Kamis, 23 April 2020

MONUMEN KEBUDAYAAN PUJANGGA BARU

Maman S. Mahayana *

Dalam perjalanan sejarah bangsa ini, di manakah tempat majalah Pujangga Baru? Apakah peranan yang telah dimainkannya begitu penting, sehingga ia harus ditempatkan dengan tonggaknya sendiri; atau sekadar gerakan pemikiran –lebih khusus lagi, kesusas-traan– yang bermuara pada sebuah majalah yang bernama Pujangga Baru?

Dalam rentang waktu abad XX, mesti diakui, tidak ada satu pun majalah yang peranan dan pengaruhnya begitu monumental, sebagaimana yang telah diperlihatkan Pu-jangga Baru. Bahkan lewat majalah itu pula perdebatan pemikiran mengenai kebudayaan Indonesia berkembang melampaui zamannya. Bagaimana mungkin sebuah majalah de-ngan tiras yang tidak pernah lebih dari lima ratusan eksemplar, dikelola dengan sumber dana yang pas-pasan, dapat menjadi sebuah media yang berpengaruh dan pengaruhnya melebar menjadi sebuah polemik kebudayaan yang berskala nasional?

Dalam edisi pertama Pujangga Baru, dinyatakan bahwa majalah yang dikelola Armijn Pane, Amir Hamzah, dan Sutan Takdir Alisjahbana itu, untuk sementara terbit dua bulan sekali. Kemudian adanya tawaran untuk berlangganan “agar dapatlah kami mengira-ngira djoemlah lembar ‘Poedjangga Baroe’ jang akan ditjetak” menunjukkan bahwa majalah itu terbit tanpa persiapan dana yang memadai. Ada sekitar 150-an orang yang kemudian menjadi pelanggan majalah itu. Tentu saja jumlah itu terlalu sedikit diban-dingkan majalah lain yang terbit pada zamannya. Sekadar menyebut dua contoh, majalah Panji Pustaka (1922–1945) dan Pedoman Masyarakat (1935–1942), misalnya, meru-pakan majalah mingguan dengan tiras yang jauh lebih banyak dibandingkan Pujangga Baru. Penyebarannya, terutama Pedoman Masyarakat, juga lebih luas, tidak hanya di kota-kota besar di Nusantara, tetapi juga di Semenanjung Melayu, Mesir, dan Belanda. Tetapi mengapa pengaruhnya tidak begitu menonjol?

Dalam bidang kesusastraan, kedua majalah itu memang punya kontribusi penting dalam melahirkan sejumlah penulis; juga dalam menampung karya-karya sastrawan mu-da. Meskipun demikian, dengan peranan yang telah dimainkan kedua majalah itu, tidak pula berarti menafikan peranan Pujangga Baru dalam memajukan kesusastraan kita. La-hirnya majalah Pujangga Baru itu sendiri, di samping memang dimaksudkan untuk me-nampung aspirasi sastrawanan yang tersebar di pelosok Nusantara, juga sesungguhnya merupakan salah satu bentuk reaksi atas keberadaan Panji Pustaka yang dinilai tidak memberi ruang yang lebih luas bagi sastrawan dalam mengembangkan kreativitasnya.

Sebagai media yang berada di bawah pengawasan lembaga Balai Pustaka yang menerapkan kebijaksanaannya secara ketat, Panji Pustaka, dalam beberapa hal, dianggap memasung kreativitas para sastrawan. Sementara itu, Pedoman Masyarakat cenderung mengangkat persoalan umum (sosial, politik, budaya) dengan titik berat agama Islam. Dengan demikian, kedua majalah itu tidak secara signifikan mengangkat kebudayaan sebagai isu sentral. Dalam hal inilah, Pujangga Baru secara cerdas berhasil menggiring dari persoalan kesusastraan ke persoalan kebudayaan yang kemudian menjadi problem bangsa yang waktu itu disadari perlu segera dirumuskan.

Demikianlah, bagaimanapun juga, dalam masalah-masalah kebudayaan dan pemi-kiran, Pujangga Baru tetap menempati kedudukan yang khas. Dalam hal inilah peranan Sutan Takdir Alisjahbana tidak dapat diabaikan. Begitu pentingnya peran yang telah di-mainkan tokoh ini, sehingga membicarakan Pujangga Baru, khususnya tentang polemik kebudayaannya, hampir tidak mungkin tanpa melibatkan nama itu. Dan memang dia pula yang menjadi tokoh kuncinya.
***

Madjallah kesoesasteraan dan bahasa serta keboedajaan oemoem,” demikian subjudul yang tercantum dalam edisi pertama penerbitan Pujangga Baru, Juli 1933. Dalam “Pendahuluan” secara tegas dinyatakan pula ”Demikianlah makin sehari makin hasratlah orang menantikan kelahiran seboeah madjallah jang semata-mata memen-tingkan kesoesasteraan dan mengikat serta memberi pimpinan pada poedjangga jang tjerai-berai itu. Dalam pada itoe bahasa Indonesia oemoemnja telah lama poela me-nanti penjelidikan dan toentoenan berhoeboeng dengan kehendak zaman dan keadaan baroe dalam pergaoelan Indonesia.

Sejumlah artikel yang terdapat di dalamnya juga mencerminkan misi tersebut. Artikel Alisjahbana, “Menuju Seni Baru” atau Armijn Pane, “Kesusasteraan Baru” mem-perlihatkan, betapa bersemangatnya para pengelola majalah itu mengangkat sastra Indo-nesia agar terlepas dari bentuk sastra tradisional. Kata pujangga sendiri dijelaskan Armijn Pane dalam artikelnya yang dimuat Suara Umum, 3 Mei 1933: “Kami tidak menyebut di-ri kami penyair, tapi pujangga. Juga bukan bujangga. Kami tidak menyebut hasil jiwa kami syair dan pantun, tapi sajak dan puisi.” Dalam setahun penerbitannya, Pujangga Baru tampak masih menekankan pada soal-soal kesusastraan.

Dalam tahun kedua penerbitannya, soal kebudayaan juga belum mendapat perha-tian yang memadai meskipun dalam pengantarnya disebutkan, “tambahan ‘keboedajaan oemoem’ itu boekanlah tempelan jang tiada berarti….” Hanya Alisjahbana yang begitu bersemangat mengangkat soal itu, seperti tampak dalam artikelnya, “Menghadapi Kebu-dayaan Baru” (PB, 12/I/Juni 1933). Sementara itu, tulisan Muhammad Yamin, “Perguru-an Tinggi Indonesia” (PB, 1/II/Juli 1934) memperlihatkan pandangan Yamin yang jauh ke depan bahwa syarat mendirikan kebudayaan baru untuk kesempurnaan kemajuan bangsa Indonesia, pendirian perguruan tinggi merupakan suatu kemestian. Inilah artikel pertama yang menyinggung pentingnya perguruan tinggi bagi bangsa Indonesia agar “segera akan terbentanglah fadjar kebangoenan Indonesia dikaki langit Asia Baroe jang mempengaroehi sedjarah seloeroeh doenia.”

Titik berat perhatian Pujangga Baru mulai bergeser dari kesusastraan ke kebuda-yaan terjadi saat majalah itu memasuki tahun ketiga (Juli 1935). Dinyatakan dalam subju-dulnya, “Pembawa semangat baroe dalam kesoesasteraan, seni, keboedajaan, dan soal masjarakat oemoem.” Pernyataan ini kemudian ditegaskan kembali dalam pengantar Re-daksi edisi itu: “…dengan memadjoekan oesaha kesoesasteraan jang creatief, madjallah ini akan menjinari soal keboedajaan dan masjarakat dengan lampoe pentjari soesoen-an masjarakat persatoean jang akan datang.”

Dalam edisi kedua (Agustus) tahun itu, munculah artikel Alisjahbana “Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru” yang kemudian mengundang reaksi banyak pihak. Artikel ini pula yang belakangan menjadi titik pangkal terjadinya polemik kebudayaan yang perbalahannya melebar dari Pujangga Baru lewat Poerbatjaraka (3/III/ September 1935) sampai ke media massa lain, seperti Suara Umum (Surabaya), Bintang Timur (Ja-karta), Pewarta Deli (Medan) dan Wasita (Yogyakarta).

Di antara kritik atas artikel itu, Alisjahbana malah melanjutkan gagasannya dan sekalian melakukan kritik balik atas berbagai sanggahan yang dialamatkan kepadanya.Serangkaian perbalahan itulah yang kemudian dikumpulkan Achdiat Karta Mihardja dan kemudian menerbitkannya dalam buku Polemik Kebudayaan (1948). Dalam Kata Peng-antarnya disebutkan bahwa polemik itu terjadi dalam tiga tahap. Pertama, terjadi dalam Pujangga Baru Bintang Timur dan Suara Umum (Agustus–September 1935) antara Ali-sjahbana, Sanusi Pane dan Poerbatjaraka. Kedua, dalam Pujangga Baru, Suara Umum, Pewarta Deli, dan Wasita (Oktober 1935–April 1936) antara Alisjahbana, Dr. Sutomo, Tjindarbumi, Dr. M. Amir, Adinegoro, dan Ki Hadjar Dewantara. Ketiga, terjadi dalam Pujangga Baru dan Pewarta Deli (Juni 1939) antara Alisjahbana dan Dr. M. Amir.

Secara ringkas, perdebatan itu berkisar pada gagasan Alisjahbana yang begitu mengagungkan dan memberi penghargaan tinggi pada kebudayaan Barat, sebaliknya ia tidakmemberi tempat pada kebudayaan Indonesia di masa lalu. Terlepas dari soal setuju atau tidak setuju pada gagasan itu, Alisjahbana yang memicu terjadinya pemikiran akan pentingnya merumuskan kebudayaan Indonesia.

Titik berat pada persoalan kebudayaan dan sosial, makin tampak dalam usia Pujangga Baru memasuki tahun keempat (Juli 1936). Subjudulnya juga diganti menjadi: “pembimbing semangat baroe jang dinamis oentoek membentuk keboedajaan baroe, ke-boedajaan persatoean Indonesia.” Dalam pengantarnya, juga dinyatakan adanya perge-seran perhatian: “Dari madjallah jang teroetama mementingkan kesoesasteraan perla-han-lahan Poedjangga Baroe mendjedjakkan kakinja dilapangan keboedajaan bangsa kita… keboedajaan persatoean Indonesia.” Dan kembali, sedikitnya lima artikel Alisjah-bana melanjutkan gagasannya mengenai “Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru.”

Dalam Nomor Peringatan Pujangga Baru (1933–1938), orientasi ke kebudayaan Barat dikatakan tidaklah dalam arti sempit, melainkan “dalam arti yang seluas-luasnya.” Dengan begitu, pemahaman kebudayaan Barat itu juga ditempatkan sebagai kebudayaan internasional. Soetan Sjahrir yang juga menulis dalam Nomor Peringatan itu, menegaskan konsekuensi Pujangga Baru: “pergerakan Poedjangga Baroe hanja soeatoe roepa dari keboedajaan universeel jang ada didoenia.” Sesungguhnya, perjuangan Pujangga Baru dalam mengangkat harkat kebudayaan persatuan Indonesia, justru di dalam kerangka universalitas itu. Dan sikap itu terus dipertahankannya secara konsisten sampai Pujangga Baru menghentikan penerbitannya, Februari 1942.
***

Dalam masa belum genap satu dasawarsa itu (Juli 1933–Februari 1942), Pujang-ga Baru sesungguhnya telah berhasil mengangkat isu kebudayaan persatuan Indonesia sebagai isu yang mewakili nasionalisme kebudayaan. Dari sikap konsisten Pujangga Ba-ru, khususnya Alisjahbana, pemahaman mengenai Indonesia baru yang hendak menatap masa depannya dan masa prae-Indonesia yang berlumut, pucat dan letih, menjadi bahan yang justru harus dipikirkan bersama. Konsep kebudayaan dan identitas Indonesia, me-ngemuka dan bergeser menjadi sebuah pemikiran mengenai nasionalisme kebudayaan. Inilah kontribusi penting Pujangga Baru yang ternyata berpengaruh kuat pada sikap, pemikiran, dan orientasi budaya generasi berikutnya.

Periksalah Surat Kepercayaan Gelanggang! “Kalau kami berbicara tentang kebudayaan Indonesia, kami tidak ingat kepada melap-lap hasil kebudayaan lama sampai berkilat dan untuk dibanggakan.” Bukankah ini paralel dengan gagasan Alisyah-bana mengenai masyarakat dan kebudayaan (Indonesia) baru dan kebudayaan prae-Indonesia? Hal yang sama juga menyangkut cita-cita dan orientasi budaya: “Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami terusan dengan cara kami sendiri …” yang dikatakan Alisjahbana sebagai “suara angkatan muda yang menghendaki yang baru, mengusahakan yang baru, melahirkan yang baru, dan berpe-doman kebudayaan internasional.”

Dalam konteks itu, baik Pujangga Baru, maupun Angkatan 45 –lewat Surat Ke-percayaan Gelanggang, berpendirian sama mengenai sikap budaya yang berorientasi ke Barat atau dalam bahasa Sutan Syahrir: kebudayaan universal. Ketika terjadi polemik pendukung Surat Kepercayaan Gelanggang yang kemudian juga pendukung Manifes Ke-budayaan dengan golongan Lekra, soal tersebut kembali mengemuka dengan isu human-isme universal dan realisme sosialis.
***

Jika kini, dalam rentang waktu memasuki milenium ketiga, masih relevankah pe-mikiran dan orientasi budaya Pujangga Baru dipersoalkan kembali? Dalam konteks seka-rang ini, pemikiran apa lagi yang masih dapat diaktualisasikan? Terlepas dari setuju atau tidak pada gagasan Alisjahbana, ia secara cerdas telah menempatkan dirinya sebagai bagi-an yang tak terpisahkan dari Pujangga Baru. Lewat majalah ini pula pergolakan pemikir-an dan kegelisahan kultural memperoleh salurannya. Bahwa di kemudian hari ia menjadi sebuah monumen, tonggaknya memang sudah didirikan pada zamannya, dan kemudian dikukuhkan oleh generasi-generasi berikutnya.

Satu hal yang patut direnungkan adalah gagasan Alisjahbana mengenai “keboe-dajaan persatoean Indonesia.” Bahwa ia telah memikirkan tentang kebudayaan persatu-an Indonesia lebih dari setengah abad yang lalu, tentulah masalahnya menyangkut nasib masa depan bangsa ini. Jika kini Indonesia menghadapi masalah disintegrasi, yang dalam bahasa Alisjahbana: Indonesia–Prae-Indonesia, maka itu berarti Indonesia kini tidak berbeda dengan Indonesia zaman kolonial. Jadi, sungguh absurd jika di antara kita ada yang berkeinginan membangun sebuah negeri di dalam negerinya sendiri.

Barangkali inilah tugas kita sekarang: merumuskan kembali monumen kebudaya-an yang telah didirikan Pujangga Baru, yaitu kebudayaan persatuan Indonesia!

_____________________
*) Maman S. Mahayana, lahir di Cirebon, Jawa Barat, 18 Agustus 1957. Dia salah satu penerima Tanda Kehormatan Satyalancana Karya Satya dari Presiden Republik Indonesia, Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono (2005). Menyelesaikan pendidikannya di Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FS UI) tahun 1986, dan sejak itu mengajar di almamaternya yang kini menjadi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB-UI). Tahun 1997 selesai Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Pernah tinggal lama di Seoul, dan menjadi pengajar di Department of Malay-Indonesian Studies, Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea Selatan. Selain mengajar, banyak melakukan penelitian. Beberapa hasil penelitiannya antara lain, “Inventarisasi Ungkapan-Ungkapan Bahasa Indonesia” (LPUI, 1993), “Pencatatan dan Inventarisasi Naskah-Naskah Cirebon” (Anggota Tim Peneliti, LPUI, 1994), dan “Majalah Wanita Awal Abad XX (1908-1928)” (LPUI, 2000).
http://sastra-indonesia.com/2008/10/monumen-kebudayaan-pujangga-baru/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

20 Tahun Kebangkitan Sastra-Teater Lamongan A Jalal A. Anzieb A. Khoirul Anam A. Mustofa Bisri A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja Abdoel Moeis Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdullah Abubakar Batarfie Abdurrahman Wahid Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Acep Iwan Saidi Achdiat K. Mihardja Achiar M Permana Adek Alwi Adhi Pandoyo Adib Baroya Aditya Ardi N Adri Sandra Adu Pesona Sang Wakil Cawapres RI Afrizal Malna Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agus Buchori Agus Dermawan T. Agus Mulyadi Agus Prasmono Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahmad Farid Yahya Ahmad Hasan MS Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Saifullah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alawi Al-Bantani Alfatihatus Sholihatunnisa Alfian Dippahatang Ali Audah Alim Bakhtiar Amie Williams Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amril Taufik Gobel An. Ismanto Andhi Setyo Wibowo Andi Andrianto Andong Buku #3 AndongBuku #3 Andrea Hirata Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Antologi Sastra Lamongan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Arafat Nur Ardi Wina Saputra Ardy Suryantoko Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arman A.Z. Arsyad Indradi Asarpin Ashimuddin Musa Asrul Sani Astuti Ananta Toer Atafras Audifax Awalludin GD Mualif Ayu Nuzul Azizah Hefni B Kunto Wibisono Bahrul Amsal Bambang Kempling Beni Setia Benny Benke Beno Siang Pamungkas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bloomberg Bre Redana Budaya Budi Darma Buldanul Khuri Bustan Basir Maras Candra Adikara Irawan Candrakirana Cangaan Ujungpangkah Gresik Jawa Timur Capres Cawapres 2019 Catatan Ceramah Cerpen Chairil Anwar Chicilia Risca CNN Indonesia Coronavirus COVID-19 D. Zawawi Imron Damiri Mahmud Darju Prasetya Darman Moenir Deddy Arsya Denny JA Denny Mizhar Devy Kurnia Alamsyah Dhoni Zustiyantoro Dian Sukarno Didin Tulus Dien Makmur Din Saja Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Donny Anggoro Donny Darmawan Dr. Hilma Rosyida Ahmad Dwi Cipta Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Dyah Ayu Fitriana Ecep Heryadi Edy Suprayitno Eka Budianta Eka Kurniawan Elok Dyah Messwati Engkos Kosnadi Erdogan Erwin Setia Esai Esti Nuryani Kasam Evan Ys F. Budi Hardiman F. Rahardi Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Fahrur Rozi Faidil Akbar Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathul Qorib Fatkhul Anas Feby Indirani Felix K. Nesi Festival Teater Religi Festival Teater Religi Pelajar SLTA Se-kabupaten Lamongan Fira Basuki Forum Santri Nasional (FSN) Frischa Aswarini Fuad Mardhatillah UY Tiba Fuad Nawawi Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gde Artawan Geger Riyanto Geguritan Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Guenter Grass Gus Ahmad Syauqi Gus tf Gusti Eka Habib Bahar bin Smith Haiku Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Han Gagas Hary B Koriun Hasan Basri Hasnan Bachtiar Heri Ruslan Herman Hesse Hertha Mueller Heru Kurniawan Hestri Hurustyanti Holy Adib Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu I Made Prabaswara I Made Sujaya IAI TABAH (Institut Agama Islam Tarbiyatut Tholabah) Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Iksaka Banu Imam Jazuli Imam Nawawi Imammuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Mahadi Indra Tjahyadi Irfan Afifi Irine Rakhmawati Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS J.S. Badudu Jadid Al Farisy Jajang R Kawentar Jawa Timur Jean Marie Gustave le Clezio JJ. Kusni Jl Raya Simo Sungelebak Jo Batara Surya John H. McGlynn Jordaidan Rizsyah Jual Buku Paket Hemat Juara 3 Lomba Lompat Jauh DISPORA LAMONGAN Jurnalisme Sastrawi K.H. Ma'ruf Amin Kadek Suartaya Kaheesa Kirania Putri Ayu Kahfie Nazaruddin Kalis Mardiasih Kamaluddin Ramdhan Kanti W. Janis Karanggeneng Kardono Setyorakhmadi Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Pantura (KBP) KetemuBuku Jombang KH. M. Najib Muhammad KH. Muhammad Amin (1910-1949) Khairul Mufid Jr Khawas Auskarni Khoirul Abidin Khoshshol Fairuz Ki Ompong Sudarsono Kitab Arbain Nawawi Kodrat Setiawan Kompas TV Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA) Komunitas Sastra dan Teater Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Komunitas-komunitas Teater di Lamongan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Luar Biasa Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) Kopuisi Kostela Kritik Sastra Kumpulan Cerita Buntak Kurnia Effendi Kuswaidi Syafi’ie L Ridwan Muljosudarmo L.K. Ara Lamongan Lan Fang Lawi Ibung Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Literasi Liza Wahyuninto Lukas Luwarso Lukisan Lukman Lukman Santoso Az Lutfi Mardiansyah M Farid W Makkulau M. Faizi M.D. Atmaja Madrasah Aliyah Matholi'ul Anwar Madrasah Ibtida’iyah Thoriqotul Hidayah 1 Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S Mahayana Manado Manneke Budiman Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mario F. Lawi Marsel Robot Martin Aleida Marwanto Mashuri Massayu Masuki M. Astro Masyhudi Media Seputar Pendidikan Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Purnama di Kampung Halaman Mereka yang Menjerat Gus Dur MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mien Uno Moh. Dzunnurrain Moh. Jauhar al-Hakimi Mohammad Rafi Azzamy Mohammad Rokib Mohammad Yamin Muafiqul Khalid MD Much. Khoiri Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alfatih Suryadilaga Muhammad Antakusuma Muhammad Fikry Mauludy Muhammad Hafil Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad N. Hassan Muhammad Subarkah Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Muhyiddin Mukadi Mukani Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Musa Ismail Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang E S Nara Ahirullah Naskah Teater Nezar Patria Noor H. Dee Nunus Supardi Nur Haryanto Nur Wachid Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Okky Madasari Olivia Kristina Sinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pagelaran Musim Tandur Palupi Panca Astuti Pameran Lukisan Parimono V / 40 Plandi Jombang PC. Lesbumi NU Babat PDS HB Jassin Pelukis Dahlan Kong Pelukis Tarmuzie Penculikan Aktivis 1988 Pendidikan Pengajian Pengarang kelahiran Lamongan Pentigraf Pepaosan Perbincangan Peringatan Hari Pahlawan 10 November Pilang Tejoasri Laren Lamongan Jawa Timur Pipiet Senja Politik Pondok Pesantren Ali Bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Jokowi Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi (PMK) Puji Santosa Pustaka LaBRAK PUstaka puJAngga R. Ng. Ronggowarsito Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rasanrasan Boengaketji Raudlotul Immaroh Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Reuni dan Halal Bihalal Mts Putra-Putri Simo 1992 Ribut Wijoto Riki Antoni Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Robin Al Kautsar Rodli TL Roland Barthes Rosi Rosihan Anwar RR Miranda Rumah Budaya Pantura (RBP) S. Jai S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabrank Suparno Safitri Ningrum Sainul Hermawan Sajak Salman Aristo Sandiaga Uno Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Sastra Tasikmalaya (SST) Sarasehan dan Launching Buku Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Kuno Suku Sasak Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Satu Jam Sastra Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSAstra Boenga Ketjil Seni Gumira Ajidarma Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seputar Sastra Pendidikan Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sirdjanul Ghufron Siwi Dwi Saputro Slamet Rahardjo Rais Soediro Satoto Soekarno Soeparno S. Adhy Soesilo Toer Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Sri Handi Lestari Sri Wintala Achmad STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sujatmiko Sukarno Suminto A. Sayuti Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahrudin Attar Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari Sylvianita Widyawati Tangguh Pitoyo Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Ilat Teater nDrinDinG Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tias Tatanka Timur Sinar Suprabana Titi Aoska Tiyasa Jati Pramono Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Toni Masdiono Tri Broto Wibisono TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Tulus Wijanarko Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Jember Universitas Negeri Jember Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyu Aji Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Wiji Thukul Wildan Nugraha Wildana Wargadinata Yanusa Nugroho Yasraf Amir Piliang Yerusalem Ibu Kota Palestina Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhi Herwibowo Yuditeha Yusri Fajar Yuval Noah Harari Zainal Arifin Thoha Zainuddin Sugendal Zara Zettira ZR Zehan Zareez Zuhdi Swt