Rinto Andriono, lahir di Purbalingga tahun 1974. Semasa kuliah, banyak terlibat di Senat Mahasiswa, BEM UGM. Lalu, tiga puluh tahun bekerja sebagai pegiat LSM di Yogyakarta. Menggeluti isu-isu advokasi kebijakan publik, serta peningkatan kapasitas masyarakat sipil. Beberapa kali membantu lembaga swadaya masyarakat internasional, seperti Plan Indonesia, Oxfam, Care, RedR Indonesia, yang memiliki irisan antara urusan advokasi kebijakan publik dengan kemanusiaan, pengurangan risiko bencana juga hak-hak minoritas.
Pernah berjejaring dalam Gerak Indonesia untuk advokasi anti rasuah selama sepuluh tahun. Sempat bergerak bersama masyarakat sipil dalam pengurangan risiko bencana, lantas diminta Lembaga PBB bernama UNDP, untuk menyusun metode Kajian Kebutuhan Pasca Bencana, yang selanjutnya digunakan oleh Badan Penanggulangan Bencana di Indonesia. Dan pernah menyusun panduan mengenai lapis sanding penganggaran publik di Indonesia juga beberapa negara Asia, seperti Lao PDR, Philipina, dan Asean sendiri.
Pekerjaan terakhir sebelum mengalami stroke, menjadi konsultan di UNDP untuk pemulihan bencana NTB dan Sulawesi Tengah. Perjalanan mondar-mandir Jakarta, Palu, dan Mataram membuat tubuhnya kelelahan hingga stroke. Tapi bukan itu penyebabnya sakit akut. Namun, deraan tak henti-henti di tubuh, karena mengabaikan kimia kebahagiaan ala Al-Ghazali yang membuat bathinnya mengering. Dan, atas nasihat kawan pegiat Yoga, TRE dan vegetarian, disarakan mengambil kelas menulis cerpen di Akademi Menulis pada sastrawan Ahmad Yulden Erwin (AYE).
Menulis telah terbukti menggemukkan bathiniahnya yang selama ini kelaparan hampir mati. Dahulu, sebelum stroke mengalami insomnia akut, dan kegagalan fungsi pankreas dalam menghasilkan insulin. Efek samping gangguan pankreas menahun itu, kegagalan ginjalnya didalam menyaring kotoran tubuh. Kapasitas ginjalnya kini cukup menderita, dan hampir cuci darah. Tapi setelah mendekati setahun belajar menulis, pelahan fungsi pankreasnya membaik, tentu saja diimbangi olah raga serta diet. Kini tinggal berharap ginjalnya juga membaik, sebagaimana keyakinannya menulis sebagai healing.
Di Akademi Menulis, ada penugasan rutin menulis cerpen. Rinto unggah karya-karyanya di facebook, dan terpublikasi di Website Sastra-Indonesia.com. Hingga kini, baru menghasilkan tujuh buah cerpen dengan mentorship dari AYE, sahabatnya di Gerak Indonesia sekaligus gurunya. Cerpen-cerpennya berjudul: Amarah Burung Hong, Kencan Hikikomori, Pohon Pongo, Gadis Karavan, Satu Lawan Banyak, Anak Klithih,dan Virus Saimun. Sampai sekarang masih terus berusaha sembuh dengan jalan menulis.
***
Nurel Javissyarqi: “Sebagai pembuka pertanyaan, saya ingin bertanya kepada Mas Rinto Andriono: 1. Apakah sebelum masuk Akademi Menulis, sudah pernah menulis karya sastra, puisi misalnya? 2. Berapa waktu yang sampean habiskan, setiap menulis karya cerpen? 3. Dan kesulitan apa saja yang dihadapi saat menggumuli karya sastra, hingga pada puncaknya sampean mampu menulis dengan baik?”
Rinto Andriono: “Pertama, sebelum belajar di Akademi, belumlah ada cerpen, puisi atau apapun yang sastrawi. Saya tergerak menulis sastra setelah stroke, menurut teman saya yang menggeluti logika kerja otak, itu juga ada kaitannya dengan stroke. Stroke menyumbat otak kiri, sehingga kendali tubuh bagian kanan terganggu. Lalu otak mengkompensasi dengan pembebanan impuls lebih banyak ke otak kanan. Sehingga muncul rangsangan mengungkapkan rasa. Secara teknis gramatika, gaya bahasa, diksi, motivasi, adab, dan lain-lain itu dibantu oleh Akademi Menulis.”
“Kedua, mengenai waktu pembuatan cerpen, saya mengikuti langkah yang disarankan di Akademi Menulis, pertama membuat kerangka cerpen. Bagian ini penting, karena menentukan terlebih dahulu struktur pembangun cerpen seperti; tema, penokohan, plot, latar, sudut pandang dll. Proses membangun cerpen yang paling menguras energi pikiran ada di sini. Di langkah ini harus membuka tabungan bacaan yang berupa pengetahuan lateral, pengalaman mengecap rasa, ingatan suasana, kesan kejadian, perasaan, dll, agar cerpen bisa tergambar tiga dimensi. Lantas langkah kedua menulis itu sendiri. Sesuai periode tugas di Akademi, durasi pembuatan kerangka satu minggu, durasi penulisan tergantung panjang-pendeknya alur; alur panjang dua minggu, alur pendek seminggu. Sementara editing butuh durasi seminggu hingga dua minggu. Tahap paling sulit menulis cerpen itu penciptaan tema. Tahap ini utama, ibarat nyawa bagi cerpen, tanpa itu cerpen mati. Setelah tema terbangun, selanjutnya seperti penokohan, plot, latar, sudut pandang dll, tinggal mengikuti. Mereka bergerak bersekongkol sendiri bersama-sama mengusung tema. Kesulitan lainnya editing, rumit, dan butuh kesabaran. Kadang tanpa disadari, sudut pandang yang digunakan tidak konsisten, misal sudut pandang ‘aku’ perlahan bergeser menjadi sudut pandang orang ketiga, serba tahu tanpa disadari.”
Nurel Javissyarqi: “Oya, para penulis dan atau karya siap saja yang sangat mempengaruhi Mas Rinto dalam berkarya selama pembuatan 7 cerpen tersebut?”
Rinto Andriono: “Penulis yang sangat mempengaruhi mungkin belum ada. Saya masih terkagum-kagum saat diajak tour membaca beberapa karya sastrawan dunia di Akademi Menulis. Saya menikmati semuanya, karya sastra itu ibarat alat. Misalnya aliran realisme magis mungkin pas berhadapan dengan represi akut, aliran absurd lebih pas buat komunitas yang jumud, aliran realis pas untuk membangun optimis. AYE (Ahmad Yulden Erwin) mengajak saya menyelami karya-karya penulis besar, dan memahami konteks kepenulisannya. Kami silaturahmi dengan Gabriel Garcia Marques, Dostoyevsky, Mao Yan, Orhan Pamuk, Hemingway, dll. Dari situ anggapan saya sekarang, semua karya relevan dengan jamannya.”
Nurel Javissyarqi: “Apakah proses penyembuhan lewat berkarya sastra yang sampean lakukan, seperti masuk tahap-tahap awal kehidupan lagi atau serupa ada tenaga anyar yang melahirkan kembali, atau bagaimana mengolah tahap-tahap batin-raga ingatan dalam menggumuli prosesi tersebut?”
Rinto Andriono: “Saya berhadapan dengan penyakit defisiensi akut. Kata kawan saya AYE, ‘kurang dekat apa lagi dengan kematian?’ Ada orang bijak yang mengatakan, kematian ialah sebaik-baiknya nasihat. Nah, dengan demikian, maka kesembuhan saya harapkan memiliki bentuk-bentuk luas. Harapan awal, kembali kuat mencangkul seperti semula, tapi model ini sudah saya buang jauh-jauh, daripada menyiksa diri. Harapan selanjutnya, perubahan secara pandang saya pada hidup, model ini sepertinya lebih realistis. Sindiran Cak Lontong, itu cara sembuh dengan target minimalis. Tapi perubahan persepsi hidup itu menyenangkan, minimal serupa berwisata ke tempat yang belum pernah dilihat. Padahal cuma cara pandang pada hidup yang berubah. Hanya saya merasai pengaruhnya positif, tidak lagi penuntut, tak mudah kecewa, dll, termasuk lebih bisa tidur cepat. Di situ akhirnya merasa menemukan kesembuhan. Lagi-lagi hanya merasa, sehingga dalam hal ini subyektivitas saya besar.”
Nurel Javissyarqi: “Sepertinya ini menarik Mas, jika kelak menjadi buku tersendiri, -aq pernah menemukan buku2 semacam itu, atau serupa melawan vonis dokter dg cara menulis / melukis... matur suwon sanget telah berbagi pengalamannya...”
Rinto Andriono: “Sama-sama Mas, semoga sehat selalu. Prinsipnya dengan cara persepsi dan perilaku benar, maka tubuh akan mencari keseimbangan baru.”
***
Cak Bono: “Dalam setiap karya sastra yang baik, biasanya bernilai filosofis atau hal abstraksi idealisme untuk disampaikan. Menurut Mas Rinto Andriono, seringnya ini mendapatkan klik dari nilai-nilai filsafati dulu, atau perangkat cerita dulu macam karakter, setting atau plot yang terbentuk duluan, baru merumuskan nilai-nilai itu. Atau justru mengalir saja?”
Rinto Andriono: “Seperti imanensi dengan transendensi atau deduktif dengan induktif, keduanya ujung yang berbeda, tapi manusia akan memperoleh kebijaksanaan saat keduanya saling salaman dan mendekat untuk bekerjasama. Sepertinya para penulis dapat memulai dari perangkat cerita dulu, lalu ke nilai filsafatinya, atau pun sebaliknya. Arah manapun diambil, tetap memerlukan simpanan bacaan yang cukup, agar cerita menjadi lebih berdaging. Simpanan bacaan itu fakta kejadian dan cara pandang yang kan dirangkai guna memperkuat amanah cerita. Amanah cerita dalam benak saya ialah efek yang kita harapkan dari cerita tersebut. Tapi kalau saya yang masih belajar ini, mulainya dari nilai filsafatinya dulu, sebab dari situ kan terbantu menentukan amanah ceritanya. Maaf, jawabannya jauh dari praktis...”
Cak Bono: “Sebenarnya saya ini awam tentang menulis, sebagai pembaca sastra pun sangat sering menyederhanakan sastra dari kadar pesan dan kesan yang bisa teridentifikasi kedalamannya. Mungkin ini cara pandang yang anarkis dengan menafikan teori-teori beribet- ‘masukan’ dari ahli sastra. Apakah bisa penulis bersikap seperti itu? Karena sepertinya secara sederhana, semua hal bahkan tentang value sastra bisa dielevasi atau dicari-carikan valuenya oleh yang dianggap ‘otoritas’ sastra. Menurut anda, apa yg sebaiknya dilakukan oleh para pemula yang ingin memulai menulis.”
Rinto Andriono: “Saya pun begitu Mas, menyadari otoritas-otoritas yang ada, ya setelah kecemplung di Akademi Menulis. Sebelumnya blas... Lagi pula, bicara soal otoritas, dengan perkembangan sekarang, otoritas-otoritas pun berubah, bahkan otoritas keagamaan sekalipun. Penceramah yang Youtuber sering bikin fatwa kontroversial dianggap lebih otoritatif dari Kyai rendah hati tidak temperamental, tapi menulis kitab banyak dan mendalam. Keberadaan otoritas bergeser tanpa kemauan kita, dan hanya relevan di jamannya, tetapi bukan berarti tidak penting. Karena otoritas tadi barangkali membantu menjadi acuan karya yang bagus, meski bukan hantu penjaga pintu yang mesti ditakuti. Otoritas untuk tolok-ukur saja, tapi bukan untuk ditakuti. Bila tolok-ukur belum tercapai ya tidak apa, karena masih belajar. Otoritas-otoritas tadi, mungkin dan barangkali, akan membantu kita membaca pola yang pas, tentang genre sastra sesuai jamannya. Kira-kiranya begitu, maaf bila keliru. Namun yang pasti, sebaiknya pemula menulislah dengan benar gramatikalnya, agar tidak menyia-nyiakan waktu pembaca dengan tulisan titik komanya kacau balau.”
Cak Bono: “Benar sekali pemula harus belajar titik koma.”
Rinto Andriono: “Di situ, merupakan awal mula kepuyengan.”
***
Omni Koesnadi: “Dari buku2 fiksi yg anda baca, pengarang mana yang paling menggoda ingatan, setidaknya ada sisa resapan pengalaman dari proses membaca itu.”
Rinto Andriono: “Pengalaman saya menikmati buku sastra boleh dibilang pendek. Yaitu sewaktu kuliah sebagai pengisi waktu luang, dan setelah stroke sebagai penyembuhan. Waktu lainnya tidak serius, hanya sambil lalu membaca cerpen Kompas Minggu. Soal pengarang yang menggoda ya... sempat terlintas Pamuk, waktu itu saya pernah membaca Istanbul, lalu Gabriel Garcia Marques, Arundati Roy dalam The God of Small Things. Kalau di Indonesia ada Pram dan Ahmad Tohari.
Omni Koesnadi: “Banyak juga yach...”
***
Rinto Andriono (menyapa): “Kawan-kawan, saya kemarin menonton cuplikan dialog Pak Eka Budianta mengenai sastra di tengah Pandemi. Sangat apik. Beliau mengungkapkan bahwa kita sedikit belajar dari bencana/pandemi masa lalu. Beliau mencontohkan pembangunan kembali rumah-rumah setelah tsunami di Aceh, kembali meletakkan hidup manusianya pada ancaman risiko bencana. Pada hemat saya, ini mirip cerita gempa bumi di Bantul 2006, saat semua orang lupa gempa 1900-an yang nyaris sama besarnya dengan gempa 2006. Di saat itu, orang mencoba mengingat dengan menamai daerah itu sebagai Bantul, atau Bantala Mantul, bumi bergerak. Di Palu juga banyak daerah yang di tahun 2018 kemarin, liquifaksi parah, dinamai mirip ancaman bencana. Misalnya Petobo, daerah luquifaksi, yang kalau tidak salah artinya tanaman busuk. Di situ ada ajaran, agar penduduknya tidak boleh lebih dari 60 saja. Nah, kembali kepada Pak Eka Budianta tadi, beliau menanyakan makna kecenderungan karya sastrawi yang kian banyak saat karantina. Banyak puisi, cerpen tiga paragraf dll yang ditulis oleh bukan sastrawan seperti saya di media sosial. Pertanyaan Pak Eka adalah, apakah kecenderungan ini sekedar hiburan belaka, atau keberanian berkarya, agar kita bisa belajar dari suatu krisis, agar tidak celaka lagi di masa depan, sebagai langkah adaptasi umat manusia? Saya kira ini baik jadi renungan di grup Apsas.”
Cak Bono: Ini adalah bentuk wajar dari escapisme, bukan euphoria. Jadi yah, sebagai bentuk pelarian, fenomena pengganti dalam skala kecil atau individu, tetapi getarannya menurut saya bisa juga terasa sampai jauh. Escapisme dalam bentuk budaya populer, mungkin tidak melulu akan menghasilkan sesuatu yang gagal. Meski aroma ‘sekedar hiburannya’ lebih kental. Entah apa yang akan diperbuat Warhol di masa seperti ini. Saya sih tak terlalu mempermasalahkan. Biasa saja, toh dari fenomena escapisme ini nantinya pasti akan mendapat gerakan kritisnya sendiri. Namun, selama belum berjarak dari pandemi, fenomena escapism ini masih berlanjut. Karena, ketika dilanda ketidakberdayaan seperti saat ini, manusia cenderung untuk mencari keseimbangan yg ironinya justru keseimbangan itu terus bergeser seperti fatamorgana. Biar seniman manapun berkarya, dan sewajarnya pelaku kritisisme ‘khawatir,’ karena itu memang tugasnya untuk waspada. Bagi saya yg bukan sastrawan, tinggal menunggu, karya besar macam apa yang muncul dalam ‘postpandemy,’ apakah futility khas Becket setelah PD 2 dan Perang dingin yg berkepanjangan, atau justru Media Digital Interaktif akan total mengakhiri arus pemikiran utama, hingga menjadi remah-remah friksi pemikiran yang ditelan Kesenduan, pesimisme, depresi pasca pandemi. Mungkin ini baru setitik dari badai perubahan. Escapisme hanya satu wajah saja. Mungkin seperti itu, toh COVID19 juga tak peduli mau kita Pulkam ato Mudik.”
Rinto Andriono: “Waah, ini sudut pandang yang lain. Menarik Mas, terimakasih. Mari kita nikmati limpahan karya-karya sastrawi dari orang-orang biasa, bukan yang sudah ditahbiskan sebagai tokoh. Itu cara individu, agar tetap menjadi manusia disaat karantina. Kita harus tetap yakin pada hidup, dan berharap ada badai perubahan besar. Betul juga, kita tidak akan pernah sangat yakin bisa mempengaruhi perubahan. Hanya belajar, dan risau pun penting, bagi para penulis sebagai salah satu tugasnya sebagai sastrawan.”
Cak Bono: “Justru para penulis harus risau jika tidak risau. Escapisme menggantikan Paranoia bukan berarti dia tidak diterkam anxiety. Kemanusiaan akan bertahan dengan caranya sendiri, semacam apa yang dipercayai oleh Darwinian. Atau mungkin ketika pandemi berkepanjangan, mungkin akan mendorong ke arah AntiSocial pasca Social Distancing. Dan, justru mungkin ada yg terjebak dalam Stockholm Syndrome, semakin mencintai Anxiety dan makin mencintai nyeri keterasingan sebagai berkah atas keterkalahan dari realitas yg semakin hyper. Mencintai teror ini sebagai kemenangan alam yang hilang keperawanan dijajah modernisme. PostPandemy apakah menjadi disrupt atau statusquo kapitalisme, exploitasi, dan hilangnya ruang privat di atas nama pencegahan viral? Banyak pertanyaan gelap muncul pasca pandemy. Semua berebut paradigma besar. Mungkin saya tidak risau, karena bukan penulis atau sastrawan. Toh Covid 19, juga tak peduli mangsanya sastrawan atau penulis status facebook.”
Rinto Andriono: “Betul, post disaster dan post pandemi akan memberi peluang bagi perang pengaruh paradigma-paradigma besar. Menurut Naomi Klein dalam ‘The Shock Doctrine,’ selama ini kapitalisme yang menang setelah bencana. Kapitalisme menang melalui program hibah, dan pinjaman rekonstruksi pasca bencana. Kapitalisme merekonstruksi peran-peran negara, dan komunitas.”
Cak Bono: “Saatnya Negara berdiri di depan Pasar. Menyatakan Solidaritas tanpa syarat. Kadigdayan, China, Vietnam, Cuba di atas Pandemi seperti angin lalu, dan dicurigai sebagai kerja propaganda. Sementara pukulan di negara modal, justru dicitrakan secara natural, masive impact, yg seakan tidak ditutupi oleh media mainstrean kapitalistik, justru seakan melambung nilai Humanistik yamg mereka anut. Riya’ dibalik hibah sudah diluar kewaspadaan, sementara perlahan tolong-menolong menjelma eksploitasi melalui bantuan dan segala hibah yang menjadi pinjaman. Ini semacam rahasia umum. Sekali lagi kapitalisme bangkit dengan potensi ancaman lebih besar atas nama ancaman kesehatan global. Mendorong jarak social semakin jauh serta mengendalikan wacana berbungkus teror pandemi. Mendominasi informasi kian mengglobal, dilain pihak menjauhkan, mengasingkan kehidupan sosial lewat penguasaan dan pengawasan ruang privat, melalui teror ancaman kesehatan. Dan, seperti segala sesuatu dalam dunia maya sosmed. Racauan dan Realitas jadi sama buramnya. Nah, daripada pusing pada skenario besar warga netizen menyibukkan diri dengan escapism narasi kecil, narasi individual, narasi dunia hasrat mereka sendiri. Entah ini perlawanan atau justru ketidakpedulian. Itu, harus didalami ‘otoritas,’ sastra untuk tahu apa yang benar-benar terjadi atau sekedar takut dan khawatir atas ancaman terhadap otoritasnya. Peta buta yang bergerilya sendiri.”
Rinto Andriono: “Terimakasih Mas. Diskusinya bernas sekali. Bagi kawan-kawan yang mendapat anugerah bisa menuliskan gagasan dengan baik dan menarik. Saya kira, memiliki tugas suci untuk menyampaikan pesan ini. Sekaligus pesan-pesan manusiawi yang lain pasca pandemi, seperti persoalan solidaritas, stigma, keterasingan, himpitan, keputusasaan, harapan-harapan, dan lain-lain kisah kemanusiaan saat karantina.”
Cak Bono: “Seperti repetisi, Albert Camus pernah menggeluti isu ini dalam Orang Asing, dan Wabah Sampar. Meski tak mungkin tak sedasyat hari ini. Karakter utama Mersault dalam orang asing itu, karakter yg menganggap konvensi dan otoritas ialah absurd. Entah bentuk perlawanan atau ketidakpedulian. Novel Sampar, dengan Tokoh Dr Rieux, mungkin lebih kontekstual dgn situasi saat ini, manusia tak berdaya di tengah pandemi. Camus bahkan masih relevan dengan hari ini.”
***
30 April 2020
http://sastra-indonesia.com/2020/04/wawancara-proses-kreatif-menulis-cerpen-bersama-rinto-andriono/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar