lengannya yang panjang dan kokoh menjadikannya mudah hidup di hutan bakau yang padat.
Bila kita menghulu lagi, akan kita temukan hutan primer, tempat tinggal para orang utan. Tanahnya legam menghitam kaya akan asam dari daun-daunan yang telah membusuk. Akar-akar tunggang menghujam vertikal, didukung oleh akar-akar kekar yang menjalar horizontal seolah saling berangkulan. Akar-akar itu seakan membentuk jaringan hidup yang aktif. Bila satu bagian disakiti maka akan ada reaksi dan kompensasi di bagian yang lain. Mereka seolah bernyawa dan berkomunikasi satu pohon dengan pohon lainnya.
Bila satu pohon ditebang, maka timbullah satu titik mati di antara sekian banyak jaringan neuron yang riuh berkomunikasi. Bila satu bidang terbakar maka akan terasa sakitlah semuanya. Jaringan akar yang sehat akan menebal dan berusaha membuat perlindungan. Namun, bila banyak bidang yang telah terbabat, maka akan rusaklah jaringan neuron yang lebih besar. Akibatnya hutan menjadi kebingungan dalam merespon pesan. Hutan yang bingung akan kehilangan daya adaptasinya pada lingkungan. Tiap-tiap pohon-pohon seolah bersenandung sendiri-sendiri, tak berirama. Mereka tidak bisa lagi menyanyikan syair merdu pemujaan kepada Sang Roh. Mereka menjadi hutan yang bersuara sumbang.
Hutan yang bernyanyi dengan parau inilah yang didengar oleh para orang utan yang tadi berkumpul melakukan litani. Hal ini tidak bisa didengar oleh manusia yang terlalu banyak pretensi dan praduga. Hanya mahluk yang tanpa pretensilah yang bisa mendengarkan nyanyian hutan dan riuhnya komunikasi di dalam jaringan "neuro"n akar-akar pohon. Hanya merekalah yang bisa mendengar suara bariton pohon mahoni tua, suara sopran pohon ulin yang kokoh atau suara tenor pohon meranti yang tinggi langsing. Pada hutan yang sehat, suara-suara itu menjadi sebuah choir yang merdu.
****
Kasih bak burung kedasih kecil yang riang gembira, anak itu pengunjung setia Taman Nasional, dia tinggal di dekat Taman Nasional bersama ibunya yang menjadi dokter hewan di sana. Semenjak di dalam kandungan ibunya, ia telah ditinggalkan oleh bapaknya secara misterius. Namun Kasih tak pernah merasa kesepian, meskipun dia lahir yatim dan ia lebih banyak bergaul dengan orang-orang dewasa kawan kerja ibunya serta para orangutan tentunya. Kasih tumbuh alamiah dan riang.
“Aku akan pergi sebentar. Jaga baik-baik anak kita, ya,” suatu hari Lukman berkata kepada Miranti.
“Apakah kau tidak bisa menunda kepergianmu?” sergah Miranti.
“Tidak, aku hanya hendak memenuhi bhaktiku.”
“Tetapi terlalu berbahaya, mereka sedang mencarimu.”
“Sang Roh adalah segala cahaya, aku hanyalah pantulan cahaya-Nya.”
“Ya, tetapi situasi Taman Nasional sedang genting,” cegah Miranti atas niat Lukman.
“Cahaya yang membimbingku ke sana segera.”
“Mereka sedang memperluas kebun sawitnya hingga ke dalam wilayah taman, Roh memang sudah membimbingmu tapi bisakah kau melakukannya nanti?”
“Tidak bisa, Sayang, mungkin dharmaku sedang dibutuhkan hutan ini sekarang, percayalah!”
“Ya, tetapi waktunya itu lho, yang tidak tepat!”
Lukman tidak menggubris argumen Miranti. Kemudian hening melingkupi keduanya, mereka terdiam menahan amarah masing-masing, tetapi sayup-sayup terdengar chorus yang makin lama makin lirih namun parau. Itu adalah nyanyian hutan yang sedang sekarat. Orang-orang utan yang tanpa pretensi paham benar dengan suara itu. Para Barian mereka kemudian kembali memimpin litani.
Itu adalah perdebatan terakhir Lukman dengan Miranti. Beberapa orang kawan-kawan pegiat lingkungan menduga Lukman telah dilenyapkan di tengah prahara yang melanda hutan. Sebagai bentuk balas dendam dari para mandor kebun karena Lukman telah giat menggalang perlindungan bagi orang utan. Beberapa orang mempercayai bahwa Lukman sebagai pelaku sabotase terhadap perluasan kebun sawit yang jauh menjorok ke Taman Nasional. Namun tidak ada yang bisa membuktikan kebenarannya.
Namun, semua kisah sedih di atas tidaklah mempengaruhi masa kecil Kasih. Sebagai anak yang selalu ingin tahu, Kasih sering mengikuti perjalanan para jagawana memberikan ransum pada orangutan. Kasih begitu menyukai rutinitas itu. Bahkan dia sering tidak menghabiskan makanan bekal makan siangnya. Dia sangat suka menyisakan bekal untuk Pongo. Mereka adalah dua mahluk berlainan spesies, tetapi mereka nampak seperti telah lama saling kenal. Mereka sering saling mengulurkan tangan, bertukar ubi dengan roti. Kadang mereka kedapatan sedang bermain bersama. Sementara Laksmi dan Miranti sama-sama hanya mengawasi dari kejauhan.
Laksmi adalah orang utan betina dewasa, sudah hampir dua dekade hidup di Taman Nasional Sebangau. Di balik bulunya, tubuh Laksmi penuh dengan carut bekas luka, yang dia peroleh dari para mandor, semenjak maraknya perkebunan sawit di situ. Berangkat dari pengalaman itulah, Laksmi menjadi orang utan yang selalu waspada. Nyawanya pernah hampir meregang bila tidak diselamatkan oleh para jagawana, akibat siksaan mandor yang kejam. Dokter Mirantilah yang memberinya nama Laksmi. Dia adalah salah satu induk orang utan di Taman dan sekaligus penyintas yang ulet.
****
Kebakaran hutan tahun ini sungguh hebat. Kebakaran terjadi bersamaan dengan pembangunan ibu kota yang baru. Ibu kota yang lama telah terlampau banyak beban. Pemerintah meniatkan membangun ibu kota yang baru dengan konsep baku sanding antara manusia dengan alam, namun sepertinya, operasionalisasi konsep baku sanding tersebut banyak kecolongan dalam realisasi. Konsep itu berhadapan dengan mahluk super pretensius bernama manusia. Manusia adalah mahluk yang sangat penuh dalih, kepura-puraan dan niat tersembunyi. Kebakaran adalah cara yang paling ekonomis untuk membuka hutan.
Taman Nasional Sebangau pun ikut terbakar hebat. Bara api begitu dalam dan luas membakar jaringan neuron akar. Hutan bernyanyi semakin lirih dan parau. Hutan semakin sekarat. Orang-orang mengungsi keluar kota atau bersembunyi di dalam rumah. Bagi yang tidak memiliki kemewahan bermigrasi, mereka bersembunyi saja di dalam rumah. Celah-celah jendela dan pintu, lubang-lubang angin dan semua peluang bagi pertukaran udara pun diisolasi. Manusia melindungi oksigen yang sangat berharga tetap di dalam ruangan. Mereka tidak mengijinkan sedikit pun pertukaran dengan karbondioksida. Penghasil oksigen tutup, dia sedang sekarat.
Miranti sangat berat hati untuk mengungsi. Perasaannya akan kehadiran Lukman justru semakin menguat di saat genting ini. Namun demi kesehatan Kasih, Miranti pun terpaksa memesan tiket pesawat dengan masygul. Menghadapi kenyataan seperti ini, hati Miranti seperti hendak terbelah ke dua sisi yang berbeda. Intuisinya mengajaknya tetap di sini untuk tetap dekat dengan Lukman namun rasionya berkata lain. Penampakan Lukman semakin nyata di dalam mimpi dan lamunannya. Dia semakin mengejawantah dalam keseharian Miranti. Seolah dia menemani.
Seolah lebih dekat dengan intuisi ibunya, Kasih pun nampak bergeming untuk pergi dari Taman Nasional Sebangau. Kasih selalu mengkhawatirkan nasib Pongo.
“Ayo, kita ke tempat pemberian ransum!” rengek Kasih.
Beberapa hari ini, karena kelangkaan pasokan bahan baku, Manajer Taman menghentikan pemberian ransum sementara.
“Tapi tidak ada jagawana yang memberikan ransum di sana,” kata Miranti.
“Aku ingin Pongo.”
“Para jagawana sedang sibuk, mereka membantu manggala agni untuk memadamkan api.”
“Ya…kita saja yang ke sana.”
Akhirnya Miranti pun menyerah. Namun dia membuat semacam penawaran pada Kasih.
“Tapi setelah itu, Kasih mau ikut ya. Kita pergi ke Bogor.”
Kepala Kasih mengangguk, tapi hatinya tidak mengiyakan ibunya. Ia seolah melihat jalan keselamatan yang lain, yang tidak bisa ia ceritakan pada ibunya, paling tidak untuk saat ini.
Miranti memasangkan masker penyaring udara menutupi hidung dan mulut Kasih. Tempat pemberian ransum hanya jarak yang dekat saja, jarak jalan kaki. Namun kali ini terasa sangat jauh. Miranti sangat merasa tidak aman. Dia membawa beberapa tabung oksigen kecil di dalam ranselnya, bersama air dan sedikit kudapan berenergi. Taman Nasional gelap dan sangat berasap. Udara amat panas, mereka berpeluh. Langit pun jingga, seolah turut terbakar.
Sebentar kemudian mereka sudah tiba di tempat pemberian ransum. Tempat yang biasanya ramai, kini sepi dan kelabu. Tidak ada reriungan para orangutan seperti biasanya.
“Pongo, sini dong.” celoteh Kasih dengan riang. Ibunya masygul membisu. Angin bertiup membawa asap yang semakin tebal. Dua sosok nampak tertatih datang dari kejauhan. Pongo dan Laksmi nampak datang menghampiri.
“Kamu lapar, Pongo?”
Kasih mengeluarkan bekal kudapan mereka. Rasio ibunya hendak melarang Kasih, tetapi sepertinya rasio itu sudah bertekuk lutut pada intuisinya. Miranti mencium bau Lukman. Bau yang dahulu pernah tercium dengan hidung dan kini hanya terekam dalam kenangan.
“Baumu sekarang dapat kurasakan kembali dengan hidung,” gumam Miranti.
Langit semakin jingga. Udara semakin panas. Mereka semakin berpeluh. Gerah rusuh suasana hati Miranti. Miranti pingsan. Laksmi tampak membimbing tangan Pongo dan Kasih, mereka pergi menjauh.
Lukman nampak segar bugar, dia menggendong Kasih yang memanggilnya Pongo.
“Biarkan ibumu menyelesaikan moksanya,” kata Lukman sambil mencubit hidung Kasih.
Kasih melirik ibunya, Miranti sedang terbaring dengan landasan akar besar “Pohon Tempat Memohon”. Langit jingga telah menjadi merah.
_____________
*) Rinto Andriono adalah seorang konsultan UNDP untuk Indonesia, dulu ia adalah seorang aktivis anti korupsi yang militan di GeRAK Indonesia. Pasca terserang stroke, ia kemudian mengambil keputusan untuk belajar menulis sastra di Akademi Menulis-Dunia Sastra Kita.
http://sastra-indonesia.com/2020/02/pohon-pongo/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar