Selasa, 26 Mei 2020

ANTARA KRAMA INGGIL DAN NGOKO

: Tentang Hegemoni Makna dan Penafsiran
Djoko Saryono *

the real monopoly is never that of technical means, but of speech
(Baudrillard, For a Critique of the Political Economy of the Sign, 1982)

/0/
Bersila di dipan usang, orang tua bijak itu -- yang dari mulutnya selalu terdengar harum zikir dan lembut tuturnya menidurkan segala kesumat -- didatangi beberapa anak muda yang sedang mencari pegangan kearifan di tengah bencana wabah pandemi virus yang membuat semua masyarakat dan pemerintah di dunia kalang kabut dan cemas.

"Ada apa kemari, anak muda?", tanya orang bijak itu meminta penjelasan.

"Kek, terus terang, kehadiran kami kemari untuk mencari pegangan diri. Sekarang kami dilanda cemas dan bingung dihajar pandemi virus korona! Tapi, pejabat negeri kami bahasanya tak dapat kami jadikan pegangan pasti! Kami harus bagaimana?"

Mendengar curhatan anak muda itu, orang tua bijak itu kemudian bercerita. Berikut ini sari ceritanya:

/1/
Kendati hidup pada zaman supermodern atau modern lanjut, Pak Dumeh mengharuskan kelima anaknya berbahasa krama inggil kepada dirinya. "Di rumah ini, tak seorang pun boleh berbahasa ngoko kepada diriku. Termasuk ibumu. Kecuali diriku kepada kalian semua!," tegasnya kepada Jonantang, Jongawur, Jomokong, Jogelo, dan Jogetun kelima anaknya yang berbeda watak. Kapan dan di mana pun kalian harus ber-krama inggil kepadaku. Sebaliknya, kapan dan di mana pun aku, bapak kalian ini, boleh dan bisa ber-ngoko-ngoko kepada kalian. Ini aturan (tentu kubuat) yang harus kalian taati, harus dipatuhi. Tak bisa ditawar dan dibantah!," putus tandas Pak Jodumeh.

"Wa-lah! Bapak!" Jonantang tercekat sesudah terpeanjat sesaat.
"Lho...lho...lho..lho...!" Jongawur tergengong-bengong melompong.
"Ndak usah pakai aturan-aturan begitu, Pak!" usul Jomokong dalam ragam ngoko.

"Ya, Pak! Hapus saja aturan itu. Bukan lagi zamannya sekarang," serentak si kembar Jogelo dan Jogetun melanjutkan usul Jomokong dalam ragam ngoko juga.

"Heisy! Heisy! Tak bisa! Ini aturan bukan bikinan bapakmu, ngerti?! Ini warisan mbah kalian! Bapak cuma melestarikan, melanggengkan warian budaya. Menurut mbah kalian, aturan ini buat njaga praja wong tuwa, menjaga kehormatan orang tua di mata orang lain. Bukankah penting menghormati orang tua? Jadi, kalian mesti ber-krama inggil buat menghormati bapak! Yang tak ber-krama inggil akan bapak hukum!"

"Waduh, wah! Bapak itu kok mau menang sendiri. Itu otoriter lho, Pak!. Bukan zamannya sekarang, Pak!" sewot Jonantang.

"Itu feodal dan otoriter, Pak!" imbuh Jongawur.

"Lagian menghormati orang tua 'kan tak harus pakai krama inggil tho, Pak. Ngoko 'kan juga bisa menghormati!," timpal Jomokong.

"Pokoke tak bisa! Tak bisa! Aku bapakmu. Yang jadi penguasa tunggal di rumah ini aku. Akulah yang harus menentukan segala aturan. Bukan kalian. Ini semua demi kalian, demi masa depan kalian!," tandas Pak Jodumeh.

"We-la-da-lha! Bapak kok main kuasa gitu! Gimmick-nya demokratis, tapi otoriter! Bapak tak boleh begitu dong. Dengarkan kami semua. Perlu juga dong bapak dengarkan keinginan kami. Kami tetap menghormati bapak. Tapi, kami ingin penghormatan itu tak diujudkan dengan ber-krama inggil. Kalau kami bicara ngoko tetap didasari niat menghormati bapak, memuliakan bapak!", si kembar Jogelo dan Jogetun nerocos bergantian.

"Sekali lagi, pokoke tak bisa! Awas, kalau kalian tak mematuhi aturan itu. Tahu rasa nanti. Bisa kujatuhkan hukuman!"

"Wuaahhhhhhhhhhhhhh.... bapak!...," mereka mencoba protes.

"Paaak...., sabar dong! Sadar dong, Pak. Ini zaman sudah beda!"

"Sudah tho, Le. Mbok sudah," dari dalam kamar tiba-tiba ibu mereka, Bu Sumeh, berteriak keras mencoba mengakhiri perdebatan bapak-anak. "Ngalah saja sama bapakmu. Bapakmu itu ya begitu itu. Dulu waktu bertemu ibu tak begitu, tapi lama-lama begitu, apalagi setelah lama bersama ibu, bapakmu jadi begitu!. Tak mau ngalah, tak pangerten sama orang, termasuk kalian! Maunya tak bisa sedikit pun ditenggang. Sudah, Le. Kalian ngalah saja. Wani ngalah luhur wekasane. Kalau bludreg-nya kumat, salah-salah kalian nanti kena bogem, kepruk, atau gebuk bapakmu!. Lha kalau hobi berkendaranya yang kambuh, salah-salah kalian bisa ditabrak.... Wah, malah runyam, Le."

/2/
Malam larut. Di kamar, Pak Dumeh dan Bu Sumeh sedang mengobrolkan sesuatu.

"Pakne, Pakne, mbok biarkan saja anak-anak bicara ngoko kepada kita. Benar juga kata mereka. Ngoko tak berarti menentang, mengasari, melecehkan, dan tak menghormati kita. Bagi mereka, ngoko malah rasanya akrab, bebas, terbuka, dan sejajar. Demokratis, kata orang sekarang. Itu bahasa mereka, anak-anak muda yang masih bergelora semangat dan roso-nya. Jiwa omongan ngoko-nya sebenarnya sama saja dengan jiwa omongan krama ingggil. Biarpun pakai ngoko, dalam hati dan nurani, mereka tetap menjunjung dan menghormati kita sebagai orang tua kok Pakne. Apalah artinya krama inggil, kalau dalam hati dan nurani, mereka justru memantati, malah mengentuti kita. Lho, banyak lho Pakne, orang yang ber-krama inggil hanya di bibir saja, tapi di hati benci bin dendam setengah mati. Banyak juga yang ber-krama inggil hanya buat menjerumuskan Pakne!" Bu Sumeh berpendapat.

"Tobat...tobat...tobat! Bagaimana tho Bune ini! Usul kok yang tidak-tidak. Telingaku ini lho... telingaku ini lho, Bune! Rasanya mak sengkring, sakit sekali kalau mendengar mereka bicara ngoko kepadaku! Itu menista, memerosotkan marwahku sebagai bapak! Dan perasaanku, Bune, rasanya mak bleg, ambleg, jatuh wibawaku. Rusak prajaku rasanya, Bune!"

"Ya, telinga dan perasaan kita saja yang disetel ulang. Siapa tahu justru telinga dan perasaan kita yang sudah beku, tertutup, lagi ketinggalan zaman. Dan, kita malas menyetel ulang lantaran sudah merasa enak berlindung di balik krama inggil. Lha akhirnya kita bikin aturan ber-krama inggil buat melindungi telinga dan perasaan kita"

"Wah... wah... wah.... gimana tho, Bune ini. Kan ngrusak praja, merusak kedudukan dan kehormatan, orang tua namanya itu. Dengar Bune, kalau anak-anak, orang-orang muda, wong cilik, dan sejenisnya kita biarkan ber-ngoko-ngoko kepada kita, hancurlah praja kita, Bune!"

"Alah ... alah ... alah... Pakne, Pakne! Mesti begitu pikirannya. Yang dipikir praja... praja... praja!. Tapi, prajanya sendiri! Praja orang lain, anak-anaknya sendiri, tak pernah dipikirkan dan dihargai. Apa cuma Pakne yang punya praja?! Itu mau menang sendiri namanya, Pakne!"

"Lho, jadi Bune mendukung keinginan anak-anak ber-ngoko kepada kita tho?! Ooooooo.... jadi Bune aktor di belakangnya, ya! Aktor intelektualisnya ya! Yo, silakan ngompori anak-anak! Tahu rasa kamu nanti. Tak cerrr........," ujar tegas Pak Jodumeh!

"Lho....lho....lho.... lho... Pakne, sabar tho, eling tho. Jadi, orang tua harus sabar, eling, dan arif. Kok nuduh dan ngancam sama istri sendiri!", potong Bu Sumeh.

/3/
Bagai disusupi semangat gerakan Jawa Dwipa, keinginan ber-ngoko ternyata benar-benar direalisasi Jonantang dan adik-adiknya. Tiap bicara sama bapak, yang mereka rasakan makin sesuka hatinya sendiri, mereka selalu ngoko. Barang tentu, telinga dan hati bapak bagai ditusuk-tusuk beribu jarum. Sakit sekali rasanya. Meledaklah amarahnya kepada anak-anaknya.

"Setan gundul! Anak tak tahu diuntung! Melanggar aturan! Tak patuh sama orang tua! Mau jadi apa kalian?! He!," sembur Pak Jodumeh begitu dahsyat sembari mengancam.

"Lho...lho... lho, Pak! Jangan begitu!"

"Setan gundul kamu semua, Le! Ngomong ceplas-ceplos pakai ngoko! Mengkritik kata kalian, tapi itu menista, kata bapak kalian! Kamu mau nantang ... mau makar sama wong tuwo, ya?! Mau ngrusak tatanan yang sudah enak ini, ya?! Aku tempelengi kalian!" ancam Pak Jodumeh sembari nyengkiwing Jonantang, anak sulungnya.

"Puaak... Puakk ... jangan gitu dong!" pekik Jomokong.

"Bapak sendiri ngomong ngoko terus gitu kok sama kami. Kenapa kami kok nggak boleh ngomong ngoko juga. Kalau kami ngoko dituduh berbuat kasar, berarti bapak juga berbuat kasar kepada kami dong. Ini tak adil!, "lanjut Jongawur membela diri.

"Sontoloyo! Akulah bapakmu. Kalian cuma anak-anak. Akulah yang berhak mengatur dan bikin aturan. Bukan kalian. Tak ada anak yang berhak mengatur dan bikin aturan rumah tangga. Dan, aku sudah tetapkan aturan, kalian mesti krama inggil kepadaku untuk menjujung martabatku. Tapi, aku boleh ngoko kepada kalian dan ibumu buat menunjukkan prajaku, kewibawaan dan kedudukanku ..."

"Sebentar .... sebentuuaarrr, Pak!" potong Jogelo dan Jogetun serempak. "Kalau bicara soal hak, kami justru punya hak lebih besar ketimbang bapak dalam mengatur rumah tangga ini. Soalnya, kamilah yang mengangkat bapak menjadi BAPAK. Kalau kami tak lahir bin ada, mana mungkin bapak bisa menjadi BAPAK?! Makanya, kalau kami ngoko kepada bapak, justru itu yang tepat. Seharusnya bapaklah yang ber-krama inggil kepada kami"

"Edan!! Eduaannnn tenan!! Setan gundul kalian semua! Berani-beraninya mau mencopot jabatanku sebagai bapak! Heh! Kalian semua menentang aturan! Aku hukum kalian semua! Jonantang, kusekap kamu di kamar mandi 13 jam. Jongawur, aku sel kau di gudang 8 jam. Dan kalian, Jomokong, Jogelo, dan Jogetun, kuganjar kalian dengan sekapan 6 jam di gudang!" Tak terbendung lagi sudah amarah Pak Jodumeh kepada anak-anaknya.

/4/
Kata ahli bahasa, krama inggil itu bahasa halus, hormat, dan sopan. Ngoko itu bahasa kasar, tak hormat, dan tak sopan. Bahasa Indonesia yang halus, hormat, dan sopan pun bisa disebut bahasa krama inggil, sedang yang kasar, tak hormat, dan tak sopan disebut bahasa ngoko.

Akhir-akhir ini, terlihat gejala, bahasa Indonesia ngoko kian banyak digunakan oleh "bapak-bapak kita” yang berwatak Pak Dumeh ketika berkomunikasi dengan orang kebanyakan, rakyat akar rumput. Tandanya, berhamburannya kata-kata menuduh dan menyudutkan orang kebanyakan.

Orang kebanyakan seperti kita, waktu berkomunikasi dengan “bapak-bapak kita”, banyak dituntut untuk selalu berbahasa Indonesia krama inggil yang sudah ditetapkan “bapak-bapak”. Jika nekat ngoko, seperti Jonantang dan adik-adiknya, sering beroleh setrapan alias hukuman.

Tak aneh, Clifford Geertz bilang, mecanism of power Indonesia ngumpet di balik linguistics/poetics of power. Dan, linguistics/poetics of power Indonesia, imbuh Taufik Abdullah, telah menjadi hegemonis sehingga terjadi hegemoni makna dan penafsiran. Di sinilah, seperti ujar Baudrillard, terjadi otoritarianisme wacana atau monopoli ujaran dalam kehidupan sosial (politik dan budaya) kita.

Hari hari ini, di bawah bayang-bayang pagebluk virus yang mencekam dan menakutkan, orang kebanyakan seperti kita juga berada di bawah bayang-bayang kuat poetics of power bapak-bapak kita. Orang kebanyakan seperti kita, belakangan ini terkepung dari dua penjuru: depan dan belakang. Terjebak maju kena mundur kena!

____________________
*) Prof. Dr. Djoko Saryono, M.Pd adalah Guru Besar Jurusan Sastra Indonesia di Fakultas Sastra pada kampus UNM (Universitas Negeri Malang). Telah banyak menghasilkan buku, artikel apresiasi sastra, serta budaya. Dan aktif menjadi pembicara utama di berbagai forum ilmiah kesusatraan tingkat Nasional juga Internasional.
http://sastra-indonesia.com/2020/05/antara-krama-inggil-dan-ngoko/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

20 Tahun Kebangkitan Sastra-Teater Lamongan A Jalal A. Anzieb A. Khoirul Anam A. Mustofa Bisri A. Rodhi Murtadho A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja Abdoel Moeis Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdullah Abubakar Batarfie Abdurrahman Wahid Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Acep Iwan Saidi Achdiat K. Mihardja Achiar M Permana Adek Alwi Adhi Pandoyo Adib Baroya Aditya Ardi N Adri Sandra Adu Pesona Sang Wakil Cawapres RI Afrizal Malna Agama Para Bajingan Aguk Irawan MN Agus Buchori Agus Dermawan T. Agus Mulyadi Agus Prasmono Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahmad Farid Yahya Ahmad Hasan MS Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Saifullah Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akhudiat Alawi Al-Bantani Alfatihatus Sholihatunnisa Alfian Dippahatang Ali Audah Alim Bakhtiar Amie Williams Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amril Taufik Gobel An. Ismanto Andhi Setyo Wibowo Andi Andrianto Andong Buku #3 AndongBuku #3 Andrea Hirata Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Antologi Sastra Lamongan Anton Wahyudi Anugrah Gio Pratama Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Arafat Nur Ardi Wina Saputra Ardy Suryantoko Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arman A.Z. Arsyad Indradi Asarpin Ashimuddin Musa Asrul Sani Astuti Ananta Toer Atafras Audifax Awalludin GD Mualif Ayu Nuzul Azizah Hefni B Kunto Wibisono Bahrul Amsal Bambang Kempling Beni Setia Benny Benke Beno Siang Pamungkas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Bloomberg Bre Redana Budaya Budi Darma Buldanul Khuri Bustan Basir Maras Candra Adikara Irawan Candrakirana Cangaan Ujungpangkah Gresik Jawa Timur Capres Cawapres 2019 Catatan Ceramah Cerpen Chairil Anwar Chicilia Risca CNN Indonesia Coronavirus COVID-19 D. Zawawi Imron Damiri Mahmud Darju Prasetya Darman Moenir Deddy Arsya Denny JA Denny Mizhar Devy Kurnia Alamsyah Dhoni Zustiyantoro Dian Sukarno Didin Tulus Dien Makmur Din Saja Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Donny Anggoro Donny Darmawan Dr. Hilma Rosyida Ahmad Dwi Cipta Dwi Klik Santosa Dwi Pranoto Dyah Ayu Fitriana Ecep Heryadi Edy Suprayitno Eka Budianta Eka Kurniawan Elok Dyah Messwati Engkos Kosnadi Erdogan Erwin Setia Esai Esti Nuryani Kasam Evan Ys F. Budi Hardiman F. Rahardi Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Fahrur Rozi Faidil Akbar Farah Noersativa Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathul Qorib Fatkhul Anas Feby Indirani Felix K. Nesi Festival Teater Religi Festival Teater Religi Pelajar SLTA Se-kabupaten Lamongan Fira Basuki Forum Santri Nasional (FSN) Frischa Aswarini Fuad Mardhatillah UY Tiba Fuad Nawawi Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gde Artawan Geger Riyanto Geguritan Goenawan Mohamad Gola Gong Grathia Pitaloka Guenter Grass Gus Ahmad Syauqi Gus tf Gusti Eka Habib Bahar bin Smith Haiku Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Han Gagas Hary B Koriun Hasan Basri Hasnan Bachtiar Heri Ruslan Herman Hesse Hertha Mueller Heru Kurniawan Hestri Hurustyanti Holy Adib Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu I Made Prabaswara I Made Sujaya IAI TABAH (Institut Agama Islam Tarbiyatut Tholabah) Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idrus Ignas Kleden Iksaka Banu Imam Jazuli Imam Nawawi Imammuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Mahadi Indra Tjahyadi Irfan Afifi Irine Rakhmawati Irwan Kelana Isbedy Stiawan ZS J.S. Badudu Jadid Al Farisy Jajang R Kawentar Jawa Timur Jean Marie Gustave le Clezio JJ. Kusni Jl Raya Simo Sungelebak Jo Batara Surya John H. McGlynn Jordaidan Rizsyah Jual Buku Paket Hemat Juara 3 Lomba Lompat Jauh DISPORA LAMONGAN Jurnalisme Sastrawi K.H. Ma'ruf Amin Kadek Suartaya Kaheesa Kirania Putri Ayu Kahfie Nazaruddin Kalis Mardiasih Kamaluddin Ramdhan Kanti W. Janis Karanggeneng Kardono Setyorakhmadi Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Pantura (KBP) KetemuBuku Jombang KH. M. Najib Muhammad KH. Muhammad Amin (1910-1949) Khairul Mufid Jr Khawas Auskarni Khoirul Abidin Khoshshol Fairuz Ki Ompong Sudarsono Kitab Arbain Nawawi Kodrat Setiawan Kompas TV Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA) Komunitas Sastra dan Teater Lamongan Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Komunitas-komunitas Teater di Lamongan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Luar Biasa Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) Kopuisi Kostela Kritik Sastra Kumpulan Cerita Buntak Kurnia Effendi Kuswaidi Syafi’ie L Ridwan Muljosudarmo L.K. Ara Lamongan Lan Fang Lawi Ibung Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Literasi Liza Wahyuninto Lukas Luwarso Lukisan Lukman Lukman Santoso Az Lutfi Mardiansyah M Farid W Makkulau M. Faizi M.D. Atmaja Madrasah Aliyah Matholi'ul Anwar Madrasah Ibtida’iyah Thoriqotul Hidayah 1 Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S Mahayana Manado Manneke Budiman Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mario F. Lawi Marsel Robot Martin Aleida Marwanto Mashuri Massayu Masuki M. Astro Masyhudi Media Seputar Pendidikan Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Purnama di Kampung Halaman Mereka yang Menjerat Gus Dur MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mien Uno Moh. Dzunnurrain Moh. Jauhar al-Hakimi Mohammad Rafi Azzamy Mohammad Rokib Mohammad Yamin Muafiqul Khalid MD Much. Khoiri Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alfatih Suryadilaga Muhammad Antakusuma Muhammad Fikry Mauludy Muhammad Hafil Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad N. Hassan Muhammad Subarkah Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Muhyiddin Mukadi Mukani Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Musa Ismail Mutia Sukma N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang E S Nara Ahirullah Naskah Teater Nezar Patria Noor H. Dee Nunus Supardi Nur Haryanto Nur Wachid Nurel Javissyarqi Nurul Komariyah Okky Madasari Olivia Kristina Sinaga Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pagelaran Musim Tandur Palupi Panca Astuti Pameran Lukisan Parimono V / 40 Plandi Jombang PC. Lesbumi NU Babat PDS HB Jassin Pelukis Dahlan Kong Pelukis Tarmuzie Penculikan Aktivis 1988 Pendidikan Pengajian Pengarang kelahiran Lamongan Pentigraf Pepaosan Perbincangan Peringatan Hari Pahlawan 10 November Pilang Tejoasri Laren Lamongan Jawa Timur Pipiet Senja Politik Pondok Pesantren Ali Bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Jokowi Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi (PMK) Puji Santosa Pustaka LaBRAK PUstaka puJAngga R. Ng. Ronggowarsito Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rasanrasan Boengaketji Raudlotul Immaroh Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Reuni dan Halal Bihalal Mts Putra-Putri Simo 1992 Ribut Wijoto Riki Antoni Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Robin Al Kautsar Rodli TL Roland Barthes Rosi Rosihan Anwar RR Miranda Rumah Budaya Pantura (RBP) S. Jai S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabrank Suparno Safitri Ningrum Sainul Hermawan Sajak Salman Aristo Sandiaga Uno Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang Sanggar Sastra Tasikmalaya (SST) Sarasehan dan Launching Buku Sartika Sari Sasti Gotama Sastra Kuno Suku Sasak Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Satu Jam Sastra Satyagraha Hoerip Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSAstra Boenga Ketjil Seni Gumira Ajidarma Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seputar Sastra Pendidikan Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sirdjanul Ghufron Siwi Dwi Saputro Slamet Rahardjo Rais Soediro Satoto Soekarno Soeparno S. Adhy Soesilo Toer Soetanto Soepiadhy Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Sri Handi Lestari Sri Wintala Achmad STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sujatmiko Sukarno Suminto A. Sayuti Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Syahrudin Attar Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari Sylvianita Widyawati Tangguh Pitoyo Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Ilat Teater nDrinDinG Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tias Tatanka Timur Sinar Suprabana Titi Aoska Tiyasa Jati Pramono Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Toni Masdiono Tri Broto Wibisono TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Tulus Wijanarko Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Kulsum Universitas Jember Universitas Negeri Jember Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wage Daksinarga Wahyu Aji Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Wiji Thukul Wildan Nugraha Wildana Wargadinata Yanusa Nugroho Yasraf Amir Piliang Yerusalem Ibu Kota Palestina Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhi Herwibowo Yuditeha Yusri Fajar Yuval Noah Harari Zainal Arifin Thoha Zainuddin Sugendal Zara Zettira ZR Zehan Zareez Zuhdi Swt