A. Anzieb *
[Postingan sembilan lukisan Abdul Kirno Tanda di bawah ini sebagai ajang pameran dalam pencarian dana, yang nantinya sebagian dipersembahkan pada Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi) Yogyakarta, untuk berbagi amal atas musim yang berat melandanya wabah corona]
***
Apakah yang dikatakan karya hanya sebatas ekskusi imaji di atas kanvas? Tidak! Bukankah hal diluar kanvas juga karya, perjalanan menuju kanvas, patung, instalasi, puisi, cerpen atau apapun -- ekskusi ke kanvas dari sketsa atau dari imaji perlu menjaga emosi, ritme, spiritual dan laku hidup. Sebab itu, memelihara ritme, merawat emosi, menjaga jiwa dan seterusnya di luar seorang perupa berhadapan dengan kanvasnya adalah bagian dari sebuah karya.
Pemahaman seperti ini sering saya kemukakan kepada teman-teman perupa, termasuk kepada Abdul Kirno Tanda karena hal yang demikian sekaligus berguna untuk mengasah imajinasi agar motivasi dari garis dan ruang dalam karya-karyanya tidak “liar”, tidak seperti kehilangan ungkapan. Bahwa, setiap proses penciptaan tanpa ingin mengasah imajinasi dan motif (hati, jiwa), dan, lalu tanpa mencari dialektika lewat agama, falsafah dan ilmu-ilmu lainnya akan terasa sulit dalam berkarya – seperti seorang turis kesasar di tengah ladang savana yang harus selalu bertanya tapi tidak tahu bertanya pada siapa.
Setelah melewati jalan proses penciptaan yang berliku, perlahan, sabar dan dalam, Kirno mulai bisa merasakan atmosfir ruang, waktu dan tempat. Emosinya yang selama ini sering meledak-ledak, kadang keras, kadang lembut, kadang menjadi peragu yang paling ulung mulai teredam di antara kata, sikap dan perbuatannya lewat garis-garisnya, ruang, warna, komposisi, teksture dan lain-lain – membuat karya lukisannya seperti memasuki ruang puitis.
Hampir seluruh karya Kirno berupa gambaran alam, gunung, hutan, sungai, dan seterusnya adalah gambaran alam di kampung halamannya yang disematkan lewat garis-garis, ruang serta warna yang relatif abstrak. Gambaran ini seperti mengingatkan Kirno yang rindu tanah kelahirannya, kelapa, sapi, hutan, batang kayu, gunung yang selama ini bersinergi dengan masyarakat sekitarnya. Namun, sebagian orang di kampungnya sudah mulai merasa lelah merawatnya, bahkan penuh rasa gembira menyerahkan tanah-tanahnya ditanami sawit, mengahabiskan air, mengusir angin, menjadi panas dan kering – barangkali karena sering berangan-angan akan kehidupan yang lebih baik, banyak uang, rumah megah dan naik mobil mewah.
Malam itu, ketika langit sedang kuat-kuatnya menahan awan mendung, Kirno mendatangi rumah saya sambil membawa setumpuk lukisan berbagai ukuran. Bukan hal yang aneh, kebiasaan ini sering ia lakukan manakala habis merampungkan beberapa lukisan untuk didiskusikan bersama. Bahkan, tidak seperti kebiasaan yang sudah-sudah, setelah setumpuk lukisan diturunkan dari sepeda motor yang terikat tali ala kadarnya, ada kepercayaan diri yang begitu kuat sambil menjajar satu-persatu lukisannya memenuhi dinding teras yang luasnya tak seberapa dan halaman rumah.
Di sela tarikan nafasnya yang masih terengah-engah, saya mendapati salah satu lukisan yang nampak lain darpada yang lain. Lukisan landscape berwarna biru, seperti birunya langit sehabis turun hujan. Dalam lukisan itu, pada bagian belakang tampak sekelebat garis membentuk dataran tinggi yang sudah gundul, seperti bukit-bukit atau tanah gunung. Di bagian depan, ada beberapa garis tegas yang turun dari arah langit masuk ke dalam perut bumi yang sudah mulai mengosong. Barangkali, beberapa garis yang turun berjajar ada yang tinggi dan rendah jika dilihat memakai mata telanjang serupa batang-batang pohon yang sudah mengering, tapi – alam bawah sadar saya seperti menemukan garis dan ruang yang berbeda, yakni sebuah lafal kalau susunan hurufnya dibaca dari arah kanan ke kiri adalah “ha, lam, lam, alif.” Pantas saja Kirno penuh percaya diri, batin saya.
Setelah cukup lama memandangi lukisan di atas, mata saya mulai beranjak menuju lukisan lain. Diantara lukisan-lukisan yang berjajar, pandangan saya kembali berhenti pada salah satu gambar yang bersandar di bagian paling selatan menghadap arah utara. Seketika saya melempar pertanyaan, “ini apa?”. “Tanete, rumah di kampung ibu saya. Di gunung”, jawab Kirno singkat.
Di dalam lukisan itu, memang nampak guratan-guratan garis berwarna coklat dan hitam menyerupai kukusan adalah bangunan rumah di gunung yang terbuat dari rumput alang-alang, menyatu dengan alam; antara tanah, dinding, atap dan langit-langit. Di bagian depan kelihatan ada lubang sebagai jalan masuk menuju ke ruang bagian dalam – seperti terowongan, celetuk Rajendra (anak saya) dengan sangat polosnya. Objek itu memang mirip dengan gambaran selongsong rahim seorang ibu, “rumah” kita semua bermula sebelum dilahirkan ke tanah/bumi.
“Tanete” sendiri bukan berarti rumah, bukan juga berarti gunung, tapi bagi orang-orang di kampung ibunya Kirno, jika mereka menyebut “to tanete” adalah “orang gunung” atau “dai tanete” sama artinya “naik ke gunung”. Demikian halnya, orang-orang yang tinggal di daratan (desa dan perkotaan di daratan pulau Sulawesi) menyematkan kata “Tanete” untuk menyebut nama perkampungannya hampir dipastikan mereka berasal dari “gunung”.
Lalu, apa sesungguhnya “Tanete” itu sendiri? Bukan rumah, bukan gunung, bukan juga nama kampung ibunya Kirno berasal? Sudahlah! Rasanya akan semakin pelik jika kita sibuk mencari-cari arti harafiahnya. Tapi, “Tanete” dan seluruh lukisan Kirno yang berkelindan lewat garis, ruang, tanah, gunung, dan kampung kelahiran ibunya bisa kita maknai simbolnya sebagai asal-usul, tempat Kirno berasal serta berangkat menuju kehidupan yang membentang di hadapannya. Kehidupan yang lebar dan dalam, kehidupan yang memerlukan pijakan pada kekuatan hati dan nurani.
gunungtirto, 11 februari 2019
*) A. Anzieb/kurator
(Cerita To Tanete,150 x 120, 2019, Rp. 5.000.000,-)
(hou-hou ribulu, 80 x 90, 2019, Rp. 3.000.000,-)
(Burung Berkabar, 60 x 80, 2017, Rp. 3.000.000,-)
(Jurang, 120 x 145, 2019, Rp. 7.000.000,-)
(Paraqdang, 65 x 85, 2019, Rp. 2.000.000,-)
(Hujan, 150 x 120, 2018, Rp. 7.000.000,-)
(To Tanete 145 x 145, 2019, Rp. 7.000.000,-)
(Gunung di Tanah Kaili, 23 x 15, 2019, Rp. 1.000.000,-)
(Loppo, 20 x 15, 2019, 1.000.000,-)
Semua lukisan-lukisan di atas gratis ongkos kirim, dan 7 buku "Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia" pun untuk Lesbumi Yogyakarta:
(1 eksemplar buku: Rp. 100.000,- Gratis Ongkir Pulau Jawa).
No Kontak untuk Lukisan: 085 326 725 968
No Kontak untuk Buku: 081 331 778 191
http://sastra-indonesia.com/2020/04/tanete-garis-ruang-tanah-gunung/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar