Mohammad Rokib *
Selama berabad-abad, intuisi dan intelegensi telah
memainkan peran utama dalam aktivitas studi kesastraan. Kehadiran big data
belakangan ini yang dilirik baik dalam ilmu sosial apalagi ilmu eksakta telah
menawarkan sekaligus menantang tentang bagaimana pendekatan baru ini dapat
diterapkan pada disiplin ilmu tradisional seperti studi sastra.
Oleh sebagian kecil ilmuan humaniora, big data juga
digadang dapat memperbarui, melalui teknologi komputer, banyak disiplin
keilmuan yang mempelajari pemikiran manusia dan produk-produk budaya. Area
kajian keilmuan baru seperti ini kerap menyebut rumpun keilmuan mereka sebagai
Digital Humanities.
Apakah mungkin bila kita mengkaji sastra dengan
penerawangan big data? Lalu apa pentingnya mengkaji sastra, misalnya, dengan
big data?
Disiplin ilmu sastra sesungguhnya selaras dengan
pendekatan baru ini. Bukan hanya karena disiplin sastra sudah sangat lama dan
bahkan tertua di bidang humaniora, melainkan juga karena sudah berjuta karya,
penulis, genre, dan tema yang sudah ada, digunakan, dan didiskusikan oleh
banyak orang baik secara luring (offline) maupun daring (online).
Belakangan ini saya berupaya untuk terus mencari jawaban
atas kemungkinan dan relevansi big data dengan studi sastra. Bukan untuk
memaksakan big data yang memang sedang menjadi tren dalam berbagai disiplin
keilmuan untuk masuk dalam kajian sastra, tetapi usaha ini muncul dan
terinspirasi pertama kali ketika membaca karya Franco Moretti berjudul Distant
Reading (2013).
Karya ini tidak hanya mempertanyakan kembali konsep novel
yang sangat eurosentris dan kenapa novel selalu lekat dalam bentuk prosa,
tetapi juga membuka mata bahwa nyatanya komputer dapat membantu untuk mengunyah
ribuan data teks sastra dari abad ke abad dalam satu waktu.
Moretti mengakui bahwa penelitiannya cenderung berbeda
dan anti-mainstream karena bekerja secara kuantitatif untuk menggali data
tentang ragam jenis sastra, judul karya sastra, penulis, dan seterusnya dengan
suguhan hasil berupa diagram, peta, tabel, dan sejenisnya. Untuk menuju hasil
tersebut, bantuan data yang diolah secara komputasional telah mendukung dan
memudahkan kerja tersebut.
Meskipun tidak menyebut secara eksplisit tentang big data
dalam bukunya, apa yang dikerjakan Moretti pada dasarnya sebanding dengan cara
kerja big data.
Sebuah artikel yang ditulis Jennifer Schuessler (2017)
menyinggung pendekatan big data dalam kajian sastra dengan asumsi yang merujuk
Moretti bahwa kajian (kritik) sastra cenderung menganalisis satu karya pilihan
yang terbatas pada waktu tertentu. Karya pilihan tersebut hanya sampel.
Kritikus sastra perlu mempertimbangkan puluhan ribu karya lainnya baik di waktu
yang sama maupun berbeda.
Tantangan tersebut menggiring pada sebuah jawaban bahwa
ilmuan sastra memerlukan bantuan alogaritma komputer dan data digital untuk
memetakan sejarah sastra dalam kurun waktu yang panjang. Ini juga yang
meyakinkan sebuah sebuah kritik baru yang disebut sebagai computational
criticism atau kritik komputasional.
Dalam disiplin ilmu sastra, cara kerja big data tentu
saja akan berbeda dengan cara kerja yang sudah lazim dalam pendekatan ilmu
kesastraan.
Kita tentu saja sudah akrab dengan ragam aliran (ism)
dalam kajian sastra seperti formalisme, freudianisme, strukturalisme,
poskolonialisme, dan posmodernisme. Ragam isme tersebutlah yang selama ini
galib selalu dipakai untuk menafsir sastra, politik ataupun budaya.
Berbeda dengan isme-isme tersebut, big data bukan untuk
analisis makna atas simbol atau perlambangan tertentu, tetapi lebih mendalami
kata kunci apa saja yang banyak digunakan orang dari abad ke abad. Big data
diyakini telah mampu menyuguhkan pada pembaca, kritikus, dan pencinta sastra
terhadap jutaan data sastra melalui kata kunci tertentu dengan visualisasi
kuantitatif seperti grafik dan peta.
Pendekatan seperti ini lebih menekankan aspek jejaring
pada diskursus kesastraan. Pemaknaan atas jejaring itu bisa digapai dengan
pendekatan lain lagi, tetapi dengan suguhan hasil pemetaan big data, makna
tertentu sebenarnya dapat dengan mudah dijabarkan. Ini juga tidak menutup
kemungkinan untuk menggunakan pendekatan lain bila ingin mendalami satu topik
atau kasus tertentu.
Dalam buku lainnya berjudul Graph, Maps, Trees
(2005), Moretti sudah menunjukkan hasil penelitiannya yang fantastik tentang
sejarah sastra. Beragam jenis genre sastra Inggris antara tahun 1740 dan
1900 ditelisik dan terdeteksi terdapat 44 genre selama lebih dari 160 tahun.
Hasil penelusuran ini disajikan dalam sebuah grafik yang
komputasional. Hasil pemetaan lainnya seperti pohon asal muasal fiksi detektif
antara tahun 1891 dan 1900 dan peta desa dalam sastra Inggris yang populer pada
abad 19 juga sangat menarik dalam kajian sastra.
Meskipun pendekatan baru ini mendapatkan kritikan tajam
dari ilmuan humaniora lainnya, secara umum mereka tetap berkesan terhadap cara
kerja ala big data. Persoalan tersisa yang memang masih terus
dikembangkan adalah tentang apa makna sebuah data kuantitatif bagi ilmu
humaniora.
Galibnya, ilmu humaniora -terutama sastra- selalu
bertujuan untuk memahami dan memberi makna pada bahasa dan simbol yang sukar
dipahami oleh orang awam. Karena itu ilmu
sastra lekat dengan pertanyaan-pertanyaan sukar tentang estetika, eksistensi,
dan makna.
Selanjutnya, pertanyaan yang muncul adalah apakah mungkin
hal-hal seperti ini juga dapat dijawab melalui pendekatan big data.
Salah seorang sejarawan bernama Anthony Grafton
sebagaimana dikutip Patricia Cohen (2010) menyatakan bahwa dirinya sangat
mempercayai kuantifikasi. Dia juga mengagumi bagaimana bidang digtal humanities
telah melakukan kerja-kerja fantastis.
Tetapi dia tidak percaya bahwa kuantifikasi dapat
melakukan apa saja karena masalah-masalah kemanusiaan dalam ilmu humaniora
adalah tentang pemaknaan, tentang penafsiran. Ini nyaris tak mungkin dilakukan
dengan cara kuantitatif.
Bagi saya, hasil pemetaan dengan menggunakan big data
dalam studi sastra sebenarnya menyuguhkan sebuah pemahaman tertentu, meskipun
belum bisa mendalam sebagaimana cara kerja pendekatan sastra umumnya.
Yang menjadi titik terpenting dalam pendekatan ini bukan
pada pemaknaan atas karya atau topik tertentu dalam karya melainkan bagaimana
memahami pasang surut produktivitas seorang penulis, kecenderungan tema karya
sastra sepanjang sejarah, kecenderungan genre dalam kurun waktu tertentu, dan
perkembangan topik maupun genre sastra dari waktu ke waktu.
Maret 2018 lalu saya pernah membandingkan resepsi
warganet atas dua sastrawan yang pernah berseteru pada masanya yaitu Hamka dan
Pramoedya Ananta Toer melalui sebuah aplikasi khusus milik Google. Hasilnya
fantastis.
Terdapat sebuah hasil analisis berupa grafik dalam
hitungan detik tentang bagaimana catatan resepsi atas karya maupun tentang
eksistensi dua sastrawan tersebut dari tahun 1930 hingga 2015. Pada
masing-masing tahun kita dapat mengetahui sumber-sumber yang membuat keduanya
banyak diresepsi di internet.
Ahli sastra Indonesia asal Jerman bernama Arndt Graf
pada tahun 2007 juga menerbitkan hasil penelitian yang berbasis kritik komputasional.
Dia memanfaatkan mesin pencari Google untuk mengukur popularitas sastrawan
Pramoedya Ananta Toer di Internet.
Dengan pendekatan kuantitatif yang diperkaya dengan
pendekatan deskriptif, Graf menemukan bahwa novel Bumi Manusia menjadi paling populer
dengan disertai lima faktor yang mendukung persepsi atas novel tersebut.
Saya membayangkan, pemanfaatan big data dalam kajian
sastra sangatlah signifikan bila ingin mengetahui atau mengukur berapa banyak
orang telah membicarakan karya tertentu atau sastrawan tertentu; atau,
misalnya, bila ingin mengetahui topik maupun genre apa saja yang paling
diminati oleh pembaca.
Bila kelak muncul pertanyaan tentang jumlah novel
yang sudah ditulis oleh para penulis Indonesia sejak angkatan Balai Pustaka,
kita tentu butuh data seberapa banyak jumlah novel tersebut. Atau, bila ada
pertanyaan tentang genre yang paling diminati oleh pembaca Indonesia terhadap
novel-novel Indonesia sejak periode Balai Pustaka hingga kini, kita membutuhkan
data yang mendukung jawaban atas pertanyaan tersebut.
Pada konteks inilah big data sangat mungkin,
penting, dan relevan untuk dimanfaatkan dalam studi sastra yang sudah lama
sekali belum memercikkan sebuah revolusi kritik. Tidak berlebihan kiranya bahwa
gagasan kritik komputasional ala Moretti akan menjadi pendekatan revolusioner
dalam studi sastra di masa mendatang.
*) Mohammad Rokib, pengajar pada jurusan Bahasa Indonesia, FBS, Universitas Negeri Surabaya.
https://beritagar.id/artikel/telatah/tantangan-big-data-dalam-studi-sastra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar