Dulu tepatnya Selasa, 11 Oktober 2011, Komunitas Kretek (Komtek) pernah menyelenggarakan acara bedah buku, Kriminalisasi Berujung Monopoli di kompleks Kepatehan, Yogyakarta. Buku ini adalah antologi hasil riset sejumlah aktivis LSM dan akademisi yang menguak soal kuatnya kriminalisasi rokok di dunia, khususnya terhadap kretek di Indonesia. Pembicara utama dalam diskusi tersebut adalah Salamuddin Daeng, salah satu penulis buku tersebut.
Versus Kesehatan
Isu kesehatan adalah senjata ampuh sekaligus dalih paling ‘absah’ bagi aksi kriminalisasi dan kampanye anti merokok/mengkretek. Merokok (kretek), oleh gerakan anti (rokok) kretek dan rezim kesehatan telah dibenturkan dan dikonfrontasikan secara brutal dengan masalah kesehatan. Terkait dengan masalah kesehatan ini, ada tiga asumsi dasar yang diusung sebagai dasar legitimasi gerakan anti merokok (kretek):
Pertama, tembakau dan (rokok) kretek membahayakan kesehatan si perokok karena menyebabkan jutaan kematian. Asumsi ini masih bersifat warning (himbauan/peringatan) dan belum menimbulkan tindakan atau regulasi preventif secara lebih jauh.
Kedua, tembakau dan (rokok) kretek membahayakan orang lain atau perokok pasif (second–hand smoker). Asumsi kedua ini kemudian memunculkan sebuah konsekuensi sosial berupa regulasi pelarangan merokok/mengkretek di tempat umum. Asumsi dasarnya: setiap sesuatu yang mengganggu kenyamanan orang lain maka harus diatur atau ditertibkan. Dari asumsi ini kemudian lahir peraturan-peraturan pemerintah tentang perlunya penertiban dan pelarangan merokok di tempat-tempat publik.
Sedangkan asumsi ketiga, para perokok adalah orang sakit yang harus disembuhkan melalui pengobatan khusus atau melalui therapy pengganti (rokok) kretek. Dari asumsi ketiga ini kemudian muncul konsekuensi sosial lainnya berupa diciptakannya produk-produk baru di bidang kesehatan sebagai terapi bagi para perokok/pengkretek untuk meninggalkan kebiasan merokoknya. Produk-produk ini bisa berupa klinik maupun barang-barang suplemen pengganti (rokok) kretek.
Hingga saat ini isu kesehatan yang melandasi gerakan kampanye anti merokok masih sangat debatable. Memang rokok, termasuk kretek, mengandung unsur yang bisa menimbulkan kanker atau penyakit jantung. Tetapi pertanyaannya: apakah semua orang yang menderita kanker atau penyakit kronis secara eksplisit dan seratus persen pasti disebabkan oleh rokok atau kretek? Apakah kanker yang menyerang banyak manusia di dunia itu mutlak dan sepenuhnya disebabkan oleh rokok atau kretek?. Hingga saat ini belum ada sebuah penelitian ilmiah yang mampu memastikan benar tidaknya persoalan tersebut.
Dalam realitas empirik justru banyak ditemukan banyak para perokok/pengkretek yang usianya jauh lebih panjang dan kesehatannya jauh lebih prima daripada mereka yang tidak merokok/mengkretek. Tidak jarang pula orang yang tidak merokok/mengkretek justru banyak terserang penyakit berat sehingga mati lebih dini daripada mereka yang merokok/mengkretek. Karena itu, mengkorelasikan penyakit-penyakit kronis dengan aktifitas merokok (kretek) hingga saat ini belum bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah.
Sebaliknya, justru terkesan sangat simplistik apabila merokok atau mengkretek disebut-sebut sebagai biang keladi utama dan faktor tunggal munculnya penyakit-penyakit kronis semacam kanker atau jantung. Sebab, kita hidup ini berada dalam lingkungan yang tidak seratus persen bersih dari zat-zat polutan. Ada banyak radikal bebas di sekeliling kita yang menyebabkan maraknya banyak penyakit. Sampah, asap kendaraan bermotor, asap pabrik, limbah perusahaan, segala bentuk organisme semacam virus atau bakteri dan sebagainya bisa dikatakan penyumbang radikal bebas terbesar yang memicu banyaknya penyakit kronis semacam kanker maupun jantung. Namun dalam kenyataannya, para aktifis LSM dan akademisi yang anti merokok/mengkretek tidak pernah mempersoalkan zat-zat polutan dari kendaraan bermotor atau limbah pabrik itu sebagai faktor utama munculnya penyakit. Mereka justru seolah membuat framing dalam bentuk narasi wacana bahwa (rokok) kretek adalah pemicu utama berbagai penyakit.
Implikasi dan sasaran tembak gerakan mereka bukan hanya para perokok (konsumen). Para penjual, pemroduksi bahkan para petani tembakau dan cengkeh, juga turut mereka kriminalkan. Seolah pihak-pihak yang terlibat dalam aktivitas rokok baik itu konsumen, produsen, penjual, buruh upahan hingga petani yang menanam tembakau dan cengkeh merupakan pihak yang harus bertanggung jawab terhadap terganggunya kesehatan masyarakat.
Rokok, terutama rokok kretek Indonesia, kini secara sepihak disudutkan oleh mereka yang anti rokok. Tuntutan utama dari pihak yang anti rokok ini adalah membatasi produksi, distribusi dan konsumsi rokok, terutama kretek, sebesar-besarnya sehingga pada akhirnya rokok kretek Indonesiaa, benar-benar lenyap dari peredaran.
Bahkan lebih jauh, usaha untuk membatasi (rokok) kretek dalam berbagai sektornya itu diwujudkan dalam berbagai bentuk regulasi atau peraturan, misalnya, peraturan dilarang merokok di tempat-tempat umum dan sebagainya. Padahal dalam negeri sendiri (rokok) kretek merupakan pemasok pajak terbesar. Bahkan banyak beasiswa dan even–even seni dan olahraga yang disponsori oleh perusahaan (rokok) kretek.
Belakangan BPJS yang mengalami kerugian justru ditanggulangi lewat dana cukai (rokok) kretek. Ini aneh!. Tidak suka (rokok) kretek tetapi mau mengambil profite dari (rokok) kretek. Bahkan ada seorang mahasiswa yang anti rokok tetapi dia ikut menikmati beasiswa dari salah satu perusahaan ( rokok) kretek. Apakah tindakan seperti ini sehat?
Persaingan Pasar
Satu hal yang menjadi persoalan dalam polemik rokok ini adalah soal isu yang dimainkan oleh pihak-pihak tertentu di balik gerakan anti merokok/mengkretek. Masalah utama yang ada di balik gerakan anti merokok ini bukan semata persoalan kesehatan, melainkan persaingan ekonomi dan perdagangan, sebab geliat kampanye anti merokok yang sudah melibatkan intervensi negara melalui sejumlah peraturan dan regulasi ini lebih disebabkan oleh usaha untuk memperebutkan pangsa pasar; untuk memperebutkan konsumen.
Pada dasarnya, negara-negara maju, yang dikenal sangat getol berkampanye anti rokok, sepenuhnya tidak anti rokok. Produksi rokok terbesar justru ada di negara-negara maju. Di balik kampanye anti rokok, negara-negara maju itu berambisi ingin menguasai pangsa pasar dunia bagi produk rokoknya sekaligus menggilas produk-produk rokok di negara berkembang, yang kalau di Indonesia adalah rokok kretek. Di dalam buku Kriminalisasi Berujung Monopoli (2011:17) disebutkan data menarik bahwa ada lima perusahaan rokok terbesar di dunia yang memproduksi rokok dan sekaligus menguasai pangsa pasar global, yaitu National China Monopoli Tobbaco Company (menguasai 41 %), Philip Morris International (16 %), Britis American Tobacco /BAT(13 %), Japan Tobacco (11 %) dan Imperial Tobacco (6 %).
Selain itu, dan ini liciknya, bahwa negara-negara maju itu juga banyak memberikan subsidi terhadap produksi rokok mereka. Uni Eropa misalnya selama beberapa dekade telah menerapkan kebijakan subsidi untuk meningkatkan produksi tembakau. Ada delapan negara yang berada di bawah rezim Uni Eropa yang menerapkan subsidi bagi peningkatan produksi rokok: Austria, Belgia, Prancis, Jerman, Yunani, Italia, Portugal dan Spanyol. Begitu juga dengan Amerika Serikat. Amerika yang dikenal sebagai penghasil tembakau terbesar di dunia, pada tahun 2009 telah memberikan subsidi 203 juta dollar AS yaqng sebagian besar subsidi itu diterima perusahaan-perusahaan rokok besar yang ada di AS (Daeng, dkk., 2011:35 dan 36).
Dari keterangan tersebut menunjukkan bahwa negara-negara maju yang selama ini menggelar kampanye anti merokok atau anti tembakau di negara-negara berkembang seperti Indonesia, sesungguhnya tidak anti rokok. Negara-negara maju itu tahu bahwa rokok adalah komoditas paling menguntungkan untuk mengeruk pundi-pundi dollar. Tembakau sendiri adalah “emas hijau” yang bisa menghasilkan keuntungan besar, baik bagi perusahaan maupun bagi negara.
Karena itu alih-alih melarang dan menghentikan rokok, negara-negara maju yang dikenal sebagai produsen rokok dan tembakau terbesar di dunia semacam Amerika itu justru memberikan subsidi kepada perusahaan rokok dan petani tembakau yang ada di negeri itu. Lalu kenapa negara-negara maju itu, khsusunya Amerika, melakukan kampanye anti rokok di negara-negara Dunia Ketiga atau negara-negara berkembang, khususnya di Indonesia? Jawabnya sekali lagi jelas: mereka hendak memperluas pangsa pasar bagi produk-produk rokok mereka. Khusus di Indonesia, supaya produk-produk tembakau dari negara-negara maju itu laku dan menguasai di pasar Indonesia, maka di antara “strategi marketing” mereka adalah membunuh rokok-rokok lokal.
Salah satu sasaran rokok lokal yang hendak digulung paksa oleh berberapa korporasi rokok internasional tersebut adalah rokok kretek khas Indonesia. Dengan alasan kesehatan, rokok kretek kini hendak dimatikan produksi dan distribusinya. Rokok kretek yang merupakan hasil perpaduan antara tembakau dan cengkeh sehingga memunculkan rasa yang khas Nusantara diklaim lebih membahayakan kesehatan bila dibandingkan rokok putih hasil produksi para korporat rokok luar negeri semacam Philip Morris dan BAT.
Di sisi lain perusahaan farmasi juga ikut bermain. Dalam hal ini, perusahaan farmasi juga turut aktif menjadi agen penjual nikotin, yang kalau di Indonesia akan bersaing dengan perusahaan-perusahaan rokok kretek. Sebagai upaya untuk turut serta menggilas rokok, terutama kretek yang ada di Indonesia, perusahaan-perusahaan farmasi itu telah memproduksi obat-obat dan suplemen sebagai pengganti rokok dan/atau kretek. Dalaam rangka memasarkan produk-produknya inilah perusahaan-perusahaan farmasi dunia turut membiayai gerakaan dan kampanye anti rokok di berbagai dunia, termasuk di Indonesia. Jika kampanye ini diberjalan di Indonesia, maka sasarannya jelas rokok kretek, sebab rokok khas Indonesia ini dikenal mempunyai pangsa pasar yang besar; konsumennya di dalam negeri sungguh luar biasa.
Perusahaan farmasi dalam usahanya melakukan kampanye anti rokok atau yang belakangan diperluas menjadi gerakan anti tembakau itu juga menjalin kerjasama dengan lembaga-lembaga lain atau LSM yang sevisi. Salah satu LSM yang turut melakukan gerakan anti merokok/mengkretek secara sistematis adalah Bloomberg Initiative, sebuah LSM yang didirikan oleh mantan walikota New York, Michael Bloomberg. Lembaga ini telah mengucurkaan dana dalam jumlah besar ke berbagai negara, termasuk ke Indonesia, untuk memerangi (rokok) kretek bahkan tembakau.
Sudah sering terdengar, di antara beberapa orang telah menyuarakan agar para petani tembakau di Indonesia berhenti menanam tembakau dan mengkonversinya ke tanaman lain seperti sawi atau kubis. Akan tetapi, kenyataan membuktikan bahwa beberapa tanah pertanian yang sudah berpuluh-puluh tahun ditanami tembakau, seperti yang ada di Temanggung, Jawa Tengah tidak cocok untuk ditanami tanaman lain, apalagi sawi dan kubis. Selain itu, harga tembakau juga jauh lebih tinggi dari harga sayuran. Kalau misalnya para petani tembakau beralih ke tanaman lain, lalu keuntungan mereka merosot, apakah pemerintah atau LSM anti tembakau itu bersedia memberikan ganti rugi kepada para petani tembakau tersebut? Jawabnya jelas: imposibel.
Intinya, untuk memperluas pangsa pasar, rokok putih produksi asing, seperti Marlboro, Lucky Strike dan sebagainya dianggap lebih aman daripada rokok kretek. Inilah salah satu bentuk kelicikan perdagangan global di balik kampanye anti rokok kretek sedunia. Hingga sekarang gerakan-gerakan anti rokok ini terus hidup bahkan mulai menelusup ke sejumlah lembaga mulai dari lembaga-lembaga pemerintahan, ormas keagamaan hingga universitas.
Berbagai langkah strategis telah dilakukan untuk menekan laju produksi dan konsumsi rokok kretek di tanah air, namun usaha mereka nampaknya sia-sia karena angka perokok kretek di Indonesia tetap tinggi. Belakangan ada isu bahwa cukai rokok di Indonesia akan dinaikkan sehingga harga rokok akan semakin mahal. Dengar-dengar, jika kebijakan ini terwujud bisa jadi harga rokok rata-rata akan di atas Rp.50.000,-. Benarkah demikian?
Kalau toh isu kenaikan cukai itu benar, maka tidak mungkin tradisi mengkretek di Indonesia akan berkurang, apalagi musnah. Kretek adalah tradisi yang sudah mendarah daging dalam diri manusia Indonesia. Karena sudah menjadi tradisi atau kebiasaan yang sulit ditinggalkan, masyarakat Indonesia senantiasa kreatif untuk mensiasati kendala-kendala mengkretek, termasuk dalam kendala ekonomi. Jika tidak mempunyai uang, orang Indonesia tidak lantas berhenti merokok/mengkretek tetapi mencari rokok kretek yang murah. Kalau masih tidak ada rokok kretek murah, mereka akan bikin rokok kretek sendiri dengan citarasa lokal. Kalau bikin rokok sendiri dilarang juga, mereka masih bisa bikin Tengwe (mengklinting dewe) dengan modal kertas koran dan tembakau plus cengkeh buatan sendiri. Dengan kreatifitas seperti ini, para korporasi rokok asing dan LSM-LSM serta rezim kesehatan yang hendak membunuh kretek di Indonesia, akan stress sendiri.
Ayo gencarkan terus kampanyemu dan guyurkan sebesar-besarnya uangmu untuk membungkam rokok kretek kami, maka kami wong Nuswantara akan tetap dan terus mengkretek. Sudah banyak produk-produk andalan kami, mulai dari jamu, minyak goreng dan sejenisnya yang kalian libas dengan produk-produk kalian. Sekarang kretek adalah di antara sedikit yang masih tersisa dari kami, dan kini masih hendak kalian libas juga dengan cara-cara kalian yang licik melebihi iblis manapun. Tidak akan pernah berhasil kalian anak cucu kaum penjajah, penindas dan penggarong, menghentikan kami, wong Nuswantara, untuk terus menyulut dan menghisap kretek.
*) Muhammad Muhibbuddin adalah penulis lepas tinggal di krapyak.
https://sastra-indonesia.com/2020/04/di-balik-kampanye-anti-rokok-kretek-internasional/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar