: Tentang Hegemoni Makna dan Penafsiran
Djoko Saryono *
the real monopoly is never that of technical means, but of speech
(Baudrillard, For a Critique of the Political Economy of the Sign, 1982)
/0/
Bersila di dipan usang, orang tua bijak itu -- yang dari mulutnya selalu terdengar harum zikir dan lembut tuturnya menidurkan segala kesumat -- didatangi beberapa anak muda yang sedang mencari pegangan kearifan di tengah bencana wabah pandemi virus yang membuat semua masyarakat dan pemerintah di dunia kalang kabut dan cemas.
"Ada apa kemari, anak muda?", tanya orang bijak itu meminta penjelasan.
"Kek, terus terang, kehadiran kami kemari untuk mencari pegangan diri. Sekarang kami dilanda cemas dan bingung dihajar pandemi virus korona! Tapi, pejabat negeri kami bahasanya tak dapat kami jadikan pegangan pasti! Kami harus bagaimana?"
Mendengar curhatan anak muda itu, orang tua bijak itu kemudian bercerita. Berikut ini sari ceritanya:
/1/
Kendati hidup pada zaman supermodern atau modern lanjut, Pak Dumeh mengharuskan kelima anaknya berbahasa krama inggil kepada dirinya. "Di rumah ini, tak seorang pun boleh berbahasa ngoko kepada diriku. Termasuk ibumu. Kecuali diriku kepada kalian semua!," tegasnya kepada Jonantang, Jongawur, Jomokong, Jogelo, dan Jogetun kelima anaknya yang berbeda watak. Kapan dan di mana pun kalian harus ber-krama inggil kepadaku. Sebaliknya, kapan dan di mana pun aku, bapak kalian ini, boleh dan bisa ber-ngoko-ngoko kepada kalian. Ini aturan (tentu kubuat) yang harus kalian taati, harus dipatuhi. Tak bisa ditawar dan dibantah!," putus tandas Pak Jodumeh.
"Wa-lah! Bapak!" Jonantang tercekat sesudah terpeanjat sesaat.
"Lho...lho...lho..lho...!" Jongawur tergengong-bengong melompong.
"Ndak usah pakai aturan-aturan begitu, Pak!" usul Jomokong dalam ragam ngoko.
"Ya, Pak! Hapus saja aturan itu. Bukan lagi zamannya sekarang," serentak si kembar Jogelo dan Jogetun melanjutkan usul Jomokong dalam ragam ngoko juga.
"Heisy! Heisy! Tak bisa! Ini aturan bukan bikinan bapakmu, ngerti?! Ini warisan mbah kalian! Bapak cuma melestarikan, melanggengkan warian budaya. Menurut mbah kalian, aturan ini buat njaga praja wong tuwa, menjaga kehormatan orang tua di mata orang lain. Bukankah penting menghormati orang tua? Jadi, kalian mesti ber-krama inggil buat menghormati bapak! Yang tak ber-krama inggil akan bapak hukum!"
"Waduh, wah! Bapak itu kok mau menang sendiri. Itu otoriter lho, Pak!. Bukan zamannya sekarang, Pak!" sewot Jonantang.
"Itu feodal dan otoriter, Pak!" imbuh Jongawur.
"Lagian menghormati orang tua 'kan tak harus pakai krama inggil tho, Pak. Ngoko 'kan juga bisa menghormati!," timpal Jomokong.
"Pokoke tak bisa! Tak bisa! Aku bapakmu. Yang jadi penguasa tunggal di rumah ini aku. Akulah yang harus menentukan segala aturan. Bukan kalian. Ini semua demi kalian, demi masa depan kalian!," tandas Pak Jodumeh.
"We-la-da-lha! Bapak kok main kuasa gitu! Gimmick-nya demokratis, tapi otoriter! Bapak tak boleh begitu dong. Dengarkan kami semua. Perlu juga dong bapak dengarkan keinginan kami. Kami tetap menghormati bapak. Tapi, kami ingin penghormatan itu tak diujudkan dengan ber-krama inggil. Kalau kami bicara ngoko tetap didasari niat menghormati bapak, memuliakan bapak!", si kembar Jogelo dan Jogetun nerocos bergantian.
"Sekali lagi, pokoke tak bisa! Awas, kalau kalian tak mematuhi aturan itu. Tahu rasa nanti. Bisa kujatuhkan hukuman!"
"Wuaahhhhhhhhhhhhhh.... bapak!...," mereka mencoba protes.
"Paaak...., sabar dong! Sadar dong, Pak. Ini zaman sudah beda!"
"Sudah tho, Le. Mbok sudah," dari dalam kamar tiba-tiba ibu mereka, Bu Sumeh, berteriak keras mencoba mengakhiri perdebatan bapak-anak. "Ngalah saja sama bapakmu. Bapakmu itu ya begitu itu. Dulu waktu bertemu ibu tak begitu, tapi lama-lama begitu, apalagi setelah lama bersama ibu, bapakmu jadi begitu!. Tak mau ngalah, tak pangerten sama orang, termasuk kalian! Maunya tak bisa sedikit pun ditenggang. Sudah, Le. Kalian ngalah saja. Wani ngalah luhur wekasane. Kalau bludreg-nya kumat, salah-salah kalian nanti kena bogem, kepruk, atau gebuk bapakmu!. Lha kalau hobi berkendaranya yang kambuh, salah-salah kalian bisa ditabrak.... Wah, malah runyam, Le."
/2/
Malam larut. Di kamar, Pak Dumeh dan Bu Sumeh sedang mengobrolkan sesuatu.
"Pakne, Pakne, mbok biarkan saja anak-anak bicara ngoko kepada kita. Benar juga kata mereka. Ngoko tak berarti menentang, mengasari, melecehkan, dan tak menghormati kita. Bagi mereka, ngoko malah rasanya akrab, bebas, terbuka, dan sejajar. Demokratis, kata orang sekarang. Itu bahasa mereka, anak-anak muda yang masih bergelora semangat dan roso-nya. Jiwa omongan ngoko-nya sebenarnya sama saja dengan jiwa omongan krama ingggil. Biarpun pakai ngoko, dalam hati dan nurani, mereka tetap menjunjung dan menghormati kita sebagai orang tua kok Pakne. Apalah artinya krama inggil, kalau dalam hati dan nurani, mereka justru memantati, malah mengentuti kita. Lho, banyak lho Pakne, orang yang ber-krama inggil hanya di bibir saja, tapi di hati benci bin dendam setengah mati. Banyak juga yang ber-krama inggil hanya buat menjerumuskan Pakne!" Bu Sumeh berpendapat.
"Tobat...tobat...tobat! Bagaimana tho Bune ini! Usul kok yang tidak-tidak. Telingaku ini lho... telingaku ini lho, Bune! Rasanya mak sengkring, sakit sekali kalau mendengar mereka bicara ngoko kepadaku! Itu menista, memerosotkan marwahku sebagai bapak! Dan perasaanku, Bune, rasanya mak bleg, ambleg, jatuh wibawaku. Rusak prajaku rasanya, Bune!"
"Ya, telinga dan perasaan kita saja yang disetel ulang. Siapa tahu justru telinga dan perasaan kita yang sudah beku, tertutup, lagi ketinggalan zaman. Dan, kita malas menyetel ulang lantaran sudah merasa enak berlindung di balik krama inggil. Lha akhirnya kita bikin aturan ber-krama inggil buat melindungi telinga dan perasaan kita"
"Wah... wah... wah.... gimana tho, Bune ini. Kan ngrusak praja, merusak kedudukan dan kehormatan, orang tua namanya itu. Dengar Bune, kalau anak-anak, orang-orang muda, wong cilik, dan sejenisnya kita biarkan ber-ngoko-ngoko kepada kita, hancurlah praja kita, Bune!"
"Alah ... alah ... alah... Pakne, Pakne! Mesti begitu pikirannya. Yang dipikir praja... praja... praja!. Tapi, prajanya sendiri! Praja orang lain, anak-anaknya sendiri, tak pernah dipikirkan dan dihargai. Apa cuma Pakne yang punya praja?! Itu mau menang sendiri namanya, Pakne!"
"Lho, jadi Bune mendukung keinginan anak-anak ber-ngoko kepada kita tho?! Ooooooo.... jadi Bune aktor di belakangnya, ya! Aktor intelektualisnya ya! Yo, silakan ngompori anak-anak! Tahu rasa kamu nanti. Tak cerrr........," ujar tegas Pak Jodumeh!
"Lho....lho....lho.... lho... Pakne, sabar tho, eling tho. Jadi, orang tua harus sabar, eling, dan arif. Kok nuduh dan ngancam sama istri sendiri!", potong Bu Sumeh.
/3/
Bagai disusupi semangat gerakan Jawa Dwipa, keinginan ber-ngoko ternyata benar-benar direalisasi Jonantang dan adik-adiknya. Tiap bicara sama bapak, yang mereka rasakan makin sesuka hatinya sendiri, mereka selalu ngoko. Barang tentu, telinga dan hati bapak bagai ditusuk-tusuk beribu jarum. Sakit sekali rasanya. Meledaklah amarahnya kepada anak-anaknya.
"Setan gundul! Anak tak tahu diuntung! Melanggar aturan! Tak patuh sama orang tua! Mau jadi apa kalian?! He!," sembur Pak Jodumeh begitu dahsyat sembari mengancam.
"Lho...lho... lho, Pak! Jangan begitu!"
"Setan gundul kamu semua, Le! Ngomong ceplas-ceplos pakai ngoko! Mengkritik kata kalian, tapi itu menista, kata bapak kalian! Kamu mau nantang ... mau makar sama wong tuwo, ya?! Mau ngrusak tatanan yang sudah enak ini, ya?! Aku tempelengi kalian!" ancam Pak Jodumeh sembari nyengkiwing Jonantang, anak sulungnya.
"Puaak... Puakk ... jangan gitu dong!" pekik Jomokong.
"Bapak sendiri ngomong ngoko terus gitu kok sama kami. Kenapa kami kok nggak boleh ngomong ngoko juga. Kalau kami ngoko dituduh berbuat kasar, berarti bapak juga berbuat kasar kepada kami dong. Ini tak adil!, "lanjut Jongawur membela diri.
"Sontoloyo! Akulah bapakmu. Kalian cuma anak-anak. Akulah yang berhak mengatur dan bikin aturan. Bukan kalian. Tak ada anak yang berhak mengatur dan bikin aturan rumah tangga. Dan, aku sudah tetapkan aturan, kalian mesti krama inggil kepadaku untuk menjujung martabatku. Tapi, aku boleh ngoko kepada kalian dan ibumu buat menunjukkan prajaku, kewibawaan dan kedudukanku ..."
"Sebentar .... sebentuuaarrr, Pak!" potong Jogelo dan Jogetun serempak. "Kalau bicara soal hak, kami justru punya hak lebih besar ketimbang bapak dalam mengatur rumah tangga ini. Soalnya, kamilah yang mengangkat bapak menjadi BAPAK. Kalau kami tak lahir bin ada, mana mungkin bapak bisa menjadi BAPAK?! Makanya, kalau kami ngoko kepada bapak, justru itu yang tepat. Seharusnya bapaklah yang ber-krama inggil kepada kami"
"Edan!! Eduaannnn tenan!! Setan gundul kalian semua! Berani-beraninya mau mencopot jabatanku sebagai bapak! Heh! Kalian semua menentang aturan! Aku hukum kalian semua! Jonantang, kusekap kamu di kamar mandi 13 jam. Jongawur, aku sel kau di gudang 8 jam. Dan kalian, Jomokong, Jogelo, dan Jogetun, kuganjar kalian dengan sekapan 6 jam di gudang!" Tak terbendung lagi sudah amarah Pak Jodumeh kepada anak-anaknya.
/4/
Kata ahli bahasa, krama inggil itu bahasa halus, hormat, dan sopan. Ngoko itu bahasa kasar, tak hormat, dan tak sopan. Bahasa Indonesia yang halus, hormat, dan sopan pun bisa disebut bahasa krama inggil, sedang yang kasar, tak hormat, dan tak sopan disebut bahasa ngoko.
Akhir-akhir ini, terlihat gejala, bahasa Indonesia ngoko kian banyak digunakan oleh "bapak-bapak kita” yang berwatak Pak Dumeh ketika berkomunikasi dengan orang kebanyakan, rakyat akar rumput. Tandanya, berhamburannya kata-kata menuduh dan menyudutkan orang kebanyakan.
Orang kebanyakan seperti kita, waktu berkomunikasi dengan “bapak-bapak kita”, banyak dituntut untuk selalu berbahasa Indonesia krama inggil yang sudah ditetapkan “bapak-bapak”. Jika nekat ngoko, seperti Jonantang dan adik-adiknya, sering beroleh setrapan alias hukuman.
Tak aneh, Clifford Geertz bilang, mecanism of power Indonesia ngumpet di balik linguistics/poetics of power. Dan, linguistics/poetics of power Indonesia, imbuh Taufik Abdullah, telah menjadi hegemonis sehingga terjadi hegemoni makna dan penafsiran. Di sinilah, seperti ujar Baudrillard, terjadi otoritarianisme wacana atau monopoli ujaran dalam kehidupan sosial (politik dan budaya) kita.
Hari hari ini, di bawah bayang-bayang pagebluk virus yang mencekam dan menakutkan, orang kebanyakan seperti kita juga berada di bawah bayang-bayang kuat poetics of power bapak-bapak kita. Orang kebanyakan seperti kita, belakangan ini terkepung dari dua penjuru: depan dan belakang. Terjebak maju kena mundur kena!
____________________
*) Prof. Dr. Djoko Saryono, M.Pd adalah Guru Besar Jurusan Sastra Indonesia di Fakultas Sastra pada kampus UNM (Universitas Negeri Malang). Telah banyak menghasilkan buku, artikel apresiasi sastra, serta budaya. Dan aktif menjadi pembicara utama di berbagai forum ilmiah kesusatraan tingkat Nasional juga Internasional.
http://sastra-indonesia.com/2020/05/antara-krama-inggil-dan-ngoko/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
20 Tahun Kebangkitan Sastra-Teater Lamongan
A Jalal
A. Anzieb
A. Khoirul Anam
A. Mustofa Bisri
A. Rodhi Murtadho
A. Syauqi Sumbawi
A.P. Edi Atmaja
Abdoel Moeis
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdullah Abubakar Batarfie
Abdurrahman Wahid
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Acep Iwan Saidi
Achdiat K. Mihardja
Achiar M Permana
Adek Alwi
Adhi Pandoyo
Adib Baroya
Aditya Ardi N
Adri Sandra
Adu Pesona Sang Wakil Cawapres RI
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan MN
Agus Buchori
Agus Dermawan T.
Agus Mulyadi
Agus Prasmono
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunyoto
AH J Khuzaini
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Hasan MS
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Saifullah
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alawi Al-Bantani
Alfatihatus Sholihatunnisa
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Alim Bakhtiar
Amie Williams
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Amril Taufik Gobel
An. Ismanto
Andhi Setyo Wibowo
Andi Andrianto
Andong Buku #3
AndongBuku #3
Andrea Hirata
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Antologi Sastra Lamongan
Anton Wahyudi
Anugrah Gio Pratama
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia
Arafat Nur
Ardi Wina Saputra
Ardy Suryantoko
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Saifudin Yudistira
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Asarpin
Ashimuddin Musa
Asrul Sani
Astuti Ananta Toer
Atafras
Audifax
Awalludin GD Mualif
Ayu Nuzul
Azizah Hefni
B Kunto Wibisono
Bahrul Amsal
Bambang Kempling
Beni Setia
Benny Benke
Beno Siang Pamungkas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Bernando J. Sujibto
Binhad Nurrohmat
Bloomberg
Bre Redana
Budaya
Budi Darma
Buldanul Khuri
Bustan Basir Maras
Candra Adikara Irawan
Candrakirana
Cangaan Ujungpangkah Gresik Jawa Timur
Capres Cawapres 2019
Catatan
Ceramah
Cerpen
Chairil Anwar
Chicilia Risca
CNN Indonesia
Coronavirus
COVID-19
D. Zawawi Imron
Damiri Mahmud
Darju Prasetya
Darman Moenir
Deddy Arsya
Denny JA
Denny Mizhar
Devy Kurnia Alamsyah
Dhoni Zustiyantoro
Dian Sukarno
Didin Tulus
Dien Makmur
Din Saja
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Donny Anggoro
Donny Darmawan
Dr. Hilma Rosyida Ahmad
Dwi Cipta
Dwi Klik Santosa
Dwi Pranoto
Dyah Ayu Fitriana
Ecep Heryadi
Edy Suprayitno
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Elok Dyah Messwati
Engkos Kosnadi
Erdogan
Erwin Setia
Esai
Esti Nuryani Kasam
Evan Ys
F. Budi Hardiman
F. Rahardi
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Fahrur Rozi
Faidil Akbar
Farah Noersativa
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fathul Qorib
Fatkhul Anas
Feby Indirani
Felix K. Nesi
Festival Teater Religi
Festival Teater Religi Pelajar SLTA Se-kabupaten Lamongan
Fira Basuki
Forum Santri Nasional (FSN)
Frischa Aswarini
Fuad Mardhatillah UY Tiba
Fuad Nawawi
Galuh Tulus Utama
Gampang Prawoto
Gde Artawan
Geger Riyanto
Geguritan
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Guenter Grass
Gus Ahmad Syauqi
Gus tf
Gusti Eka
Habib Bahar bin Smith
Haiku
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hamka
Han Gagas
Hary B Koriun
Hasan Basri
Hasnan Bachtiar
Heri Ruslan
Herman Hesse
Hertha Mueller
Heru Kurniawan
Hestri Hurustyanti
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hujuala Rika Ayu
I Made Prabaswara
I Made Sujaya
IAI TABAH (Institut Agama Islam Tarbiyatut Tholabah)
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idrus
Ignas Kleden
Iksaka Banu
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imammuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra Intisa
Indra Mahadi
Indra Tjahyadi
Irfan Afifi
Irine Rakhmawati
Irwan Kelana
Isbedy Stiawan ZS
J.S. Badudu
Jadid Al Farisy
Jajang R Kawentar
Jawa Timur
Jean Marie Gustave le Clezio
JJ. Kusni
Jl Raya Simo Sungelebak
Jo Batara Surya
John H. McGlynn
Jordaidan Rizsyah
Jual Buku Paket Hemat
Juara 3 Lomba Lompat Jauh DISPORA LAMONGAN
Jurnalisme Sastrawi
K.H. Ma'ruf Amin
Kadek Suartaya
Kaheesa Kirania Putri Ayu
Kahfie Nazaruddin
Kalis Mardiasih
Kamaluddin Ramdhan
Kanti W. Janis
Karanggeneng
Kardono Setyorakhmadi
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Kemah Budaya Pantura (KBP)
KetemuBuku Jombang
KH. M. Najib Muhammad
KH. Muhammad Amin (1910-1949)
Khairul Mufid Jr
Khawas Auskarni
Khoirul Abidin
Khoshshol Fairuz
Ki Ompong Sudarsono
Kitab Arbain Nawawi
Kodrat Setiawan
Kompas TV
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA)
Komunitas Sastra dan Teater Lamongan
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII)
Komunitas-komunitas Teater di Lamongan
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Luar Biasa Organisasi Kerja Sama Islam (OKI)
Kopuisi
Kostela
Kritik Sastra
Kumpulan Cerita Buntak
Kurnia Effendi
Kuswaidi Syafi’ie
L Ridwan Muljosudarmo
L.K. Ara
Lamongan
Lan Fang
Lawi Ibung
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M)
Literasi
Liza Wahyuninto
Lukas Luwarso
Lukisan
Lukman
Lukman Santoso Az
Lutfi Mardiansyah
M Farid W Makkulau
M. Faizi
M.D. Atmaja
Madrasah Aliyah Matholi'ul Anwar
Madrasah Ibtida’iyah Thoriqotul Hidayah 1
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Maman S Mahayana
Manado
Manneke Budiman
Maratushsholihah
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Magdalena Bhoernomo
Mario F. Lawi
Marsel Robot
Martin Aleida
Marwanto
Mashuri
Massayu
Masuki M. Astro
Masyhudi
Media Seputar Pendidikan
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Memoar Purnama di Kampung Halaman
Mereka yang Menjerat Gus Dur
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mien Uno
Moh. Dzunnurrain
Moh. Jauhar al-Hakimi
Mohammad Rafi Azzamy
Mohammad Rokib
Mohammad Yamin
Muafiqul Khalid MD
Much. Khoiri
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Alfatih Suryadilaga
Muhammad Antakusuma
Muhammad Fikry Mauludy
Muhammad Hafil
Muhammad Marzuki
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad N. Hassan
Muhammad Subarkah
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhidin M. Dahlan
Muhyiddin
Mukadi
Mukani
Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur
Musa Ismail
Mutia Sukma
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nanang E S
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Nezar Patria
Noor H. Dee
Nunus Supardi
Nur Haryanto
Nur Wachid
Nurel Javissyarqi
Nurul Komariyah
Okky Madasari
Olivia Kristina Sinaga
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pagelaran Musim Tandur
Palupi Panca Astuti
Pameran Lukisan
Parimono V / 40 Plandi Jombang
PC. Lesbumi NU Babat
PDS HB Jassin
Pelukis Dahlan Kong
Pelukis Tarmuzie
Penculikan Aktivis 1988
Pendidikan
Pengajian
Pengarang kelahiran Lamongan
Pentigraf
Pepaosan
Perbincangan
Peringatan Hari Pahlawan 10 November
Pilang Tejoasri Laren Lamongan Jawa Timur
Pipiet Senja
Politik
Pondok Pesantren Ali Bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan
Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang
Pramoedya Ananta Toer
Presiden Jokowi
Prosa
Puisi
Puisi Menolak Korupsi (PMK)
Puji Santosa
Pustaka LaBRAK
PUstaka puJAngga
R. Ng. Ronggowarsito
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rasanrasan Boengaketji
Raudlotul Immaroh
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Reuni dan Halal Bihalal Mts Putra-Putri Simo 1992
Ribut Wijoto
Riki Antoni
Riki Dhamparan Putra
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Roland Barthes
Rosi
Rosihan Anwar
RR Miranda
Rumah Budaya Pantura (RBP)
S. Jai
S.W. Teofani
Sabiq Carebesth
Sabrank Suparno
Safitri Ningrum
Sainul Hermawan
Sajak
Salman Aristo
Sandiaga Uno
Sanggar Lukis Alam
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang
Sanggar Sastra Tasikmalaya (SST)
Sarasehan dan Launching Buku
Sartika Sari
Sasti Gotama
Sastra Kuno Suku Sasak
Sastri Bakry
Satmoko Budi Santoso
Satu Jam Sastra
Satyagraha Hoerip
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSAstra Boenga Ketjil
Seni Gumira Ajidarma
Seni Rupa
Seno Gumira Ajidarma
Seputar Sastra Pendidikan
Sergi Sutanto
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sirdjanul Ghufron
Siwi Dwi Saputro
Slamet Rahardjo Rais
Soediro Satoto
Soekarno
Soeparno S. Adhy
Soesilo Toer
Soetanto Soepiadhy
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sosiawan Leak
Sri Handi Lestari
Sri Wintala Achmad
STKIP PGRI Ponorogo
Subagio Sastrowardoyo
Sudarmoko
Sujatmiko
Sukarno
Suminto A. Sayuti
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Syahrudin Attar
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili
Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari
Sylvianita Widyawati
Tangguh Pitoyo
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater Ilat
Teater nDrinDinG
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Tias Tatanka
Timur Sinar Suprabana
Titi Aoska
Tiyasa Jati Pramono
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga
Toni Masdiono
Tri Broto Wibisono
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Tulus Wijanarko
Umar Fauzi
Umbu Landu Paranggi
Umi Kulsum
Universitas Jember
Universitas Negeri Jember
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W.S. Rendra
Wage Daksinarga
Wahyu Aji
Warung Boengaketjil
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wiji Thukul
Wildan Nugraha
Wildana Wargadinata
Yanusa Nugroho
Yasraf Amir Piliang
Yerusalem Ibu Kota Palestina
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhi Herwibowo
Yuditeha
Yusri Fajar
Yuval Noah Harari
Zainal Arifin Thoha
Zainuddin Sugendal
Zara Zettira ZR
Zehan Zareez
Zuhdi Swt
Tidak ada komentar:
Posting Komentar