Maman S. Mahayana *
Dalam perjalanan sejarah bangsa ini, di manakah tempat majalah Pujangga Baru? Apakah peranan yang telah dimainkannya begitu penting, sehingga ia harus ditempatkan dengan tonggaknya sendiri; atau sekadar gerakan pemikiran –lebih khusus lagi, kesusas-traan– yang bermuara pada sebuah majalah yang bernama Pujangga Baru?
Dalam rentang waktu abad XX, mesti diakui, tidak ada satu pun majalah yang peranan dan pengaruhnya begitu monumental, sebagaimana yang telah diperlihatkan Pu-jangga Baru. Bahkan lewat majalah itu pula perdebatan pemikiran mengenai kebudayaan Indonesia berkembang melampaui zamannya. Bagaimana mungkin sebuah majalah de-ngan tiras yang tidak pernah lebih dari lima ratusan eksemplar, dikelola dengan sumber dana yang pas-pasan, dapat menjadi sebuah media yang berpengaruh dan pengaruhnya melebar menjadi sebuah polemik kebudayaan yang berskala nasional?
Dalam edisi pertama Pujangga Baru, dinyatakan bahwa majalah yang dikelola Armijn Pane, Amir Hamzah, dan Sutan Takdir Alisjahbana itu, untuk sementara terbit dua bulan sekali. Kemudian adanya tawaran untuk berlangganan “agar dapatlah kami mengira-ngira djoemlah lembar ‘Poedjangga Baroe’ jang akan ditjetak” menunjukkan bahwa majalah itu terbit tanpa persiapan dana yang memadai. Ada sekitar 150-an orang yang kemudian menjadi pelanggan majalah itu. Tentu saja jumlah itu terlalu sedikit diban-dingkan majalah lain yang terbit pada zamannya. Sekadar menyebut dua contoh, majalah Panji Pustaka (1922–1945) dan Pedoman Masyarakat (1935–1942), misalnya, meru-pakan majalah mingguan dengan tiras yang jauh lebih banyak dibandingkan Pujangga Baru. Penyebarannya, terutama Pedoman Masyarakat, juga lebih luas, tidak hanya di kota-kota besar di Nusantara, tetapi juga di Semenanjung Melayu, Mesir, dan Belanda. Tetapi mengapa pengaruhnya tidak begitu menonjol?
Dalam bidang kesusastraan, kedua majalah itu memang punya kontribusi penting dalam melahirkan sejumlah penulis; juga dalam menampung karya-karya sastrawan mu-da. Meskipun demikian, dengan peranan yang telah dimainkan kedua majalah itu, tidak pula berarti menafikan peranan Pujangga Baru dalam memajukan kesusastraan kita. La-hirnya majalah Pujangga Baru itu sendiri, di samping memang dimaksudkan untuk me-nampung aspirasi sastrawanan yang tersebar di pelosok Nusantara, juga sesungguhnya merupakan salah satu bentuk reaksi atas keberadaan Panji Pustaka yang dinilai tidak memberi ruang yang lebih luas bagi sastrawan dalam mengembangkan kreativitasnya.
Sebagai media yang berada di bawah pengawasan lembaga Balai Pustaka yang menerapkan kebijaksanaannya secara ketat, Panji Pustaka, dalam beberapa hal, dianggap memasung kreativitas para sastrawan. Sementara itu, Pedoman Masyarakat cenderung mengangkat persoalan umum (sosial, politik, budaya) dengan titik berat agama Islam. Dengan demikian, kedua majalah itu tidak secara signifikan mengangkat kebudayaan sebagai isu sentral. Dalam hal inilah, Pujangga Baru secara cerdas berhasil menggiring dari persoalan kesusastraan ke persoalan kebudayaan yang kemudian menjadi problem bangsa yang waktu itu disadari perlu segera dirumuskan.
Demikianlah, bagaimanapun juga, dalam masalah-masalah kebudayaan dan pemi-kiran, Pujangga Baru tetap menempati kedudukan yang khas. Dalam hal inilah peranan Sutan Takdir Alisjahbana tidak dapat diabaikan. Begitu pentingnya peran yang telah di-mainkan tokoh ini, sehingga membicarakan Pujangga Baru, khususnya tentang polemik kebudayaannya, hampir tidak mungkin tanpa melibatkan nama itu. Dan memang dia pula yang menjadi tokoh kuncinya.
***
“Madjallah kesoesasteraan dan bahasa serta keboedajaan oemoem,” demikian subjudul yang tercantum dalam edisi pertama penerbitan Pujangga Baru, Juli 1933. Dalam “Pendahuluan” secara tegas dinyatakan pula ”Demikianlah makin sehari makin hasratlah orang menantikan kelahiran seboeah madjallah jang semata-mata memen-tingkan kesoesasteraan dan mengikat serta memberi pimpinan pada poedjangga jang tjerai-berai itu. Dalam pada itoe bahasa Indonesia oemoemnja telah lama poela me-nanti penjelidikan dan toentoenan berhoeboeng dengan kehendak zaman dan keadaan baroe dalam pergaoelan Indonesia.“
Sejumlah artikel yang terdapat di dalamnya juga mencerminkan misi tersebut. Artikel Alisjahbana, “Menuju Seni Baru” atau Armijn Pane, “Kesusasteraan Baru” mem-perlihatkan, betapa bersemangatnya para pengelola majalah itu mengangkat sastra Indo-nesia agar terlepas dari bentuk sastra tradisional. Kata pujangga sendiri dijelaskan Armijn Pane dalam artikelnya yang dimuat Suara Umum, 3 Mei 1933: “Kami tidak menyebut di-ri kami penyair, tapi pujangga. Juga bukan bujangga. Kami tidak menyebut hasil jiwa kami syair dan pantun, tapi sajak dan puisi.” Dalam setahun penerbitannya, Pujangga Baru tampak masih menekankan pada soal-soal kesusastraan.
Dalam tahun kedua penerbitannya, soal kebudayaan juga belum mendapat perha-tian yang memadai meskipun dalam pengantarnya disebutkan, “tambahan ‘keboedajaan oemoem’ itu boekanlah tempelan jang tiada berarti….” Hanya Alisjahbana yang begitu bersemangat mengangkat soal itu, seperti tampak dalam artikelnya, “Menghadapi Kebu-dayaan Baru” (PB, 12/I/Juni 1933). Sementara itu, tulisan Muhammad Yamin, “Perguru-an Tinggi Indonesia” (PB, 1/II/Juli 1934) memperlihatkan pandangan Yamin yang jauh ke depan bahwa syarat mendirikan kebudayaan baru untuk kesempurnaan kemajuan bangsa Indonesia, pendirian perguruan tinggi merupakan suatu kemestian. Inilah artikel pertama yang menyinggung pentingnya perguruan tinggi bagi bangsa Indonesia agar “segera akan terbentanglah fadjar kebangoenan Indonesia dikaki langit Asia Baroe jang mempengaroehi sedjarah seloeroeh doenia.”
Titik berat perhatian Pujangga Baru mulai bergeser dari kesusastraan ke kebuda-yaan terjadi saat majalah itu memasuki tahun ketiga (Juli 1935). Dinyatakan dalam subju-dulnya, “Pembawa semangat baroe dalam kesoesasteraan, seni, keboedajaan, dan soal masjarakat oemoem.” Pernyataan ini kemudian ditegaskan kembali dalam pengantar Re-daksi edisi itu: “…dengan memadjoekan oesaha kesoesasteraan jang creatief, madjallah ini akan menjinari soal keboedajaan dan masjarakat dengan lampoe pentjari soesoen-an masjarakat persatoean jang akan datang.”
Dalam edisi kedua (Agustus) tahun itu, munculah artikel Alisjahbana “Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru” yang kemudian mengundang reaksi banyak pihak. Artikel ini pula yang belakangan menjadi titik pangkal terjadinya polemik kebudayaan yang perbalahannya melebar dari Pujangga Baru lewat Poerbatjaraka (3/III/ September 1935) sampai ke media massa lain, seperti Suara Umum (Surabaya), Bintang Timur (Ja-karta), Pewarta Deli (Medan) dan Wasita (Yogyakarta).
Di antara kritik atas artikel itu, Alisjahbana malah melanjutkan gagasannya dan sekalian melakukan kritik balik atas berbagai sanggahan yang dialamatkan kepadanya.Serangkaian perbalahan itulah yang kemudian dikumpulkan Achdiat Karta Mihardja dan kemudian menerbitkannya dalam buku Polemik Kebudayaan (1948). Dalam Kata Peng-antarnya disebutkan bahwa polemik itu terjadi dalam tiga tahap. Pertama, terjadi dalam Pujangga Baru Bintang Timur dan Suara Umum (Agustus–September 1935) antara Ali-sjahbana, Sanusi Pane dan Poerbatjaraka. Kedua, dalam Pujangga Baru, Suara Umum, Pewarta Deli, dan Wasita (Oktober 1935–April 1936) antara Alisjahbana, Dr. Sutomo, Tjindarbumi, Dr. M. Amir, Adinegoro, dan Ki Hadjar Dewantara. Ketiga, terjadi dalam Pujangga Baru dan Pewarta Deli (Juni 1939) antara Alisjahbana dan Dr. M. Amir.
Secara ringkas, perdebatan itu berkisar pada gagasan Alisjahbana yang begitu mengagungkan dan memberi penghargaan tinggi pada kebudayaan Barat, sebaliknya ia tidakmemberi tempat pada kebudayaan Indonesia di masa lalu. Terlepas dari soal setuju atau tidak setuju pada gagasan itu, Alisjahbana yang memicu terjadinya pemikiran akan pentingnya merumuskan kebudayaan Indonesia.
Titik berat pada persoalan kebudayaan dan sosial, makin tampak dalam usia Pujangga Baru memasuki tahun keempat (Juli 1936). Subjudulnya juga diganti menjadi: “pembimbing semangat baroe jang dinamis oentoek membentuk keboedajaan baroe, ke-boedajaan persatoean Indonesia.” Dalam pengantarnya, juga dinyatakan adanya perge-seran perhatian: “Dari madjallah jang teroetama mementingkan kesoesasteraan perla-han-lahan Poedjangga Baroe mendjedjakkan kakinja dilapangan keboedajaan bangsa kita… keboedajaan persatoean Indonesia.” Dan kembali, sedikitnya lima artikel Alisjah-bana melanjutkan gagasannya mengenai “Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru.”
Dalam Nomor Peringatan Pujangga Baru (1933–1938), orientasi ke kebudayaan Barat dikatakan tidaklah dalam arti sempit, melainkan “dalam arti yang seluas-luasnya.” Dengan begitu, pemahaman kebudayaan Barat itu juga ditempatkan sebagai kebudayaan internasional. Soetan Sjahrir yang juga menulis dalam Nomor Peringatan itu, menegaskan konsekuensi Pujangga Baru: “pergerakan Poedjangga Baroe hanja soeatoe roepa dari keboedajaan universeel jang ada didoenia.” Sesungguhnya, perjuangan Pujangga Baru dalam mengangkat harkat kebudayaan persatuan Indonesia, justru di dalam kerangka universalitas itu. Dan sikap itu terus dipertahankannya secara konsisten sampai Pujangga Baru menghentikan penerbitannya, Februari 1942.
***
Dalam masa belum genap satu dasawarsa itu (Juli 1933–Februari 1942), Pujang-ga Baru sesungguhnya telah berhasil mengangkat isu kebudayaan persatuan Indonesia sebagai isu yang mewakili nasionalisme kebudayaan. Dari sikap konsisten Pujangga Ba-ru, khususnya Alisjahbana, pemahaman mengenai Indonesia baru yang hendak menatap masa depannya dan masa prae-Indonesia yang berlumut, pucat dan letih, menjadi bahan yang justru harus dipikirkan bersama. Konsep kebudayaan dan identitas Indonesia, me-ngemuka dan bergeser menjadi sebuah pemikiran mengenai nasionalisme kebudayaan. Inilah kontribusi penting Pujangga Baru yang ternyata berpengaruh kuat pada sikap, pemikiran, dan orientasi budaya generasi berikutnya.
Periksalah Surat Kepercayaan Gelanggang! “Kalau kami berbicara tentang kebudayaan Indonesia, kami tidak ingat kepada melap-lap hasil kebudayaan lama sampai berkilat dan untuk dibanggakan.” Bukankah ini paralel dengan gagasan Alisyah-bana mengenai masyarakat dan kebudayaan (Indonesia) baru dan kebudayaan prae-Indonesia? Hal yang sama juga menyangkut cita-cita dan orientasi budaya: “Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami terusan dengan cara kami sendiri …” yang dikatakan Alisjahbana sebagai “suara angkatan muda yang menghendaki yang baru, mengusahakan yang baru, melahirkan yang baru, dan berpe-doman kebudayaan internasional.”
Dalam konteks itu, baik Pujangga Baru, maupun Angkatan 45 –lewat Surat Ke-percayaan Gelanggang, berpendirian sama mengenai sikap budaya yang berorientasi ke Barat atau dalam bahasa Sutan Syahrir: kebudayaan universal. Ketika terjadi polemik pendukung Surat Kepercayaan Gelanggang yang kemudian juga pendukung Manifes Ke-budayaan dengan golongan Lekra, soal tersebut kembali mengemuka dengan isu human-isme universal dan realisme sosialis.
***
Jika kini, dalam rentang waktu memasuki milenium ketiga, masih relevankah pe-mikiran dan orientasi budaya Pujangga Baru dipersoalkan kembali? Dalam konteks seka-rang ini, pemikiran apa lagi yang masih dapat diaktualisasikan? Terlepas dari setuju atau tidak pada gagasan Alisjahbana, ia secara cerdas telah menempatkan dirinya sebagai bagi-an yang tak terpisahkan dari Pujangga Baru. Lewat majalah ini pula pergolakan pemikir-an dan kegelisahan kultural memperoleh salurannya. Bahwa di kemudian hari ia menjadi sebuah monumen, tonggaknya memang sudah didirikan pada zamannya, dan kemudian dikukuhkan oleh generasi-generasi berikutnya.
Satu hal yang patut direnungkan adalah gagasan Alisjahbana mengenai “keboe-dajaan persatoean Indonesia.” Bahwa ia telah memikirkan tentang kebudayaan persatu-an Indonesia lebih dari setengah abad yang lalu, tentulah masalahnya menyangkut nasib masa depan bangsa ini. Jika kini Indonesia menghadapi masalah disintegrasi, yang dalam bahasa Alisjahbana: Indonesia–Prae-Indonesia, maka itu berarti Indonesia kini tidak berbeda dengan Indonesia zaman kolonial. Jadi, sungguh absurd jika di antara kita ada yang berkeinginan membangun sebuah negeri di dalam negerinya sendiri.
Barangkali inilah tugas kita sekarang: merumuskan kembali monumen kebudaya-an yang telah didirikan Pujangga Baru, yaitu kebudayaan persatuan Indonesia!
_____________________
*) Maman S. Mahayana, lahir di Cirebon, Jawa Barat, 18 Agustus 1957. Dia salah satu penerima Tanda Kehormatan Satyalancana Karya Satya dari Presiden Republik Indonesia, Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono (2005). Menyelesaikan pendidikannya di Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FS UI) tahun 1986, dan sejak itu mengajar di almamaternya yang kini menjadi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB-UI). Tahun 1997 selesai Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Pernah tinggal lama di Seoul, dan menjadi pengajar di Department of Malay-Indonesian Studies, Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea Selatan. Selain mengajar, banyak melakukan penelitian. Beberapa hasil penelitiannya antara lain, “Inventarisasi Ungkapan-Ungkapan Bahasa Indonesia” (LPUI, 1993), “Pencatatan dan Inventarisasi Naskah-Naskah Cirebon” (Anggota Tim Peneliti, LPUI, 1994), dan “Majalah Wanita Awal Abad XX (1908-1928)” (LPUI, 2000).
http://sastra-indonesia.com/2008/10/monumen-kebudayaan-pujangga-baru/
Dalam perjalanan sejarah bangsa ini, di manakah tempat majalah Pujangga Baru? Apakah peranan yang telah dimainkannya begitu penting, sehingga ia harus ditempatkan dengan tonggaknya sendiri; atau sekadar gerakan pemikiran –lebih khusus lagi, kesusas-traan– yang bermuara pada sebuah majalah yang bernama Pujangga Baru?
Dalam rentang waktu abad XX, mesti diakui, tidak ada satu pun majalah yang peranan dan pengaruhnya begitu monumental, sebagaimana yang telah diperlihatkan Pu-jangga Baru. Bahkan lewat majalah itu pula perdebatan pemikiran mengenai kebudayaan Indonesia berkembang melampaui zamannya. Bagaimana mungkin sebuah majalah de-ngan tiras yang tidak pernah lebih dari lima ratusan eksemplar, dikelola dengan sumber dana yang pas-pasan, dapat menjadi sebuah media yang berpengaruh dan pengaruhnya melebar menjadi sebuah polemik kebudayaan yang berskala nasional?
Dalam edisi pertama Pujangga Baru, dinyatakan bahwa majalah yang dikelola Armijn Pane, Amir Hamzah, dan Sutan Takdir Alisjahbana itu, untuk sementara terbit dua bulan sekali. Kemudian adanya tawaran untuk berlangganan “agar dapatlah kami mengira-ngira djoemlah lembar ‘Poedjangga Baroe’ jang akan ditjetak” menunjukkan bahwa majalah itu terbit tanpa persiapan dana yang memadai. Ada sekitar 150-an orang yang kemudian menjadi pelanggan majalah itu. Tentu saja jumlah itu terlalu sedikit diban-dingkan majalah lain yang terbit pada zamannya. Sekadar menyebut dua contoh, majalah Panji Pustaka (1922–1945) dan Pedoman Masyarakat (1935–1942), misalnya, meru-pakan majalah mingguan dengan tiras yang jauh lebih banyak dibandingkan Pujangga Baru. Penyebarannya, terutama Pedoman Masyarakat, juga lebih luas, tidak hanya di kota-kota besar di Nusantara, tetapi juga di Semenanjung Melayu, Mesir, dan Belanda. Tetapi mengapa pengaruhnya tidak begitu menonjol?
Dalam bidang kesusastraan, kedua majalah itu memang punya kontribusi penting dalam melahirkan sejumlah penulis; juga dalam menampung karya-karya sastrawan mu-da. Meskipun demikian, dengan peranan yang telah dimainkan kedua majalah itu, tidak pula berarti menafikan peranan Pujangga Baru dalam memajukan kesusastraan kita. La-hirnya majalah Pujangga Baru itu sendiri, di samping memang dimaksudkan untuk me-nampung aspirasi sastrawanan yang tersebar di pelosok Nusantara, juga sesungguhnya merupakan salah satu bentuk reaksi atas keberadaan Panji Pustaka yang dinilai tidak memberi ruang yang lebih luas bagi sastrawan dalam mengembangkan kreativitasnya.
Sebagai media yang berada di bawah pengawasan lembaga Balai Pustaka yang menerapkan kebijaksanaannya secara ketat, Panji Pustaka, dalam beberapa hal, dianggap memasung kreativitas para sastrawan. Sementara itu, Pedoman Masyarakat cenderung mengangkat persoalan umum (sosial, politik, budaya) dengan titik berat agama Islam. Dengan demikian, kedua majalah itu tidak secara signifikan mengangkat kebudayaan sebagai isu sentral. Dalam hal inilah, Pujangga Baru secara cerdas berhasil menggiring dari persoalan kesusastraan ke persoalan kebudayaan yang kemudian menjadi problem bangsa yang waktu itu disadari perlu segera dirumuskan.
Demikianlah, bagaimanapun juga, dalam masalah-masalah kebudayaan dan pemi-kiran, Pujangga Baru tetap menempati kedudukan yang khas. Dalam hal inilah peranan Sutan Takdir Alisjahbana tidak dapat diabaikan. Begitu pentingnya peran yang telah di-mainkan tokoh ini, sehingga membicarakan Pujangga Baru, khususnya tentang polemik kebudayaannya, hampir tidak mungkin tanpa melibatkan nama itu. Dan memang dia pula yang menjadi tokoh kuncinya.
***
“Madjallah kesoesasteraan dan bahasa serta keboedajaan oemoem,” demikian subjudul yang tercantum dalam edisi pertama penerbitan Pujangga Baru, Juli 1933. Dalam “Pendahuluan” secara tegas dinyatakan pula ”Demikianlah makin sehari makin hasratlah orang menantikan kelahiran seboeah madjallah jang semata-mata memen-tingkan kesoesasteraan dan mengikat serta memberi pimpinan pada poedjangga jang tjerai-berai itu. Dalam pada itoe bahasa Indonesia oemoemnja telah lama poela me-nanti penjelidikan dan toentoenan berhoeboeng dengan kehendak zaman dan keadaan baroe dalam pergaoelan Indonesia.“
Sejumlah artikel yang terdapat di dalamnya juga mencerminkan misi tersebut. Artikel Alisjahbana, “Menuju Seni Baru” atau Armijn Pane, “Kesusasteraan Baru” mem-perlihatkan, betapa bersemangatnya para pengelola majalah itu mengangkat sastra Indo-nesia agar terlepas dari bentuk sastra tradisional. Kata pujangga sendiri dijelaskan Armijn Pane dalam artikelnya yang dimuat Suara Umum, 3 Mei 1933: “Kami tidak menyebut di-ri kami penyair, tapi pujangga. Juga bukan bujangga. Kami tidak menyebut hasil jiwa kami syair dan pantun, tapi sajak dan puisi.” Dalam setahun penerbitannya, Pujangga Baru tampak masih menekankan pada soal-soal kesusastraan.
Dalam tahun kedua penerbitannya, soal kebudayaan juga belum mendapat perha-tian yang memadai meskipun dalam pengantarnya disebutkan, “tambahan ‘keboedajaan oemoem’ itu boekanlah tempelan jang tiada berarti….” Hanya Alisjahbana yang begitu bersemangat mengangkat soal itu, seperti tampak dalam artikelnya, “Menghadapi Kebu-dayaan Baru” (PB, 12/I/Juni 1933). Sementara itu, tulisan Muhammad Yamin, “Perguru-an Tinggi Indonesia” (PB, 1/II/Juli 1934) memperlihatkan pandangan Yamin yang jauh ke depan bahwa syarat mendirikan kebudayaan baru untuk kesempurnaan kemajuan bangsa Indonesia, pendirian perguruan tinggi merupakan suatu kemestian. Inilah artikel pertama yang menyinggung pentingnya perguruan tinggi bagi bangsa Indonesia agar “segera akan terbentanglah fadjar kebangoenan Indonesia dikaki langit Asia Baroe jang mempengaroehi sedjarah seloeroeh doenia.”
Titik berat perhatian Pujangga Baru mulai bergeser dari kesusastraan ke kebuda-yaan terjadi saat majalah itu memasuki tahun ketiga (Juli 1935). Dinyatakan dalam subju-dulnya, “Pembawa semangat baroe dalam kesoesasteraan, seni, keboedajaan, dan soal masjarakat oemoem.” Pernyataan ini kemudian ditegaskan kembali dalam pengantar Re-daksi edisi itu: “…dengan memadjoekan oesaha kesoesasteraan jang creatief, madjallah ini akan menjinari soal keboedajaan dan masjarakat dengan lampoe pentjari soesoen-an masjarakat persatoean jang akan datang.”
Dalam edisi kedua (Agustus) tahun itu, munculah artikel Alisjahbana “Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru” yang kemudian mengundang reaksi banyak pihak. Artikel ini pula yang belakangan menjadi titik pangkal terjadinya polemik kebudayaan yang perbalahannya melebar dari Pujangga Baru lewat Poerbatjaraka (3/III/ September 1935) sampai ke media massa lain, seperti Suara Umum (Surabaya), Bintang Timur (Ja-karta), Pewarta Deli (Medan) dan Wasita (Yogyakarta).
Di antara kritik atas artikel itu, Alisjahbana malah melanjutkan gagasannya dan sekalian melakukan kritik balik atas berbagai sanggahan yang dialamatkan kepadanya.Serangkaian perbalahan itulah yang kemudian dikumpulkan Achdiat Karta Mihardja dan kemudian menerbitkannya dalam buku Polemik Kebudayaan (1948). Dalam Kata Peng-antarnya disebutkan bahwa polemik itu terjadi dalam tiga tahap. Pertama, terjadi dalam Pujangga Baru Bintang Timur dan Suara Umum (Agustus–September 1935) antara Ali-sjahbana, Sanusi Pane dan Poerbatjaraka. Kedua, dalam Pujangga Baru, Suara Umum, Pewarta Deli, dan Wasita (Oktober 1935–April 1936) antara Alisjahbana, Dr. Sutomo, Tjindarbumi, Dr. M. Amir, Adinegoro, dan Ki Hadjar Dewantara. Ketiga, terjadi dalam Pujangga Baru dan Pewarta Deli (Juni 1939) antara Alisjahbana dan Dr. M. Amir.
Secara ringkas, perdebatan itu berkisar pada gagasan Alisjahbana yang begitu mengagungkan dan memberi penghargaan tinggi pada kebudayaan Barat, sebaliknya ia tidakmemberi tempat pada kebudayaan Indonesia di masa lalu. Terlepas dari soal setuju atau tidak setuju pada gagasan itu, Alisjahbana yang memicu terjadinya pemikiran akan pentingnya merumuskan kebudayaan Indonesia.
Titik berat pada persoalan kebudayaan dan sosial, makin tampak dalam usia Pujangga Baru memasuki tahun keempat (Juli 1936). Subjudulnya juga diganti menjadi: “pembimbing semangat baroe jang dinamis oentoek membentuk keboedajaan baroe, ke-boedajaan persatoean Indonesia.” Dalam pengantarnya, juga dinyatakan adanya perge-seran perhatian: “Dari madjallah jang teroetama mementingkan kesoesasteraan perla-han-lahan Poedjangga Baroe mendjedjakkan kakinja dilapangan keboedajaan bangsa kita… keboedajaan persatoean Indonesia.” Dan kembali, sedikitnya lima artikel Alisjah-bana melanjutkan gagasannya mengenai “Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru.”
Dalam Nomor Peringatan Pujangga Baru (1933–1938), orientasi ke kebudayaan Barat dikatakan tidaklah dalam arti sempit, melainkan “dalam arti yang seluas-luasnya.” Dengan begitu, pemahaman kebudayaan Barat itu juga ditempatkan sebagai kebudayaan internasional. Soetan Sjahrir yang juga menulis dalam Nomor Peringatan itu, menegaskan konsekuensi Pujangga Baru: “pergerakan Poedjangga Baroe hanja soeatoe roepa dari keboedajaan universeel jang ada didoenia.” Sesungguhnya, perjuangan Pujangga Baru dalam mengangkat harkat kebudayaan persatuan Indonesia, justru di dalam kerangka universalitas itu. Dan sikap itu terus dipertahankannya secara konsisten sampai Pujangga Baru menghentikan penerbitannya, Februari 1942.
***
Dalam masa belum genap satu dasawarsa itu (Juli 1933–Februari 1942), Pujang-ga Baru sesungguhnya telah berhasil mengangkat isu kebudayaan persatuan Indonesia sebagai isu yang mewakili nasionalisme kebudayaan. Dari sikap konsisten Pujangga Ba-ru, khususnya Alisjahbana, pemahaman mengenai Indonesia baru yang hendak menatap masa depannya dan masa prae-Indonesia yang berlumut, pucat dan letih, menjadi bahan yang justru harus dipikirkan bersama. Konsep kebudayaan dan identitas Indonesia, me-ngemuka dan bergeser menjadi sebuah pemikiran mengenai nasionalisme kebudayaan. Inilah kontribusi penting Pujangga Baru yang ternyata berpengaruh kuat pada sikap, pemikiran, dan orientasi budaya generasi berikutnya.
Periksalah Surat Kepercayaan Gelanggang! “Kalau kami berbicara tentang kebudayaan Indonesia, kami tidak ingat kepada melap-lap hasil kebudayaan lama sampai berkilat dan untuk dibanggakan.” Bukankah ini paralel dengan gagasan Alisyah-bana mengenai masyarakat dan kebudayaan (Indonesia) baru dan kebudayaan prae-Indonesia? Hal yang sama juga menyangkut cita-cita dan orientasi budaya: “Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami terusan dengan cara kami sendiri …” yang dikatakan Alisjahbana sebagai “suara angkatan muda yang menghendaki yang baru, mengusahakan yang baru, melahirkan yang baru, dan berpe-doman kebudayaan internasional.”
Dalam konteks itu, baik Pujangga Baru, maupun Angkatan 45 –lewat Surat Ke-percayaan Gelanggang, berpendirian sama mengenai sikap budaya yang berorientasi ke Barat atau dalam bahasa Sutan Syahrir: kebudayaan universal. Ketika terjadi polemik pendukung Surat Kepercayaan Gelanggang yang kemudian juga pendukung Manifes Ke-budayaan dengan golongan Lekra, soal tersebut kembali mengemuka dengan isu human-isme universal dan realisme sosialis.
***
Jika kini, dalam rentang waktu memasuki milenium ketiga, masih relevankah pe-mikiran dan orientasi budaya Pujangga Baru dipersoalkan kembali? Dalam konteks seka-rang ini, pemikiran apa lagi yang masih dapat diaktualisasikan? Terlepas dari setuju atau tidak pada gagasan Alisjahbana, ia secara cerdas telah menempatkan dirinya sebagai bagi-an yang tak terpisahkan dari Pujangga Baru. Lewat majalah ini pula pergolakan pemikir-an dan kegelisahan kultural memperoleh salurannya. Bahwa di kemudian hari ia menjadi sebuah monumen, tonggaknya memang sudah didirikan pada zamannya, dan kemudian dikukuhkan oleh generasi-generasi berikutnya.
Satu hal yang patut direnungkan adalah gagasan Alisjahbana mengenai “keboe-dajaan persatoean Indonesia.” Bahwa ia telah memikirkan tentang kebudayaan persatu-an Indonesia lebih dari setengah abad yang lalu, tentulah masalahnya menyangkut nasib masa depan bangsa ini. Jika kini Indonesia menghadapi masalah disintegrasi, yang dalam bahasa Alisjahbana: Indonesia–Prae-Indonesia, maka itu berarti Indonesia kini tidak berbeda dengan Indonesia zaman kolonial. Jadi, sungguh absurd jika di antara kita ada yang berkeinginan membangun sebuah negeri di dalam negerinya sendiri.
Barangkali inilah tugas kita sekarang: merumuskan kembali monumen kebudaya-an yang telah didirikan Pujangga Baru, yaitu kebudayaan persatuan Indonesia!
_____________________
*) Maman S. Mahayana, lahir di Cirebon, Jawa Barat, 18 Agustus 1957. Dia salah satu penerima Tanda Kehormatan Satyalancana Karya Satya dari Presiden Republik Indonesia, Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono (2005). Menyelesaikan pendidikannya di Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FS UI) tahun 1986, dan sejak itu mengajar di almamaternya yang kini menjadi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB-UI). Tahun 1997 selesai Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Pernah tinggal lama di Seoul, dan menjadi pengajar di Department of Malay-Indonesian Studies, Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea Selatan. Selain mengajar, banyak melakukan penelitian. Beberapa hasil penelitiannya antara lain, “Inventarisasi Ungkapan-Ungkapan Bahasa Indonesia” (LPUI, 1993), “Pencatatan dan Inventarisasi Naskah-Naskah Cirebon” (Anggota Tim Peneliti, LPUI, 1994), dan “Majalah Wanita Awal Abad XX (1908-1928)” (LPUI, 2000).
http://sastra-indonesia.com/2008/10/monumen-kebudayaan-pujangga-baru/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar