Senin, 10 Februari 2020

POHON PONGO

Rinto Andriono *

Bulu-bulunya menegang saat Laksmi menggamit Pongo untuk kembali menghutan. Pongo yang masih kecil, enggan mengikuti ibunya. Ia masih sibuk menghisap daging ubi yang manis, ransum dari taman nasional. Namun, hati Laksmi sudah terpanggil ke sisi lain hutan.

"Waktunya hadir!" tukas Laksmi.

Laksmi dan Pongo adalah orang utan di Taman Nasional Sebangau. Saat kemarau seperti ini hutan penuh asap, banyak pohon terbakar. Mereka kesulitan memperoleh makanan. Laksmi dan Pongo sering hanya mengandalkan sedikit ubi dan pisang dari Taman Nasional, sekedar untuk ganjal perut. Makanan sedang susah didapat.

Pongo dan kawan-kawan sudah bosan menyantap umbut sawit di luar Taman. Mereka rindu akan pucuk daun dan buah yang manis. Makanan yang tidak menyisakan bilur pegal dan ruam panas di badan, bekas siksaan para mandor. Orang-orang utan sudah berkumpul di Pohon Agung di penjuru Taman. Para orang utan Barian sudah memimpin “litani”, mereka menyerahkan jiwa dan tubuh yang sedang kelaparan ini pada Sang Roh yang kali ini mewujud sebagai Pohon Agung.

Pohon Agung adalah pohon berbuah buni dan berbiji lezat yang disukai orang utan, tupai dan burung-burung. Batangnya besar, dahannya kekar, kulit batangnya obat yang mujarab, kanopinya yang rimbun merupakan rumah buat aneka satwa dan termasuk orangutan. Akarnya kuat dan menancap dalam untuk menahan posturnya yang tinggi besar. Pohon Werkodara demikian Kasih dan Miranti menyebutnya.

Para Barian mulai kesurupan, mereka berayun, melolong, meraung dan terus menerus mencoba meraih dahan, daun dan ranting pohon. Ini pohon bukan sembarang pohon, ini adalah “Pohon Tempat Memohon”. Mereka memberikan ruang seluas-luasnya bagi roh untuk menguasai tubuh para orang utan. Meskipun mereka seolah kesurupan, tetapi pada hati mereka hanya ada ketulusan. Begitulah hati para satwa, mereka memakan umbut sawit hanya karena lapar belaka. Mereka lakukan itu semata-mata untuk bertahan hidup, tetapi mandor yang tertekan melihat ini dengan cara yang berbeda. Mandor kebun melihat ini sebagai pencurian, sebagai sebuah konspirasi para orangutan untuk membuat mereka sengsara.

Orang-orang utan itu selalu tanpa pretensi pada setiap hal yang mereka lakukan. Mereka mungkin mencuri, merebut dan merampas, tetapi itu hanya karena lapar semata. Titik. Tidak pernah sekali pun terlintas dalam benak mereka untuk menimbun, serakah bahkan mengerjai para mandor yang sudah kelebihan beban kerja. Bila sudah makan kenyang, cukup untuk hidup, mereka akan berhenti. Begitulah, itu terjadi secara alamiah belaka. Mereka tidak pernah risau dengan hari esok. Mereka begitu yakin dengan besok.

“Roh pasti akan memelihara kita.” kata Barian tertua “Dia hadir di mana-mana, sebagai yang baik dan yang buruk.”

“Dia yang kita takuti, tapi sekaligus yang kita rindukan,” lanjut orang utan Barian perempuan.

“Dia yang menubuh dalam bentuk mandor sawit yang kejam atau Dokter Miranti yang mengobati bilur dan ruam,” bisik Laksmi pada Pongo, agar orang utan kecil itu lebih waspada.

Litani para orang utan segera selesai sudah. Mereka bukan sedang menggugat Sang Roh atas kebakaran dan kelaparan yang berkepanjangan ini. Mereka tak pernah menggugat. Mereka tidak pula sedang memohon azab bagi para mandor yang kejam atau para cukong sawit yang serakah. Mereka bukan pendendam. Mereka hanya menyerahkan diri mereka pada keseimbangan alam.
****

Miranti terbangun dari tidurnya, dia berpeluh di tengah malam yang dingin. Nafasnya tersengal-sengal. Di dalam kepala Miranti masih menggema bisikan Lukman.

“Mir, pergilah ke Pohon Tempat Memohon! Bawa serta Kasih bersamamu.” Kata-kata Lukman begitu bening mengiang dalam tidurnya.

Dia sudah tidak bisa lagi memicingkan mata. Malam terlalu rusuh dan hatinya sudah terlalu resah. Baru-baru ini dia sering bermimpi tentang Lukman, suaminya yang menghilang di tengah rimba raya sejak tiga tahun yang lalu. Berpuluh tim pencari sudah menghutan untuk mencari suaminya, namun sampai kehabisan perbekalan, hasilnya selalu nihil.

Dokter Miranti bekerja dengan WWF untuk Taman Nasional, sebagai perawat kesehatan orang-orang utan. Kedukaan mendalam karena kehilangan kekasihnya membuat Miranti enggan kembali ke Bogor, kota kelahirannya, tempat Miranti menyelesaikan kuliahnya. Pengetahuannya tentang siloka yang diwarisi dari para Karuhun membuat Miranti meyakini bahwa kekasihnya masih hidup di suatu tempat di hutan raya Kalimantan ini, dia sedang mempersiapkan sesuatu untuk masa depan Miranti dan anaknya, kehidupan yang pernah mereka impikan. Hidup menyatu dengan hutan. Untuk itu, dia dan anaknya hanya perlu menunggu waktunya tiba.

“Lukman, aku tahu kau akan datang untuk kami, tapi kapan? Aku sudah lelah,” ratap Miranti sambil mendekap Kasih, putri kecilnnya, yang lelap di sebelahnya.

Hutan raya seolah bertingkat-tingkat. Pada pesisirnya terdapat selapis hutan bakau, akar-akar nafasnya begitu kokoh menghujam muka laut yang dangkal. Kepiting, udang, ikan dan ular hidup makmur berlimpah ruah makanan di bawah akarnya. Semuanya saling tergantung, saling menjaga dan saling melindungi. Hutan bakau adalah rumah bagi bekantan, sepupu orang utan, monyet berhidung besar merah muda yang lebih banyak mendiami pesisir. Lengannya yang panjang dan kokoh menjadikannya mudah hidup di hutan bakau yang padat.

Bila kita menghulu lagi, akan kita temukan hutan primer, tempat tinggal para orang utan. Tanahnya legam menghitam kaya akan asam dari daun-daunan yang telah membusuk. Akar-akar tunggang menghujam vertikal, didukung oleh akar-akar kekar yang menjalar horizontal seolah saling berangkulan. Akar-akar itu seakan membentuk jaringan hidup yang aktif. Bila satu bagian disakiti maka akan ada reaksi dan kompensasi di bagian yang lain. Mereka seolah bernyawa dan berkomunikasi satu pohon dengan pohon lainnya.

Bila satu pohon ditebang, maka timbullah satu titik mati di antara sekian banyak jaringan neuron yang riuh berkomunikasi. Bila satu bidang terbakar maka akan terasa sakitlah semuanya. Jaringan akar yang sehat akan menebal dan berusaha membuat perlindungan. Namun, bila banyak bidang yang telah terbabat, maka akan rusaklah jaringan neuron yang lebih besar. Akibatnya hutan menjadi kebingungan dalam merespon pesan. Hutan yang bingung akan kehilangan daya adaptasinya pada lingkungan. Tiap-tiap pohon-pohon seolah bersenandung sendiri-sendiri, tak berirama. Mereka tidak bisa lagi menyanyikan syair merdu pemujaan kepada Sang Roh. Mereka menjadi hutan yang bersuara sumbang.

Hutan yang bernyanyi dengan parau inilah yang didengar oleh para orang utan yang tadi berkumpul melakukan litani. Hal ini tidak bisa didengar oleh manusia yang terlalu banyak pretensi dan praduga. Hanya mahluk yang tanpa pretensilah yang bisa mendengarkan nyanyian hutan dan riuhnya komunikasi di dalam jaringan "neuro"n akar-akar pohon. Hanya merekalah yang bisa mendengar suara bariton pohon mahoni tua, suara sopran pohon ulin yang kokoh atau suara tenor pohon meranti yang tinggi langsing. Pada hutan yang sehat, suara-suara itu menjadi sebuah choir yang merdu.
****

Kasih bak burung kedasih kecil yang riang gembira, anak itu pengunjung setia Taman Nasional, dia tinggal di dekat Taman Nasional bersama ibunya yang menjadi dokter hewan di sana. Semenjak di dalam kandungan ibunya, ia telah ditinggalkan oleh bapaknya secara misterius. Namun Kasih tak pernah merasa kesepian, meskipun dia lahir yatim dan ia lebih banyak bergaul dengan orang-orang dewasa kawan kerja ibunya serta para orangutan tentunya. Kasih tumbuh alamiah dan riang.

“Aku akan pergi sebentar. Jaga baik-baik anak kita, ya,” suatu hari Lukman berkata kepada Miranti.

“Apakah kau tidak bisa menunda kepergianmu?” sergah Miranti.

“Tidak, aku hanya hendak memenuhi bhaktiku.”

“Tetapi terlalu berbahaya, mereka sedang mencarimu.”

“Sang Roh adalah segala cahaya, aku hanyalah pantulan cahaya-Nya.”

“Ya, tetapi situasi Taman Nasional sedang genting,” cegah Miranti atas niat Lukman.

“Cahaya yang membimbingku ke sana segera.”

“Mereka sedang memperluas kebun sawitnya hingga ke dalam wilayah taman, Roh memang sudah membimbingmu tapi bisakah kau melakukannya nanti?”

“Tidak bisa, Sayang, mungkin dharmaku sedang dibutuhkan hutan ini sekarang, percayalah!”

“Ya, tetapi waktunya itu lho, yang tidak tepat!”

Lukman tidak menggubris argumen Miranti. Kemudian hening melingkupi keduanya, mereka terdiam menahan amarah masing-masing, tetapi sayup-sayup terdengar chorus yang makin lama makin lirih namun parau. Itu adalah nyanyian hutan yang sedang sekarat. Orang-orang utan yang tanpa pretensi paham benar dengan suara itu. Para Barian mereka kemudian kembali memimpin litani.

Itu adalah perdebatan terakhir Lukman dengan Miranti. Beberapa orang kawan-kawan pegiat lingkungan menduga Lukman telah dilenyapkan di tengah prahara yang melanda hutan. Sebagai bentuk balas dendam dari para mandor kebun karena Lukman telah giat menggalang perlindungan bagi orang utan. Beberapa orang mempercayai bahwa Lukman sebagai pelaku sabotase terhadap perluasan kebun sawit yang jauh menjorok ke Taman Nasional. Namun tidak ada yang bisa membuktikan kebenarannya.

Namun, semua kisah sedih di atas tidaklah mempengaruhi masa kecil Kasih. Sebagai anak yang selalu ingin tahu, Kasih sering mengikuti perjalanan para jagawana memberikan ransum pada orangutan. Kasih begitu menyukai rutinitas itu. Bahkan dia sering tidak menghabiskan makanan bekal makan siangnya. Dia sangat suka menyisakan bekal untuk Pongo. Mereka adalah dua mahluk berlainan spesies, tetapi mereka nampak seperti telah lama saling kenal. Mereka sering saling mengulurkan tangan, bertukar ubi dengan roti. Kadang mereka kedapatan sedang bermain bersama. Sementara Laksmi dan Miranti sama-sama hanya mengawasi dari kejauhan.

Laksmi adalah orang utan betina dewasa, sudah hampir dua dekade hidup di Taman Nasional Sebangau. Di balik bulunya, tubuh Laksmi penuh dengan carut bekas luka, yang dia peroleh dari para mandor, semenjak maraknya perkebunan sawit di situ. Berangkat dari pengalaman itulah, Laksmi menjadi orang utan yang selalu waspada. Nyawanya pernah hampir meregang bila tidak diselamatkan oleh para jagawana, akibat siksaan mandor yang kejam. Dokter Mirantilah yang memberinya nama Laksmi. Dia adalah salah satu induk orang utan di Taman dan sekaligus penyintas yang ulet.
****

Kebakaran hutan tahun ini sungguh hebat. Kebakaran terjadi bersamaan dengan pembangunan ibu kota yang baru. Ibu kota yang lama telah terlampau banyak beban. Pemerintah meniatkan membangun ibu kota yang baru dengan konsep baku sanding antara manusia dengan alam, namun sepertinya, operasionalisasi konsep baku sanding tersebut banyak kecolongan dalam realisasi. Konsep itu berhadapan dengan mahluk super pretensius bernama manusia. Manusia adalah mahluk yang sangat penuh dalih, kepura-puraan dan niat tersembunyi. Kebakaran adalah cara yang paling ekonomis untuk membuka hutan.

Taman Nasional Sebangau pun ikut terbakar hebat. Bara api begitu dalam dan luas membakar jaringan neuron akar. Hutan bernyanyi semakin lirih dan parau. Hutan semakin sekarat. Orang-orang mengungsi keluar kota atau bersembunyi di dalam rumah. Bagi yang tidak memiliki kemewahan bermigrasi, mereka bersembunyi saja di dalam rumah. Celah-celah jendela dan pintu, lubang-lubang angin dan semua peluang bagi pertukaran udara pun diisolasi. Manusia melindungi oksigen yang sangat berharga tetap di dalam ruangan. Mereka tidak mengijinkan sedikit pun pertukaran dengan karbondioksida. Penghasil oksigen tutup, dia sedang sekarat.

Miranti sangat berat hati untuk mengungsi. Perasaannya akan kehadiran Lukman justru semakin menguat di saat genting ini. Namun demi kesehatan Kasih, Miranti pun terpaksa memesan tiket pesawat dengan masygul. Menghadapi kenyataan seperti ini, hati Miranti seperti hendak terbelah ke dua sisi yang berbeda. Intuisinya mengajaknya tetap di sini untuk tetap dekat dengan Lukman namun rasionya berkata lain. Penampakan Lukman semakin nyata di dalam mimpi dan lamunannya. Dia semakin mengejawantah dalam keseharian Miranti. Seolah dia menemani.

Seolah lebih dekat dengan intuisi ibunya, Kasih pun nampak bergeming untuk pergi dari Taman Nasional Sebangau. Kasih selalu mengkhawatirkan nasib Pongo.

“Ayo, kita ke tempat pemberian ransum!” rengek Kasih.
Beberapa hari ini, karena kelangkaan pasokan bahan baku, Manajer Taman menghentikan pemberian ransum sementara.

“Tapi tidak ada jagawana yang memberikan ransum di sana,” kata Miranti.

“Aku ingin Pongo.”

“Para jagawana sedang sibuk, mereka membantu manggala agni untuk memadamkan api.”

“Ya…kita saja yang ke sana.”

Akhirnya Miranti pun menyerah. Namun dia membuat semacam penawaran pada Kasih.

“Tapi setelah itu, Kasih mau ikut ya. Kita pergi ke Bogor.”

Kepala Kasih mengangguk, tapi hatinya tidak mengiyakan ibunya. Ia seolah melihat jalan keselamatan yang lain, yang tidak bisa ia ceritakan pada ibunya, paling tidak untuk saat ini.

Miranti memasangkan masker penyaring udara menutupi hidung dan mulut Kasih. Tempat pemberian ransum hanya jarak yang dekat saja, jarak jalan kaki. Namun kali ini terasa sangat jauh. Miranti sangat merasa tidak aman. Dia membawa beberapa tabung oksigen kecil di dalam ranselnya, bersama air dan sedikit kudapan berenergi. Taman Nasional gelap dan sangat berasap. Udara amat panas, mereka berpeluh. Langit pun jingga, seolah turut terbakar.

Sebentar kemudian mereka sudah tiba di tempat pemberian ransum. Tempat yang biasanya ramai, kini sepi dan kelabu. Tidak ada reriungan para orangutan seperti biasanya.

“Pongo, sini dong.” celoteh Kasih dengan riang. Ibunya masygul membisu. Angin bertiup membawa asap yang semakin tebal. Dua sosok nampak tertatih datang dari kejauhan. Pongo dan Laksmi nampak datang menghampiri.

“Kamu lapar, Pongo?”

Kasih mengeluarkan bekal kudapan mereka. Rasio ibunya hendak melarang Kasih, tetapi sepertinya rasio itu sudah bertekuk lutut pada intuisinya. Miranti mencium bau Lukman. Bau yang dahulu pernah tercium dengan hidung dan kini hanya terekam dalam kenangan.

“Baumu sekarang dapat kurasakan kembali dengan hidung,” gumam Miranti.

Langit semakin jingga. Udara semakin panas. Mereka semakin berpeluh. Gerah rusuh suasana hati Miranti. Miranti pingsan. Laksmi tampak membimbing tangan Pongo dan Kasih, mereka pergi menjauh.

Lukman nampak segar bugar, dia menggendong Kasih yang memanggilnya Pongo.

“Biarkan ibumu menyelesaikan moksanya,” kata Lukman sambil mencubit hidung Kasih.

Kasih melirik ibunya, Miranti sedang terbaring dengan landasan akar besar “Pohon Tempat Memohon”. Langit jingga telah menjadi merah.

_____________
*) Rinto Andriono adalah seorang konsultan UNDP untuk Indonesia, dulu ia adalah seorang aktivis anti korupsi yang militan di GeRAK Indonesia. Pasca terserang stroke, ia kemudian mengambil keputusan untuk belajar menulis sastra di Akademi Menulis-Dunia Sastra Kita.
http://sastra-indonesia.com/2020/02/pohon-pongo/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

20 Tahun Kebangkitan Sastra-Teater Lamongan A Jalal A. Anzieb A. Khoirul Anam A. Mustofa Bisri A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja Abdoel Moeis Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdullah Abubakar Batarfie Abdurrahman Wahid Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Acep Iwan Saidi Achdiat K. Mihardja Achiar M Permana Adek Alwi Adhi Pandoyo Adib Baroya Aditya Ardi N Adri Sandra Adu Pesona Sang Wakil Cawapres RI Afrizal Malna Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agus Buchori Agus Dermawan T. Agus Mulyadi Agus Prasmono Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahmad Farid Yahya Ahmad Hasan MS Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Saifullah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alawi Al-Bantani Alfatihatus Sholihatunnisa Alfian Dippahatang Ali Audah Alim Bakhtiar Amie Williams Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amril Taufik Gobel An. Ismanto Andhi Setyo Wibowo Andi Andrianto Andong Buku #3 AndongBuku #3 Andrea Hirata Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Antologi Sastra Lamongan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Arafat Nur Ardi Wina Saputra Ardy Suryantoko Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arman A.Z. Arsyad Indradi Asarpin Ashimuddin Musa Asrul Sani Astuti Ananta Toer Atafras Audifax Awalludin GD Mualif Ayu Nuzul Azizah Hefni B Kunto Wibisono Bahrul Amsal Bambang Kempling Beni Setia Benny Benke Beno Siang Pamungkas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bloomberg Bre Redana Budaya Budi Darma Buldanul Khuri Bustan Basir Maras Candra Adikara Irawan Candrakirana Cangaan Ujungpangkah Gresik Jawa Timur Capres Cawapres 2019 Catatan Ceramah Cerpen Chairil Anwar Chicilia Risca CNN Indonesia Coronavirus COVID-19 D. Zawawi Imron Damiri Mahmud Darju Prasetya Darman Moenir Deddy Arsya Denny JA Denny Mizhar Devy Kurnia Alamsyah Dhoni Zustiyantoro Dian Sukarno Didin Tulus Dien Makmur Din Saja Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Donny Anggoro Donny Darmawan Dr. Hilma Rosyida Ahmad Dwi Cipta Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Dyah Ayu Fitriana Ecep Heryadi Edy Suprayitno Eka Budianta Eka Kurniawan Elok Dyah Messwati Engkos Kosnadi Erdogan Erwin Setia Esai Esti Nuryani Kasam Evan Ys F. Budi Hardiman F. Rahardi Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Fahrur Rozi Faidil Akbar Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathul Qorib Fatkhul Anas Feby Indirani Felix K. Nesi Festival Teater Religi Festival Teater Religi Pelajar SLTA Se-kabupaten Lamongan Fira Basuki Forum Santri Nasional (FSN) Frischa Aswarini Fuad Mardhatillah UY Tiba Fuad Nawawi Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gde Artawan Geger Riyanto Geguritan Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Guenter Grass Gus Ahmad Syauqi Gus tf Gusti Eka Habib Bahar bin Smith Haiku Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Han Gagas Hary B Koriun Hasan Basri Hasnan Bachtiar Heri Ruslan Herman Hesse Hertha Mueller Heru Kurniawan Hestri Hurustyanti Holy Adib Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu I Made Prabaswara I Made Sujaya IAI TABAH (Institut Agama Islam Tarbiyatut Tholabah) Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Iksaka Banu Imam Jazuli Imam Nawawi Imammuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Mahadi Indra Tjahyadi Irfan Afifi Irine Rakhmawati Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS J.S. Badudu Jadid Al Farisy Jajang R Kawentar Jawa Timur Jean Marie Gustave le Clezio JJ. Kusni Jl Raya Simo Sungelebak Jo Batara Surya John H. McGlynn Jordaidan Rizsyah Jual Buku Paket Hemat Juara 3 Lomba Lompat Jauh DISPORA LAMONGAN Jurnalisme Sastrawi K.H. Ma'ruf Amin Kadek Suartaya Kaheesa Kirania Putri Ayu Kahfie Nazaruddin Kalis Mardiasih Kamaluddin Ramdhan Kanti W. Janis Karanggeneng Kardono Setyorakhmadi Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Pantura (KBP) KetemuBuku Jombang KH. M. Najib Muhammad KH. Muhammad Amin (1910-1949) Khairul Mufid Jr Khawas Auskarni Khoirul Abidin Khoshshol Fairuz Ki Ompong Sudarsono Kitab Arbain Nawawi Kodrat Setiawan Kompas TV Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA) Komunitas Sastra dan Teater Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Komunitas-komunitas Teater di Lamongan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Luar Biasa Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) Kopuisi Kostela Kritik Sastra Kumpulan Cerita Buntak Kurnia Effendi Kuswaidi Syafi’ie L Ridwan Muljosudarmo L.K. Ara Lamongan Lan Fang Lawi Ibung Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Literasi Liza Wahyuninto Lukas Luwarso Lukisan Lukman Lukman Santoso Az Lutfi Mardiansyah M Farid W Makkulau M. Faizi M.D. Atmaja Madrasah Aliyah Matholi'ul Anwar Madrasah Ibtida’iyah Thoriqotul Hidayah 1 Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S Mahayana Manado Manneke Budiman Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mario F. Lawi Marsel Robot Martin Aleida Marwanto Mashuri Massayu Masuki M. Astro Masyhudi Media Seputar Pendidikan Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Purnama di Kampung Halaman Mereka yang Menjerat Gus Dur MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mien Uno Moh. Dzunnurrain Moh. Jauhar al-Hakimi Mohammad Rafi Azzamy Mohammad Rokib Mohammad Yamin Muafiqul Khalid MD Much. Khoiri Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alfatih Suryadilaga Muhammad Antakusuma Muhammad Fikry Mauludy Muhammad Hafil Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad N. Hassan Muhammad Subarkah Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Muhyiddin Mukadi Mukani Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Musa Ismail Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang E S Nara Ahirullah Naskah Teater Nezar Patria Noor H. Dee Nunus Supardi Nur Haryanto Nur Wachid Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Okky Madasari Olivia Kristina Sinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pagelaran Musim Tandur Palupi Panca Astuti Pameran Lukisan Parimono V / 40 Plandi Jombang PC. Lesbumi NU Babat PDS HB Jassin Pelukis Dahlan Kong Pelukis Tarmuzie Penculikan Aktivis 1988 Pendidikan Pengajian Pengarang kelahiran Lamongan Pentigraf Pepaosan Perbincangan Peringatan Hari Pahlawan 10 November Pilang Tejoasri Laren Lamongan Jawa Timur Pipiet Senja Politik Pondok Pesantren Ali Bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Jokowi Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi (PMK) Puji Santosa Pustaka LaBRAK PUstaka puJAngga R. Ng. Ronggowarsito Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rasanrasan Boengaketji Raudlotul Immaroh Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Reuni dan Halal Bihalal Mts Putra-Putri Simo 1992 Ribut Wijoto Riki Antoni Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Robin Al Kautsar Rodli TL Roland Barthes Rosi Rosihan Anwar RR Miranda Rumah Budaya Pantura (RBP) S. Jai S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabrank Suparno Safitri Ningrum Sainul Hermawan Sajak Salman Aristo Sandiaga Uno Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Sastra Tasikmalaya (SST) Sarasehan dan Launching Buku Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Kuno Suku Sasak Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Satu Jam Sastra Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSAstra Boenga Ketjil Seni Gumira Ajidarma Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seputar Sastra Pendidikan Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sirdjanul Ghufron Siwi Dwi Saputro Slamet Rahardjo Rais Soediro Satoto Soekarno Soeparno S. Adhy Soesilo Toer Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Sri Handi Lestari Sri Wintala Achmad STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sujatmiko Sukarno Suminto A. Sayuti Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahrudin Attar Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari Sylvianita Widyawati Tangguh Pitoyo Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Ilat Teater nDrinDinG Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tias Tatanka Timur Sinar Suprabana Titi Aoska Tiyasa Jati Pramono Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Toni Masdiono Tri Broto Wibisono TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Tulus Wijanarko Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Jember Universitas Negeri Jember Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyu Aji Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Wiji Thukul Wildan Nugraha Wildana Wargadinata Yanusa Nugroho Yasraf Amir Piliang Yerusalem Ibu Kota Palestina Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhi Herwibowo Yuditeha Yusri Fajar Yuval Noah Harari Zainal Arifin Thoha Zainuddin Sugendal Zara Zettira ZR Zehan Zareez Zuhdi Swt